Kilas Kuantum 15 : Warisan Enigma

2623 Kata
Setelah membuka kunci dengan memasukan 4 digit angka dari buku digital tersebut, Nurin langsung menemukan sebuah paragraf di halaman pertama. Sebuah rangkaian kata-kata yang kemungkinan disusun dan ditulis oleh Syeikh Muammar Alisyah untuknya. Sersan Aya meminta Nurin untuk membacanya karena itu merupakan petunjuk pertama yang mereka dapatkan. Nurin kemudian membaca pesan dalam halaman buku digital tersebut dengan perlahan. CARILAH DIANTARA NAMA SANG CIPTAAN PERTAMA, PADA MUKAWWANAT-NYA. DISANA KAU AKAN MENDAPATKAN SEMUA JAWABAN YANG MENGARAHKAN PADA KEBENARAN SANG ALPHA. DI SEBUAH PERPUSTAKAAN BESAR NEGARA. "Apa yang tertulis disana?" tanya Sersan Aya penasaran. Nurin kemudian memperlihatkan paragraf yang tertulis disana pada Sersan Aya. "Ini sebuah teka teki yang ditujukan untukmu, Prof." Tegas Aya menatap Nurin. "Sebuah warisan dalam bentuk enigma kata, tapi apa maksudnya...? Apa kau mengerti apa yang tertulis disana Profesor? Ciptaan pertama ... Mukawwanatnya, aku sama sekali tidak mengerti." "Aku sungguh tidak tahu bahwa isi buku digital ini adalah teka-teki yang diwariskan almarhum ayah untukku. Aku masih belum mengerti apa yang ayah coba sampaikan disini," Nurin masih bingung seraya mencoba mencerna kata-kata dalam teka-teki yang baru saja ditemukannya dalam buku digital milik sang ayah. Deduksi dan olah pikir Nurin diuji disini. Semua kata-kata itu dipercayakan oleh Syeikh Ali agar dipecahkan oleh Nurin. "Itu pasti pesan yang ditinggalkan mendiang ayahmu untukmu Profesor. Beliau ingin kau membacanya kemudian memecahkannya. Jika itu ditinggalkan untukmu, artinya beliau yakin itu akan mudah dipecahkan olehmu. Syeikh Ali pasti memberikan sesuatu yang bisa kau pecahkan sendiri. Kau hanya harus sedikit berpikir, Profesor." "Jadi ini alasannya, kenapa almarhum ayah berpesan agar aku membuka buku digital ini ketika telah mengikuti seleksi pemilu. Apa jawaban dari semua masalah yang menimpaku saat ini ada dalam kata-kata ini...?" Ayah apa yang hendak kau sampaikan. Nurin mencoba memikirkan dengan serius arti dari untaian kata tersebut. "Yang jelas ini semua pasti saling terkait Profesor. Kemunculan simbol Omega dan peretasan JST, kemudian grafik indeksmu yang sama dengan Presiden Nurun Maulidan. Ada suatu alasan menurutku yang membuat semua ini saling terhubung satu sama lain. Kau memiliki keterkaitan yang tidak kau sadari dengan Presiden Nurun Maulidan Profesor. Aku sedari tadi memikirkan tentang hal ini. Profesor ... kau sadari atau tidak, fakta lainnya adalah bahwa ayahmu menamaimu Nurin, sebagaimana nama Presiden Nurun, nama yang terdengar sama bagiku. Tidakkah kau juga ingin tahu jawaban dibalik semua itu Profesor...?" "Apa menurutmu buku digital ini memuat jawaban dari semua itu?" tanya Nurin. "Disini tertulis sang Alpha, apakah memiliki kaitan dengan kekacauan simbol Omega pada hari ini? Aku sama sekali tidak mengerti apapun. Apa semua ini juga ada hubungannya dengan mendiang Presiden Nurun atau tidak, aku tidak tahu. Ini semakin membingungkan saja." "Mungkin saja!" sahut Aya. "Tapi apa hubungan Presiden Nurun dengan semua ini...?" "Buku digital itu satu-satunya jalan mengungkapkan segalanya. Ini diberikan untukmu, kan? Semua bencana ini pasti telah diperkirakan oleh ayahmu dan mendiang Presiden. Hanya kau yang mungkin mampu untuk menghentikan ini Profesor. Kita pasti akan mengetahuinya jika kau dapat memecahkan pesan dari kata-kata yang ditinggalkan oleh ayahmu untukmu itu." "Tapi aku benar-benar tidak tahu apapun Sersan. Sang Alpha dalam tulisan ini, simbol Omega, aku juga yakin semua ini mungkin saling berkaitan tapi ...." Nurin nampak bingung. Dia tidak mengerti tautan dari semua ini. Saat ini sulit bagi Nurin untuk berpikir atau menghubungkan segalanya. "Dengar Profesor, kita harus memecahkan pesan-pesan yang ada disini segera." Tegas Sersan Aya. "Aku menolong dan membantumu karena punya keyakinan akan hal ini bahwa kau adalah jalan keluarnya. Sebagai ahli komputer dan programmer aku sangat tahu bahwa peretasan jaringan JST itu mustahil untuk diatasi. Tidak ada satu orang pun mau itu pakar IT handal sekalipun baik di negara ini bahkan di dunia yang mampu memulihkan JST yang telah diretas. Ini sesuatu yang tidak pernah diprediksi sebelumnya. Oleh karena itu, saat tahu semua bukti pelaku peretasan mengarah padamu, aku meragukan itu, aku tahu kau hanya kambing hitam dalam kasus ini. Aku membantumu juga karena ingin mencari solusi dari masalah yang terjadi Profesor Nurin. Berusahalah untuk memecahkannya, kau pasti bisa. Aku yakin," Sersan Aya menatap tajam ke dalam mata Nurin. Mata mereka saling bertemu. Mereka saling menatap seakan berbicara dalam jeda yang senyap. Sepasang tatapan indah dari balik kacamata yang berkilau itu seolah mengatakan pada Nurin bahwa dialah kunci dan solusi dari semua masalah yang saat ini mereka hadapi. Sepasang mata indah yang mempercayainya. Bahwa dia harus memecahkan teka-teki ini. "Kita harus bergerak cepat Profesor." Desak Sersan Aya. "Kau harus segera memecahkan rangkaian pesan yang ditulis oleh ayahmu itu. Dalam beberapa jam lagi program Busur Tiga akan diluncurkan, ratusan juta jiwa akan menjadi korban. Akan terjadi bencana besar yang tidak pernah terjadi sebelumnya. Keselamatan negara ini bahkan beberapa negara lain yang menjadi sasaran dari Program Busur Tiga, nasibnya mungkin ada di tangan kita." Mendengar itu Nurin tersadar. Tidak ada waktu untuk sebuah kebingungan. Ini adalah waktunya bagi Nurin menuntaskan tugas yang ditinggalkan oleh sang ayah. Nurin menarik nafas panjang dan membusungkan d**a, ia mulai bergerak dan semakin mantap hendak memecahkan teka-teki dalam buku digital tersebut. Dia harus menemukan kebenaran dibalik semua kejadian ini. Apa hubungannya ia dengan mendiang Presiden Nurun Maulidan sebenarnya. Nurin harus mencari tahunya sendiri dan kali ini ia merasa telah mendapatkan pintunya. Terbentang dihadapannya. Hanya tinggal ia pegang dan buka saja. "Kalau begitu kita harus ke perpustakaan negara." Ajak Nurin. "Kau lihat? Dalam pesannya disini ada tertulis perpustakaan besar negara. Mungkin kita bisa menemukan sesuatu disana. Dalam pesannya ini, ayah mungkin menyimpan sesuatu di tempat itu dan memintaku untuk pergi kesana. Setahuku, ayah memang banyak memiliki koleksi buku-buku yang diarsipkan disitu, di perpustakaan negara. Salah satunya mungkin petunjuk kita," "Perpustakaan negara ... itu artinya perpustakaan Tengku Amir Hamzah bukan?" tanya Sersan Aya. "Dan perpustakaan itu lokasinya ada di tengah-tengah kota di pulau utama. Itu masalah bagi kita! Tidak mudah untuk bisa masuk kembali kesana." "Ya, tapi mau tidak mau kita harus kembali kesana Sersan. Petunjuk kita berikutnya ada disana. Tulisan ini meminta kita untuk kesana. Kalau kita ingin memecahkan ini, maka kita harus ke perpustakaan itu Sersan. Di sanalah kita bisa menemukan petunjuk lainnya yang ditinggalkan oleh ayahku." "Rasanya mustahil Profesor," sahut Aya. "Pencarian secara massif pasti telah dilakukan di seluruh kawasan kota. Kita sedikit beruntung karena tadi distrik Rempang masih belum menerapkan pencarian super ketat sehingga kita bisa sampai ke rumahmu. Tapi ini pusat kota, akan berbeda, itu sama saja kembali masuk ke dalam kandang singa. Semua aparat saat ini pasti telah mulai melakukan pencarian total terhadap kita disana. Hanya menunggu waktu saja sampai kita berdua ditemukan, dan sekarang kita malah harus kembali lagi ke pusat kota?" "Maka dari itu Aya, karena kita juga sedang berpacu dengan waktu, maka kita harus segera memecahkan teka-teki ini. Kau sendiri yang bilang kita tidak memiliki banyak waktu lagi, negara ini tidak mempunyai banyak waktu lagi. Kita berdua memiliki tanggung jawab bersama untuk menyelamatkan negeri ini sekaligus membuktikan bahwa aku tidak bersalah." "Kau benar Profesor." Ucap Sersan Aya. "Aku akan cari cara," "Panggil saja Aku Nurin, kita kan seumuran." Ucap Nurin meniru perkataan yang pernah diucapkan Sersan Aya padanya. "Lagipula aku terlalu muda untuk dipanggil Profesor, aku sebenarnya selalu risih dengan gelar itu diusiaku saat ini." Sersan Aya tertunduk, menarik senyum yang lebar sambil mengangguk-anggukan kepalanya. Memperlihatkan satu guratan senyum indah yang sekejap membuat Nurin rasa terpana. Nurin baru saja menyadari bahwa Aya merupakan gadis yang cantik dan manis. Karena kemampuan Aya yang tipikal maskulin dan tangguh, hampir membuat Nurin lupa bahwa Aya masihlah seorang wanita. "Baiklah Profesor, oh maaf ... maksudku ... Nurin." Kata Aya sedikit segan. "Ayo kita cari tumpangan ke pusat kota. Kita tidak bisa lagi memakai taksi otonom untuk menuju kesana. Jalan satu-satunya adalah menumpang mobil lain. Lebih bagus lagi sesuatu yang tidak mencurigakan, karena operasi razia besar-besaran juga pasti telah diterapkan." Menumpang apa? Pikir Nurin. Namun seperti pepatah yang berkata pucuk dicinta ulam pun tiba. Kebetulan sekali, ketika Nurin untuk pertama kalinya mendapat getaran cinta karena sosok Aya, sebuah truk angkutan ikan lele limbat melintas. Nurin menunjuk ke arah truk yang singgah bertengger di tepi jalan tersebut. "Kau benar, ayo kita cegat, truk itu sudah mau berangkat. Sepertinya dia akan menuju pusat kota. Kita bisa aman memasuki kawasan kota dengan menumpanginya." Sersan Aya kemudian mencegat truk yang hendak berangkat tersebut lalu berbicara dengan sang supir. Seorang supir merupakan etnis melayu ramah yang memperkenalkan dirinya bernama Pak Haji Saleh Idham. "Pak, bolehkah kami menumpang sampai jalan tersebut? Karena kata bapak tadi, bapak juga melewatinya." Ucap Sersan Aya. "Kami perlu ke perpustakaan negara segera, cukup turunkan kami di Solirang Road saja Pak," "Tentu saja boleh nak." Jawabnya. "Terlebih kau bilang bahwa pemuda yang disana itu adalah putra dari Mufti besar kita kan? Dengan senang hati aku akan mengantarkan kalian berdua." Sersan Aya kemudian memanggil Nurin yang menunggu di sebelah pohon dekat trotoar. Setelah bicara dan memperkenalkan diri mereka, maka Pak Haji Saleh dengan senang hati langsung menyetujui untuk mengantarkan Aya dan Nurin ke jalan besar Solirang Road yang tidak jauh dari tempat perpustakaan negara Tengku Amir Hamzah berada. Kebetulan mobil truk Pak Haji Saleh juga akan melewati jalan tersebut. Aya mengatakan pada Pak Haji Saleh bahwa dirinya dan Nurin akan menumpang di belakang truk saja bersama tumpukan kotak es berisi lusinan ikan lele beku. Awalnya Pak Haji Saleh menolak, katanya Aya dan Nurin bisa duduk di depan saja bersamanya. Pak Saleh memang merupakan sosok yang baik hati sehingga ia enggan untuk menaruh Nurin dan Aya di belakang bersama ikan-ikannya, tetapi Sersan Aya begitu memaksa. Sersan Aya kemudian memperlihatkan lencana polisinya dan menjelaskan pada Pak Haji Saleh bahwa dia saat ini sedang dalam tugas rahasia yang tidak bisa dijelaskan, oleh karena itu lebih baik jika mereka berdua duduk di belakang truknya saja. Aya juga secara khusus meminta Pak Haji Saleh untuk tidak memberitahu siapapun tentang muatan truknya. Sersan Aya meminta Pak Haji Saleh merahasiakan keberadaan mereka berdua jika sewaktu-waktu ada pemeriksaan atau razia. Setelah cukup bingung dengan permintaan itu akhirnya Pak Haji Saleh setuju dengan ide bahwa Nurin dan Aya akan menumpang di bagian belakang truknya bersama tumpukan ikan-ikannya. Aya dan Nurin kemudian mulai masuk ke dalam bagian belakang truk. "Apa kalian tidak apa-apa di belakang sini? Baunya akan sangat menyengat kalian tahu." "Tidak apa-apa Pak. Lagipula ini bukan perjalanan yang lama, hanya sekitar 20 menit. Kami bisa menahan aromanya," "Baiklah kalau itu mau kalian." "Sekali lagi terima kasih paman," ucap Nurin. "Sama-sama nak. Setelah wanita ini menjelaskan padaku bahwa kau adalah putra dari Syeikh Muammar Alisyah, aku dengan senang hati ingin membantu kalian. Aku tahu kalian berdua sedang terlibat dalam suatu masalah, tapi aku tidak akan bertanya lebih jauh lagi, itu urusan kalian. Yang aku tahu bahwa kalian berdua pastilah orang yang baik, itu terpancar dari wajah kalian. Terutama ketika mengetahui pemuda ini adalah putra Syeikh Ali, aku tahu bahwa kalian orang baik. Syeikh Ali merupakan ulama besar negeri ini. Kata orang beliau kaya raya tetapi senantiasa menyedekahkan banyak hartanya pada yang membutuhkan seperti anak yatim dan fakir miskin. Beliau sungguh dermawan, zuhud, wara, tawadhu, sederhana dan senantiasa tampil apa adanya. Jadi aku yakin beliau juga pasti telah mendidik putranya dengan begitu baik, dengan ajaran dan nilai-nilai yang sama." "Terima kasih paman, kau begitu mengenang sosok mendiang ayahku." "Aku akan membantu kalian sebisaku," "Terima kasih Pak." Ucap Aya kemudian Pak Haji Saleh menutup dan menurunkan pintu bagian belakang truknya. Hanya ada gelap dan pengap serta bau menyengat ikan-ikan segar dalam kotak yang saat ini dirasakan oleh Nurin dan Aya. Mobil truknya pun mulai bergetar dan melayang rendah dengan pelan. Mereka mulai berangkat menuju pulau utama New Malaka. "Ikan-ikan ini bau sekali," celetuk Sersan Aya. "Tapi aku suka memakan ikan ini, apalagi kalau dipepes, hmm sangat sedap rasanya, tapi baunya saat ini ... Astaga...!!" "Kenapa? Kau tidak pernah pergi ke pasar ikan? Apa kau bisa memasak Sersan Aya?" "Sudah kubilang panggil Aya saja atau Mentari, jangan panggil Sersan, Nurin." Ucap Aya sambil tersenyum. "Ya, aku bisa masak. Tapi aku tidak pernah ke pasar ikan. Di era serba praktis sekarang ini ... rasanya sungguh tidak praktis jika memilih ikan sendiri di pasar. Kita bisa memesannya dari rumah kan dan A.R akan langsung memberitahu kita struktur kesegaran, tingkat keasaman, kandungan gizi, durasi ketahanan, berat serta harganya." "Apa kau sudah menikah?" tanya Nurin tiba-tiba saja menanyakan pertanyaan yang harusnya tidak boleh ditanyakan kepada seorang wanita. "Oh, maafkan aku. Aku ... tidak bermaksud. Maaf jika aku menanyakan sesuatu yang tidak sopan bagimu seperti ini." "Tidak apa-apa. Sama sepertimu, aku juga belum menikah." Jawab Aya. "Siapa yang mau dengan komputer geek dan wanita super sibuk sepertiku, lagipula sulit bagi polisi wanita di era sekarang mencari pendamping yang bukan dari satuan polisi. Jujur saja aku tidak ingin berkeluarga dengan yang seprofesi. Akan sangat merepotkan kurasa," "Oh, begitu, maafkan aku telah menanyakan pertanyaan itu." Nurin merasa tak enak hati. "Tapi Aya ... kau gadis yang berkepribadian kuat, smart, polwan yang handal, kulihat juga cukup berintegritas, dan ...." "Dan apa Profesor? Oh maaf, maksudku Nurin." "Dan wanita yang cukup cantik," desis Nurin segan. "Maksudku ... alhamdulillah kau dikaruniakan wajah yang rupawan, jadi kau bisa menikahi siapapun. Itu maksudku." "Terima kasih, Nurin." Sersan Aya nampak sedikit tersipu dan senang karena mendapat pujian seperti itu dari seorang laki-laki. Sebuah obrolan dari dua lajang matang yang menghangatkan, diantara serangan hawa dingin dan menusuk dari bekunya kotak-kotak ikan. "Ceritakan tentang dirimu sendiri," desak Aya. "Apa yang harus kuceritakan?" "Entahlah, banyak yang bisa kau ceritakan. Tentang masa kecilmu, hubunganmu dengan Syeikh Ali misalnya, segalanya, ceritakanlah, aku ingin tahu." "Tidak banyak yang bisa kuceritakan padamu. Hidupku terkesan biasa. Semenjak kematian ibu akibat kecelakaan pesawat yang menewaskan beliau, hidupku dan Ayah berubah drastis. Bukan dalam arti dan konotasi yang buruk tentunya, maksudku hidup kami berubah ke arah yang berbeda. Ayah menjadi lebih protektif, lebih melimpahkan kasih sayang dan perhatiannya dua kali lipat padaku. Mungkin karena ayah sadar tugasnya sebagai orangtua tunggal dan kebutuhan akan sosok ibu pengayom yang tidak lagi kumiliki, jadi ayah memutuskan akan mengambil dua peran sekaligus, menjadi ayah dan juga ibu bagiku." "Maaf, aku turut menyesal atas apa yang terjadi pada ibumu." "Tidak apa-apa. Aku merasa bersyukur kepada Allah karena telah mengkaruniakanku sosok ayah yang hebat. Beliau mampu menjadi sandaran, guru dan pendidik yang baik. Hidupku merasa sangat tercukupi selama ini. Diriku di hari ini, adalah karena tempaan dan didikan beliau selama ini. Aku menghargai setiap usaha beliau menjadi orangtua yang ideal, dan menurutku itu berhasil. Beliau mampu melakukannya. Tidak pernah terbayangkan olehku bahwa beliau bisa menggantikan almarhum ibu dalam beberapa aspek. Ketika beliau pergi untuk selamanya, aku seakan kehilangan peganganku. Aku sempat mengalami sindrom ketidak-percayaan diri. Karir akademisku hampir terbengkalai namun kucoba untuk bangkit kembali, untuk tidak mengecewakan beliau. Aku melihat ketika Presiden Nurun memberikan Euloginya untuk ayahku dari ibukota. Kupikir bukan hanya aku, tapi seluruh kota ini dan bahkan seluruh negara ini, juga kehilangan sosok itu. Inilah salah satu alasan kuat aku mengikuti seleksi pemilu tahun ini. Kupikir ini bisa menjadi langkah awal aku bisa menjadi seperti ayahku dan mengambil peran itu. Dimulai dari langkah kecil yang bisa menjadi batu loncatan." "Nampak sekali kau begitu dekat dengan Syeikh Ali." Ucap Aya. "Beliau memang telah berhasil menelurkan penerus yang luar biasa sepertimu. Kau tidak sadar betapa miripnya dirimu dengan ayahmu. Maksudku bukan hanya secara fisik, tetapi intelektualnya. Sungguh mencengangkan bahwa diusiamu saat ini kau bahkan telah mendapatkan gelar Profesor," "Bukankah itu lumrah? Sudah banyak para sarjana muda yang meraih gelar itu saat ini. Ini karena kualitas pendidikan di negeri ini yang telah menjadi sangat unggul, menjadi yang terbaik di dunia. Role model bagi penerapan pendidikan di seluruh dunia saat ini. Tidak ada yang istimewa dari gelar Profesor yang kumiliki," "Tentu saja istimewa Nurin. Kau begitu merendah. Aku pernah membaca bahwa di negara ini hanya ada 7 orang saja Profesor dibawah usia 30 tahun dan termasuk ke dalam 20 besar di dunia. The 7th ... kau salah satunya bukan?"
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN