7 – Pertemuan Tidak Terduga

1496 Kata
Di dalam mobil yang melaju membelah jalanan, aku menyandarkan punggung di jok, dengan tatapan fokus ke kaca samping. Tidak ada yang spesial, di sana hanya selintas pemandangan yang kami lewati. Tumbuh besar di kampung membuatku asing dengan kota, tapi pelan-pelan aku akan beradaptasi. Ini pertama kalinya aku keluar, setelah dua minggu lebih diam di rumah. Bersama Tante Rani dan Mbak Asih, kami belanja bulanan ke supermarket. Sementara Oma Ayu, setiap Kamis siang sampai menjelang sore, ada kegiatan di luar. Semacam jadi relawan di yayasan kanker payudaraa bersama teman-teman seusianya. Pikirku, luar biasa wanita tua itu. Di usia yang semua kemampuan mengendur, beliau masih aktif sana-sini. Berbuat baik, menyemangati, menolong, bahkan membantu tanpa pamrih. Sekarang benakku membentuk Oma Ayu serupa malaikat. Mulai mengagumi beliau. Dari sekian banyak penyesalan di sini, Oma Ayu sebagian hal beruntung yang kutemui. Harusnya, kemarin-kemarin aku tidak bertindak jadi manusia paling tersakiti di dunia. Hanya karena mulut Mas Bima tidak lebih baik dari sampahh, aku memukul rata semuanya. Padahal kalau membuka pikiran lebih lebar, di sini banyak kutemukan baiknya daripada buruknya. Mungkin ini yang dimaksud peribahasa, hanya karena setetes nila, rusak s**u sebelengga. Semua yang kupikirkan buyar, saat Mbak Asri tidak sengaja menyenggol lenganku. “Eh, maaf, Dek. Mbak nggak sengaja,” ringisnya bersalah, sembari mengusap sudut mata yang berair. “Habis tadi yang dibahas sama ibu lucu banget, jadi nggak bisa nahan ketawa sampai nggak bisa diam.” “Tidak pa-pa, Mbak.” Aku senyum sekilas, kemudian menatap Rani, dengan sekali anggukkan kepala. “Masih lama? Tadi kalau tidak disadarin Mbak Asri, mungkin aku bakal ketiduran. Terima kasih, Mbak.” “Sebentar lagi. Tapi memang gini kebiasaan Mbak kalau belanja sama ibu. Buat ilangin bosan selama perjalanan, biasanya ngobrol hal-hal lucu. Atau Mbak ceritain temen sesama ART di komplek, ‘kan mereka punya cerita beragam. Pahit, asam, manis. Tapi bukan gosip, sih.” “Sampai menggosip, dijewer kupingnya,” timpal Tante Rani. Dia bahkan memperagakan dengan tangan, ditujukan langsung buat Mbak Asri. “Tidak sering juga kami belanja bareng, Sha. Saya sesekali ikut kalau butuh lihat langsung barang-barangnya. Sekarang ada kamu, kebetulan sekali kita bisa jalan. Bosen pasti di rumah terus, belum lagi teman bicaramu cuma orang-orang seusia kami.” “Enggak, Tante. Aku justru senang.” “Syukurlah kalau begitu,” katanya. “Mama titip pesan, katanya bawa Asha ke tempat ramai. Soalnya kamu butuh hiburan, hilangin jenuh, segarin pikiran. Beliau juga minta dipilihkan baju yang bagus buat kamu. Saya diminta pastikan kamu tidak boleh menolak.” “Apa ini tidak berlebihan? Jujur saja ...” Aku melirik Mbak Asri, Pak Parman di bagian kemudi, terakhir Tante Rani, “Aku sering tidak enak, Tante. Yang kuterima, tidak sebanding dengan yang kukasih. Malah belum ada yang kukasih ke kalian, tapi sifat kalian terlalu baik ke aku.” “Denger ‘kan, Ri? Baru pertama kalinya, lho, ada yang tidak enak sama kebaikan orang lain.” “Bener, Bu. Ini cukup langka,” kekeh Mbak Asri, tidak lupa tepukan gemas mendarat di pahaku. Entah ini kebiasaannya atau tidak, tapi setelah kuamati, sepertinya Mbak Asri memang rusuh kalau tertawa. “Kalau dipikir-pikir, aneh juga sih. Dek Asha tiba-tiba muncul, lalu saat Bu Ayu tahu dia keturunan siapa, mudah keluarga ini menerimanya. Mbak masih nyimpan pertanyaan sampai sekarang, lho, kenapa bisa semudah itu?” “Jadi sekarang kekepoannya keluar, karena tadi dipancing, ya?” Mbak Asri terkekeh sambil menggaruk kepala. “Mumpung ingat, Bu. Kemarin-kemarin lupa.” “Oke, kalau gitu sekalian aja.” Tante Rani menyamankan posisi duduk beliau, kemudian lanjut bicara, “Memang mama saat tahu Asha siapa, beliau langsung emosional. Semuanya tumpah gitu aja. Bahkan kalau tidak salah ingat, beliau kayak tidak mau lepasin Asha. Dari sini saya bisa nilai, beliau rindu sekali sama orang-orang itu.” Mbak Asri menyimak dengan saksama, aku juga tidak kalah serius darinya. “Setelah Asha istirahat di kamar, saya diajak mama bicara. Beliau jelasin semuanya, tanpa terlewat satupun. Beliau juga lihat kemiripan di wajah Asha, itu yang buat beliau yakin. Tapi, kalau saya pribadi, jujur saja sempat ragu. Takutnya itu modus penipu zaman sekarang.” Aku tertawa. “Rasanya pikiran itu lebih manusiawi, Tante. Selama ini aku juga ngerasa aneh kalau kalian tidak menaruh pikiran buruk ke aku.” “Iya, aneh sekali. Tapi, kamu tidak tersinggung ‘kan, Sha?” “Enggak sama sekali.” Embusan napas Tante Rani terdengar, dia juga mengangguk. “Jadi, setelah dengar penjelasan mama itu, saya langsung hubungin suami saya. Jelasin hal sama ke dia, tanpa kekurangan atau kelebihan. Terakhir minta dia buat cari tahu kebenaran si Asha ini, kalau bisa pakai koneksi gitu. Minta tolong ke temannya di pihak kepolisian, biar cepat ketemu.” “Terus, Bu. Terus?” “Tiga hari kemudian sudah dapat. Semua lengkap, bahkan sampai ke foto makam orang tua, kakek dan neneknya Asha. Termasuk kartu keluarga, juga rekaman video tetangga yang membenarkan kalau almarhum dan almarhumah punya cucu namanya Asha Lavana. Tidak lupa ditunjukkan fotomu dan orang itu langsung membenarkan. Sempat juga dia khawatir dengan keadaanmu, tapi setelah dijelaskan, dia turut lega mendengarnya.” “Hebat, kayak drama Korea, Bu.” Keseriusan yang melingkupi, langsung mencair detik itu juga karena celetukkan Mbak Asri. Pak Parman bahkan tertawa. “Asri, Asri ...” selorohnya. “Kebanyakan nonton kamu. Jadinya, ya, gini.” “Ih, seru tau, Pak! Berguna juga ‘kan kalau di situasi kayak gini. Lagipula Asri ngerasa lebih pintar gitu lho kalau tontonannya yang berbobot.” “Iya, berbobot. Apalagi yang banyak kisah percintaan, perselingkunan dan per-perlainnya, itu sangat berbobot sekali” “Pak Parman kok tau?” “Anak saya hobinya sama kayak kamu.” “Oalaah ...” Gelak tawa mengisi mobil, bersamaan dengan Pak Parman berbelok memasuki parkiran supermarket. Jujur aku tidak terpengaruh dengan candaan Mbak Asri dan Pak Parman, tapi lebih ke penasaran lanjutan kata-kata Tante Rani tadi. Jelas ada rasa tidak nyaman saat tahu ditelusuri sampai ke akar-akarnya, tapi aku maklum, itu salah satu upaya untuk membenarkan kemunculanku. Sedikit lega juga, sebab pencarian berujung tepat. Aku tadi sempat takut, kalau saja semua yang ditemukan pada akhirnya tidak benar. Kini kami keluar, dengan Tante Rani lebih dulu. Dia langsung mengamit lenganku, sementara Mbak Asri tepat di sebelah kananku. “Selesai belanja, kita cari makan dulu, baru lanjut cerita lagi.” Rupanya terlihat jelas sekali rasa penasaran di wajahku. “Iya. Terima kasih, Tante ...” *** Kami ke toko perhiasan. Ini di luar rencana sama sekali, Tante Rani di awal bahkan tidak memberitahu sama sekali kalau akan ke sini. Tadinya pikiranku masih positif, aku yakin dia mau beli buat dirinya atau Oma Ayu. Nyatanya salah, justru jariku-lah yang diukur. Terakhir sebelum keluar, Tante Rani ada pembicaraan dengan salah satu karyawannya, yang samar kudengar seperti ‘motif yang diinginkan mertua saya’, juga ‘sepasang’. Semua spekulasi langsung bermunculan. Apa ini untukku dan Mas Bima? Tapi, pembicaraan lebih lanjut mengenai pernikahan belum ada. Terakhir saat kukatakan bersedia, tidak ada obrolan ke arah sana lagi dengan Oma Ayu. “Sha, kamu keberatan nunggu di sini? saya mau ke toilet sebentar, barang belanjaan semua dititip di kamu, ya.” “Eh? Iya, Tante,” jawabku. Tante Rani tersenyum tipis. Beliau langsung menepi, meletakkan semua kantong di sebuah kursi. “Duduk di sini aja, ya. Enggak lama, kok.” “Iya.” Dia berlalu, bersamaan aku menempati kursi. Cukup pegal rasanya, setelah beberapa jam berkeliling. Melihat belanjaan, aku kembali mengembuskan napas. Untuk ukuran orang yang jarang beli baju, ini kebanyakan buatku. Canggung sekali menerima. Tatapanku mengedar ke sekeliling, menikmati ramainya orang lalu-lalang. Salut rasanya, karena tidak pusing atau kaget di tempat ramai. Salut juga aku tidak malu-maluin saat pertama kali menginjakkan kaki di mall. Oh iya, mengenai Mbak Asri, dia pulang lebih dulu. Selesai makan, tugasnya membawa pulang barang diantar Pak Parman. Nanti Pak Parman balik jemput kami, setelah ditelpon oleh Tante Rani. Melihat gadis seusiaku berseliweran, tanpa sadar aku bergumam dalam hati. Mereka pasti menikmati sekali, mengenyam pendidikan sampai selesai, tidak terhenti sepertiku. Ah, memikirkan kuliah, rasa kecewa pada diri sendiri langsung merambat. Satu langkah terakhir lagi aku berhasil mendapat gelar, sayang keadaan belum berpihak. Kupikir, mungkin nanti aku bisa melanjutkan. Semoga saja. Terlalu fokus menatap lantai, aku dikagetkan dengan cengkeraman seseorang. Saat mendongak, aku tidak sempat mencerna karena buru-buru ditarik pergi, berlindung di salah satu toko. “Kau memata-mataiku sekarang?!” Belum pulih sepenuhnya, aku sudah di serang. Bertuntung masih punya pikiran buat mengenyahkan tangan kasarnya dari lenganku. “Lepas, Mas! Aku bahkan baru melihatmu.” “Jangan berkilah!” Dia menatapku belanjaan di tanganku, lalu menyeringai kejam. “Ah, aku tahu. Kau mulai bergerak rupanya. Pelan sekali, tapi licin seperti belut. Makin lama, belangmu makin terlihat, gadis licik.” Saat dia menangkup paksa daguku, aku membuang muka dengan kasar. Sebelum kembali melayangkan tuduhan dangkalnya, aku mengambil tindakan dengan menginjak kakinya. Keras sekali, sampai kupikir, seluruh tenaga kukerahkan di sana. “Silakan jadi budakk dari pikiran bodohhmu, aku tidak perduli!” “Berengs–Asha!” Tidak kuhiraukan. Sekencangnya aku berlari, tanpa memikirkan barang Tante Rani lagi. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN