Nurin kembali menulis dan lagi-lagi sejenak ia hentikan jari jemarinya yang sedari tadi asyik mengetik. Dengan tatapan nanar penuh perenungan Nurin menatap fokus pada kedua tangannya yang dalam posisi mencengkram keyboard virtual di atas meja kerja. Pikiran itu kembali menggerayangi fokusnya. Esok hari adalah kesempatan besar bagi siapapun bahkan bagi Nurin. Kesempatan yang hanya datang lima tahun sekali. Sebuah kesempatan untuk dapat bersumbangsih lebih bagi negeri tercinta. Kesempatan mengabdikan akal pikiran, gagasan dan ikhtiar berupa tindakan demi perubahan baik bagi masyarakat. Tidak ada yang sebaik jika kita memiliki jabatan ketika hendak berbuat lebih banyak.
Nurin pun penasaran, jika akhirnya nanti dia memutuskan untuk ikut dalam seleksi pemilu berbasis JST esok hari, bagaimana hasilnya nanti? Apakah benar dia berpotensi untuk menduduki jabatan menteri? Atau dewan perwakilan rakyat di daerah? Nurin bertanya-tanya dalam pikirannya.
Ayah, apa yang harus kulakukan? Apakah aku harus menapaki jalan yang kau tunjukan untukku? Esok adalah kesempatannya ayah. Jalani atau tidak sama sekali dan kemudian harus mulai fokus pada karier yang ingin kujalani.
Nurin merasakan kebimbangan yang besar. Siklus dan gaya hidupnya pun pasti akan berubah drastis jika nanti ia terpilih dalam seleksi itu dan menduduki suatu jabatan di pemerintahan.
Sebenarnya tidak masalah bagi Nurin dengan ritme kerja sebagai abdi negara yang nantinya akan ia jalani kalau-kalau terpilih, asalkan dapat membantu dan mendedikasikan diri sepenuhnya pada masyarakat banyak sebagaimana yang dilakukan oleh ayahnya dahulu. Nurin lalu sepenuhnya menghentikan aktivitas menulisnya. Membuka tirai jendela tepat di depannya yang menghamparkan pemandangan belantara gedung-gedung kota di pulau utama nan jauh di sana. Kemajuan, kemakmuran dan kesetaraan warga negara memang telah diaplikasi oleh negeri ini jauh-jauh hari dan terbukti berhasil. Tetapi dunia tetaplah bergerak dengan tabiatnya semula. Biarpun negeri ini telah dikontrol, dipimpin dan diduduki oleh orang-orang yang katanya pilihan, kredibel dan terbaik secara matematis ... tetapi tetap tidak bisa menghilangkan efek buruk dari politik dan birokrasi.
Di zaman sekarang, yang kaya akan menjadi semakin kaya, yang miskin akan semakin miskin dan tertinggal. Mereka-mereka—kaum proletariat— yang tidak kompetitif, tidak bisa cepat beradaptasi dan ikut berakselerasi dengan lajunya arus perkembangan zaman—akan tergilas dan semakin jauh tertinggal dibelakang. Inilah yang ingin Ahmad Nurin ubah. Sebuah estafet impian yang ditinggalkan oleh sang ayah untuknya. Keinginan untuk membawa arti baru dalam hakikat perubahan yang sesungguhnya. Sebuah kesetaraan sosial yang tidak hanya berorientasi pada kapasitas, kapabilitas dan akuntabilitas, tetapi pada prioritas. Mengutamakan kebaikan diatas semua tatanan dan hukum yang ada. Sesempurna apapun tatanan yang dirancang negara lewat JST-nya saat ini, Nurin berpikir akan selalu ada korban yang terpinggirkan. Ini karena kerasnya zaman juga menuntut kualitas dari para penantangnya. Masyarakat cepat atau lambat akan merasakan dampaknya.
Nurin memilah-milah dan mengingat kembali semua ajaran dan pesan-pesan bijak dari almarhum sang ayah. Syeikh Muammar Alisyah pernah mengatakan bahwa dorongan untuk berbuat baik, akhlak, dharma atau apapun sebutannya dengan segala macam cabangnya—adalah merupakan pengilhaman ilahi kepada manusia yang secara parsial juga merupakan bagian dari pewahyuan personal untuk mengubah dan membawa dampak perubahan bagi kaum komunal.
"Bergerak atas dasar hati nurani dan bukan demi sebuah kepentingan, adalah ciri manusia yang mempergunakan akal sehat dan akhlaknya. Manusia yang telah diilhamkan oleh Allah Swt kebaikan, mampu mengenali dan menapaki jalan kebenaran atau bisa melihat keputusan yang tepat. Sekarang kita diajarkan dan di brainswash oleh kesempurnaan zaman bahwa manusia itu adalah ketidakstabilan yang mau tidak mau harus bergantung dengan teknologi, komputer dan algoritma. Demi untuk bisa berjalan kita dipaksa memakai sebuah tongkat—yang sebenarnya adalah buatan tangan kita sendiri. Tidakkah dunia sudah begitu aneh? Ingatlah Nurin! Manusia tetap jauh lebih baik dari mesin algoritma ataupun komputer, secanggih apapun teknologi saat ini. Kau harus pahami ini." Pesan Syeikh Alisyah yang masih Nurin ingat ketika ia duduk dibangku SMP.
Kerinduan yang besar Ahmad Nurin pada Syeikh Alisyah membawanya pada arus kenangan berharga ketika ia masih ditempa oleh ajaran-ajaran baik dan prinsip yang dipegang teguh oleh ayahnya. Sesuatu yang Nurin resapi dengan sepenuh hati.
"Mereka yang Allah berikan dan ilhamkan kebaikan—tidak hanya bakat dan potensi—akan mampu melihat pola, pergerakan zaman dan dampak yang ditimbulkannya. Penilaian yang bisa dikatakan sebagai visi dari Tuhan, sebuah penglihatan." Ucap Syeikh Muammar Alisyah kepada Nurin muda. "Itulah yang akan menentukan siapa diri kita dan akan menjadi apa kita."
Ketika Nurin kecil menatap layar televisi, kala itu sebuah tayangan berita tentang Presiden Nurun Maulidan ditayangkan. Nurin yang masih berusia sekitar 10 tahun namun telah tampil menjadi pribadi anak kecil yang cerdas, sedang menghabiskan waktu bersama ayah tercintanya—Syeikh Muammar Alisyah.
"Pemimpin ... aku tahu apa itu pemimpin ayah. Tapi apa kesejatian dari kedudukan itu?" tanyanya melontarkan pertanyaan berat yang tidak sesuai dengan usianya saat itu.
"Kenapa nak? Apa kau tertarik ingin menjadi pemimpin seperti Nurun Maulidan?"
"Tidak ayah. Aku sudah sangat mengetahui apa-apa saja tugas seorang presiden atau kepala negara. Aku telah banyak membaca tentang itu. Aku hanya merasa bahwa pemimpin itu memikul tanggung jawab yang sangat besar. Hidup orang banyak bergantung pada pundaknya bukan? Tidakkah itu dirasa berat?"
"Kau benar anakku," ucap Syeikh Ali sembari mengusap kepala putra kesayangannya. "Kau ... sebenarnya terhubung dengannya. Dengan Maulidan,"
"Terhubung...? Terhubung apa ayah?"
Syeikh Ali seketika mengalihkan pembicaraan. "Ah, tidak nak. Begini ... pemimpin sejati adalah bagi rakyat bukan sebaliknya, rakyat bagi pemimpin. Tugas seorang presiden suatu negara adalah mengayomi dan melindungi rakyatnya. Hak terbesar yang telah ditetapkan Tuhan ialah hak penguasa atas rakyat yang dipimpinnya dan hak rakyat yang dipimpin atas pemimpin mereka. Keduanya bak dua kutub yang saling terkait satu sama lain dan tak terpisahkan. Ruh kepemimpinan harus berdiri diatas Mubaya'ah, yakni ikrar kesetiaan dan loyalitas yang mengikat kuat. Hubungan antara para penguasa dan rakyat yang dipimpin. Diusia mu saat ini kau telah banyak membaca dan ayah yakin kau memahami gambaran umumnya. Tapi nak, suatu saat kau akan memahami lebih jauh lagi. Bahwa menjadi pemimpin negeri tidak hanya menyangkut kontrak politik semata, melainkan wajib dijalankan berasaskan nilai-nilai Allah dan Rasul-Nya sebagai Maqashid, yaitu tujuan utama dalam kepemimpinan yang ideal. Hal itu perlu diterapkan bahkan di negara yang sekuler sekalipun. Negara ini bukan milik satu agama saja. Tapi negara apapun di belahan bumi ini, wajib berjalan diatas asas Tuhan. Asas berketuhanan yang berkorelasi dengan kemanusiaan."
Nampak sekali bahwa pemikiran Syeikh Muammar Alisyah banyak dipengaruhi oleh pandangan dari seorang sosiolog dan teolog revolusioner asal Iran, Ali Syariati—yang hidup di negara teokrasi. Suatu pandangan yang menyatakan bahwa sosiologis kehidupan bermasyarakat dan bernegara dengan yang namanya kepemimpinan adalah dua hal yang tak terpisahkan. Sosok pemimpin ada dan eksis untuk menekan munculnya problem-problem di semua lapisan masyarakat. Sosok pembela, pahlawan dan pujaan yang haruslah membawa jiwa semangat insan yang Kamil. Inilah yang juga dipahami dan dianut oleh Syeikh Alisyah.
"In God We Trust! Negara Amerika Serikat juga dibentuk oleh para pendiri awal mereka dengan asas ketuhanan. Konstitusi mereka dibangun diatas keimanan kepada Tuhan. Benar kan, ayah?"
"Kau putra yang cerdas nak. Di alam demokrasi serba bebas dan tanpa batas ini, Raiyyah atau warga negara semestinya dijalin melalui tautan keimanan dan ketaqwaan. Seorang Ulil Amri yang memikul tanggung jawab, memiliki kewajiban sebagai penghubung tautan tersebut. Ayah sebagai orang kepercayaan sekaligus penasehat dari Presiden Nurun, selalu menekankan hal itu. Negara tidak hanya cukup dengan ketahanan dan kemapanan materi yang berkelanjutan saja sebagai ukuran kemakmuran atau kemajuan. Itu namanya kemakmuran semu jika hanya menyajikan sesuatu yang materil. Negara juga butuh bimbingan moril dan spritualitas yang senantiasa menjaga fondasi bernegaranya. Oleh karena prinsip tersebut terlahir lah sistem Mufti—yang diisi oleh para Fuqaha, pandai agama dan Ulama. Mereka yang selalu menadahkan tangan mereka untuk kemaslahatan negara dan menyumbangkan pikiran mereka. Barisan alim ulama yang menjadi filter dan selalu membisikkan amar makruf nahi munkar pada para pemimpin di dekat telinga mereka."
"Pemimpin hanya pandai memutar kata dalam lidah mereka dan beretorika."
"Jangan kau remehkan kata-kata Nurin. Bagi pemimpin, kata-kata dan ucapannya mampu merubah segala struktur dan tatanan yang ada. Mikhail Bachtin, seorang filsuf kebahasaan dan kritikus sastra Rusia mengatakan bahwa kata-kata tidak memiliki tuan. Perkataan bukanlah milik siapapun, dan tidak pada dirinya sendiri, tidak menilai apa-apa. Akan tetapi sebuah ucapan dan rangkaian kata dapat digunakan untuk melayani siapapun yang mengucapkannya. Itulah kekuatan berbahaya dari kata-kata dimulut penguasa. Perkataan bisa dipergunakan oleh empunya kata untuk berbagai kepentingan penilaian yang paling variatif bahkan kontradiktif. Pemimpin ideal akan berkata-kata berdasarkan visi ketuhanan yang diterimanya."
"Visi ketuhanan?"
"Benar, kemampuan menilai mana yang baik dan benar Nurin."
"Itu bagus ayah. Tapi aku tidak tertarik untuk menjadi pemimpin. Aku akan melakukan apa yang ingin kulakukan ketika dewasa."
"Tidakkah kau ingin membantu banyak orang anakku? Seorang pemimpin bisa melakukan itu," ucap Syeikh Alisyah tersenyum.
Sejenak Nurin kecil tertunduk dan menggelengkan kepalanya. "Kalau pun harus, aku akan menjadi seperti ayah saja. Menjadi seorang Syeikh besar yang menyumbangkan ilmunya untuk negara dan orang banyak. Itu sama saja kan?"
"Itu bagus Nurin. Tapi ... ada beberapa kesalahan masa lalu yang tidak bisa dihapus. Menyesal pun tidak ada gunanya. Kami telah melakukan sebuah dosa besar." Syeikh Muammar Alisyah terlihat termenung begitu dalam ketika mengatakan itu. "Kami berdua hanya ingin mencoba memperbaiki semuanya. Melalui dirimu!"
Dengan kebingungan yang sangat, Nurin tidak memahami sama sekali apa yang sedang ayahnya itu bicarakan. "Apa maksudmu ayah...? Aku tidak mengerti,"
"Suatu hari kau pasti akan mengerti tanggung jawab ini. Demi menghapus kesalahan fatal negeri ini, kau harus tampil. Kelak kau harus bertindak. Kami terpaksa harus membentuk satu kesalahan baru demi menghancurkan kesalahan besar di masa lalu. Dirimu...!"
Nurin seketika terperanjat dengan kenangan itu. Nurin membuka perlahan kedua matanya, membuyarkan segala kenangan manis itu dan kembali memutar kursi duduknya.
Apa yang sebenarnya ingin ayah katakan pada hari itu? Pikir Nurin. Dia merasa bahwa ada yang disembunyikan oleh ayahnya selama ini. Kenangan itu benar-benar berbekas dan ia dapat merasakan bahwa ucapan ayahnya di hari itu memiliki tendensi yang kuat dengan mimpi dan ambisi sang ayah selama ini. Semenjak hari itu, Nurin merasa ayahnya selalu mendorongnya untuk ikut seleksi pemilu. Tahun demi tahun, jenjang demi jenjang. Disetiap kesempatan, diskusi dan sesi pembelajaran yang dilakukan Nurin dengan Syeikh Muammar Alisyah, sang ayah selalu menekankan pentingnya Nurin untuk mengikuti seleksi pemilu, menjadi abdi negara yang melayani masyarakat. Nurin merasakan itu bukan sekedar kehendak sang ayah yang dipaksakan. Lebih dari itu, ada sesuatu yang sulit Nurin pahami terkait kehendak besar mendiang sang ayah.
Ada sebuah kenangan kecil lagi yang juga diingat jelas oleh Nurin. Ketika ayahnya memperlihatkan sebuah buku digital yang terkunci pada Nurin di kamarnya.
“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil." Ucap Syeikh Alisyah pada Nurin yang berusia 6 tahun seraya mengutip surah An Nisa ayat 58. "Buku ini untukmu. Suatu saat kau akan mengerti apa yang ada didalamnya. Semua rahasia negara ini akan terkuak. Kau harus memenuhi tugasmu anakku."
"Benar ... buku digital itu. Aku mengingatnya. Dimana itu sekarang? Oh ya, di kamar ayah." Nurin mengingat tentang sebuah buku digital yang pernah diperlihatkan oleh ayahnya sewaktu ia kecil.
Nurin juga mengingat kembali ucapan sang ayah dalam beberapa tahun terakhir. Ketika kelak seandainya Nurin telah mantap untuk mengikuti seleksi, Syeikh Ali meminta Nurin untuk membuka buku digital itu. Hampir saja Nurin melupakannya. Itu karena Nurin tidak begitu menaruh perhatian pada buku digital tersebut dan selalu mengabaikan keinginan sang ayah.
Nurin memicingkan kedua mata, mengerutkan dahi dan bola matanya kesana kemari mencari jawab atas segala tanya. Semua kenangan itu memiliki pesan penting yang tak bisa Nurin baca. Dia tahu dia harus mencari benang merah atas semua kenangan tersebut.
Nurin beranjak keluar dari kamarnya menuju kamar terkunci yang telah sangat lama tak ia kunjungi. Bekas kamar dari Syeikh Muammar Alisyah!
Perlahan ia membuka pintu yang terkunci itu. Sudah sejak kematian Syeikh Ali, Nurin tidak pernah memasukinya lagi. Kedua tangannya menepuk untuk menyalakan otomatis lampu di dalam kamar yang gelap tersebut. Terang lampu lalu menyinari seisi kamar berwarna putih cream dengan suasana teduh itu. Kamar yang memiliki aroma kuat yang dapat membuat pedih mata Nurin. Bukan karena debunya, tapi kenangan yang termanifest di dalamnya.
Kamar tersebut memang jarang sekali ditempati oleh Syeikh Ali semasa hidup karena ia selalu sibuk mengurusi tugasnya sebagai seorang Mufti besar negara. Namun di kamar itu banyak tersimpan barang-barang milik Syeikh Ali. Dengan kepala yang memutar kesana kemari, memindai sudut-sudut ruangannya, mata Nurin coba mencari buku digital milik ayahnya itu. Buku digital yang berupa kepingan tablet plasma transparan tipis tersebut dilihat Nurin tergeletak rapi diatas meja kerja sang ayah, berada persis di samping susunan buku konvensional diatas meja.
Tangan Nurin menjamah buku digital tersebut. Setelah diaktifkan, buku digital tersebut nampak terkunci dengan 4 buah kotak sandi. Nurin tidak bisa membukanya karena ia tidak tahu sandinya. Namun diatasnya tertulis sebuah frasa singkat.
NURUN ALA NURIN
Nurin tahu persis bahwa itu adalah potongan bunyi ayat Al-Qur'an. "Cahaya diatas cahaya," gumamnya. Apa maksudnya...?
Kenangan sang ayah kembali menghinggapi Nurin. Nampak Nurin yang berusia 19 tahun memakai jas hitam rapi dengan dasi dipeluk oleh Syeikh Alisyah. "Kau nampak hebat. Ayah yakin kau akan segera meraih gelar doktormu di usia muda. Isi kepalamu memang luar biasa,"
"Terima kasih ayah,"
"Ayah sangat bangga padamu. Apa kau yakin ingin mengabdikan diri menjadi seorang pengajar saja? Ayah tahu dosen profesi mulia, terlebih ... ketika komputer sudah mulai menggeser profesi itu. Tapi apa kau tidak berniat untuk mencoba politik? Ayah berharap kau akan benar-benar menyanggupi keinginan ayah ini nak."
"Ayah...! Sudah berapa kali kau mengatakan itu. Sejak kecil kau selalu mendorongku untuk hal yang tidak begitu kupikirkan sebagai jenjang karir, apa tidak bosan ayah?"
"Kelak ayah pasti tiada, dan ayah ingin kau mengemban kehendak ayah ini."
"Jangan bicara seperti itu," Nurin nampak sedikit kesal dan sedih.
"Kelak kau akan mengenali tugasmu nak. Dengan menduduki sebuah kursi tertinggi, kau akan bisa menyelamatkan kita semua. Panggilanmu,"
Nurin yang saat itu tampak bingung hanya menatap nanar ke arah Syeikh Ali yang berpakaian rapi dengan sorban dan gamis putih resmi kenegaraan. Pakaian formal Mufti negara. Ahmad Nurin dan Syeikh Ali bersiap untuk kesibukan mereka masing-masing pada pagi itu.
"Apa hari ini ayah akan pulang?"
"Hari ini ayah bersama jajaran Mufti nasional akan melakukan meeting virtual untuk laporan ke istana di ibukota. Ayah akan sibuk selama beberapa hari ke depan nak."
Nurin hanya tersenyum dan mengangguk. Tanpa tahu bahwa itu adalah hari-hari terakhir ia bisa melihat dan bersama ayah tercintanya.
Kenangan buyar. Kembali Nurin meletakan buku digital tersebut dan beranjak keluar dari kamar sang ayah dan menguncinya lalu langsung kembali menuju kamarnya.
Tekad Nurin kini telah bulat. Tidak ada salahnya mengikuti seleksi untuk pemilu itu. Lagipula ... Nurin juga memiliki hasrat dan dorongan yang sama dengan ayahnya. Bagi Nurin, para pemimpin ideal dibutuhkan demi menghindarkan masyarakat dari pengaruh kemajuan zaman yang liar, tak terkendali, dan berbuah disorientasi, alienasi ataupun degradasi. Setali tiga uang, dia pun berpikir bahwa dengan menuruti kehendak ayahnya kali ini, ia mungkin akan menemukan sebuah jawaban.
Nurin memerintahkan Loget untuk membuka website pemerintah. Kembali Nurin menghela nafas panjang dan mulai mengetik secara manual sesuatu pada keyboard virtual diatas meja kerjanya. Sebuah situs resmi pemerintah yang membuka submisi pendaftaran calon peserta seleksi terakurasi berbasis JST Indonesia Tahun 2055 terpampang di proyeksi layar virtual komputer di depan Nurin.
Tidak ada salahnya mencoba! Gumam Nurin sembari mengisi formulir dan pra-syarat untuk menjadi peserta pilih pemilu tahun ini. Nurin hanya perlu menunggu email konfirmasi yang akan meng-ACC submisinya. Ia telah memasukan resume dan profil pribadi yang memang telah tercatat dalam database kependudukan. Sekarang tinggal menunggu hasilnya.
Sembari menunggu pemberitahuan selanjutnya Nurin menghubungi sahabatnya, Salim Noor.
Ia mengambil ponsel Plasma FLED-nya. Telepon berdering dan langsung diangkat. "Apa kau begitu bosan di hari libur sehingga menelponku?" tanya Salim Noor cekikikan. "Aku pasti akan bertandang ke rumahmu sesuai janjiku tapi untuk hari ini sepertinya belum bisa Profesor ...."
"Aku hanya ingin memberitahumu ... selamat! Kau berhasil mempengaruhiku. Aku akan ikut seleksi pemilu tahun ini."
"Hah, yang benar? Kau bercanda atau apa?" Salim seakan tak percaya.
"Kalian yang memaksaku dan mendorongku selama ini, sekarang setelah aku setuju, kau malah tidak percaya? Teman yang bertanggung jawab sekali." Ejek Nurin tersenyum.
"Maaf, maaf, hanya saja ... mendadak sekali." Kata Salim tertawa pelan, "wooow ... Nurin! Ini sebuah langkah besar bagimu. Kau akhirnya sadar potensi yang kau miliki dan berani mengambil sebuah langkah penting dalam hidupmu. Aku bangga dan aku pasti akan selalu mendukung apapun pilihanmu."
"Terima kasih. Pada akhirnya ... aku juga memilih jalan yang diharapkan oleh almarhum ayahku dahulu."
"Beliau pasti bangga Profesor, kau akhirnya memenuhi keinginannya. Sama seperti kami semua yang mempercayaimu. Bahwa kau akan mampu berbicara banyak jika terjun ke kancah politik. Ini sebuah kejutan besar ... patut dirayakan."
"Hey, hey, aku lolos seleksi saja belum masa sudah mau dirayakan."
"Ya ngga apa-apa, kan?" kata Salim, "kawan-kawan yang lain pasti akan terkejut ketika mendengar kau akan ikut pemilu."
"Kurasa keputusanku ini masih terlalu dini. Sepatutnya aku mengikuti pemilu ketika sudah berusia 35 atau 40 tahunan ke atas. Aku masih mau mengajar dan mengeksplorasi diri sebagai seorang akademisi, tetapi Prof. Dr. Gilan Komarudin saja lima tahun yang lalu terpilih menjadi legislatif dewan perwakilan rakyat daerah dan masih bisa tetap mengajar serta menjadi rektor di Universitas Hang Tuah, iya kan?"
"Ya itu kalau kau terpilih sebagai legislatif. Tapi bagaimana jika seandainya kau lolos seleksi menjadi menteri kabinet? Atau bagaimana kalau ... presiden?"
"Itu tidak mungkin! Jangan menilaiku terlalu tinggi. Kalian terlalu berekspektasi terhadapku. Kalau pun lolos, paling mentok legislatif di dewan kota New Malaka."
"Ahmad Nurin bin Muammar Alisyah ... itu bisa saja. Kau harus siap jika seandainya indeks JST-mu menempatkanmu pada posisi yang lebih tinggi."
"Tenang saja ... apapun hasilnya, kita akan mengetahuinya besok. Doakan saja ya, semua berjalan dengan lancar. Terima kasih telah mendukungku selama ini. Kau sahabat terbaik yang mampu mendorong dan memompa semangat untuk berani melangkah lebih jauh lagi."
"Tidak masalah Profesor ... itu merupakan keputusanmu sendiri, kan. Kamu lah yang berniat untuk menjajaki tahapan yang lebih besar. Kami semua mendukungmu, Profesor Nurin."
"Baiklah ... kututup dulu teleponnya."
"Oke, good luck Profesor."
Nurin menutup teleponnya dan kedua matanya menerawang pada email yang baru saja masuk. Sebuah pesan konfirmasi yang menyatakan bahwa profil Nurin telah di evaluasi dan telah resmi menjadi kandidat peserta pilih tahapan 1 daerah distrik Batam Island dengan nomor ID 2231.
PESERTA SELEKSI 2055
NAMA : AHMAD NURIN
PROFESI : DOSEN UIN SYEIKH MUAMMAR ALISYAH
NILAI INDEKS PROFESI JST : NONE (BELUM TERDAFTAR)
KOMISI PENGAWAS SELEKSI (KPS) DAERAH BATAM ISLAND DENGAN INI TELAH MENGEVALUASI KESELURUHAN PROFIL ANDA DAN MEMUTUSKAN MEMBERIKAN SURAT KELAYAKAN MENGIKUTI SELEKSI TERAKURASI BERBASIS JST TAHAPAN 1
ID : 2231(TEREGISTRASI)
LOKASI : NUSANTARA UNION, BATAM CENTRE.
__________
Sebuah keputusan besar telah diambil oleh Nurin.
Dia telah bertekad mencoba mengikuti seleksi untuk pemilu tahun ini. Sesuai harapan mendiang sang ayah. Langkah baru, takdir baru.