Aku memasuki kamar yang sebelumnya ditempati kakek. Rasanya seperti tidak ada lagi air mata yang bisa dikeluarkan, karena terlalu banyak menangis. Kata orang, yang meninggal harus segera diikhlaskan, karena kalau tidak mereka akan tersiksa jika terlalu diratapi. Aku berusaha menanamkan hal itu di kepalaku, walaupun sejujurnya tidak mudah.
Kurapikan segala barang yang menjadi peninggalan kakek. Saat menarik sprei, hatiku rasanya seperti tercabik. Dalam rentang yang tidak begitu lama, aku kehilangan dua hal yang menjadi alasanku tumbuh dengan baik dan bekerja keras. Kakek dan nenek. Tidak akan ada lagi yang kulihat pagi, sore, dan malam hari. Tidak akan ada lagi yang memakan masakanku, lalu memujinya dengan wajah berseri dan memberi senyum menenangkan. Meskipun begitu, mereka tetap akan berada di hati dan pikiranku, sampai kapanpun.
Setelah melipat sprei, aku memasukkannya ke dalam lemari. Mungkin setelah ini, aku tidak akan memasuki kamar ini lagi. Tidak dalam waktu dekat.
Setelah semuanya rapi, aku menatap keseluruhan kamar yang tidak begitu besar. Tatapanku terhenti pada sebuah nakas di samping ranjang, tanpa sadar kaki langsung melangkah ke sana dan menariknya.
Sebuah kotak usang yang terbuat dari kayu jati, dipenuhi ukiran-ukiran terlihat. Aku langsung mengambilnya karena penasaran, sebab baru pertama kali aku melihat kotak ini. Kubuka dengan perlahan, namun sedikit kesulitan karena gagang yang menjadi tarikan pintunya hampir copot.
Setelah dibantu dengan gunting untuk mencongkelnya, barulah bisa terbuka. Aku menemukan sebuah kertas yang digunakan orang-orang zaman dulu untuk menulis, beserta kotak cincin putih terang yang memperlihatkan isinya dengan jelas.
Kuambil kertas tersebut untuk mengetahui apa yang tertulis di sana. Keningku langsung mengernyit melihat tulisan khas orang zaman dulu, yang lumayan rumit namun masih bisa kumengerti. Baris pertama seperti memberitahukan sebuah kota. Baris kedua, berisi nama jalan, dilanjutkan nama komplek, nomor rumah bahkan RT, RW, dan kode posnya.
Lalu di sudut kertas baris terakhir, ada tulisan yang sangat kukenali sebagai tulisan almarhum kakek. Di sana diberitahukan bahwa ‘Teruntuk cucu perempuanku, Asha Lavana. Permintaan terakhir kakek, temukan alamat ini, Nak.’
Pada kotak satunya lagi, langsung kubuka. Seperti yang terlihat, sebuah cincin yang warnanya terlihat memudar langsung menyambut. Di tengah-tengah cincin tersebut, ada satu permata kecil yang cantik. Aku mencoba memakaikan di jari manis, dan ternyata kebesaran. Baru kusadari, ternyata ini cincin untuk laki-laki.
Sepertinya ini permohonan terakhir kakek, artinya aku harus memenuhi dan menemukan alamat di kertas ini. Mungkin saja kakek bermaksud membertahu, bahwa ada keluarga lain yang bersedia menerimaku setelah kepergian mereka. Tapi mengingat ini sudah terlalu lama, apa bisa jamin mereka masih berada di alamat yang sama?
Segera kurapikan kertas dan kotak cincin, kumasukkan kembali ke dalam kotak kayu yang kemudian akan kubawa ke kamarku. Melalui kotak wasiat ini, aku bertekad ingin mewujudkan keinginan terakhir kakek. Tidak perduli seberapa jauh kota itu, aku harus menemukan alamatnya. Tidak perduli seberapa asing perjalanan yang kutempuh, aku harus bisa sampai di sana. Dan semoga aku bisa menemukan si pemilik alamat ini, masih di tempat yang sama.
***
Pukul setengah tujuh malam hari berikutnya, aku sudah tiba diterminal bus yang akan membawa ke kota yang dimaksudkan. Kuserahkan tiket yang sebelumnya sudah kubeli, setelah itu langsung meletakkan tas di dalam bagasi. Begitu aku naik, sudah banyak orang yang berada di dalam bus. Aku bergegas mencari tempat duduk dan menempatinya detik itu juga setelah ketemu.
Kusandarkan punggung pada sandaran kursi, dengan kepala menoleh ke samping. Suasana malam yang dingin, terasa begitu menusuk kulit. Jaket yang kukenakan tidak mampu menghalaunya. Tenggorokanku tiba-tiba terasa tercekat, air mata yang akan tumpah, mati-matian kutahan agar tidak keluar.
Ini kali pertama aku akan meninggalkan kampung halaman dan satu-satunya rumah yang menjadi tempat tinggalku. Rasanya sangat berat, tapi tidak ada pilihan lain. Di sini, kutitipkan semua kenangan bersama kakek dan nenek. Tempat yang menjadi saksi bagaimana aku tumbuh dalam tawa, tangis, kesedihan, dan kerapuhan. Kulupakan sejenak cuti kuliah di semester akhir, atau bahkan mungkin tidak akan dilanjut lagi karena terbatas biaya.
“Dengan perginya dari sini, semoga ada harapan baru sekaligus takdir bagus yang menunggu. Kakek dan nenek harus percaya, bahwa Asha bisa melakukannya dengan baik. Awasi dari atas sana. Sampaikan permintaan sekaligus permohonan Asha pada-Nya, bahwa segala macam bentuk kehilangan sudah Asha alami, jadi Asha sudah meneguhkan hati untuk tidak jadi orang yang banyak mengeluh lagi,” bisik benakku lirih, memohon dengan teramat sangat dan mencoba kuat di saat yang bersamaan.
Aku memejamkan mata setelah satu satu buliran bening lolos begitu saja. Kuseka secara diam-diam, kemudian berusaha untuk tidur. Malam ini adalah salah satu malam yang panjang, dari sekian malam yang kulewati dengan berat. Duhai hati, bersiaplah. Kita akan menghadapi takdir baru, yang sama sekali belum kutahu.
***
Pukul lima pagi, bus tiba di terminal kota tujuan. Aku terbangun setelah menyadari keributan yang ditimbulkan dari orang-orang sekitar. Setelah berhasil mengumpulkan kesadaran, aku bangkit dengan membawa serta ransel kecilku.
Masih terlihat lampu-lampu yang menjadi penerangan. Matahari belum benar-benar muncul setelah aku berhasil menginjakkan kaki di aspal. Pun setelah mengambil tas di bagasi, aku bagaikan kehilangan arah. Daerah asing seolah membuatku buta, bingung harus melangkah ke mana karena ke sini hanya dibekali pikiran, untuk segera mewujudkan keinginan almarhum kakek.
“Ada yang bisa dibantu, Neng?”
Seseorang bertanya membuatku langsung menoleh. Perkiraan usia bapak itu mungkin pertengahan empat puluh tahun. Beliau melihat barang bawaanku, sebelum kemudian tersenyum ramah. “Baru pertama kali, ya, ke sini?”
Tadinya aku sudah berpikiran buruk, tapi tidak lagi setelah beliau tersenyum. “Iya, Pak. Saya mau cari alamat, tapi tidak tahu harus mulai darimana.”
“Oalaaah. Kebetulan Bapak ngojek, Neng. Kalau ndak keberatan, Neng bisa ikut Bapak. Tapi, alamatnya tak coba lihat dulu.”
Aku langsung merogoh ransel, kemudian mengeluarkan secarik kertas yang sebelumnya sudah kutulis ulang dengan tulisanku sendiri, agar tidak membingungkan orang lain saat bertanya nanti. Dan kebetulan ternyata berguna sekarang.
“Ini, Pak.”
Diambil beliau kertas tersebut, kemudian diamati lama-lama. “Neng, ini lumayan jauh. Kira-kira memakan waktu lebih dari setengah hari kalau dari sini. Bakalan banyak ongkos, kasihan Enengnya.”
Rasa takut langsung menghinggapi, apa uang di dompetku benar-benar cukup? Kalau tidak, maka tidak berani mengambil tawaran bapak. Beliau juga perlu uang dari sini, tidak mungkin aku meminta penawaran harga.
“Neng sudah sarapan? Kalau belum, isi dulu perutnya. Di dekat sini ada penjual nasi yang harganya cocok di kantong, pas diperut. Setelah itu baru kita bicarain lagi masalah harga. Bapak ndak keberatan semisal Neng mau nawar.”
“Tapi, Pak–”
“Ndak papa. Tempat makannya nyaman, sekalian istirahat sebentar di sana. Lagi pula kasihan, entar salah-salah bertemu orang yang mau ambil keuntungan dari kesusahan Neng. Bapak bukan mau nakutin, tapi sudah sering kejadian seperti ini.”
Setelah mendengar penjelasan panjang lebar, akhirnya aku mengangguk. Bapak itu langsung menuntun menuju rumah makan yang beliau maksud, yang letaknya tidak jauh dari tempat kami bicara tadi. Bahkan beliau memesankan teh hangat terlebih dahulu untukku, sebelum mempersilakan duduk.
Karena kebaikan beliau, aku minta tambahan pesanan dua teh hangat serta dua nasi uduk. Awalnya beliau menolak, namun setelah aku sedikit memaksa, beliau akhirnya menerima. Aku mulai sarapan ditemani beliau yang bercerita.
Singkatnya, nama beliau Arman. Sehari-harinya bekerja sebagai ojek, di pangkalan terminal. Beliau bilang, sulit zaman sekarang untuk para ojek karena saingannya jasa-jasa dari sebuah aplikasi. Tapi penghasilan satu hari, terbilang cukup untuk sekeluarga. Anak beliau ada tiga, yang paling tua kelas satu SMP. Sisanya kelas empat SD dan yang terakhir baru bisa tengkurap.
Akhir dari cerita Pak Arman, beliau tidak keberatan mengantarku sampai ke tempat tujuan, dibayar dengan berapapun. Karena Beliau tidak mengatakan harganya secara gamblang, mataku langsung berkaca-kaca. Bersyukur berkali-kali di dalam hati, karena telah dipertemukan dengan orang sebaik Pak Arman.
Kami berangkat setelah aku membayar harga nasi uduk dan teh hangat, serta tak lupa membeli tiga bungkus roti dan dua air mineral, untuk kami bekal dalam menemukan alamat.
***
Lewat dari setengah hari berada di padatnya jalanan kota besar, bersama terik panas dan letih tubuh mendera, akhirnya kami memasuki komplek yang dimaksudkan secarik kertas. Pak Arman mengendarai motornya dengan pelan, agar bisa membaca nomor-nomor rumah yang tertera di dekat pagar masing-masing.
Kira-kira hampir lebih lima belas rumah sudah dilewati. Sampai di rumah selanjutnya, Pak Arman langsung berhenti, membuatku bertanya-tanya dalam hati. “Neng, bener ndak alamat ini?” tanya beliau setelah membaca nomor-nomor yang tertera. “Seingat Bapak iya.”
Aku mengambil kertas kemudian mencocokkan dengan alamat tersebut. Benar saja, seperti yang dibilang Pak Arman, ini alamat yang kami cari. Tanpa sadar aku mengembuskan napas keras, bahkan kembali menggumamkan syukur berkali-kali.
Aku langsung turun setelahnya, dibantu Pak Arman yang membawakan tasku. Kami mendekati gerbang rumah yang tinggi, di mana tidak jauh dari dalam sana, ada pos satpam. Pak Arman memanggil satpam tersebut, sampai dia sadar dengan keberadaan kami dan bergegas menghampiri.
“Ada yang bisa dibantu, Pak?” tanya sang satpam, setelah keluar.
“Begini, Pak, Neng ini nyari alamat. Dan kebetulan alamatnya di sini. Saya cuma bantu.”
“Oooh. Ayuk masuk-masuk, biar ketemu langsung sama ibunya.”
Detik itu juga aku berucap terima kasih banyak-banyak. Tapi sebelumnya, Pak Arman bilang beliau hanya mengantar sampai di sini saja. Aku bergegas mengambil dompet, kemudian memberi semua uang yang ada di salam sana. Urusan tidak punya uang lagi, nanti akan kupikirkan. “Pak, terima kasih banyak. Kalau bukan Bapak, saya tidak tahu apakah saya bisa sampai ke sini atau tidak.”
“Waduh, Neng, ini kebanyakan.”
Aku langsung kaget. Kukira uang tersebut akan kurang, ternyata tidak. Tapi aku tetap memerikan semuanya pada Pak Arman. Beliau awalnya tidak ingin menerima, tapi setelah aku memaksa, syukurnya beliau menyerah. Terakhir sebelum beliau pergi, aku kembali berucap terima kasih sembari minta titipkan salam untuk anak dan istrinya.
Bersama satpam yang kini membantu membawakan tas besarku, kami menyusuri halaman rumah yang lumayan luas. Aku terpaku pada rumah ini, bergaya kuno khas orang zaman dulu namun masih terawat dan kokoh sampai sekarang.
“Sebentar, saya pencetkan belnya dulu,” ujar satpam setelah kami tiba di teras.
Hampir satu menit kemudian, pintu terbuka. Seseorang wanita paruh baya, yang terlihat masih cantik di usianya, menyambut dengan senyum ramah. “Iya, Ko, ada apa?”
“Ini, Bu, ada yang nyari.”
“Ya sudah, kalau begitu terima kasih banyak, ya.” Setelahnya si satpam mengangguk, kemudian langsung pergi. Wanita itu kini beralih menatapku. “Cari siapa, Nak?”
“Begini, Bu ...” Aku membuka dompet dengan sedikit gemetar, lalu mengeluarkan kertas usang yang berisikan tulisan asli, kemudian memperlihatkan padanya. “Saya disuruh mencari alamat ini sama almarhum kakek.”
Wanita itu mengamati, dengan kening mengernyit. “Ya, ini benar alamat sini. Kakekmu siapa, Sayang?”
“Fahr–”
“Siapa, Rania?” Sebuah suara terdengar dari arah dalam, berikut satu orang lagi sepantaran almarhumah nenek muncul. Beliau masih terlihat sehat, bahkan tak terlihat kesulitan berjalan sama sekali. “Siapa si cantik ini, Nia?”
Perasaanku menghangat. Dua orang di depanku ini, luar biasa ramah saat berbicara. Aku yang notabenenya orang asing, dipanggil sedemikian lembut, membuat letih yang tadi mendera, langsung berkurang detik itu juga.
“Katanya cari alamat rumah kita, Ma. Disuruh sama almarhum kakeknya. Eh, berarti sudah meninggal?”
“Coba sini Mama lihat.”
Kedua orang itu langsung berdekatan, kertas usang tersebut kemudian berpindah tangan. Lama wanita tua itu mengamati, dengan mata menyipit dan kertas sedikit dijauhkan dari pandangan. Hingga tiba-tiba tangan beliau gemetar, sedikit terhuyung kalau tidak dipegangi. Bahkan saat melihatku kembali, kentara sekali matanya berkaca-kaca. “Nak, beritahu siapa kakek dan nenekmu?”
“Fahri dan Safiya, Bu.”
“Ya Allah, Nak!” Beliau langsung histeris seraya melangkah maju, tertatih-tahih dan langsung memelukku erat. “Ya Allah, Nak! Akhirnya sampai juga. Oma sudah lama menunggumu, Nak. Alhamdulillah, Gusti. Alhamdulillah ...”
Aku tidak mengerti apa yang terjadi, juga tidak tahu harus apa. Tapi, satu hal yang bisa kujawab, sambutan ini ... pelukan ini ... perlakuan lembut ini ... membuatku terharu sekaligus rindu nenekku.
***