Chapter 3| Sikap Murahan
POV Ethan Kal Vardhan
Acara makan malam kecil itu berjalan lancar, seperti biasa negosiasi berjalan lebih mudah saat Zeina ada di sampingku. Kini, aku dan dirinya berjalan melewati lobby untuk kembali ke kamar kami. Dia terlihat kelelahan, untuk seseorang yang tidak begitu menyukai keramaian, dia mahir mengendalikan diri.
Sangat mudah mengenali ketidak nyamanannya. Sejujurnya dia hampir menunjukan semua yang dirasakannya dalam ekspresi wajah. Dia seolah tidak repot-repot menyembunyikan suasana hatinya, meski dia tidak mengatakannya secara lisan.
Seperti saat ini…
Langkahnya terhenti dan tubuhnya menegang, pandangannya tertuju pada pintu masuk hotel dimana seorang pria tengah melambai ke arahnya dengan bersemangat. Pria itu berlari ke arahnya. Tentu aku memperhatikan tanpa banyak bicara.
Soal siapa pria itu, sudah jelas dia adalah pria yang mengirim pesan tadi siang. Salah satu simpanannya.
Pria itu melepaskan pegangan pada koper dan langsung menarik Zeina dalam pelukannya. Tubuh Zeina sedikit terangkat dan suara tawa dari pria itu terdengar. Suaranya berbeda dengan suara dari telepon, sesuai dengan dugaanku.
“Apa ini? Kau terlihat tidak senang” ujarnya yang masih mengangkat tubuh Zeina dan memperhatikan raut wajah Zeina dari yang diangkatnya dari bawah.
Zeina menghela nafas dan memukul pelan pundaknya. Pria itu bahkan tidak memperdulikan keberadaanku dan memeluk istri orang lain sesuka hati. Selain itu Zeina, aku tidak menduga dia bisa seberani ini, secara terang-terangan dihadapanku.
Padahal selama ini dia selalu bermain tenang.
“Kau kehilangan berat badanmu Jia” Komentarnya sambil menurunkan tubuh Zeina. Zeina melirikku “Aku akan menyusul” ujarnya sebelum berbalik pergi dan menarik pria itu. Kami sempat bertatapan dan dia melambai tanpa beban sebelum mengikuti langkah Zeina keluar dari gedung.
Aku melanjutkan perjalananku, tidak begitu terkejut dengan situasi yang ada.
Sesuai perjanjian, kami tidak boleh ikut campur dalam urusan satu sama lain, namun aku berniat menegurnya karena melakukan hal tersebut di depan umum. Bagaimanapun jika sampai tersebar rumor, hal itu hanya akan merugikan diriku dan dirinya.
Sepertinya setelah tengah malam, dia baru kembali ke kamar dan terlihat buru-buru berganti pakaian sebelum naik ke atas tempat tidur. Aku masih duduk di sampingnya dengan sebuah buku di tanganku.
Aku meliriknya yang sudah menghapus riasan dan terlihat mengantuk juga kelelahan. Entah apa yang habis dilakukannya hingga raut wajah kelelahan itu tergambar jelas. Aku enggan berpikir buruk, namun sebagai laki-laki aku tahu apa saja yang diinginkan laki-laki lain saat melihatnya. Terutama jika laki-laki itu kekasih yang sudah lama tidak ditemuinya.
Tapi tetap saja…
Dia tidak boleh melakukannya di tempat umum…
“Aku tidak peduli dengan urusan pribadimu, tapi bukankah kita sudah sepakat untuk menjaga nama baik satu sama lain. Hubungan gelapmu, kau tidak boleh terlalu menunjukkannya di depan umum. Kau tahu bahwa kau selalu menjadi sorotan wartawan kan? Bukankah belum lama ini kau baru berhasil membujuk ayahmu agar kau tidak lagi diikuti pengawalmu? Jika ingin berkencan dengan bebas tanpa pengawal, kau harus menahan hasratmu di tempat umum dan pastikan untuk tidak membuat masalah” Kepalanya menoleh, aku tidak membalas tatapan yang sudah pasti menajam ke arahku itu.
“Hubungan gelap?” beonya seolah tidak merasa bersalah. Memang aku pun tidak membutuhkan rasa bersalahnya, namun jika sampai tertangkap media, semua orang bisa merugi. “Yah, sikap murahan tidak boleh ditunjukan oleh putri politikus. Lagipula, sahamku bisa anjlok jika sikap murahanmu sampai tercium media” Aku merasa dia kembali meluruskan kepalanya, tubuhnya pun berbalik memunggungiku.
“Bahkan jika aku memiliki hubungan gelap, aku tidak akan seceroboh dirimu” jawabnya dengan ketus. Aku hampir tertawa mendengar jawaban itu. Sifatnya sudah banyak berubah. Dua tahun pertama pernikahan kami, dia hampir mengabaikan setiap perkataanku, dia enggan membalas dan bersikap seolah diriku tidak ada.
Lalu dua tahun berikutnya, dia mulai membalas perkataanku meski masih sedikit acuh dan tidak peduli. Sampai selama satu tahun terakhir ini, dia mulai membalas perkataanku dengan sinis. Aku tidak menduga bahwa dia bisa bersikap picik dan sinis seperti ini.
Namun tetap saja, balasan sinisnya tidak begitu menggangguku.
Dia kemudian membalik tubuhnya menghadapku. “Aku mau tidur, lampunya” Aku menoleh dan melihat matanya yang masih menatapku dengan sinis. Aku mengangkat bukuku “Aku mau membaca, tentu aku butuh cahaya. Lagipula untuk seseorang yang selalu tidur sembarangan, cahaya kecil seperti ini tidak membuatmu terusik kan?” Dia menghela nafas dan kembali membalik tubuhnya memunggungiku.
Aku melihat punggungnya selama beberapa saat sebelum kembali melanjutkan bacaanku. Sesuai dugaanku, dia sudah tertidur dengan begitu mudahnya. Sangat jarang kami berbagi tempat tidur, sangat jarang pula kami berbincang saat berada di tempat tidur. Kalaupun ada percakapan, pasti hanyalah sebuah pertengkaran antara diriku dengannya.
Padahal kesan awalku padanya adalah sosok gadis polos dan lembut…
Dia sudah banyak berubah…
Aku meletakan bukuku dan berbaring setelah mematikan lampu di sisi tempat tidurku. Dengan mudahnya aku terlelap dalam kenyamanan malam.
Begitu membuka mata, aku merasa seperti mencium aroma harum yang menyengat. Kepalanya tepat berada di wajahku, aroma rambutnya sangat menyengat. Aku akan percaya jika dia mengatakan bahwa dia menumpahkan parfumnya ke kepala.
Namun meski menyengat, aroma ini tercium lembut dan harum. Rasa nyaman terasa setiap kali aku menghirupnya.
“Hemm” Zeina melenguh sambil mengangkat kepalanya. Kini aku bisa melihat wajahnya dari dekat, matanya masih terpejam dengan hembusan nafas halus yang teratur. Aku jadi memperhatikan wajahnya lebih teliti, dia benar-benar cantik seperti pahatan patung yang indah.
Tangannya mencengkeram pajama ku di pinggang dan satu tangan lagi terlipat hingga menyentuh dadaku. Aku bisa merasakan nafasnya yang tenang, bibirnya terlihat sangat mempesona dari dekat.
Bibirnya begitu merah, kira-kira produk apa yang digunakannya hingga memiliki bibir seperti itu? Bohong jika aku mengatakan bahwa aku tidak menginginkan bibir itu.
Sesekali…
Ketika aku terjebak di sebuah acara dalam perjalanan dinas kami, acara yang membuatku banyak minum alkohol. Saat itu aku masih minum obat tidur. Meminum obat dan alkohol di saat bersamaan akan membuatku melihat hal-hal abnormal. Aku mengalami mimpi aneh…
Aku bermimpi Zeina menciumku…
Aku bermimpi membalas ciumannya, memeluk erat pinggangnya sambil terus membalas setiap sentuhan lembut bibirnya. Zeina akan terkejut karena aku sedikit kasar saat menciumnya. Namun wajah memerahnya yang indah hanya akan menatapku tanpa mengatakan apapun. Lalu saat aku menarik kembali lehernya untuk kembali merasakan bibir manis itu, dia akan memelukku memanggil namaku sambil memandangku dengan sayu.
Suaranya…
Terasa begitu nyata…
Sentuhannya, membuatku candu dan menginginkan lebih…
Aku beberapa kali memimpikan hal itu sejak tiga tahun lalu. Meski selama satu tahun terakhir ini mimpi itu tidak lagi datang, aku seolah masih mengingat setiap rasa, sentuhan bahkan intonasi suara Zeina.
Semuanya terlalu nyata untuk disebut sebagai mimpi. Mimpi itu hanya datang ketika aku tidur bersamanya saat melakukan perjalanan bisnis. Tidak bisa kupungkiri, terkadang aku seolah menanti mimpi itu kembali datang.
Sayangnya hal itu tidak lagi terjadi…
Mungkin karena sejak satu tahun terakhir aku juga tidak lagi membutuhkan obat untuk bisa tertidur. Tidurku, jauh lebih nyenyak.
Jika aku menciumnya seperti dalam mimpi. Kira-kira apa yang akan terjadi? Apa dia akan menamparku? Meski rasa ciuman dalam mimpi itu terasa begitu nyata, aku tetap saja penasaran seperti apa rasanya secara langsung.
Seperti apa rasanya jika aku menggigit bibir itu dengan kasar?
Zeina semakin mendekat sambil melenguh malas.
Aku bisa merasakan setiap sentuhannya dengan lebih jelas.
Gadis ini…
Tidak memakai bra? Aku hanya bisa memejamkan mataku saat merasakan area lembut itu lebih jelas dibalik pakaian tipisnya. Kelakuannya yang seperti ini, hanya membuatku merasakan kesulitan.
Meski begitu…
Aku tidak membenci semua ini…
Sejujurnya, suasana pagi ini terasa cukup nyaman. Sebelum akhirnya dipecahkan oleh suara dering ponsel yang nyaring. Dia meraih ponselnya dengan mata masih terpejam, jelas dia masih ingin terlelap dalam tidur dan enggan diganggu oleh si penelpon.
“Oi, Jia” suara nyaring dari si penelpon membuatku melirik ponsel Zeina yang masih memejamkan matanya sambil menempelkan ponsel di telinga. “Hem?” jawabnya dengan malas. “Ayo lanjut yang kemarin” Kini aku melirik wajahnya, tanpa sadar mataku melihat leher Zeina, mencari bercak yang mungkin saja tertinggal. Namun pandanganku malah tertuju pada belahannya. Dari sekian banyak pria yang menginginkannya, tidak kusangka dia memilih seorang cecunguk berisik.
Membayangkan bagaimana pria berisik yang terlihat urakan itu menyentuh Zeina sesuka hati, menenggelamkan wajahnya di area paling lembut itu tanpa permisi entah kenapa membuatku merasa cukup sentimen.
“Jia, bangun. Oh iya kau tahu? Aku punya kejutan untukmu” Zeina mematikan telponnya dengan mata masih terpejam. Dia memperlakukan pria itu sesuka hati, jelas dia yang memegang kendali dalam hubungan mereka.
Gadis itu akhirnya bangkit. Dia terlihat menghela nafas panjang sebelum bangun dari posisi tidurnya dan berjalan keluar kamar. Mungkin akan memesan sarapan.
Begitu dia pergi, aku baru membuka mataku setelah sempat pura-pura masih tertidur. Setelah beberapa saat aku baru keluar dari kamarku dan melihatnya yang tengah meminum teh sambil menatap keluar balkon dengan buku sketsa bersampul biru di tangannya. Setelah meletakan cangkir teh, dia mulai melukis.
Aku hanya duduk di meja makan sambil sesekali melirik nya.
Terkadang rasanya, dia seperti berada di dunia yang berbeda denganku. Dia pandai mengabaikan sekitar dan membuat seseorang seolah merasa seperti tidak terlihat. Sebelumnya aku tidak menyadarinya, sepertinya sejak dia mulai bersikap sinis padaku lah aku mulai menyadarinya.
Jika dipikir-pikir, kontrak kami tinggal satu tahun lagi.
Seperti apa kira-kira tahun terakhir kontrak kami?