2 – Fakta Sebenarnya

1853 Kata
Tubuhku terus dipeluk. Bahkan saat diajak masuk, beliau seolah enggan melepas. Diserai isak tangis, yang berhasil menyentilku. Karena tindakan wanita tua ini, hidungku panas, mataku berkaca-kaca. Sesak sekali, seakan turut merasakan hal yang jadi penyebab beliau menangis.“Nak, sudah lama kami menunggu. Suamiku bahkan ... bahkan sampai–” Beliau menarik diri, menangkup pipiku dengan tangan gemetar. “Aku hampir putus asa. Kubilang tidak mungkin mereka mengingatnya lagi, bahkan bisa saja cincin itu hilang. Tapi, dia ... selalu percaya. Dia bilang mungkin nanti, tunggu saja ... jangan sampai bosan menunggu, Ayu. Kita sudah terikat janji ...” “Di detik terakhirnya pun, dia mengatakan pastikan Bima sendiri, sampai cucu Fahri datang menagih haknya. Suamiku berpegang teguh pada apa yang dibuatnya dulu. Dia selalu yakin kalau cucu Fahri dan Safiya perempuan. Sampai kamu datang hari ini ... semuanya terjawab. Suamiku tidak salah ... wujudmu serupa harapannya, Nak. Kamu memang diciptakan untuk memenuhi janji kami ...” Benakku bertanya-tanya, sedalam apa janji mereka? Sampai aku ditunggu sedemikan rupa. Logikanya aku hanya orang asing, sebanyak apa pun aku berpikir, aku tetap asing. Namun di pertemuan pertama ini, aku seolah ada terikat darah, karena dipandang bak keluarga dekat di mata mereka. Apa garis mimpi dan nyata beda tipis? Aku takut membayangkan kalau ini hanya sekadar mimpi. Terlalu mendambakan keluarga tak dikenal menerimaku dengan baik, tanpa disadari alam bawah sadarku menciptakannya. Membuat ilusi manis, tapi kenyataannya jauh berbeda. Aku takut berharap. Takut terhempas. Retakkan di tubuhku akan pecah berkeping-keping, kalau tahu ini adalah semu. Sendiri itu menyesakkan. Bagai mencekik leher, sampai rasanya sulit bernapas. Itu sebabnya saat menemukan surat kakek, aku seolah memiliki secercah harapan. Benakku sampai melirih “ah, rupanya masih ada cahaya yang tersisa. Aku tidak segelap yang kupikirkan”. “Namamu siapa, Nak?” Pertanyaan itu menyadarkan, membuatku berkedip dan meloloskan satu bulir air mata. “Sa-saya ... Asha.” “Tidak apa-apa. Aku tahu kamu syok. Karena melewati banyak hal, mungkin kamu sedikit waspada.” Senyum terulas menenangkan di wajah sembabnya, membuatku tanpa sadar merasa tenang. Beliau menarik tanganku, untuk digenggam. “Pelan-pelan, ya. Kamu akan mendengar banyak penjelasan di sini.” Setelahnya beliau menoleh, ke arah wanita pembuka pintu yang sedari tadi menatap kami bingung. “Rani, Mama bisa minta tolong?” “Bisa, Ma.” “Asha pasti lapar setelah menempuh perjalanan jauh. Karena Asri keluar, kamu mau siapkan makanan untuknya? Nanti akan Mama beritahu siapa Asha ini dan apa artinya dia untuk Mama dan almarhum papamu.” “Oh, maaf kalau Rani sempat tidak peka. Tadi ... Rani kaget. Sudah lama Mama tidak seemosional ini, jadi sedikit bertanya-tanya dalam hati, sampai lupa menyuguhkan minum untuknya.” “Terima kasih, Sayang. Nanti Mama jelaskan.” Wanita itu bangkit, dia mengulas senyum untukku kemudian pamit pergi. Tersisa kami berdua, di ruang tamu ini. “Rania, kamu bisa memanggilnya Mama Rani. Dia menantuku. Jangan khawatir, dia baik. Aku yakin, kamu mudah menyukainya.” Bibirku bergerak, namun kembali mengatup saat tahu tidak ada jawaban yang bisa diberikan. Tak pernah sekalipun aku membayangkan, sosok yang kujumpai akan seperti mereka. Menyambut dan menerima dengan tangan terbuka. “Kamu bisa memanggilku Oma Ayu. Kuharap kamu tidak ragu, karena aku memang mengenal baik kakek dan nenekmu. Bantuan yang mereka tawarkan dulu begitu berarti untuk kami. Itu sebabnya kami tidak akan lupa,” jelasnya. “Untuk sekarang, kamu butuh istirahat, Asha. Sementara menunggu Rani menyiapkan makanan, mari ikut ke kamar tamu. Kamu tidak keberatan kalau membawa tas sendiri, Nak?” Aku menggeleng, lalu menambahkan, “Terima kasih ...” *** Pukul setengah tujuh malam aku terbangun. Awalnya sempat kaget karena merasa asing, namun setelah puing-puing ingatan menyatu, aku menghela napas panjang. Aku di kediaman keluarga Wira. Tadi setelah makan dan membersihkan diri, aku ketiduran karena terlalu lelah. Tenaga banyak terkuras hari ini, bahkan setelah istirahat saja, rasanya masih lemah. Menatap sekeliling kamar yang kutempati, membuatku diam detik itu juga. Sekali lagi kutanyakan, apa garis mimpi dan nyata itu tipis? Karena ini terasa mustahil, sampai aku sulit menerima. Terlalu mudah, sampai membuat curiga. Bukan bermaksud tidak bersyukur, tapi aku masih sulit percaya. Kenapa segampang ini? Menemui seseorang yang belum pernah dilihat rupa, bahkan baru mendengar nama pertama kalinya, itu cukup sulit. Tapi, apa yang kudapatkan justru terlalu mulus. Wajarkah kalau aku menaruh curiga? Mengabaikan fakta, meskipun menghangat karena perlakuan mereka? Kebimbangan melingkupi. Padahal aku yang memutuskan ke sini, tapi aku yang ragu karena yang kutemukan sama sekali tidak mengecewakan. Apa yang harus kulakukan? Ini sama sekali tidak membuatku lega. Otakku lelah karena terlalu banyak berpikir. “Asha ...” Sebuah panggilan terdengar, diiringi ketukan pintu. “Sudah bangun? Ayo ikut makan malam.” Wajarkah yang seperti ini untuk orang baru? Aku merasa ... ini terlalu baik. Aku kesulitan menerimanya. “Asha, kalau tidak keberatan boleh saya masuk?” Punggungku langsung menegak. Sempat menelan ludah, kemudian menjawab, “Bo-boleh.” Hadle pintu ditekan, tidak lama didorong. Dari sana, muncul wanita berwajah teduh dengan gurat kecantikan masih kental. “Hai, apa terganggu karena panggilan tadi?” Lekas aku menggeleng. “Kita ngobrol sebentar, ya,” izinnya, kemudian ikut duduk di tepi ranjang. “Tadi saya diceritakan mama. Memang dari dulu sudah tahu masalah ini, tapi saya tidak ambil pusing. Saya anggap angin lalu atau candaan, karena ‘cucu’ yang mertua saya maksud tidak pernah muncul. Tapi sekarang, sepertinya saya keliru karena terlalu menyepelekan. Maka dari itu saya minta maaf.” “Maksud, Tante?” “Maaf pernah menganggapmu candaan. Sebagai orang tua, saya tidak ingin mengekang anak saya. Termasuk pernikahan. Siapapun perempuan itu, asal baik sikapnya, di terima di keluarga, saya tidak keberatan. Tapi karena ini keinginan almarhum papa, kami mengusahakan untuk memenuhinya.” Aku masih tidak mengerti. Datang ke sini hanya berbekal perintah yang sepenuhnya belum kuketahui. Jujur saja kuakui waktu itu aku tidak berpikir panjang, tapi, apa yang bisa diharapkan dari gadis yang baru saja kehilangan? Setelah menemukan surat dan kotak cincin, satu-satunya yang terpatri di kepala itu sama, memenuhi. Bukan mencaritahu sebab dan alasan di balik kedua benda itu. “Masih bingung, ya? Kalau begitu, ayo makan malam dulu. Setelahnya, mama yang menjelaskan langsung.” Dia bangkit, kemudian mengulurkan tangan padaku. “Jangan sungkan, Asha. Saya mudah menerima seseorang setelah melihat bicara dan gerak-geriknya. Saya bukan orang kolot, namun tidak juga terlalu modern. Saya hanya pihak netral, jadi nanti jangan mikir macam-macam, ya.” Setelah memutuskan menyambut, dia tersenyum lebar. Meski dia paham aku kebingungan dan ragu-ragu, tapi dia berusaha membuatku rileks. Kami menuju ruang makan. Meja yang sebelumnya kutempati, kini diisi Oma Ayu juga seorang pria paruh baya. Mereka kompak menoleh, saat mendengar langkah kaki kian dekat. Oma Ayu tanpa segan menyunggingkan senyum, sementara pria itu masih betah menatapiku. “Kita makan dulu, ya. Nanti ada waktunya kita bicara,” ujar Oma Ayu. Mereka mengangguk, kecuali aku. Setelah dibantu menarik kursi untuk kutempati, Oma Ayu lekas membalik piringku. Mengisinya dengan nasi, ayam, bahkan sayuran. “Jangan sungkan, Asha. Detik pertama kamu menginjakkan kaki di sini, kamu sudah jadi bagian dari keluarga ini.” Tatapanku sempat terpaku, namun segera aku memberi respon, “Terima kasih ...” “Sama-sama.” Makan malam dimulai. Mereka sesekali bicara dan tertawa, seolah biasa dan tak terusik sekalipun dengan keberadaanku. Padahal aku masih asing. Satu haripun masih belum terlewat, tapi ada apa dengan orang-orang ini? Mudahnya mereka menerimaku ... Setengah jam kemudian, kami sudah berpindah tempat ke ruang tamu. Aku duduk di samping Oma Ayu, sementara sofa seberang diisi oleh mereka. Ditemani teh hangat yang baru diantarkan oleh asisten rumah tangga. Oma Ayu memulai, setelah menyeruput tehnya. “Kakek dan nenekmu dulu membantu kami ...” Semuanya diceritakan. Mulai dari baru tiba di kampung, kakek dan nenek yang menawarkan bantuan, diajak ke kebun dan sawah, sampai pada perpisahan mereka. Di perpisahan ini awalnya bermula, almarhum suami Oma Ayu memberi cincin nikahnya dengan niat untuk menjodohkan cucu-cucu mereka kelak. Aku menemukan benang merahnya. “Kamu bilang kakekmu meninggal, Nak?” Masih kaget dengan fakta yang kudengar, membuatku tanpa sadar menganggukkan kepala. Sementara tatapanku terpaku pada satu titik, terasa hampa. Kakek ... aku harus apa? Keinginan terakhir itu, demi apa pun aku tidak tahu kalau akhirnya seperti ini. Aku ... tidak tahu ... harus bagaimana. “Maaf, Nak. Bukan tidak mau mencari, tapi kami selalu menunggu. Kami percaya kalian pasti datang. Kakek dan nenekmu mungkin berpikir kami sudah lupa, padahal tidak sama sekali ...” Kembali aku tersadar dan menemukan Oma Ayu mengusap sudut matanya. “Aku bersyukur diberi ingatan yang kuat, tidak mudah melupakan orang-orang penting di hidupku. Salah satunya mereka, Fahri dan Safiya.” Beliau tersenyum hangat, saat kami bertemu tatap. “Bagaimana dengan nenekmu? Apa dia baik-baik saja? Sampai sekarangpun aku masih ingat rupa Safiya. Pembawaannya tenang, suaranya lembut kalau bicara.” “Nenek ... sudah meninggal. Lebih dulu ... dari kakek.” “Gusti ...” Oma Ayu menutup mulut, lalu meraihku dalam pelukan. “Lantas sama siapa kamu, Nak? Ibu dan ayahmu di mana?” “Sudah tidak ada, dari kecil. Aku ... aku dibesarkan kak–” Tidak sanggup kulanjutkan. Bahuku bergetar saat Oma Ayu mengusap menenangkan. Mengingat nasib yang tidak begitu baik, membuatku berkali-kali lipat merasa sakit dan tercekat. “Tidak apa-apa, sekarang kamu di sini. Kamu aman sama kami, Sayang. Kami yang menjagamu. Kami mengambil alih tanggung jawab mereka.” Begitu saling melepaskan diri, air mataku bantu diusap Oma Ayu. Beliau tersenyum di sela binar mata sedihnya. Kupaksakan diri untuk menatap beliau lebih lama, meresapi dan mulai mencoba pelan-pelan memasrahkan. Mereka baik, aku tersentuh. Jadi, bolehkah sekarang kuletakkan kepercayaanku? “Setidaknya kita sudah saling tahu. Untuk ke depannya, pelan-pelan kita wujudkan. Asha mau ‘kan memenuhi harapan terakhir kakek dan nenek?” Tanganku mengepal, tidak lama kepalaku mengangguk kuat. Sudah kuputuskan, meski harus menikah, tidak apa-apa. Asal keinginan kakek tercapai. “Anak baik. Mereka pasti bangga padamu, Sayang ...” Sekali lagi Oma Ayu mengusap pipiku. Setelah cukup menguasai keadaan, beliau kembali tenang seperti sebelumnya. “Rani, Pras, kalian ada tanggapan?” Yang disebut saling bertatapan, mereka terlihat menghela napas kemudian menggeleng. “Tidak ada, Ma.” “Tidak mungkin. Kalian orang tua Bima, pasti ada pendapat, walau hanya sepatah kata.” “Bagaimana kalau Bima tidak setuju, Ma?” “Kesampingkan pendapat dia, yang diutamakan pendapat kalian sekarang.” “Aku menyaksikan dan mendengar sendiri apa yang papa ucapkan sebelum meninggal, jadi selain memenuhinya, aku tidak punya ide lagi. Sebagai anak tunggal, itu tanggung jawab terakhirku pada beliau.” “Bagaimana dengan Rani?” “Apa pun itu, semoga yang terbaik buat Bima, Ma.” Senyum Oma Ayu mengembang. Beliau mengangguk. “Terima kasih karena tidak menentang. Mama yakin, papa kalian tidak salah. Dia percaya perjodohan ini berhasil. Mari wujudkan keinginan mereka-mereka yang sudah pergi.” Kutatap wajah mereka, terlebih Oma Ayu. Binar bahagia terpancar jelas di mata beliau, terlihat lega campur haru. Mungkin janji yang dibuat serupa rantai yang berkarat. Karena terlalu lama mengikat, beliau tidak tahu cara membuka selain menunggu. Kedatanganku bagai kunci yang bisa membebaskan. Tapi, apa benar disebut membebaskan kalau pada akhirnya akulah yang tertawan? Aku membebaskan orang-orang dari janji yang melilit mereka, dengan mengorbankan diriku sendiri. Lalu, siapa yang membebaskan diriku?’ Kakek ... apa yang harus kulakukan? ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN