11 – Mantra Calon Pengantin yang Malang

1418 Kata
“Neng Asha?” Aku langsung bingung. Pasalnya niat membuka pintu pakai kunci, batal karena pintu lebih dulu dibuka. Bukan olehku tentunya, tapi oleh wanita tua yang baru saja menyapa. Kiranya usia beliau lebih muda beberapa tahun dari Oma Ayu. “Iya, itu saya. Mohon maaf, ini benar rumah Mas Bima, kan?” “Benar sekali, Neng. Silakan masuk,” ajaknya ramah. Bahkan tidak sungkan mengamit lenganku, menuntun menuju ruang tamu. “Tadi Mbok ditelpon ibu. Katanya calon menantu mau inspeksi rumah. Mbok jelas dengan senang hati menunggu kedatangan Neng.” “Mbok ... siapanya Mas Bima?” “Yang ngurus mas di sini. Mungkin ibu belum cerita, tapi Mbok sudah lama kerja sama Bu Rani. Sejak mas bayi kalau ndak salah ingat. Pas ibu sama bapak memutuskan pindah ke rumah utama, Mbok disuruh menetap.” Aku mengangguk-angguk mengerti. Percakapan kami sempat terjeda, karena mengambil tempat duduk di sofa. Tapi, aku tidak menyangka disambut begini. Maksudnya untuk ukuran orang baru, Mbok Latri sangat menerimaku. “Mau minum apa, Neng? Maaf tadi Mbok nyerocos bicara. Soalnya kebiasaan, kalau sama mas atau ibu juga gitu. Ngerasa nyaman.” “Air dingin saja,” jawabku sambil tersenyum. “Mbok, makasih banyak, ya. Ini pertemuan pertama kita, tapi Mbok baik sama aku. Tadinya kalau tidak ada orang di sini, kupikir mau masuk sebentar, lalu pulang. Tant–maksudnya Mama Rani juga sama tidak kasih tau. Dia cuma kasih kunci.” “Simpan aja, Neng. Nanti ‘kan tinggal di sini. Kalau soal baik, memang sudah seharusnya gitu. Lagipula, Mbok senang akhirnya ada gadis yang cocok sama keluarga mas.” Aku menelan ludah. Kata-kata Mbok Latri mengandung sesuatu, memancing rasa ingin tahu. Tapi, aku menahannya. Tidak boleh sampai mengacu kearah sana. “Terima kasih banyak, Mbok.” “Sama-sama, Neng. Tunggu sebentar, ya. Mbok ambil minumnya dulu.” Aku mengangguk. Tatapanku sempat mengikuti kepergian Mbok Latri, tapi hanya sesaat, karena sekarang beralih fokus pada sekeliling ruangan. Tadi waktu masuk, aku tidak begitu memperhatikan. Sekarang baru benar-benar menatap, terlebih pada beberapa foto besar di dinding. Selain Papa Pras, Mama Rani, Mas Bima, Oma Ayu, aku menemukan anggota keluarga lain. Aku menebak, beliau adalah almarhum suami Oma Ayu. Dengan usia lebih separuh baya, beliau masih terlihat gagah dan berwibawa. Mata beliau mengingatkanku pada Mas Bima. Itu yang beliau wariskan pada cucu satu-satunya, selain jabatan tinggi di pabrik besar milik keluarga Wira. “Mas biasanya pulang jam lima sore, tapi belakangan jam sembilan malam. Katanya banyak kerjaan jadi ekstra lembur,” jelas Mbok Latri saat muncul. Beliau membawa nampan yang berisi air dingin, ditambah kue-kue kering. “Tadinya Mbok mau telepon mas, mau ngabarin kalau Neng di rumah. Tapi pesan ibu datang kemudian, katanya ndak boleh dikasih tahu, biarkan saja jadi kejutan.” Beliau meletakkan minuman di atas meja, berikut kuenya. “Mbok tahu hubungan kami, aku dan Mas Bima?” tanyaku penasaran. “Tahu. Memang mas ndak pernah bilang langsung ke mbok kalau sudah ada calon istri, sebentar lagi mau nikah. Tapi, posisinya Mbok dekat juga sama ibu. Pihak sana kasih tahu ke Mbok. Katanya kalau dekat hari-H, Mbok baru diboyong. Untuk sementara Mbok disuruh pantau mas dulu.” Lagi, Mbok Latri mengatakan hal yang memancing keingintahuanku, tapi kembali seperti tadi, aku menahannya. Aku diam beberapa saat, membiarkan Mbok Latri duduk dengan nyaman. Aku juga meminum air putihku, dilanjut mencomot kue. “Beginilah kondisi rumah, Neng. Kalau mas kerja, sepi. Kalau pulang, ramai ada teman ngobrol. Berlaku juga untuk akhir pekan, kalau tidak pulang ke rumah utama atau jalan-jalan.” “Memangnya Mas Bima jarang di rumah, Mbok?” “Karena bekerja, memang jarang. Selebihnya, dia keluar kalau ada janji, atau teman janjinya yang datang ke sini. Mbok lupa, tapi kayaknya memang rutin pembagian waktu jalan ke luar sama ketemuan di rumah.” Selama ini aku cuma mendengar. Baik itu namanya, kejelekannya, dipujinya, dicibirnya, dicintainya, bahkan dibelanya. Tanpa sadar, itu membuatku penasaran. Terlebih dari penjelasan Mbok Latri tadi. Beliau seolah menunjukkan, rumah ini sering jadi tempat pertemuannya Mas Bima dan sang kekasih. Alin. Tapi, paham tidak? Meski penasaran, aku masih bisa menahan diri. Kupikir selagi tidak mengusik, itu bukan urusanku. “Mbok sibuk?” Aku mencoba mengalihkan pembicaraan. “Kalau iya, maaf mengganggu. Semisal Mas Bima masih lama, saya tidak keberatan pulang sekarang.” “Eh, jangan. Mbok paling sibuk masak buat makan malam. Neng bisa tunggu sambil keliling-keliling. Nanti kalau mas pulang, bisa makan bareng berdua.” Aku menghela napas. Kenapa harus terjebak di sini? Menyesal rasanya menyetujui ajakan Mama Rani. Tahu begitu, lebih baik aku berdalih bantu-bantu di rumah. Apa saja kubantu, asal berhasil terhindar. “Neng diam dulu, ya? Mbok ke dapur mau siap-siap. Mas kalau pulang pasti nyari makan, tapi kalau dikasih makanan sisa tadi pagi, ndak mau dia. Makanya di sini Mbok selalu masak dikit, kiranya cukup buat sekali makan porsi tiga orang.” “Mau aku bantu, Mbok?” tawarku. “Ndak usah. Masa pertama kali ke sini diajak masak-masak.” Mbok Latri tertawa kecil sambil mengibas-ngibaskan tangan. “Kalau mau nonton tv, silakan. Lihat-lihat juga silakan. Asal jangan pulang ya, Neng.” Mau tidak mau aku mengangguk. “Terima kasih banyak, Mbok.” “Sama-sama, Neng,” jawab beliau. *** Mau tahu sebagian waktu di rumah Mas Bima kuhabiskan dengan apa? Tertidur di sofa. Dibangunkan dengan cara kasar. Kupikir itu oleh Mbok Latri, tapi saat sadar sepenuhnya, tentu saja bukan beliau. Melainkan manusia kasar bernama Bima. “Kenapa kau di sini?” desisnya marah. Dia bahkan menarik lenganku, memaksa bangkit sepenuhnya dari sofa. “Pergi dari sini, sialann!” “Lepas! Kamu menyakitiku.” Bahkan saat berontak, aku kesulitan. Cengkeramannya erat, menyakitiku. “Aku bisa pergi sendiri tanpa diseret-seret. Aku manusia, Mas. Tidakkah kamu menggunakan hati nuranimu padaku? Sedikit saja.” Tidak direspon. Bahkan aku tidak yakin dia mau mendengarkan. Tatapanku mulai mengabur, karena genangan air di pelupuk mata. Ini bukan karena aku lemah, tapi karena aku membencinya. Sejak bertemu Mas Bima, aku seolah kehilangan hak atas diriku. Dia bebas memperlakukanku, menyakitiku. “Di depan oma atau mama, aku boleh tidak berkutik. Tapi, sekarang, hanya ada kita berdua.” Dia menghentikan langkah, kemudian berbalik. Menatapku beberapa saat, kemudian menyeringai. Kepalaku didongakkan paksa. “Air mata tidak cocok untuk gadis gilaa harta sepertimu. Sekarang, pergi calon pengantinku! Kamu belum diterima di sini!” Dia mendorongku tanpa perasaan. Raut wajah yang ditunjukan, sarat akan kepuasan. Aku tahu mungkin dia merasa menang, karena berhasil memancing air mataku. Tapi percayalah, itu bukan perkara besar. Aku bisa menguasai keadaan, dengan mengangkat kepala, berucap sedatar-datarnya, “Terima kasih. Kusampaikan salammu ini ke oma.” Detik itu juga aku berbalik. Bahkan dia berteriak memanggilku dan mengumpatiku berengsekk, tidak kuperdulikan. Tidak pa-pa, memang lebih baik begini. Lama di dalam situ juga tidak membuatku baik-baik saja. Untuk sementara, aku perlu perlu keluar dulu dari area rumah ini. Sisanya kupikirkan di jalan, lagipula aku sudah punya ponsel. Aku punya uang. Aku bisa menggunakan otakku untuk belajar mandiri. Setidaknya lewat kejadian ini, aku bisa mandiri. Membiasakan pulang sendiri. *** Umumnya, orang lain bahagia menyambut hari pernikahan. Tapi, aku tidak. Makin dirundung beban, tertekan, penyesalan, tapi tidak bisa mundur. Aku selalu ingat, apa yang ditabur, itu yang dituai. Apa yang diputuskan, itu yang ditanggung. Lagipula, sanggupkah aku merusak wajah bahagia orang-orang? Oma Ayu, tidak pernah kutemukan kelelahan sedikitpun di wajah beliau. Padahal lebih dari sebagian urusan pernikahan, beliau ambil alih. Mama Rani, dia selalu memperhatikan kesehatanku, memberi banyak vitamin dan makanan. Papa Pras rela mengurus administrasi dan semacamnya. Mereka yang banyak andil di sini, aku tidak bisa mengecewakan. Kupikir biarlah tidak bisa menyelamatkan perasaanku sendiri, asal aku bisa menyelamatkan keinginan yang mereka buat sejak dulu. Kakek, mungkin sekarang beliau bisa tenang di sana, karena pada akhirnya isi secarik kertas itu selangkah lagi kulakukan. Di satu minggu menjelang akad, aku menatap kaku pada kesibukan orang-orang. Terkadang membantu jika dibutuhkan, terkadang melihat jika tidak dibutuhkan. Satu momen sakral yang akan mengubah hidupku, sama sekali tidak memberi efek magic. Mungkin bisa dikatakan, aku calon pengantin paling tidak bahagia. Pada suatu-waktu, aku tidak sengaja menanyai diriku sendiri. pertanyaan sensitif, tapi tidak bisa kujawab. Semacam, kenapa aku mau-maunya melakukan? Demi orang lain, bukan demi diriku sendiri. Merasa hidup berubah total sejak nekat menggantungkan nasib pada secarik kertas. Bodohhnya semua terlambat. Aku terlanjur basah. Dibanding berenang ke tepian, sekarang memang sepantasnya aku tenggelam. Aku si calon pengantin malang. Menanti hari pernikahan, tanpa ada binar kehidupan. Sekarang kalau aku mengulangi mantra yang sama seperti di bus keberangkatan, bisakah itu memberi keajaiban? Duhai hati, bersiaplah. Kita akan menghadapi takdir baru, yang sama sekali belum kutahu. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN