Keputusan untuk mengikuti pemilu tahun ini telah terpatri bulat di benak Nurin. Tidak ada istilah untuk kembali mundur atau menghentikan langkah. Hari ini merupakan hari besar nan penting dalam babak kehidupan Nurin.
Sebelum pergi ke tempat seleksi pemilu di distrik pusat Megapolitan Batam yang akan diadakan di monument Nusantara Union, Nurin berencana untuk pergi ke makam sang ayah terlebih dahulu di pulau Setokok, Bulang. Mengunjungi pusara sosok yang telah membulatkan tekad untuk mengikuti jejak seperti dirinya, menjadi abdi negara dan masyarakat.
Pagi ini Nurin telah bersiap dengan pakaian formal terbaiknya. Baru saja dia juga menandatangani paket buku yang dipesannya kemarin yang baru saja datang hari ini. Jikalau pun Nurin terpilih pada tahapan 1 atau 2 lalu berhasil meraih satu kursi, masih ada jeda waktu sekitar delapan bulan sebelum pelantikan sehingga ia masih sempat merampungkan draft naskah bukunya yang memang 95% telah hampir selesai. Karya terakhirnya sebagai seorang penulis dan akademisi sebelum ia benar-benar fokus terjun ke dunia kerja yang sama sekali berbeda, berkiprah di kancah politik dan birokrasi.
***
Nurin pun akhirnya sampai di makam Syeikh Muammar Alisyah. Di makam sang ayah, Nurin memanjatkan dan mengirimkan doa, juga meminta restu untuk langkah besar yang diambilnya hari ini, sesuai dengan keinginan dari Syeikh Alisyah sejak dulu. Sejak kecil, Nurin memang menjadikan ayahnya sebagai patron dan panutannya. Segala pencapaiannya hari ini—adalah berkat doa, didikan, dan dorangan dari sang ayah. Nurin hanya ingin semua yang telah dipercayakan dan diinvestasikan oleh sang ayah ketika membentuk karakter dirinya sehingga menjadi seperti sekarang ini—tidaklah sia-sia. Nurin ingin diusia mudanya saat ini dia bisa memaksimalkan kemampuannya untuk membantu sesama, sebagaimana yang ayahnya lakukan dahulu. Dia sekarang sedang menempuh jalan itu, panggilan hati dalam rangka menegakkan prinsip-prinsip dari sang ayah.
"Ayah ... aku pergi dulu!" ucap Nurin pamit beranjak dengan tekad kuat menyala-nyala.
Nurin kemudian menuju Nusantara Union dengan menaiki sebuah taksi otonom.
"Rame sekali," gumam Nurin ketika taksi yang ditumpanginya melintasi jalan-jalan protokol kota.
Hari ini adalah pesta demokrasi bagi seluruh rakyat Indonesia. Ada sekitar 400 ribu lebih calon peserta pilih dari berbagai latar belakang profesi dan usia berbeda dari seluruh penjuru negeri yang kemarin secara daring lolos penyaringan untuk mengikuti seleksi tahapan 1 di daerah masing-masing. Seleksi JST terakurasi untuk pemilu diadakan serentak di seluruh kota besar di Indonesia; Jakarta, Bandung, Surabaya, Medan, Makkasar, Yogyakarta, New Malaka, dan ibukota di Kalimantan.
Suara bising klakson mobil saling bersahutan di jalan menuju pusat kota yang Nurin lalui. Mobilnya terjebak macet. Khalayak sedang menikmati hari libur nasional mereka sekaligus menanti hasil-hasil demokrasi model baru.
Tanpa pemilu pun, kota ini memang selalu sesibuk ini. Selalu berisik ... sebuah bencana suara bagi telinga. Pikir Nurin memandang ke luar kaca mobilnya.
Nurin mulai menyetel radio di mobilnya. Semua stasiun radio pun saat ini secara masif memberitakan terkait dimulainya pemilu hari ini. Bagaimana gegap gempitanya pesta demokrasi lima tahun sekali.
Mata Nurin memandang keatas dari balik kaca mobil, ia mendongak menatap layar hologram besar pada sebuah gedung yang menayangkan berita terkait pemilihan umum tahapan 1 hari ini. Dikatakan bahwa para calon peserta jauh lebih sedikit jika dibandingkan dengan lima tahun lalu yang mencapai hampir dua juta calon peserta pilih. Semua platform media sekarang ini memang fokus menyoroti proses seleksi pemilihan umum bahkan setiap step by step sampai pada tahapan 2 dan 3 akan selalu diberitakan secara berkala tiada henti di musim pemilu. Siapa saja para peserta yang lolos dan probabilitas mereka terhadap masing-masing kursi dan kedudukan, semua akan dipaparkan ke publik secara transparan melalui media.
Selang beberapa waktu Nurin pun sampai di tempat perhelatan, tempat seleksi akan diadakan. Monument Nusantara Union yang berdiri gagah telah terlihat, menjulang sangat tinggi penuh keangkuhan tepat di hadapan Nurin.
"Banyak penjagaan," celetuk Nurin yang melihat situasi di sekitar kawasan Nusantara Union yang dijaga ketat dengan pengamanan ring berlapis oleh aparat tentara dan kepolisian.
Setelah turun dari mobil Nurin mengalihkan pandangannya, berbalik menatap kemegahan Nusantara Union yang menjulang tinggi, tak terkira besarnya bak raksasa beku. Monument besar itu lebih mirip sebuah gedung daripada sebuah patung. Ratusan kabel-kabel berukuran besar dan sedang, melilit dan mengisi sebagian besar jengkal tubuh dari patung tersebut. Walau sering disandingkan dengan patung Liberty, tetapi Nusantara Union nampak jauh lebih mutakhir.
Kawasan sekitar Nusantara Union saat ini disesaki dan dijaga ketat oleh personil tentara dan kepolisian yang berjaga. Tidak ada aktivitas warga sipil seperti biasa. Kawasan itu memberlakukan pengamanan ring berlapis yang ketat. Nurin harus beberapa kali menyodorkan tanda pengenal, serta ID card digital peserta sebagai bukti resmi kepesertaannya dalam kontestasi pemilu tahun ini pada beberapa staff dan regulator agar bisa memasuki Nusantara Union. Setelah sampai di depan kawasan utama Nusantara Union, Nurin mendapati suasana yang jauh berbeda. Tidak seperti di pintu masuk satu dan dua yang dipenuhi ratusan regulator acara dan personil penjaga, di kawasan utama Nusantara Union sedikit lebih lengang dan hanya dijaga oleh beberapa oknum polisi yang tersebar di beberapa titik sudutnya.
Nusantara Union memang menjadi tempat bagi seleksi JST untuk pemilu negara bagi daerah distrik Megapolitan New Malaka setiap lima tahun sekali dan seleksi JST lain seperti seleksi ASN, CPNS dan seleksi penempatan kerja atau keprofesian tiap tahunnya. Sedangkan di hari-hari biasa, sebagai sebuah landmark kota dan simbol negara yang cukup terkenal di dunia, Nusantara Union menjadi objek pariwisata populer bagi turis dalam negeri maupun mancanegara. Setiap harinya di Nusantara Union biasa didapati ratusan ribu pengunjung dan pelancong, tetapi khusus untuk hari ini atau hari-hari seleksi JST lainnya diselenggarakan, maka kawasan tersebut akan ditutup bagi publik, seperti saat ini.
Sembari berjalan masuk ke dalam monument Nusantara Union, Nurin memandangi ke sekitar area di luar Nusantara Union yang biasanya dipenuhi oleh wisatawan dan pengunjung namun kini nampak sepi dan lengang. Hanya terlihat penjagaan disana sini serta gemerlap lampu sirine mobil polisi yang menyala kedap kedip di beberapa sudut. Nurin juga dapat melihat sekelompok jurnalis, kameramen, reporter dan pemburu berita yang berkerumun hanya sampai batas pintu dua karena mereka semua tidak bisa masuk ke kawasan utama yang khusus diperuntukan bagi pihak regulator KPS dan para peserta saja.
"Tanda pengenalnya?" tanya salah seorang staff regulator KPS yang berjaga di lobi utama. Nurin menyodorkan ID card dan surat digital kepesertaan seleksi. Mereka mulai memindai Nurin mulai dari pengenalan retina juga sidik jari sebagai protokoler keamanan standart. Nurin lalu meneruskan berjalan ke portal berikutnya untuk mendapatkan akses lanjutan.
"Anda pengajar di UIN Muammar Alisyah?" tanya seorang penjaga wanita yang sedang fokus memeriksa di depan layar virtual komputernya.
"Benar ... disitu kan ada tertera,"
Staff petugas tersebut heran setelah melihat track record dari Nurin. Begitu jelas terlihat dari raut wajahnya saat menatap profil Nurin dari layar virtual komputer. "Jadi ... anda belum pernah mengikuti seleksi JST apapun? Sama sekali!?"
"Iya ... memangnya ada apa ya?" tanya Nurin tersenyum.
"Ah, tidak apa-apa Prof. Jarang sekali ada orang yang belum pernah ikut seleksi JST seperti anda. Anda pasti sangat berbakat."
"Ya, ini seleksi saya yang pertama kalinya."
"Silahkan Prof, ini ET-Card anda dan silahkan anda menuju ruang seleksi di atas." Sahut petugas wanita itu sembari menyodorkan sebuah flashdisk mikro sebagai akses.
Beberapa pihak keamanan mulai mempersilahkan dan mengawal Nurin untuk naik keatas begitu juga dengan beberapa peserta lainnya yang kebetulan datang bersamaan dengan Nurin. Nurin mulai menaiki lift transparan untuk menuju ruangan teratas. Nusantara Union memiliki 26 lantai dan puluhan ruangan. Ruangan khusus yang biasa dipakai untuk seleksi JST setiap tahunnya adalah ruangan teratas, tepat di kepala dari monument Nusantara Union.
Dari balik kaca transparan lift, Nurin dapat memandang ke bawah dimana puluhan peserta lain masih berbaris antri untuk diperiksa dan dipindai seperti dirinya.
Setelah pintu lift terbuka, Nurin kembali harus mengisi beberapa berkas di lantai 20. Ekspresi wajah yang sama dengan staff wanita di bawah tadi kembali Nurin temui ketika mereka mengetahui bahwa Nurin sama sekali belum pernah melakukan seleksi JST baik untuk akademis maupun karir keprofesiannya. Sekitar sepuluh menit kemudian Nurin kembali dipersilahkan menuju ruangan utama seleksi pemilu. Kali ini di dalam lift Nurin berbarengan dengan dua orang polisi berseragam jas hitam, lebih mirip seorang agen daripada polisi. Seorang laki-laki berusia 36 tahun berambut klimis dan seorang lagi perempuan manis berkerudung biru muda serta berkacamata. Mata Nurin tertuju pada polwan muda berseragam hitam, berhijab dan berkacamata itu. Apa polisi wanita boleh memakai kacamata? Tanya Nurin dalam benaknya, agak heran. Setahu Nurin, bahwa syarat utama masuk kepolisian adalah sehat lahiriah atau fisik termasuk kesehatan mata yang tidak boleh minus atau rabun.
Polisi wanita itu tiba-tiba mengarahkan pandangan matanya ke arah Nurin, membuat Nurin tersentak tidak enak hati dan mengalihkan pandangan seketika. Sekitar hampir setengah menit lamanya keheningan di dalam lift terjadi hingga akhirnya pria berjas hitam di sebelah Nurin memulai pembicaraan.
"Kelihatannya kau masih sangat muda. Tanpa sengaja tadi kudengar saat pemeriksaan kau seorang Profesor?" tanyanya.
"Ya, aku dosen pengajar di kelas studi agama-agama dan Ulumul Qur'an di UIN Muammar Alisyah."
"Hebat sekali!" celetuknya girang, "seorang dosen dan Profesor muda yang mau mengikuti pemilu. Negara ini memang membutuhkan tenaga dan pikiran dari kaum intelek seperti anda Prof. Politik memang seharusnya diisi oleh akademisi dan pemikir cerdas seperti anda ini. Aku benci mengatakan ini ... tapi aku kurang senang jika politikus berlatar belakang politik murni. Entah kenapa, rasanya tidak tepat saja."
"Tapi bahkan pemilu pun sekarang memakai JST sebagai system evaluasi. Itu artinya hampir tidak ada kesalahan dalam penilaiannya, kan?" sahut Nurin tersenyum simpul.
"Kau benar sekali. Jika orang yang memang fokus di politik terpilih, maka itu pastilah yang terbaik dan merupakan penilaian posisi yang tepat, telah diperhitungkan dan dikalkulasikan oleh JST. System ini tidak mungkin salah." Tegas pria tersebut.
"Kalau begitu tidak ada masalah." Timpal Nurin.
"Apa mesin sekalipun tidak bisa salah? Arogansi manusia modern yang hebat." Sahut wanita polwan berkacamata itu sembari matanya mendongak ke atas.
Nurin bergeming. Alih-alih dia tersinggung karena wanita itu menyela perkataannya, Nurin malah terlihat senang dan menaruh simpati karena ucapan wanita itu. Nurin mendapati kesamaan pemikiran polwan itu dengan dirinya. Kesan skeptisme terhadap zaman yang Nurin tangkap darinya, sebagaimana yang Nurin juga yakini selama ini, bahwa zaman yang serba teknologi pun bukan berarti tidak ada celah sama sekali dan bisa dipandang begitu paripurna. Nurin lega akhirnya dapat bertemu seseorang yang satu pemikiran dengannya.
"Oh ya, Profesor, kita belum berkenalan. Aku Kapten Irdan Angkasa." Pria itu menyodorkan tangannya untuk berjabat tangan, memperkenalkan diri. "Aku yang berwenang disini. Mengawal dan menjaga jalannya seleksi."
Irdan Angkasa memperkenalkan dirinya, bahwa dia adalah seorang Inspektur Jenderal Polisi—Irjenpol—yang sedang ditugaskan di Nusantara Union untuk mengamankan dan menjaga situasi dalam penyelenggaraan seleksi hari ini.
"Ahmad Nurin." Sahut Nurin balas menjabat tangan Kapten Irdan.
"Aku ditugaskan disini dari Polda Metro Jaya di Jakarta. Dan ini, dia adalah Sersan Aya Mentari." Kapten Irdan memperkenalkan polwan yang sedari tadi berdiri disampingnya. "Dia asli dari kota ini. Sersan Aya dari Polmet (Polisi Metro) distrik New Malaka. Dia merupakan bagian dari divisi cyber crime yang pernah bertugas di Mabes Polri di ibukota."
"Salam kenal." Sahut wanita bernama Aya tersebut mengangguk pelan.
Nurin balas mengangguk dan melempar senyum simpul ramah pada Aya sebagai balasan.
Kenapa divisi cyber crime juga ada disini? Pasti untuk menangani masalah terkait pemprograman dalam ujian seleksi kali ini, pikir Nurin. Antisipasi terhadap kejahatan cyber? Pasti polisi sekaligus programmer. Nurin akhirnya mengerti kenapa polisi wanita yang satu ini memakai kacamata di mata indahnya. Nurin dapat menerka intensitas kerja Aya di depan komputer sehingga membuatnya pada akhirnya memakai kacamata. Pertama kali masuk kesatuan kepolisian, matanya pasti masih sehat.
"Apa kau asli sini Profesor Nurin?" tanya Kapten Irdan.
"Ya, aku lahir disini kapt, di New Malaka. Ayahku pernah menjadi Mufti besar disini."
Kapten Irdan bergeming, "tunggu dulu. Ayahmu...? Apa ayahmu Syeikh Muammar Alisyah?"
Nurin mengangguk pelan dengan enggan, "benar! Beliau ayahku."
Seketika Sersan Aya juga bergeming dan terkesiap. Ia nampak agak terkejut ketika mengetahui hal tersebut. Sersan Aya langsung menatap Nurin dengan begitu tajam. Seperti ada sesuatu yang ia pikirkan saat ini.
"Astaga ... ternyata kau putra Syeikh Muammar Alisyah itu?" tanya Kapten Irdan. "Pantas saja di usia muda kau telah menjadi seorang Profesor. Kau pasti cerdas dan berbakat seperti ayahmu." Katanya, "kalau begitu sangat tepat kau akhirnya mengikuti jejak beliau. Negara ini pasti akan semakin kuat jika elite pemerintahan diisi oleh orang sepertimu. Negara ini sangat beruntung memiliki kalian berdua. Ayah dan anak yang berniat mendedikasikan diri untuk negara dan bangsa." Kapten Irdan nampak terkesan. Irdan Angkasa adalah seorang yang patriotis dengan nilai-nilai nasionalisme yang kuat. Tipe abdi negara yang benar-benar mencintai negaranya.
"Jadi, Syeikh Alisyah adalah ayah anda?" tanya Aya pelan. Dijawab Nurin dengan anggukan dan rasa heran melihat Aya tiba-tiba berekspresi berbeda, seakan menyimpan sebuah tanda tanya besar untuknya.
"Ini hebat ... seorang anak dari Mufti besar kota ini juga mengikuti seleksi pemilu," Kapten Irdan tampak senang. "Aku yakin kau pasti akan mendapatkan satu kursi Profesor, malahan ... kau mungkin bisa langsung masuk tahapan 3 dan menuju ibukota."
Menjadi seorang menteri, itulah maksud Kapten Irdan.
"Penilaian itu terlalu tinggi, aku mungkin tidak akan sampai ke tahap itu Kapten."
"Tapi kau harus optimis Profesor. Diposisi manapun kau nanti terpilih, dan opsi kursi yang dipilihkan oleh JST, pilihlah dengan bijak." Sahut kapten Irdan.
Nurin kembali menyadari bahwa Aya sedari tadi terus menatapnya tanpa jeda. Tatapan sangat dalam yang menggelisahkan dan membuat Nurin tidak nyaman. Apa yang terjadi? Nurin merasa semenjak ia memberitahukan bahwa ia adalah putra Syeikh Ali, Sersan Aya menjadi berbeda.
"Kau baik-baik saja?" tanya Nurin kepada Aya. "Sedari tadi melamun ...." Nurin tersenyum.
"Ah, tidak apa-apa Profesor. Maaf ...." Sahut Sersan Aya membuang muka.
Bunyi pintu lift yang terbuka menyadarkan mereka bertiga. Mereka telah sampai di lantai teratas dari Nusantara Union, lantai 26. Kapten Irdan mempersilahkan Nurin memasuki ruangan utama tempat ujian seleksi diadakan. "Silahkan Prof, disinilah tempat ujian seleksi kalian."
Kapten Irdan, Nurin dan Sersan Aya memasuki ruangan ujian. Terlihat sudah banyak peserta yang hadir disana. Sebuah ruangan yang sangat luas berukuran setengah lapangan bola diisi dengan barisan perangkat komputer canggih sebagai media seleksi bagi para peserta. Di samping kanan dari ruangan ujian ada sebuah jendela kaca bundar super besar sebagai dindingnya yang menyuguhkan pemandangan full keseluruhan kota New Malaka. Jendela kaca besar itu merupakan mata kanan dari Nusantara Union. Lanskap kota New Malaka, jajaran gedung-gedung pencakar langit kota, begitu jelas terlihat dari sini.
"Apa keadaan terkendali?" tanya Kapten Irdan kepada beberapa personil keamanan yang berjaga di dalam ruangan.
"Semua masih dalam kendali Kapten." Jawab salah satu personil. Yang lain melakukan sambungan panggilan lewat earphone wireless ditelinga mereka.
"Mari Profesor ...." Ajak Kapten Irdan, mengajak Nurin berkeliling dan menelusuri ruangan. "Disini ... kalian nanti para peserta akan melakukan seleksinya. Proyektor layar besar di depan sana, akan menampilkan tiap indeks penilaian dan grafik para peserta pilih." Tunjuknya.
Sebuah layar hologram besar terpampang di depan. Semua deretan komputer canggih yang berbaris yang nantinya akan dipakai oleh para peserta, menghadap ke layar yang ada di depannya. Telah banyak peserta yang datang saat ini. Mereka saling bicara, ada yang fokus dan telah duduk di tempatnya, bahkan ada yang santai melihat-lihat ruangan. Sementara beberapa personil keamanan berpakaian hitam juga terlihat sibuk lalu lalang dalam ruangan.
"Seleksi akan diadakan sekitar satu jam lagi Prof. Masih ada waktu." Kata Kapten Irdan sambil menengok jam ditangan kanannya. "Bersantailah dulu ... kita masih bisa mengobrol,"
Kapten Irdan mengajak Nurin ke tepian dinding jendela kaca bundar besar diikuti Sersan Aya. "Lihatlah kota New Malaka yang megah ini. Aku selalu terpesona dengan keagungan kota ini." Ucap sang Kapten menatap ke arah luar menebus jendela kaca.
"Tapi anda tinggal di Jakarta," sahut Nurin, "bukankah itu juga kota paling glamour seindonesia?"
"Ya, walau puluhan tahun sudah tidak lagi menjadi ibukota, daya tariknya masih sama Prof. Jakarta memang glamour dan Megapolitan yang cukup besar. Masih yang terbesar di negeri ini. Para artis tinggal disana dan jantung perekonomian serta industri negara juga berdenyut disana, tapi lihatlah harmoni disini ... segala bangsa hidup dan tinggal disini. Bukti bahwa kedigdayaan Indonesia, dipercaya oleh mereka semua mampu menaungi dan menghidupi mereka."
Nurin hanya diam sembari menatap ke luar, ke arah jendela kaca. Satu telapak tangannya ia sandarkan pada jendela kaca sambil menengok getir ke bawah. Tinggi juga, gumam Nurin dalam hati. Nurin memang seorang pengidap Acrophobia. Dia agak begitu takut akan ketinggian.
"Kota ini adalah wujud dan bukti dari tangan saktinya sang pemimpin besar kita, Nurun Maulidan!" ucap Kapten Irdan kembali melanjutkan.
"Beliau memang pemimpin hebat yang diakui dunia. Banyak pencapaian dari beliau yang sungguh luar biasa." Sahut Nurin.
"Beliau juga orang yang baik," timpal Sersan Aya yang tanpa Nurin sadari, sedari tadi juga ada di dekat mereka. Nurin seketika menolehkan pandangannya pada Aya, baru saja menyadari kehadirannya.
"Sersan Aya pernah bertugas jadi staff khusus keamanan kepresidenan ketika awal-awal dia masuk kepolisian. Benar begitu, kan?" tanya Kapten Irdan.
"Hanya sekitar lima bulan." Jawab Sersan Aya.
"Jadi kau cukup mengenalnya?" tanya Nurin.
"Secara personal tidak. Tapi beliau sangat ramah, berwibawa dan bijaksana. Tidak pernah sekalipun beliau memandang kami sebagai ajudan atau bawahannya. Perlakuan beliau sangat merakyat dan menganggap para pekerja istana sebagai keluarga, walau posisinya saat itu beliau adalah seorang pemimpin di negara." Sersan Aya kembali mengenang ketika dulu ia bertugas di istana sewaktu masih perwira muda.
"Sersan Aya adalah sedikit yang beruntung bisa bekerja di sekitaran Presiden Nurun." Ucap Kapten Irdan, "aku sendiri saja sangat menginginkan kehormatan seperti itu tapi tak pernah punya kesempatan."
"Sangat pantas beliau dijuluki sebagai cahaya negeri. Seorang pemimpin yang mungkin takkan pernah ada lagi." Sahut Sersan Aya seraya menatap tajam ke arah Nurin.
"Tentu saja. Tidak ada yang bisa menyamai Presiden Nurun Maulidan." Sahut Kapten Irdan, "bahkan menurut pengamat politik dan tata negara, hingga dua puluh tahun mendatang pun, rasanya belum akan ada yang bisa menyamainya. Indeks JST Presiden yang sekarang saja, Presiden Arkan—ketika terpilih empat tahun lalu, bahkan tidak menyamai indeks Presiden Nurun selama empat kali mengikuti pemilu berbasis JST."
"Tapi elektabilitas Presiden Arkan di mata rakyat cukup bagus dan memuaskan," sela Nurin.
"Ya itu benar. Tapi sebagai pengganti, rasa-rasanya masih jauh. Presiden besar kita tak tergantikan." Jawab Kapten Irdan. "Lihatlah wajah-wajah disini," Kapten Irdan berbalik, menatap para peserta yang telah banyak berkumpul dalam ruangan ujian. "Mereka adalah harapan negeri ini. Termasuk kau juga Prof. Negeri ini mengharapkan kemampuan yang layak. Biarpun tidak ada yang bisa menyamai kekuatan Presiden Nurun Maulidan, tetapi kekuatan itu yang menjadi motivasi kita untuk dapat berkembang dan terbang lebih jauh lagi. Melampaui visi dan harapan beliau yang memperkuat fondasi negeri ini. Setidaknya warisan beliau harus tetap dipertahankan."
Tidak ada yang Nurin bisa katakan. Ia hanya mengangguk mengiyakan perkataan Kapten Irdan Angkasa yang sepenuhnya benar.
"Apa ini lantai teratas dari Nusantara Union?" tanya Nurin sembari sesekali menengok kebawah, sebelah tangannya masih bersandar di jendela kaca besar. Jantungnya sedikit berdegup, adrenalinnya agak naik. Ketinggian adalah kelemahan Nurin.
"Benar Profesor. Ini lantai 26, lantai teratas." Sahut Aya.
"Kita sedang berada di kepala dari Nusantara Union. Jendela kaca bundar dan besar ini adalah mata kanannya." Timpal Kapten Irdan. "Ruangan ini memang dikhususkan untuk seleksi berbasis JST tiap tahunnya, tidak hanya untuk seleksi pemilu saja. Sedangkan untuk para turis dan wisatawan di hari biasa, ruangan di sebelah sana yang diperuntukkan bagi pengunjung Nusantara Union, yakni mata kirinya."
"Apa dinding kaca ini kuat Kapten?" tanya Nurin seraya menekan-nekan jendela kaca tersebut dengan perasaan ngeri bergidik.
"Apa anda phobia ketinggian Profesor?" tanya Sersan Aya. "Anda nampak gelisah ketika memandang ke luar jendela."
"Benar itu Prof?" timpal Kapten Irdan.
Nurin mengangguk, "sudah dari kecil."
"Jendela kaca ini kuat kok Profesor. Tenang saja!" ucap Kapten Irdan. "Kedua mata dari Nusantara Union adalah jendela kaca selebar 6 meter dan tinggi 3 meter dengan tebal 4 sentimeter. Disusun dari 1200 lapis panel kaca berbahan Onix langka. Jendela kaca besar ini bahkan anti-peluru atau proyektil balistik."
Mendengar itu, Nurin tampak terkesan, walau sedikit pun tidak memudarkan kegetirannya akan ketinggian ketika berada tepat di tepi dari jendela kaca besar itu.