Chapter 4| Tamu Tanpa Undangan

1112 Kata
Chapter 4| Tamu Tanpa Undangan POV Ethan Kal Vardhan Saat ini, kami mulai melakukan evaluasi akhir untuk event pameran yang akan segera diadakan di hotel esok hari. Sebagai pembuka, pesta akan diadakan malam ini. Seperti biasa, dia yang pada dasarnya memiliki pemahaman mendalam soal seni tentu dapat dengan mudah mengatur semuanya sesuai kehendaknya. Dari tata letak karya seni, sorot lampu hingga aroma. Zeina mengatur dan memastikan semuanya sempurna. Mungkin inilah salah satu sifat baiknya yang bisa dibilang memiliki etos kerja yang bagus. Dengan hanya mengenakan kaos putih polos dan celana hitam, Zeina selesai melakukan pemeriksaan akhir. Aku juga sudah menyelesaikan urusanku dengan manajer hotel. Pria yang bekerja di bawahku itu terlihat ragu-ragu dengan pertanyaan yang tampaknya ingin disampaikannya. “Tanyakan saja” ujarku yang jelas sudah mengerti bahwa memang ada yang hendak disampaikannya. “Apa berita soal istri anda benar” tanyanya pada akhirnya. Aku tidak begitu mengerti dengan arah pembicaraan ini. Mungkinkan hubungan gelapnya sudah tersebar? Tidak terlalu mengejutkan. Namun tetap saja akan membuat jengkel lantaran banyak hal yang harus diurus jika sampai kabar perselingkuhannya menyebar. “Soal apa?” aku ingin memastikan. “Dokumenter itu” timpalnya pelan. Pria ini terlihat bersemangat. “Saya sudah melihat dokumenter lamanya. Saya membaca berita bahwa sutradaranya secara khusus mendatangi nyonya untuk memintanya bergabung di dokumenter yang akan tayang di Etflix. Saya sudah melihat kedatangannya kemarin” pria itu berbicara mengenai hal yang tidak aku mengerti. “Ahh, dia baru mendiskusikannya padaku belum lama ini” Balasku sambil tersenyum secukupnya. Tentu aku tidak begitu tahu mengenai apa yang dimaksud. Dia menghampiriku setelah selesai dengan urusannya. “Aku rasa sudah cukup” aku melihat dahinya yang mengeluarkan keringat dingin, dia terlihat tidak sehat. Aku mengangguk kecil sebagai jawaban. Kami bergegas kembali ke kamar dan begitu sampai aku meliriknya yang langsung duduk sambil memejamkan mata di sofa. Dia mungkin sudah tertidur, gadis itu benar-benar bisa tertidur sembarangan dimana saja. Padahal ada yang ingin kutanyakan. Pada akhirnya aku tidak menanyakan hal itu. Aku meminta Farel, sekretarisku untuk menemuiku di ruang kerja lantai dasar hotel. Dia tentu menurut. “Istriku pernah tampil dalam dokumenter?” Tanyaku tanpa basa-basi. Farel terlihat terdiam selama beberapa saat, tanganya langsung membuka iPad dan mulai mengetik sesuatu. “Saya tidak menduga anda akan menanyakan hal lain di luar pekerjaan mengenai nyonya” jawabannya yang tidak akan kusangkal. “Sebenarnya ini dokumenter biasa, namun karena menarik dan banyak ditonton, Etflix membeli hak siar dan beberapa tahun lalu sempat beberapa kali menempati posisi pertama sebagai tayangan paling banyak ditonton. Pada dasarnya nyonya cukup dikenal di kalangan penikmat seni, namun berkat dokumenter ini nyonya dikenal oleh lebih banyak orang” Farel menyerahkan iPadnya dan menampilkan sebuah dokumenter dengan judul Part Time padaku. “Soal berita yang beredar sekarang. Nyonya benar-benar akan kembali tampil dalam dokumenter terbarunya?” Farel bertanya. “Ah anda pasti tidak tahu” jawabnya sendiri atas pertanyaan yang baru diajukannya beberapa waktu lalu. Entah mengapa, itu terdengar cukup menjengkelkan. Aku melihat wajah pria yang semalam ku temui begitu membuka episode pertama. “Dia siapa?” Tanyaku membuat Farel menatap layar selama beberapa saat. “Reynand Roderick, dia sutradara yang cukup sukses. Anda tahu Film Gadis Porselen di Balik Jeruji Besi?” Aku mengernyit. Aku tidak begitu tertarik dengan perkembangan di dunia perfilman, karenanya aku tidak begitu tahu. “Anda tahu lukisan nyonya yang terjual sampai 18 Miliar saat nyonya baru berusia lima belas tahun? Proses pelukisannya ada di dokumenter ini. Si sutradara juga mendapatkan inspirasi dan merilis filmnya tiga tahun lalu dari lukisan nyonya” aku kembali melirik layar, menemukan fakta bahwa rupanya mereka sudah saling mengenal sejak lama rasanya tidak begitu penting. “Baik, kau bisa kembali” jawabku pelan. Farel langsung pamit dan pergi keluar dari ruangan begitu selesai. Aku menutup layar iPad di tanganku. Tidak begitu yakin untuk menonton dokumenter yang tidak penting ini. Rasanya akan terlalu membuang waktu jika aku menontonnya. Pada akhirnya aku tidak menonton dan memutuskan kembali ke kamar. Saat kembali aku sudah melihatnya yang tengah memilih gaun bersama sekretarisnya. Tampaknya dia akan mengenakan gaun berwarna biru malam ini. “Sepertinya bagian ini sedikit sempit” gumam sekretarisnya sambil menyentuh area lingkar d**a. Zeina memperhatikan pantulan dirinya di cermin. “Bagaimana dengan yang merah?” Tanya Virly, sekertarisnya. “Bukankah aku juga mengenakan warna merah bulan lalu?” Virly memiringkan kepalanya “modelnya kan berbeda” timpalnya membuat Zeina meliriknya. “Bagian tangannya terlihat sama. Terlalu ketat, aku jadi sesak” jawabnya sambil duduk dan berbaring di sofa. “Sindy sudah datang?” tanyanya, mungkin ada yang ingin didiskusikan dengan wakil direktur gallerynya itu. “Sepertinya masih di jalan” jawab Virly pelan sambil mengeluarkan gaun hitam dan mengangkatnya. “Bagaimana dengan ini” Zeina melirik gaun itu dan memaksakan diri untuk bangkit. Mungkin dia tidak menyadari bahwa aku yang tengah duduk di tepian tempat tidur masih sesekali meliriknya yang berada di ruang ganti dari sela pintu. Gadis itu justru malah melepaskan pakaiannya untuk mengenakan gaun tanpa permisi. Wajahku berpaling malu. Melihatnya hanya mengenakan pakaian dalam membuatku terusik. Meski ini bukan kali pertama, karena sebelumnya aku juga pernah berada di situasi yang mirip dengan situasi saat ini, tetap saja aku tidak bisa terbiasa. Kulitnya seputih s**u, proporsi tubuhnya benar-benar pas dan siapapun wanita yang melihat pasti mendambakan tubuhnya. Dia mengenakan gaun itu dengan bantuan sekretarisnya. Pandangan kami bertemu saat dia menatapku lewat pantulan cermin. Aku buru-buru memalingkan wajah lantaran tertangkap basah. Aku mendengar suara langkah kakinya yang mendekat sebelum menutup pintu dengan keras. Jelas dia tidak memperbolehkan diriku melihatnya, mungkin dia menjaga diri untuk para simpanannya. Lucu sekali situasi saat ini. Saat malam tiba dan pesta dimulai. Kami bergandengan tangan sebelum memasuki aula pesta. “Aku dengar kau akan tampil dalam dokumenter” akhirnya aku menanyakan hal itu saat berjalan berdampingan dengannya. “Dan menampilkan sikap murahan? Tidak terima kasih” dia menyindir karena ucapanku sebelumnya. Tampaknya masih kesal akan perkataanku. “Lalu bagaimana dengan beritanya” dia mempercepat langkahnya mengikuti tempo langkahku. “Tidak tahu” jawabnya acuh. Entah dia enggan menjelaskan atau memang dia benar-benar tidak tahu. “Kalau begitu kenapa kau mengundangnya?” Mendengar pertanyaanku, Zeina menoleh dan mengikuti arah pandanganku. Pandangannya bertemu dengan pria itu dan cengkramannya pada tanganku menguat. Terlebih saat seorang wanita yang ada di sisi pria itu melambaikan tangan ke arahnya sambil menatapnya dengan sinis. Pria lain yang ada di sisi si wanita juga menatap ke arahnya. Surai panjangnya yang ikal tergerai menarik perhatian, menatap Zeina selama beberapa saat sebelum ikut melambai. Aku memperhatikan raut wajahnya. Seperti yang kukatakan, Zeina seperti buku yang terbuka. Jika kau memilikinya di dekatmu, kau bisa membaca segalanya. Dia tidak pernah repot-repot menyembunyikan apapun. Semuanya, tergambar jelas dari air mukanya. Zeina, terlihat tidak senang.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN