8 – Bumerang Berbentuk Tanggal Pernikahan

1375 Kata
Aku tersengal, kemudian berjongkok menormalkan pernapasan. Peluh membanjiri pelipis dan leher, rambutku bahkan lepek. Sepertinya aku terlalu jauh berlari, sampai tidak menyadari kalau tempat ini kami lewati di awal tadi. Beberapa orang yang keluar-masuk, memberi tatapan ingin tahu. Mungkin karena kodisi yang sedikit berantakan, membuatku terlihat aneh. Tapi kuabaikan mereka dengan menyeka kening, kemudian melihat sekitar, mencari tempat yang nyaman untuk istirahat sebentar. Kuharap Tante Rani menemukanku di sini, sebab tidak punya ponsel membuatku kesulitan menghubunginya. Di dompet berisi uang tidak seberapa, pasti mahal sekali kalau aku memutuskan pulang menggunakan taksi. Kenapa harus ada hari ini? Maksudnya, kenapa di saat aku baru pertama kali keluar? Bertemu Mas Bima secara kebetulan, kuanggap itu kesialann karena dia manusia tanpa nurani. Mulutnya setajam belati, isi pikirannya penuh akan keburukkan tentangku. Seolah tidak memberi kesempatan, dia bahkan menuduhku di pertemuan pertama kami. Sejelekk itu aku di matanya. Tatapanku tidak sengaja tertuju pada kantong belanjaan, seketika ringisan keluar. Merasa bersalah sekaligus menyesal, kenapa tadi meninggalkan belanjaan Tante Rani? Di sana banyak barang mahal, kalau disuruh mengganti, aku tidak punya uang sekarang. Helaan napas berat kukeluarkan, bersamaan mendongak menatap depan. Mungkin kondisiku sekarang seperti anak hilang, bingung ke mana tujuan, sedih karena pisah dari rombongan. Kuanggap Tante Rani sebagai rombongan, walaupun dia hanya satu orang. “Asha! Astaga, kamu cepat sekali larinya!” Aku langsung menoleh, refleks berdiri saat melihat Tante Rani kesulitan bernapas. Dia sampai menepuk-nepuk dadaa, penampilannya tidak jauh beda dariku tadi. “Saya sempat panggil, tapi kamu tidak dengar karena ramai. Karena itu juga orang-orang jadi terganggu, saya jadinya milih mengejarmu dibanding memanggil lagi ...” “Maaf banget, Tante. Tapi, darimana tahu kalau aku la–” “Lain kali kalau keluar, sama oma atau Asri saja. Mereka jelas tidak merepotkan Mama,” ujar sebuah suara, yang mulai sekarang kukenali. Mas Bima. Kebisuan langsung menguasaiku, bibir yang sempat terbuka karena kata-kata terpotong olehnya, segera merapat kembali. Bungkam. “Kalau di jalan tidak sengaja bertemu aku, jadi aku tidak ikut direpotkan juga. Demi Tuhan, Ma, aku tadi mau ajak Alin makan siang.” Tante Rani menatap tajam. Direbutnya kantong belanjaan dari Mas Bima, disertai kalimat datar, “Yang Mama mau tahu, apa alasan Asha lari? Kamu bahkan di tempat yang sama, Mas. Jangan mengelak, karena Mama jelas melihatnya. Mama bahkan baru balik dari toilet saat itu. Satu lagi, kenapa kamu sama Alin? Kamu mau nikah, Mas. Jangan sampai melakukan sesuatu yang salah di belakang kami.” “Ma, aku ...oke, aku akan mutusin Alin secepatnya.” “Mama percaya. Selama kamu Mas Bima yang Mama kenal biasanya, Mama akan selalu percaya. Jangan rusak ini, Mas. Sakit hati Mama kalau sampai terjadi.” “Terima kasih banyak, Ma. Akan aku usahakan.” Kemudian dia mendekati Tante Rani, memeluk dan mengusap pelan punggung Tante Rani. “Jangan dipikirkan lagi. Aku akan kasih yang terbaik versiku buat Mama, papa dan oma.” Setelah menyaksikan semuanya sampai akhir, kini tersisa aku dan Tante Rani. Mas Bima langsung pergi, jelas saja begitu, karena aku paham dia tidak ingin menjelaskan pada Tante Rani apa yang terjadi dengan kami tadi sampai aku memilih lari. Tante Rani mendekatiku. Dia bahkan meraih sebelah tanganku yang bebas, mengusap pelan dengan ibu jarinya. “Maaf, Sha. Mungkin tadi ada hal yang buat kamu tidak nyaman. Saya maklum, tapi lain kali jangan diulangi lagi, ya. Kasihan kamu. Kota ini masih asing, takutnya kamu tersesat atau kenapa-kenapa.” “Terima kasih banyak, Tante,” ucapku terharu. “Sama-sama, Sayang. Ayo, sebaiknya kita ke depan. Tadi saya sempat telpon Pak Parman buat jemput kita. Mungkin sebentar lagi beliau sampai di parkiran.” Aku mengangguk kuat, membuat senyum Tante Rani tersungging tipis. *** Selesai menemani Oma Ayu olahraga, kami sempat istirahat sejenak sambil menikmati jus tomat. Setelah keringat mulai mengering, Oma Ayu mengajakku memasuki sebuah ruangan. Di ruangan itu berisi kursi santai untuk dua orang, ada dua lemari ukir khas zaman dulu di sudut ruangan. Ada juga satu rak besar, berisi buku-buku. “Langsung duduk di sana, Nak. Aku ambil sesuatu dulu,” suruh Oma Ayu dengan telunjuk tertuju pada kursi. “Ruangan ini disebut sebagai ruang kenangan. Sebab ada benda-benda yang disimpan untuk disayangi, kalau rindu bisa mengulang melihatnya lagi.” “Apa itu, Oma?” tanyaku penasaran. “Banyak. Seperti album foto, baju anak, mainan, hadiah dari suamiku, bahkan perhiasan yang kukenakan dulu. Kebanyakan perhiasan itu dibeli suamiku, itu sebabnya aku menyayangkan kalau dipakai atau dijual.” Anggukanku selaras dengan tatapan yang terfokus pada Oma Ayu. Dari beliau berjalan ke rak, lalu berpindah ke lemari, bahkan berbalik menghampiriku. “Sepertinya merawat sesuatu memang keahlian Oma.” Aku mengatakannya sambil senyum, sebab merasa kagum. “Kakek dan nenek juga begitu, buktinya mereka masih menyimpan surat dari kalian.” “Tepat sekali. Kami para orang tua, selalu pandai merawat sesuatu yang bermakna.” Oma Ayu duduk di sampingku. Kami berdekatan, karena ingin melihat-lihat isi album yang dibawa beliau. Tapi, sebelum itu tatapanku lebih dulu teralihkan pada dua buah kotak kecil bening. Aku kenal sekali, sebab salah satunya aku yang bawa. “Seperti isi pikiranmu, kini mereka sudah sepasang, Asha.” Oma Ayu mengambil kedua benda itu, membukanya bersamaan. Terlihatlah cincin sepasang, untuk laki-laki dan perempuan. “Setelah kamu menunjukkan kotak dan cincin milik suamiku, malamnya langsung kuletakkan di sini. Ada rasa sejuk dan tenang, karena puluhan tahun berpisah, pada akhirnya cincin ini kembali.” “Apa ada perasaan sesal karena dulu itu yang diberi adalah cincin pernikahan kalian?” “Tidak sama sekali. Aku bahkan berpikir itu langkah yang tepat. Meninggalkan salah satu benda berharga pada Fahri dan Safiya, aku senang. Terlebih mereka sendiri bagian dari berharga itu.” “Terima kasih banyak karena sudah percaya, Oma ...” “Tidak, Sayang. Harusnya aku yang mengatakan itu, pada kakek dan nenekmu, pada ibu dan ayahmu, padamu ...” Diletakkan Oma Ayu kotak cincin, kemudian beliau menatapku lekat. “Percayalah, apa yang ditakdirkan untukmu tidak akan pernah melewatkanmu.” Bibirku langsung merapat. Memikirkan kata-kata Oma Ayu, lalu menyambungkannya dengan Mas Bima, rasanya lucu sekali. Karena seperti tidak sesuai espektasi saja. Aku tidak menyebut diriku lebih baik darinya, tapi kenyataan yang kutemui, dia memang lebih buruk dari apa pun. “Sekarang kita beralih ke benda ini.” Tatapanku otomatis tertuju ke sana. Menunggu dengan saksama, menanti penjelasan Oma Ayu tentang apa saja isi dalamnya. “Dokumentasi kami dimulai saat lamaran, Asha. Dari suamiku di halaman rumah, disambut, bahkan dipersilakan masuk, semuanya ada.” Di halaman pertama, ada dua foto yang persis dikatakan Oma Ayu. Halaman selanjutnya juga begitu. “Zaman dulu memang kental dengan adat, jadi sedikit rumit. Tapi sebagai pengantin, kami menikmatinya. Debaran-debaran itu nyata, bahkan kalau bertemu mata, masing-masing menunduk malu.” Itu untuk pasangan saling menyukai. Sementara kami, aku dan Mas Bima, ragu rasanya jika mengalami hal serupa cerita Oma Ayu. “Tapi, aku akan pelan-pelan menunjukkan semua momen di album ini. Bertahap, Asha. Tujuan kita ke sini sebenarnya bukan untuk bernostalgia saja, tapi aku ingin mengatakan sesuatu.” Melihat tatapan serius Oma Ayu, aku langsung menegakkan punggung. “Karena kalian tidak ada lamaran, bagian ini langsung dilewati saja. Tanggal pernikahanpun sudah kami diskusikan. Sebagai kedua mempel–” “Oma, dengan siapa mendiskusikannya?” “Orang tua Mas Bima. Kami sepakat, Sayang, semua ini diurus oleh para orang tua. Jika diserahkan ke kalian, mungkin memakan waktu yang panjang. Aku tahu pasti banyak kebimbangan-kebimbangan yang menghampiri kalian, maka dari itu, tidak cocok rasanya jika kalian yang menentukan.” Aku menelan ludah. “La-lalu, tanggal berapa, Oma?” “17. Dua bulan kurang sedikit dari sekarang. Bertepatan dengan tanggal akad aku dan suami dulu. Dari bilangan sendiri, itu tanggal yang bagus untuk melangsungkan pernikahan.” Senyum Oma Ayu mengembang kian lebar. “Kenapa terhitung cepat? Sebab tidak ada yang bisa menebak, Asha. Kalau tidak disegerakan, kesempatan batal mungkin lebih besar.” “Tapi–” “Kamu tahu? Aku bahkan bermimpi didatangi Safiya dan Fahri. Mereka mendoakan yang terbaik untuk rumah tangga kalian.” Aku ... kehabisan kata-kata. Kupikir sebelumnya tidak dibahas lagi, Oma Ayu akan santai karena kami sudah saling menyetujui. Tapi, kenyataannya ... sekarang aku bak kejatuhan bumerang. Kurang dari dua bulan lagi, itu waktu yang terlalu singkat. Sama sekali tidak bisa dibayangkan, bagaimana nanti aku tinggal serumah dengan pria yang kejam. Mas Bima, dia-lah mimpi burukku yang berwujud nyata. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN