Kakek dan nenek Bima adalah pasangan pencinta alam. Dulu masih terhitung pengantin baru, keduanya ingin mendaki gunung yang terletak di dekat sebuah kampung. Kampung tersebut lumayan terpencil, berada di daerah lain dan jarak tempuh memakan banyak waktu.
Namun keberuntungan tidak menyertai perjalanan mereka. Keputusan pergi dengan transportasi umum ternyata salah total. Mereka tiba di kampung dekat gunung, namun tak disadari tas yang berisi uang, ponsel dan beberapa benda berharga lain dicuri.
Tersisa dua lembar uang ratusan. Tidak cukup untuk bertahan satu hari di sana. Mereka bertanya pada warga sekitar, untuk kembali ke kota dengan ongkos murah, mereka harus menggunakan transportasi apa.
Pasutri yang ditanyai sepantaran dengan mereka dan ternyata sama-sama baru menikah juga. Tak lain adalah nenek dan kakek Asha. Diberitahulah tujuan datang ke kampung ini dan permasalahan yang dialami saat tiba. Kakek dan nenek Asha simpati mendengar itu, mereka menawarkan rumah sebagai tempat menginap beberapa hari.
Awalnya ditolak dengan alasan tidak enak, terlebih lagi baru mengenal tapi sudah menerima tawaran sebaik ini. Kakek dan nenek Asha saat itu dengan ramah memberitahu, bahkan jika orang lainpun yang mengalami hal serupa, mereka tidak segan mengulurkan bantuan.
Akhirnya, dengan perasaan terharu, tidak menyangka sekaligus bersyukur, kakek dan nenek Bima menerima. Ucapan demi ucapan terima kasih tidak henti-hentinya diberikan. Mereka diajak ke sebuah rumah minimalis yang merupakan kediaman kakek dan nenek Asha. Mereka dipersilakan menaruh barang dan beristirahat di salah satu kamar, yang tidak terlalu luas namun terlihat nyaman.
Tiga hari dua malam kakek dan nenek Bima menginap. Mereka diperlakukan dengan sangat baik, layaknya keluarga jauh. Keinginan untuk mendaki gunung hilang begitu saja. Di kampung ini, mereka mendapat pengalaman yang luar biasa. Mereka juga menemukan penduduk yang ramah dan bersahabat.
Sampai saat kepulanganpun dilepas dengan baik. Transportasi dibantu dibiayai oleh kakek dan nenek Asha. Sudah tidak terhitung rasa terima kasih yang diucapkan, karena kakek dan nenek Bima sangat bersyukur bertemu orang baik seperti mereka.
Sebagai kenang-kenangan sebelum pergi, kakek Bima memberi cincin pernikahannya, juga meninggalkan sebuah alamat di secarik kertas. “Kalau ada keinginan untuk berkunjung, datanglah ke rumah kami. Akan kami jamu dengan baik, sebagaimana kalian memperlakukan kami di sini. Bahkan mungkin lebih dari itu. Adapun cincin ini, kembalikan pada kami saat mempunyai cucu perempuan. Kalau Allah mengizinkan, kita bisa menyatukan dua keluarga dalam sebuah ikatan yang sakral.”
Begitulah asal mula sejarah cincin yang masih sampai sekarang disimpan dengan baik oleh kakek dan nenek Asha.
Berpuluh-puluh tahun kemudian ...
Benar adanya mereka mempunyai cucu pertama perempuan. Tapi sayang, bayi malang itu ditinggal cepat oleh kedua orang tuanya. Ibunya termasuk orang yang susah untuk hamil, tujuh tahun penantian, akhirnya mengandung Asha. Sayang saat melahirkan, ibunya meninggal karena kehilangan banyak darah. Rentang satu tahun setelahnya, ayah Asha menyusul karena kecelakaan kerja. Asha yang malang dirawat oleh kakek dan neneknya.
Gadis itu tumbuh jadi sosok yang membanggakan. Segala macam pekerjaan bisa Asha lakukan, mulai dari usia 12 tahun bekerja mencuci piring di sebuah warung sambil sekolah, demi membantu keuangan kakek dan neneknya.
SMP, Asha punya berdagang sendiri. Dibantu neneknya membuat nasi goreng pagi-pagi, lalu menitipkannya di kantin. Itu berlangsung sampai Asha SMA. Karena sekolah tempatnya menuntut ilmu tidak melarang siswa/siswinya berdagang, selagi tidak mengganggu konsentrasi belajar.
Hingga kuliah, Asha bisa membiayai dirinya lewat program beasiswa berprestasi. Asha mendirikan sebuah warung dari uang tabungannya selama ini, untuk usaha kakek dan nenek, lalu meminta mereka berhenti menggarap sawah dan kebun.
Mereka hidup dari penghasilan penjualan warung sehari-hari. Dengan keuangan yang dikelola nenek Asha sendiri. Namun semua perlahan berubah, semenjak nenek Asha sakit-sakitan. Fokus kuliahnya terbagi, antara merawat neneknya dan belajar. Ia beberapa kali mendapat peringatan beasiswa akan dicabut, namun Asha berusaha minta keringanan waktu, ia berjanji akan memperbaiki nilainya lagi.
Modal untuk warung dipakai untuk biaya berobat nenek. Sedikit demi sedikit barang dagangan berkurang, tapi neneknya tidak kunjung sembuh. Sampai suatu hari Asha terpukul dengan berita meninggalnya sang nenek. Saat itu ia ujian semester dan langsung meninggalkan ruangan detik itu juga.
Kehilangan nenek seperti mematahkan sebelah sayap Asha. Ia tidak lagi bersemangat seperti biasanya, kemurungan menghinggapi hingga jarang ditemukan senyum tersungging di bibirnya.
Warung satu-satunya terpaksa dijual. Mereka tidak punya penghasilan lagi. Kesedihan itu tidak hanya dialami Asha, tapi kakeknya juga. Karena sang belahan jiwa meninggal, separuh kehidupan kakeknya seperti terenggut. Usia yang lebih dari paruh baya membuatnya mudah sakit-sakitan. Sebulan kepergian nenek, kakek terbaring sakit tidak berdaya.
Asha mulai mengajukan cuti kuliah tepat di semester akhir, setelah beasiswanya resmi dicabut. Ia fokus merawat satu-satunya orang berharga yang ia punya sekarang.
Sayang, sepertinya rentang waktu kematian yang tidak begitu jauh, selalu mampir di keluarga Asha. Kakek meninggal tepat di hari, di mana mereka baru pulang ziarah dari makam nenek.
Hati Asha seperti tak berbentuk. Ia hancur namun mencoba kuat di saat bersamaan. Sawah dan kebun satu-satunya yang lama tidak ditanami, terpaksa dijual untuk biaya pemakaman kakek. Sebagai peristirahatan terakhir, kakeknya ditempatkan di sebelah nenek. Ia ingin tempat sebaik mungkin untuk dua orang malaikat, setelah ayah dan ibunya.
Waktu itu sawah dan kebun dijual murah karena uangnya terdesak keperluan prosesi pemakaman. Hingga selesai acara tahlilan, uang di tangan Asha tersisa sedikit.
Asha mencoba mengikhlaskan kepergian kakeknya. Dengan merapikan apa yang menjadi barang almarhum, untuk disimpan di dalam lemari. Saat membuka laci nakas di samping ranjang kakek, Asha tidak sengaja menemukan sebuah kotak kayu. Yang saat dibuka, berisi kertas usang bersama kotak cincin.
Kotak kayu tersebut ternyata wasiat dari kakek. Di sana kakek ingin Asha memenuhi permintaan terakhirnya. Asha sebagai cucu yang berbakti, langsung mempunyai tekad kuat di hati. Ia berjanji, apa pun yang terjadi, ia harus melakukan apa yang jadi keinginan terakhir almarhum kakeknya.
Hanya saja, takdir yang tergantung pada kotak kayu itu membuat kehidupan Asha berubah seratus delapan puluh derajat. Perjalanannya dalam mempertahankan wasiat tersebut tidak mudah, karena dilingkupi berpura-pura tidak perduli, menahan rasa sakit dan air mata, juga berusaha melindungi hatinya yang sudah hancur sejak awal.
Jika Asha bisa meminta, ia ingin mengulang waktu di mana ia tidak ingin menemukan kotak kayu. Namun di saat yang bersamaan, tak dipungkiri bahwa hati Asha tertawan dalam cara yang menyakitkan, karena sebuah kotak kayu.
Takdir yang membuat mereka terikat, sudah ada bahkan sejak mereka belum lahir. Namun salahnya, keadaan mempertemukan di waktu yang tidak tepat.
***