9 – Sambutan untuk Calon Pengantin

1480 Kata
Persiapan administrasi mulai dilakukan. Om Pras bahkan rela pergi ke kampungku untuk mengurus ini dan itu. Aku tidak dibolehkan ikut, Oma Ayu punya ketakutan tidak berdasar. Beliau bilang, bisa saja kalau ke kampung aku tidak mau balik ke sini lagi. Ujung-ujungnya pernikahan yang sudah ditetapkan tanggal, menjadi batal. Padahal, sama sekali tidak ada pikiran seperti itu. Kalau saja Oma Ayu tidak mengatakannya, mungkin aku tidak akan tahu ada ide nekat begitu. Kubilang pada beliau, percayalah aku pandai bicara, tapi tidak pandai melakukan hal culas. Oma Ayu tertawa setelah mendengar jawabanku. “Asha, coba bilang apa saja yang kamu inginkan?” tanya Oma Ayu di suatu siang saat kami bertukar pikir di ruang tamu. Bukan ada kami saja, Tante Rani dan Mbak Asrii pun ada. “Apa saja. Sebagai keluarga dari pihak pria, kami usahakan untuk memenuhinya.” Aku sempat diam, bukan bingung, lebih tepatnya sedang berpikir. Realistis saja, aku tidak mau menolak lagi. Tahu kalau penolakan tidak akan diterima, kupikir memang harusnya disambut saja. Lagipula anggap ini kompensasi. Terlebih nanti akan tinggal satu rumah dengan manusia sejenis Mas Bima. Dia benar-benar ujian nyata dunia buatku. “Tidak banyak, Oma. Kalau kubilang ingin melanjutkan kuliah sambil buka online shop, Oma tidak keberatan?” Sebenarnya aku mengatakan ini sambil gugup. Sebab pertama kalinya aku meminta-minta, bagai perempuan matre seperti yang dituduhkan Mas Bima. “Kuliahku terhenti di semester delapan. Selain karena alasan merawat almarhumah nenek, beasiswaku juga dicabut. Dulu kupikir akan cuti sekaligus berhenti, tapi bagaimanapun aku selalu menyayangkan, Oma. Pendidikanku yang tinggi bisa dijadikan pegangan agar tidak dipandang rendah orang-orang.”  “Siapa yang memandang rendah kamu, Nak?” Ada binar kaget di mata Oma Ayu. Mungkin kata-kata terakhirku pemicunya. “Kalau ada di antara kami, bilang langsung ke aku. Biar dia diajarin tata krama dalam bicara. Sesama manusia kok bisa merendahkan manusia lain? Kayak yang dia sempurna saja.” Ingin sekali kubilang cucu kesayanganmu, tapi kutahan. Menghindari konflik, lagipula aku tidak mau ada sebutan burukk lainnya di samping namaku. Semacam pengadu dan cari muka, misalnya. “Cuma jaga-jaga, Oma. Tapi, kalau Oma keberatan, aku bisa bilang yang lain. Maaf kalau terdengar sok menyedihkan demi menarik rasa kasihan.” “Bukan sok menyedihkan, tapi beneran menyedihkan, Dek,” sahut Mbak Asri tiba-tiba. Dia menatapku seolah prihatin, membuatku meringis tidak nyaman. Maksudnya bukan ini mauku, tapi ... ya sudahlah. “Emang berat banget ya hidup di kampung dulu? Bener, sih, dari penampilan Dek Asha aja, Mbak bisa menilai kalau kamu pekerja keras dan pintar.” “Asri pandai ya membaca orang lain,” sindir Tante Rani. Seketika Mbak Asri gelagapan, dia juga tertawa canggung. “Maaf, Bu, saya cuma menyuarakan isi hati. Tapi emang bener, kan? Yang mengelilingi Dek Asha itu cuma aura kemurungan dan tekad yang kuat. Selain itu, mungkin nanti bisa bertambah lagi.” “Begini kalau kebanyakan nonton drama. Genre apa lagi kali ini?” “Hehe ... horor, komedi, romantis, Bu Ayu.” Oma Ayu berdehem, kemudian menggeleng-gelengkan kepala. Setelahnya beliau menatapku tegas. “Kupenuhi keinginanmu, Nak. Ini bukan terpengaruh dipandang dari pendidikan seperti yang kamu bilang, tapi karena murni permintaanmu. Ada lagi, Sayang? Sebutkan saja, berapapun kami tidak masalah.” “Mobil, Dek. Eh motor aja, biar ke mana-mana enak. Ponsel! Wah barang satu ini tidak boleh tertinggal. Katanya mau skripsian, kan? Bisa itu minta beliin laptop. Yang merek mahal aja, kayak apel bekas gigitan.” “Hush! Kok kamu yang milih ini-itu?” “Refleks tadi, Bu. Hehe ...” Aku sampai tertawa. Sebenarnya ide Mbak Asri boleh sekali dipertimbangkan, tapi kuputuskan tidak. Sebab dua tadi saja sudah terlalu banyak. “Cukup, Oma. Terima kasih sudah memenuhi keinginanku. Maaf kalau melunjak.” “Langsung kumasukkan ke dalam list catatan, ya. Satu hal lagi, jangan sering minta maaf, Asha. Kamu tidak salah sama sekali. Lagipula ini tawaran, artinya kamu bebas bilang apa saja.” “Terima kasih banyak, Oma.” “Sama-sama,” jawab beliau. Kemudian beliau mengambil buku, menulis semua permintaanku, ditambah barang-barang sebutan Mbak Asri dan tambahan dari beliau sendiri. Aku tentu kaget. “Oma, aku tidak perlu itu!” cegahku. “Tidak, ini pemberian kami. Asri benar, kamu butuh semuanya. Kecuali mobil, jadi sementara motor dulu, ya? sementara emas dan yang lain-lain,  itu memang harus ada, Nak.” Aku tidak bisa ... berkata-kata. “Terima aja, Sha. Jangan merasa tidak enak. Itu untuk kebutuhanmu.” Bergantian aku menatap Oma Ayu dan Tante Rani, terakhir Mbak Asri. Entah kenapa, rasa haru langsung melingkupi. Jujur kalau tidak punya ponsel, aku tidak masalah sama sekali. Laptop, aku bisa saja meminjam punya Mbak Asri. Motor apalagi, karena jarang sekali keluar rumah. Tapi dalam pandangan mereka, aku wajib punya. Tidak ada kata lain yang bisa kuucapkan, selain terima kasih. Mereka ... tidak salahkan kalau kubilang aku menyayangi mereka? *** Kamis sore, saat aku menyapu halaman rumah karena daun kering berserakan, sebuah mobil terlihat memasuki gerbang. Pak Ramlan sebagai satpam, terlihat mengangguk sopan ke kaca mobil terbuka yang sedikit. Kupikir mungkin kenalan orang rumah, karena mereka terlihat akrab sekali. Kulanjutkan menyapu. Setelah daun terkumpul, kuambil serok sampahh di dekat tong kemudian menyerok daun sampai bersih dan memasukkannya ke dalam tong. Tadinya mau langsung masuk, tapi batal karena sebuah suara menginterupsi, “Pekerjaan itu cocok untukmu. Harusnya sadar diri, kalau tidak mau jadi penghancur hubungan orang, muncul saja sebagai perempuan yang butuh kerjaan. Dengan begitu, semua berjalan normal.” Ini nada sopan pertama yang pernah kudengar darinya, setelah sekian banyak bentakan, ejekan, kesinisan, sebutan burukk yang kuterima. Tapi, sayang, baik itu sopan atau penuh emosi, tetap saja maknanya tidak baik. Aku dipandang pembantu, di mata seorang Raden Bimantara Wira. Nama yang melambangkan seorang bangsawan. Bangsawan angkuh dan arogan. “Aku tidak semengemis itu,” sahutku tenang. “Bahkan pekerjaan lebih dari pembantu, aku bisa mendapatkannya. Otakku bisa diandalkan, Mas. Tidak seperti otakmu yang dangkal. Satu lagi, apa yang kubicarakan tidak sekotorr sampahh. Tidak pernah juga aku menganggap orang lain menjijikann, karena kupikir, aku tidak lebih baik dari mereka.” Rahangnya mengetat. “Lihat, siapa di sini? Gadis yang kemarin terlihat lemah dan mudah ditindas, sedang menunjukkan taringnya. Sayang sekali, bukan terdengar bijak dan lebih baik, penilaianku terhadapmu justru makin merendah.” “Aku tidak butuh dinilai orang buta sepertimu.” Puas membalas, aku berbalik memasuki rumah. Meletakkan sapu ke tempat asalnya, kemudian menuju kamar mandi untuk mencuci tangan dan wajah. Napasku memburu, campuran kesal dan marah. Setiap kali bertemu Mas Bima, ini yang sering kurasakan. Bahkan lebih, tangan dan isi kepalaku mendesak sekali ingin menampar sekaligus menjambak rambutnya. Ini yang selalu kami lewati saat bertemu. Lalu, bagaimana setelah menikah nanti? Aku mendongak menatap kaca, menatap lekat pantulan yang ada di sana. Binar mataku meredup, rasa kecewa terlihat muncul ke permukaan. Mungkin orang lain tidak melihatnya, tapi aku paham jelas bagaimana diriku. Dulu aku tidak punya mimpi khusus tentang pasangan dan pernikahan. Tapi, aku masih gadis normal pada umumnya. Merasa tertarik pada lawan jenis, bermimpi ingin punya rumah tangga harmonis suatu saat nanti. Mungkin karena ketidak-ambisianku dalam menenentukan pasangan hidup, makanya diberi Tuhan berbentuk Mas Bima. Kuakui dari segi fisik dia sempurna, menggambarkan ketampanan khas pria dewasa. Dia juga sayang keluarga, hanya saja picik dalam perempuan. Ah, aku ingat, Oma Ayu pernah bilang dia tidak pandai memilih perempuan. Jadi, harusnya wajar saja, karena memang dari dirinya sendiri ada yang salah. Merasa puas mengata-ngatai, aku mengambil handuk mengelap wajah. Setelah cukup kering dan segar, kutaruh handuk kotor ke keranjang cucian, kemudian keluar dari kamar mandi. Sayang tidak beruntung, Mas Bima seperti hantuu menungguku di samping pintu. “Aku tidak suka kau mengata-ngataiku!” “Lalu, bagaimana denganku? Haruskah kubilang dari kemarin-kemarin kalau aku juga tidak menyukainya?” “Kau tidak berhak!” “Siapa Mas Bima, sampai mengatur-ngatur? Tubuhku milikku, aku berhak bertindak atas segala yang kuterima!” “Hei, kau–” tunjuknya tepat di depan mata. Deru napas saling sahut-sahutan, dia emosi, aku emosi. Kami saling emosi. “Pernahkah kau pikir, kalau saja tidak mengacau, tidak ada perdebatan seperti ini. Aku tenang, kau tenang. Hidup kita aman tanpa kenal satu sama lain!” “Tidak sama sekali! Aku bahka tidak berpikir, ada ibliss seperti Mas Bima hidup di dunia ini.” “Kau melebihi batas!” Saat kupikir dia mau mencengkram daguku lagi, mataku refleks memejam. Namun yang kudapati beberapa saat kemudian, punggungku membentur tembok, dengan tangannya membekap mulutku. “Diam!” bisiknya rendah, penuh tekanan. “Oma melihat. Jangan buat dia tahu kalau aku sangat membencimu!” Perlahan mataku membuka, melirik lewat ekornya ke arah apa yang Mas Bima ucapkan. Benar saja, beliau tersenyum di kejauhan. Menyaksikan kami dalam posisi dekat, padahal nyatanya tidak sama sekali. Mas Bima mengancamku. “Permainan ini dimulai olehmu, Asha. Jadi, siap-siap saja. Kita melakukan pernikahan palsu, di mana banyak sandiwara dan air mata di dalamnya.” Setelah melepaskan bekapan, Mas Bima menyeringai. Dia mengusap pelan pipiku, kemudian mendorong sampai aku tertoleh. “Selamat menjalankan peran, calon mempela pengantinku. Nikmati hari-hari sengsaramu.” ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN