Kilas Kuantum 14 : Nurun Ala Nurin

2602 Kata
Di tempat lain, Sersan Aya dan Nurin meninggalkan taksi otonom mereka. Aya meminta Nurin untuk segera keluar dari mobil yang mereka tumpangi untuk berpindah ke mobil yang lain. Dari tampilan panel di dalam taksi otonom tersebut Sersan Aya melihat tiba-tiba muncul tulisan "Operasi telah dimatikan". "Huh, kalian terlambat!" ledek Sersan Aya menyeringai. "Kenapa kita turun? Apa kita mau jalan kaki?" tanya Nurin. "Kebetulan rumahku masih jauh dari sini, distrik pulau Rempang masih puluhan kilometer lagi." "Tidak, kita cari mobil lain Profesor." Jawab Aya. "Kita harus berpindah tumpangan karena mobil otonom yang ini sistem jaringan operasionalnya telah dinonaktifkan secara otomatis, tidak bisa lagi digunakan. Semoga saja mereka juga belum mendatangi rumahmu Prof," Sersan Aya kemudian memesan sebuah taksi otonom lagi akan tetapi kali ini ia tidak memakai model p********n resmi E-Pay agar tidak terlacak tetapi lewat jalur retasan. Aya sengaja membobol system operasi taksi otonom yang saat ini akan mereka tumpangi agar proses penon-aktifan taksi otonom tersebut berjalan lamban sampai mereka bisa tiba di kediaman Nurin. "Masuklah Profesor, kita akan ke rumahmu." Ajak Sersan Aya. "Apa kau meretasnya...?" "Ya, jika kita memesan taksi ini secara resmi, maka nomor flatnya akan terlacak dari transaksi rekening E-Pay milikku atau milikmu, kita akan mudah terlacak." "Tapi kita harus tetap membayarnya," Ketus Nurin seraya menyelipkan beberapa lembar uang di box manual dari taksinya. "Walau taksi otonom sudah tidak memakai jasa supir manual lagi tetapi taksi ini tetap dijalankan oleh sebuah perusahaan yang didalamnya banyak terdapat karyawan yang bekerja demi menafkahi keluarga atau demi menyambung hidup mereka." "Kau terlalu baik, polos atau naif Profesor? Bahkan dalam situasi dimana seluruh negeri ini mengincarmu, kau masih sempat-sempatnya memikirkan nilai moral seperti ini." Ucap Sersan Aya tersenyum ditambah kagum. "Aku senang masih ada orang sebaik dirimu Prof, di tengah arus kemajuan dan kemajemukan yang menggerus nalar dan kepekaan," "Ayo kita berangkat saja." Seru Nurin. Mereka berdua lalu bergegas menuju ke distrik pulau Rempang, langsung menuju rumah kediaman Nurin. Kali ini taksi otonom kembali dikendarai manual oleh Sersan Aya. Semua jalan besar sepertinya telah diblokir sebagian dan Sersan Aya harus memutar otak untuk mencari jalan alternatif menuju kesana. Dia juga memperhatikan ke atas kaca depan mobil, melihat-lihat jikalau ada heli nirawak pengawas kepolisian yang melintas memantau lalu lintas mencari mereka. Kali ini masih Sersan Aya dan bukannya Nurin yang duduk dibalik kursi pengemudi—biarpun Nurin telah menawarkan diri sebelumnya untuk membawa mobilnya. Wanita itu membawa mobilnya dengan kecepatan yang lumayan cepat. Hampir-hampir jantung Nurin terasa lepas karena sensasi adrenalin atas tindakan Aya. Sersan Aya membawanya melewati jalur terluar kota di daerah khusus irigasi dan waduk kota sebelum berbelok ke jalan protokol terakhir menuju jembatan Sarilah. Mobil mereka tampak melewati jembatan besar Sarilah yang memanjang membelah sungai Kating di teluk Kapalayu. Sebuah jembatan biru tua yang ramai dilalui ratusan mobil-mobil. Diatas jembatan tersebut terlihat sebuah kereta kapsul super cepat sedang melintas. Jembatan ketiga terbesar di distrik ini yang memang bagian teratasnya khusus menjadi lajur dari kereta kapsul dari dan menuju pusat kota New Malaka. "Sudah berapa lama kau tinggal disana Profesor?" tanya Aya. "Dari kecil, ayahku yang membeli apartemen itu. Sebenarnya dulu sewaktu kecil aku dan almarhum ayah tinggal disana. Itu merupakan tempat kenangan kami berdua dimana aku tumbuh. Setelah lulus sekolah menengah atas, aku kuliah dan memutuskan tinggal di pulau utama yakni di pusat kota. Baru beberapa tahun terakhir setelah aku lulus dan mendapatkan pekerjaan mengajar sebagai seorang dosen—aku pindah ke rumah itu lagi." "Jadi kau dan Almarhum Syeikh Ali tinggal disana ya," "Ya ... Ayahku jarang sekali berada disana semenjak ia menjabat sebagai Mufti kota ini dan diangkat menjadi ketua dewan Mufti Nasional. Kami berdua menjadi sama-sama sibuk dan jarang pulang ke rumah tersebut. Ayah sering menghabiskan waktu di kantornya dan aku selalu sibuk di kampus. Seperti itulah," "Jadi ... kau memang asli kota ini," "Tidak, ayahku berasal dari Aceh. Kedua orangtua beliau berasal dari sana dan beliau pun lahir disana tapi setahuku sejak kecil ayahku tinggal di Kalimantan. Baru setelah ayahku pulang dari studinya di beberapa negara beliau pindah ke kota ini. Ayah pindah kesini di awal-awal masa pengembangan kota New Malaka. Bahkan dari yang kudengar ayah cukup terlibat dalam pemetaan tata ruang kota New Malaka ini. Ayahku merancang dan menyusun parameter jarak dan letak semua mesjid di kawasan ini. Sebagai upaya meminimalisir ketidak-seimbangan antara jumlah mesjid dan rasio penduduk yang ada, sehingga tidak terjadi sebuah mesjid dirasa mubazir karena jemaahnya sedikit. Mesjid-mesjid di kota ini berjarak secara matematis menurut ukuran rasio jumlah kependudukan perdaerah. Konsep ini lalu mulai diterapkan di semua daerah provinsi di seluruh negeri." "Begitu ya," gumam Aya. "Jadi ayahmu menjadi saksi bagaimana kota ini dibangun dan berkembang bahkan juga ikut terlibat dalam rancangan pembangunannya. Syeikh Ali memang hebat, beliau begitu visioner. Tokoh publik yang patut dijadikan role model karena kesalehan dan kecerdasan beliau. Kau sepertinya juga sama Profesor, semua sifatnya menurun padamu." "Tidak juga ... kau salah, aku tidak seperti ayahku." "Syeikh Ali itu ... sangat dikagumi oleh mendiang Presiden Nurun." Kata Sersan Aya. "Mereka saling respek dan mengagumi. Setahuku ayah juga mengagumi Presiden Nurun Maulidan. Beliau mengenalnya dengan cukup baik." "Sebenarnya seberapa akrab Syeikh Ali dan Tuan Presiden? Publik mengetahui bahwa Presiden Nurun begitu menghormati Syeikh Ali. Dari ceritamu ... Syeikh Ali yang sering bercerita tentang Presiden Nurun itu menyiratkan bahwa mereka sangat dekat. Apa beliau tidak pernah menceritakan kepadamu tentang hubungan ayahmu dengan Presiden Nurun dan masa kecil mereka...? Apa rumor itu benar?" "Rumor apa?" "Rumor yang mengatakan bahwa mereka teman masa kecil dan sama-sama pernah tinggal di panti asuhan yang sama sewaktu kecil, benar seperti itu Profesor? Itulah yang disebutkan di dalam buku otobiografi Presiden Nurun yang ditulis oleh sarjana sejarah Nurcholish Syarif." "Aku juga tidak tahu soal itu. Aku tidak pernah menanyakannya dan ayah pun tidak pernah menceritakan begitu detail tentang masa lalunya. Setahuku ayah cukup lama mengenal mendiang Presiden. Beliau telah menganggap Nurin Maulidan sebagai adiknya sendiri. Tapi ya benar, ayahku pernah mengatakan padaku bahwa beliau memang yatim piatu sejak lahir, tapi aku tidak pernah tahu beliau menghabiskan masa kecil di panti asuhan apalagi itu bersama dengan Presiden Nurun Maulidan." "Ini unik, apa kau tidak menyadarinya Profesor...?" "Apanya yang unik Sersan...?" "Jika dipikir-pikir, namamu dan nama Tuan Presiden bukankah hampir sama dan terkesan mirip? Nurun dan Nurin. Bahkan ayahmu Syeikh Ali, menamaimu seperti nama Presiden Nurun. Itu cukup memberi gambaran seberapa dekat hubungan Syeikh Ali dan Nurun Maulidan." "Ya, kau benar juga." "Apa kau tidak pernah menanyakan sama sekali kepada ayahmu alasan kenapa dia memberimu nama itu? Ahmad Nurin. Pernahkah kau menanyakan itu Profesor?" "Tidak, aku tidak pernah menanyakan tentang itu Sersan. Bagiku ini merupakan nama yang baik dan memiliki makna yang luas. Sebuah doa dan harapan indah pemberian orangtuaku untukku. Aku sudah cukup puas dengan itu tanpa harus mengetahui alasan kenapa diberi nama itu." "Baiklah Profesor, kembali ke masalah kita, apa kau tahu buku digital yang sedang kita cari ini? Apa itu ada di rumahmu? Apakah itu milik Syeikh Muammar Alisyah...?" "Ya, aku tahu dimana buku digital itu. Buku itu memang milik ayahku. Ayah berencana memberikannya padaku. Beliau memintaku membuka buku digital itu andai ketika nanti aku memutuskan mengikuti seleksi pemilu," "Benarkah!? Berarti tidak salah lagi. Semua saling terkait, ayahmu mungkin sudah mengetahui bahwa hal ini akan terjadi ketika kau mengikuti seleksi. Itu artinya semua jawaban kita ada dalam buku digital itu Profesor. Tunggu apa lagi, kita akan segera mengetahuinya setelah menemukan buku itu." Sersan Aya memacu mobilnya semakin kencang. Ada sekitar tiga buah jembatan antar pulau yang harus mereka lalui demi untuk sampai menuju pulau Rempang. Setelah melewati jembatan Tatah Layungan yang ternyata belum ditutup oleh penjagaan, akhirnya mereka berdua sampai di flat tempat tinggal Nurin. Mereka berdua beruntung jalan-jalan di sekitar distrik Rempang belum diblokir atau ditutup. Nurin seketika bergegas masuk ke dalam rumahnya dan hendak langsung menuju kamar dimana buku digital itu tergeletak. Nurin terkejut mendapati bahwa pintunya dibuka dengan begitu mudah. Perasaan tadi sebelum pergi, dia merasa telah mengunci pintunya. Setelah dilihat dengan seksama Nurin melihat beberapa kerusakan kecil pada pintunya, seperti bekas didobrak. "Ini tempat tinggalmu Profesor?" tanya Aya. "Ada yang sudah masuk kesini sebelumnya," ucap Nurin menoleh menatap Aya. "Apa...!?" "Ketika aku pergi aku yakin aku telah mengunci otomatis pintu rumah ini." "Itu pasti satgas pencari yang dikirim Kapten Irdan dan pusat. Mereka telah lebih dulu sampai kemari," Sersan Aya kontan mengeluarkan sebuah pistol dan mendahului Nurin masuk ke dalam rumah secara perlahan. "Tetap di belakangku Profesor." Bisik Sersan Aya. "Kita harus memastikan mereka sudah pergi dan tempat ini tidak sedang diawasi." "Bagaimana keadaannya?" tanya Nurin pada Aya. Sersan Aya memeriksa seluruh sudut ruangan mulai dari dapur, ruang tamu dan tangga menuju lantai dua. "Sepertinya mereka sudah pergi Profesor. Kita sudah aman," Aya menurunkan kewaspadaan dan memasukan kembali pistolnya. "Cepat cari buku digital itu dan kita harus segera pergi dari sini!" Nurin melihat semua kekacauan di dalam rumahnya. Interior ruang tamu nampak sangat berantakan dan terobrak-abrik. Beberapa benda pecah dan berserakan. Pintu-pintu laci semua terbuka disertai hamburan kertas-kertas dan buku milik Nurin. Segera saja Nurin masuk menuju kamar ayahnya. Di sanalah buku digital itu berada. Kamar ayahnya pun pintunya telah terbuka dan semua isi kamar Syeikh Ali ikut berhamburan. Barang-barang milik Syeikh Ali seperti buku, dokumen dan lainnya berserakan di seluruh sudut ruangan. Dan begitu Nurin mendekat ke meja kerja Syeikh Ali untuk mengambil buku digital itu, dia tidak menemukannya di atas sana. "Tidak ada!" Celetuk Nurin terkejut. "Buku itu sudah tidak ada!" "Apa...? Dimana ayahmu menaruhnya...?" "Tadinya aku taruh diatas meja ini tapi sekarang buku digital itu telah hilang entah kemana. Tidak ada disini." "Kau bercanda...!? Cari lagi! Mungkin saja terselip atau kau lupa menaruhnya dimana Profesor." "Tidak! Aku sangat yakin kemarin meletakkannya di atas meja ini." Nurin dan Sersan Aya dengan panik mencari buku digital tersebut. Buku digital itu hilang dari tempatnya. Ini karena seluruh isi kamar Syeikh Muammar Alisyah telah diobrak-abrik oleh petugas yang dikirim Kapten Irdan. "Apa mungkin buku digital itu telah dicuri? Bagaimana jika para aparat petugas yang sebelumnya datang kemari telah membawanya...?" duga Sersan Aya. "Itu tidak mungkin Sersan. Mereka tidak tahu itu merupakan benda yang penting. Lagipula mereka tidak mengetahui kalau kita juga sedang mencari buku digital itu kan, aku rasa benda itu masih berada disini, di kamar ini. Mungkin hanya terserak di sudut kamar dan tertumpuk dengan segala berkas dan buku-buku ini," "Terus cari Profesor." Sahut Sersan Aya yang ikut mencari buku digital tersebut. Akhirnya setelah cukup lama mencari, Nurin menemukannya. "Buku digital itu ada disini, aku menemukannya!" Nurin akhirnya menemukan buku digital itu sedang tertumpuk dengan timbunan buku-buku besar di samping rak besar yang terjatuh. Nurin kemudian mengambil buku digital tersebut yang berbentuk tablet keping persegi transparan berukuran 4,5 inch terbuat dari kaca tipis Ekseloin-Amoled. "Baguslah, buku itu masih ada disini," "Ini dia ... buku digital milik almarhum ayahku." Gumam Nurin. "Apa ini buku digital yang kita maksud itu?" tanya Aya. "Kita akan segera mengetahui apa isinya yang dikunci oleh flashdisk key ini oleh ayahmu. Seperti yang kau ketahui bahwa fungsi flashdisk key ini bukan hanya untuk membuka akses dari buku digital tetapi juga sebagai akses khusus memasuki suatu partisi dari fitur dalam buku digital yang dienkripsi. Buku digital memiliki banyak ruang partisi berbeda yang bisa dibuka dengan flashdisk key yang berbeda pula. Harus flashdisk key yang sama untuk satu partisi yang menyimpan kumpulan informasi tertentu. Itulah alasannya Presiden Nurun memberikan flashdisk key ini untukmu. Hanya flashdisk key ini yang bisa membuka akses ke informasi yang disimpan oleh ayahmu, bukan flashdisk key yang lain." "Ya, aku tidak pernah tahu apa isinya Sersan." Gumam Nurin. "Karena buku digital ini terkunci dengan enskripsi dan aku tidak memiliki flashdisk key yang tepat. Aku juga tidak pernah ingin tahu apa yang tertulis dan tersimpan di dalam buku ini hingga saat ini." "Ayo kita segera pergi dari sini Profesor, Kapten Irdan dan pihak polisi akan segera menemukan kita. Mereka telah lebih dulu mendahului kita kemari, untung saja kita datang agak terlambat." Nurin dan Sersan Aya kemudian bergegas meninggalkan flat kediaman rumah Nurin. Di dalam mobil yang berjalan Nurin menceritakan semuanya pada Sersan Aya, kalau dia mengikuti pemilu untuk memenuhi keinginan ayahnya. Syeikh Muammar Alisyah dulu selalu menekankan bahwa buku digital itu harus Nurin buka ketika nanti dia terpilih menjabat dalam kursi pemerintahan. Satu yang tidak disangka oleh Nurin, bahwa ia akan mendapat kursi tertinggi; yakni kepresidenan. "Apa mungkin ayah sudah bisa memperkirakan bahwa aku akan mendapat kursi Presiden? Dan ketika aku dilantik, maka Presiden Nurun akan memberikan flashdisk key itu padaku?" "Dan ketika ayahmu meninggal, Presiden Nurun akhirnya memberikan flashdisk key ini padaku karena setahun kemudian beliau juga tewas karena insiden penembakan itu. Apa Presiden juga sudah tahu akhir dari nasib hidupnya yang hampir dekat sehingga merasa tidak bisa memberikan flashdisk key ini sendiri padamu dan malah memberikannya padaku untuk diberikan padamu?" "Entahlah Sersan ... begitu banyak misteri dan teka-teki," "Panggil saja aku Aya Profesor. Kita kan juga seumuran." "Flashdisk key ini ada pada Presiden Nurun, sedangkan buku digital ini dimiliki oleh ayahku. Ayah ingin aku membuka buku ini ketika aku mengikuti seleksi pemilu, artinya ayahku mengetahui apa yang akan terjadi." Nurin melamun seraya berpikir keras. "Syeikh Muammar Alisyah dan Presiden Nurun telah merencanakan semuanya, untukmu. Mereka berdua tahu bahwa hari ini akan terjadi." "Selanjutnya kita akan kemana...?" tanya Nurin. "Kita jalan saja dulu sembari membuka apa isi dari buku digital yang disimpan oleh ayahmu itu. Kita akan menemukan rencana yang ditinggalkan oleh ayahmu untukmu. Entah kenapa aku berpikir kalau Presiden Nurun juga sengaja telah melibatkanku dalam rencana mereka ini." "Kenapa kau berpikir seperti itu? Apa karena kau diserahkan tugas untuk memberikan flashdisk key ini padaku oleh beliau?" "Ya, diantara banyaknya Paspamres muda yang bertugas mengawal beliau waktu itu, bukan hanya aku yang wanita dan bukan hanya aku yang berasal dari New Malaka. Saat itu ada sekitar 4 orang yang bertugas berasal dari New Malaka. Dua laki-laki dan dua perempuan termasuk aku. Tapi mendiang Presiden malah memilihku untuk diamanahkan tugas menyerahkan flashdisk key ini padamu. Lalu hari ini ... aku yang ditugaskan di Nusantara Union sehingga bisa bertemu denganmu disana lalu memutuskan membantumu untuk kabur." "Mungkin karena dirimu memang dirasa pantas oleh beliau mendampingiku dalam tugas ini." Nurin tersenyum simpul ke arah Aya. "Hanya kau yang bisa beliau andalkan." "Ya, atau mungkin aku ada dalam visi penglihatan beliau itu," balas Sersan Aya. "Kita akan segera mengetahui tugas macam apa yang tersimpan dalam buku digital ini." Tegas Nurin. Sersan Aya menepikan mobil mereka, dia sengaja mencari tempat yang tidak terlalu ramai, agak sunyi dan jauh dari keramaian distrik kota. Mobil mereka bertengger di samping sungai di dekat bukit Katariang yang menghadap langsung ke arah laut lepas Natuna. "Cepat Profesor, buka buku digital itu." Pinta Aya. Perlahan Nurin mengambil buku digital tersebut sambil memegang flashdisk key di tangan yang satunya. Nurin mulai mencolok flashdisk tersebut ke port buku digital miliknya. Tampilan layar virtual mulai muncul. Sebuah kata sederhana "NURUN ALA NURIN" langsung tertulis disana. "Apa ini?" tanya Aya. "Nama Presiden Nurun dan namamu...?" "Bukan!" tegas Nurin. "Ini adalah bunyi salah satu ayat Al-Qur'an, artinya cahaya di atas cahaya." Sersan Aya terpaku. "Lalu ... selanjutnya apa? Hanya ini? Disini juga tertera pengunci empat digit untuk membuka keseluruhan isi dari buku digitalnya. Kau tahu berapa empat angka itu?" Nurin menggelengkan kepalanya. "Nurun ala Nurin ... mungkin itu adalah petunjuknya." Gumam Nurin. "Sepertinya aku tahu berapa angka digit itu. Ini sangat sederhana," Nurin kemudian menekan empat digit angka pada empat kolom digit di layarnya. 2435 Dan ternyata buku itu pun terbuka seluruh halamannya. "Dugaanku benar!" ucap Nurin. Angka yang dimasukkan Nurin tersebut ternyata adalah urutan surah dan ayat dalam kitab suci Al-Quran dimana frasa Nurun Ala Nurin itu berada. Surah An Nur ayat 35 (QS. 24 : 35)
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN