10 – Konsekuensi dari Kepalsuan

1405 Kata
“Apa yang kalian bicarakan?” tanya Oma Ayu saat aku memutuskan duduk di sofa tunggal. Tadinya ingin ke kamar, karena ada Mas Bima bikin sesak bernapas. Dia tidak beda dari polusi, merusak pernapasan bahkan paru-paru. Tapi, tidak bisa. Dia di sini disuruh Oma Ayu. Katanya ada yang perlu didiskusikan antara kami. “Mas, sekarang Oma mau tanya. Pernah nggak kamu merasa senang, meskipun tahu sedang ditipu?”“Maksudnya, Oma?” Mas Bima bertanya balik. Dia bingung, sebenarnya aku juga. “Ditipu itu kejahatan. Harusnya kalau memaafkan, tidak sampai senang juga. Bagaimanapun kita tahu sendiri kalau kita sedang ditipu.” “Nyatanya itu yang Oma rasakan. Melihat kedekatan kalian di depan kamar mandi, rasanya senang sekali, Mas. Senang sekali. Tapi, mata tidak pernah berbohong. Saat Asha menatap Oma waktu itu, Oma tahu dia enggak nyaman. Di sini Oma menyimpulkan, kamu menyakitinya alih-alih merayu.” “Oma, tadi itu tid–” “Jangan buat penyangkalan. Usia Oma boleh tua, tapi soal pengamatan Oma masih setajam waktu muda.” Senyum yang diulaskan Oma Ayu terlihat santai, tapi aku tahu tidak begitu. “Tadi Oma sampai mikir lho, Mas. Andai kalian benar ciuman, mungkin saja Oma bersorak. Tapi mana mungkin lah ya secepat ini. Semua juga butuh proses. Bisa jadi proses itu cepat kalau kerja sama kalian bagus. Bisa jadi enggak, sebab kalian bermusuhan.” Mas Bima terbatuk-batuk mendengarnya. “Gimana kalau poin kedua yang benarnya, Oma?” Aku bertanya, tapi maksudnya menantang. “Ini misal. Sebenarnya aku sama Mas Bima tidak terlalu bermusuhan. Mungkin karena asing, kami jadi canggung satu sama lain. Mungkin nanti kami bisa jadi dekat, seperti yang diharapkan.” “Sudah, sudah. Cukup membicarakan ini. Omongan kalian berdua banyak indikasi kebohongan. Sama sekali nggak bisa dipercaya.” Tangan Oma Ayu mengibas-ngibas, menandakan bosan. “Sekarang kembali ke tujuan utama. Mas Bima disuruh datang ke sini untuk merundingkan hari pergi ke butik. Kita butuh fitting kebaya buat akad dan gaun buat resepsi. Jangan ada kata sibuk, karena itu cuma alasan kosong saja.” “Tapi, Oma, di kantor memang lagi sibuk-sibuknya. Curi waktu buat makan siang saja susah. Belakangan aku selalu lembur, tanyakan saja ke papa kalau tidak percaya.” “Oh, ya? Sibuk banget, Mas? Beberapa hari lalu, siapa yang kami temui di mall?” Tante Rani tiba-tiba muncul, dengan nampan di kedua tangannya. “Aku pernah cerita ini ke Mama, nggak? Soal yang waktu it–” “Oke, kapan saja aku bisa. Katakan tempat dan alamat, secepatnya aku datang. Demi kalian,” potong Mas Bima menggebu-gebu. “Mama, sebelumnya sudah kubilang akan diakhiri. Jadi, jangan ngomong apa-apa ke oma.” “Apa itu? Kenapa kalian ada rahasia?” “Tidak, tidak pa-pa, Oma. Semuanya aman.” Melihat gelagat panik anaknya, Tante Rani mengulum senyum. Dia juga menatapku, kemudian mengedipkan mata. “Ya sudah, minum dulu. Mumpung dia sudah serahkan semuanya, kita bisa santai tentukan hari.” “Kalau sore Sabtu gimana? Kamu tahu, Ran, butik milik anak teman Mama itu? Dia memang nggak main-main, desain dan bahan bagus. Klien yang ke sana enggak pernah dikecewakan. Memang hasilnya memuaskann.” “Sana Samantha, Ma? Kalau benar, dia memang nggak diragukan lagi. Harga sesuai kualitasnya. Pelayanan bagus, ramah banget. Kita ke sana niat cuma nanya-nanya, ujung-ujungnya pasti ukur badan. Ya memang dari semuanya menarik minat.” “Iya benar. Mamanya itu teman relawan Mama di yayasan. Makanya mudah bikin janji temu. Lewat telepon saja disanggupi sama dia. Katanya kapan saja mau ke butik, Sana bisa. Sengaja dikosongin satu minggu khusus buat Mama.” “Emang sebaik itu, Ma?” “Kurang tau. Tapi, pengaruh kenalan mamanya mungkin.” Tante Rani mengangguk-angguk. Pembicaraan mereka berdua berakhir, karena selanjutnya Oma Ayu menatapku. “Sha, sekarang kita mulai revisi panggilan, ya. Kamu tidak boleh panggil Rani tante, tidak boleh sebut Pras om. Mereka calon mertuamu, jadi samakan saja seperti Mas Bima.” “Oma, dia masih calon. Belum terjadi. Jangan buru-buru. Ke depannya kita tidak tahu pasti. Bisa saja ‘kan ada sesuatu hal sampai pernikahannya tiba-tiba batal.” “Jadi, kamu kepingin batal, Mas? Sesuatu apa? Kamu berencana menghamili perempuan matremu lalu berbalik haluan menikahinya, alih-alih Asha?!” “Oma, tidak begitu. Aku bukan binatangg, Oma.” “Siapa tahu. Dompetmu dikuras, otakmu juga ikut dikuras. Jadi, semuanya bodohh.” Mas Bima membuang muka, enggan menjawab lagi. Mungkin aku tahu sebabnya, dia akan selalu kalah di mata wanita-wanita hebat kesayangannya. Aku cukup senang mengetahui kelemahan Mas Bima yang satu ini. “Kembali ke Asha. Sekarang, kamu di mataku juga sama posisinya dengan Mas Bima. Cara bicara kita akan sedekat cucu kandung. Bahkan kalau kamu lebih baik, bisa jadi aku lebih menyayangimu daripada Mas Bima.” Kekesalan Mas Bima makin nampak, membuatku tanpa sadar menarik sudut bibir ke atas. Tersenyum tipis, sebab jadi hiburan tersendiri. “Terima kasih banyak, Oma. Akan kuusahakan pelan-pelan.” “Harus, dong. Ingat di pernikahan ini darah tidak lebih spesial. Siapa yang lebih dewasa menyikapi, maka satu keluarga berpihak padanya. Teruntuk kalian berdua, jangan karena hanya memenuhi wasiat, kalian menjalaninya penuh kepalsuan. Oma bersumpah, kalau kalian seperti itu, sampai mati kalian akan terikat dan mencintai sampai ke tulang-tulangnya sekalipun.” Tante Rani sampai mengusap dadaa. Bagaimana tidak, Oma Ayu mengatakannya dengan serius dan tegas. Jujur aku juga ikut takut. Takut termakan sumpah Oma Ayu. Tapi, harusnya aku tidak resah, karena dari awal aku tidak pernah bilang ini palsu. Bagaimana bisa dikatakan palsu, sementara menjalani setiap prosesnya itu terlalu nyata. “Apa tidak sekalian hartaku juga diambil alih, Oma? Biar lebih terasa ditirikannya,” tandas Mas Bima. Sinis sebenarnya, tapi dia tahan-tahan karena menghormati orang tua. Terlebih ini di depan Oma Ayu dan Tante Rani. “Usul bagus itu, Mas. Nanti bikin surat perjanjian, hartamu dialihkan ke Asha kalau kamu mencuranginya.” Mas Bima terkekeh, sampai menggeleng-gelengkan kepala. Terakhir dia menyugar rambut, kemudian bangkit. “Cukup, aku mau pulang. Lama di sini rambutku bisa rontok. Memikirkan perbedaan kalian semenjak ada gadis ini, benar-benar di luar nalar.” “Kamu tidak ikut makan malam, Mas? Mama masak banyak,” kaget Tante Rani. “Kenapa sekarang susah sekali mencari waktu kamu ke sini? Dulu meski sibuk, kamu sempat-sempatin makan bersama. Sekarang rasanya sulit.” “Bukan gitu, Ma. aku cuma ... menjalani pingit mandiri. Lagipula tidak baik kami tinggal serumah. Takut khilaf.” Mas Bima menatapku, menilai dari atas kepala sampai kaki, kemudian membuang muka. “Ingat, aku bukan binatangg.” “Ya sudah, sana langsung pulang! Kamu, Rani, buat apa menahan dia yang nggak mau tinggal. Biarin aja. Mungkin sekarang dia ngebet ketemu perempuan matrenya. Maklum sebentar lagi hubungan mereka berakhir, jadi pisahnya harus baik-baik. Pakai kata dramatis, biar suasana makin-makin terasa sulit.” Yang disindir terlihat tidak perduli lagi. Dia memperbaiki kancing lengan baju, kemudian mengangguk sekali. “Aku pulang. Nanti kalau sampai, langsung kutelpon.” Tidak ada yang menyahut. Justru secepat kilat Oma Ayu mengalihkan perhatiannya padaku, mengajak bicara, “Jadi, sepakat sore Sabtu, Nak?” “Iya, Oma,” jawabku ringan, karena puas melihat Mas Bima kesal hari ini. Rasanya secara tidak langsung, aku sudah balas dendam. *** Aku diam, lebih tepatnya kebingungan. Hari ini Tante–maksudnya Mama Rani mengajak keluar butuh ditemani mencari kue, tapi yang kutemukan malah pagar rumah. Tidak ada toko kue di sana, bahkan sekitarnya sekalipun. “Ma, katanya kita–” “Memang benar, kok. Tapi itu cuma Mama sendiri. Kamu sementara di sini dulu, sorenya baru dijemput.” “Ini rumah siapa?” tanyaku mulai was-was. Melihat Mama Rani mengulum senyum, aku tahu pikiranku tidak salah. ‘Jangan, Ma. Tidak enak. Lagipula ini pertama kalinya ke sini, jadi tidak tahu apa-apa.” “Kamu tahu pasti apa yang kamu lakukan. Ini kuncinya, Sayang. Ingat, jangan ke mana-mana sebelum kami jemput. Oh, iya, ponsel barunya gunain buat hal mendesak saja.” Dengan santai Mama Rani membawaku keluar. Memasangkan sling bag, lalu menaruh kunci ke genggamanku. “Mama bilang, latihan dulu. Kalian sama sekali enggak pernah berduaan dalam waktu yang lama. Jadi, pergunakan waktu ini baik-baik.” Kemudian dia masuk ke mobil, melambaikan tangan. “Selamat bersenang-senang.” Pak Parman membunyikan klakson, setelahnya mobil perlahan menjauh. Aku langsung menatap kaku, kemudian berbalik linglung. Kupandangi rumah besar, yang jadi kediaman Mas Bima selama ini. Pelan aku menelan ludah, merasa tidak nyaman. Kulihat sekali lagi kunci di tanganku, kemudian menghela napas kasar. Maksud mereka apa? Mengantarku ke sini, dengan tujuan memberi waktu lama untuk kami berdua. Mungkin waktu berdua untuk berkelahi, lebih tepatnya. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN