12 – Sebuah Harapan dalam Ikatan

1271 Kata
“Saya terima nikah dan kawinnya Asha Lavana binti Mardani dengan mas kawin tersebut dibayar tunai.”“Bagaimana para saksi? Sah?” “SAH!” Hamdalah serempak diserukan. Mataku yang sejak awal berkaca-kaca, kini tidak sanggup lagi menampung. Ia jatuh bak tetes air hujan, deras dan tidak terhitung. Mungkin orang berpikir aku terlalu bahagia, kenyatanya tidak. Tapi, perlu kalian ketahui, aku banyak menyelipkan harapan di sini. Memohon, meminta dan mengiba, biarpun awalan buruk, kuharap akhiran yang baik. Aku yakin takdir yang digariskan tidak pernah salah. Mempercayakan pada-Nya, membiarkan waktu mengambil alih dan menuntun ke mana yang seharusnya. Lagipula jika nanti diselingi usaha, sekeras karang saja berlubang karena terus diterpa ombak, apalagi yang seperti Mas Bima. Ini akan jadi terakhir kalinya aku membiarkan diriku larut dalam air mata. Di lain waktu tidak ada lagi. Tidak ingin kuperlihatkan pada siapapun bahwa aku lemah, bahkan pada diriku sendiri. Detik di mana Mas Bima menyahut lantang, menyimpul tali ikatan sakral antara kami di mata Tuhan dan orang-orang, aku langsung berpegang teguh bahwa pernikahan ini nyata. Terlalu nyata, sampai tidak sanggup menggumamkan kata palsu. Sekarang aku disuruh melakukan bakti pertama sebagai seorang istri. Saat menyambut uluran dingin tangan Mas Bima, aku menunduk penuh sambil tergugu. Kembali dalam hati kusebut doaku, kusebut harapanku, duhai Maha Pembolak-balik hati, lemahkanlah hati pria ini. Jika dia benar calon imam yang engkau tuliskan di lauhul mahfudz, tolong berikan hamba kesabaran dan kelapangan dadaa dalam menunggunya. Jika bukan, tunjukanlah jalan perpisahan yang terbaik buat kami. Yang tidak menghancurkan hatiku, maupun hatinya.  Setelah diaminkan oleh diriku sendiri, aku melepasnya dengan perlahan. Sebelum mendongak, kusempatkan mengusap bawah mata dengan tisu. Benda tipis ini sebelumnya diselipkan oleh Mama Rani. Mungkin dia sudah menduga, aku akan menumpahkan air mata nantinya. Tatapan kami bertemu saat aku menangkat sedikit kepala. Di matanya, aku bisa melihat diriku yang sendu. Sebaliknya, aku menemukan dia yang sayu. Hatiku langsung bertanya, apa yang kamu rasakan, Mas? Sakit hati, kah? Sesak, kah? Tercekik, kah? Kalau iya, berarti kita sama. Karena, aku juga merasakannya. Jakun Mas Bima bergerak, tangannya bergetar saat menangkup sisi wajahku. Saat dia semakin dekat, samar aku mendengar dia berbisik, “Maaf ...” Sekujur tubuhku langsung membatu. Tidak pernah mengira akan mendengar kata itu. Bolehkah lancang berharap, kalau itu untukk–“Alin ...” Dalam sekejab semuanya terhempas. Dadaku hampa, bibirku melengkung kecewa. Memalukan sekali sempat berpikir, dia tadi minta maaf padaku. *** Usai berlalunya acara, dari akad sampai resepsi, sekarang di sinilah kami berada. Di sebuah kamar hotel yang khusus dipesan untuk malam pertama kami. Tapi, jangankan mesra seperti pengantin baru kebanyakan, binar bersahabatpun tidak kutemukan. Di matanya hanya ada kobaran api, siap ditumpahkan, membakarku kapan saja. “Ini bukan yang kau inginkan?!” ujarnya sinis. Tangannya bahkan meremas rambut kasar. “Aku selalu menyayangkan, kalau saja kau tidak datang, maka aku perlu tidak terjebak di sini. Di situasi yang menggelikan ini!” Lamat-lamat kupandangi Mas Bima. Tuxedo hitam masih melekat di tubuhnya. Walaupun penampilan sudah berantakan, dengan wajah sedikit berminyak, Mas Bima masih terlihat tampan. Sama seperti pertama kali aku melihatnya. Ini kenyataan yang tidak bisa kuhindari. “Asha, kau tidak mendengarku bicara?!” Salah jika membentak membuatku berhenti. Justru aku semakin menentangnya. Bibir tetap bungkam, dengan mata tidak sekalipun beralih perhatian. Ketahuilah, Mas, ini aku yang baru. Komitmenmu membuatku menumbuhkan sifat baru, lebih teguh dan lebih bebal. “Asha!” “Ya, ada apa?” “Kau yang ada apa?!” Mas Bima bicara dengan volume tinggi. Sampai urat di pelipis dan lehernya menonjol. “Sekarang saatnya katakan, apa alasanmu melakukan ini? Selain wasiat, kau pasti ada maksud lain. Apalagi melihat latar belakang hidupmu. Sangat menyedihkan.” Kembali, dia menghinaku. Jadi, dia menyimpulkan karena hidupku sulit, aku memanfaatkan wasiat almarhum kakek. Terlebih keluarganya yang berada, maka cocok sekali mengatakan aku gadis pengejar harta. Kenapa sesadis itu, Mas? Kalau tuduhanmu kuiyakan sekarang, apa akan ada sesuatu yang berbeda? “Aku tidak punya keluarga lagi,” jawabku pelan, sedikit santai sebenarnya. Kubiarkan diriku mengikuti alur yang dibuat Mas Bima. Sampai mana kejelekan yang dia sematkan, akan kuturuti. “Kamu benar, aku menyedihkan.” “Ah, jadi kau mencari keluarga baru untuk bergantung.” Mas Bima terkekeh pelan, mengangguk dengan cibiran. “Harusnya sudah cukup saat mereka menerimamu dengan baik. Jangan jadi serakah dengan melibatkanku, Asha.” “Karena selain keluarga, aku butuh uang untuk biaya kuliah, makan dan lain-lain. Aku juga butuh rumah yang nyaman untuk tinggal. Surat itu alasan kuat untuk mendapatkan ini semua, Mas.” “Setelah mati-matian menyangkal, sekarang kau mengakui. Asha, bagaimana rasanya jadi pembohong ulung?” Aku tersenyum tipis, kemudian menggeleng. “Sama sekali tidak merasa bersalah. Sejak awal aku memang tidak pernah berbohong, Mas. Itu tuduhanmu sendiri. Sekarang kukatakan itu semua, karena memang aku dapat itu semua. Itu kejujuranku.”  Mas Bima menggeram kesal. Jas di tubuhnya langsung dilepas, di banting kasar ke lantai. “Setelah ini, jangan harap kau dapat perlakuan manis dariku! Selamat menikmati hidup barumu, pengantinku!” Tidak apa, Mas. Tidak apa. Itu masih belum melukaiku. Kita baru terlibat, jadi aku cukup oke untuk semuanya. Selagi kamu tidak kelewatan, aku bisa menahan atau sesekali membalasnya. “Halo, Alin.” Aku mengerjapkan mata, melihat Mas Bima menelpon seseorang. “Kamu di kamar sebelah? Ya, aku ke sana sekarang.” Setelah memutuskan panggilan, Mas Bima berlalu dari hadapanku. Dia membuka pintu, membantingnya, kemudian menghilang. Pergilah, Mas. Banyak cerita pengantin yang ditinggal saat malam pertama, jadi aku tidak apa-apa. Alih-alih sedih, aku akan menganggap biasa ini semua. Terlebih menjalankan rutinitas sebagaimana mestinya. Dimulai dari melepaskan gaun, mandi, kemudian menikmati kasur yang bertabur mawar. Sekarang anggap ini semua pencapaian. Bersenang-senanglah, Asha Lavana. Saat pernikahan tidak membuatmu bahagia, masih ada kasih sayang Oma Ayu, Mama Rani, Om Pras, serta cita-cita yang menunggumu selanjutnya. *** Pagi datang lebih cepat. Semalaman suntuk aku tidak bisa memejamkan mata. Selain memikirkan kehidupan baru setelah status berganti, sedikit banyaknya sebagian kepalaku dipenuhi tentang Mas Bima dan Alin. Jadi, rupanya perempuan itu di sebelah kamar ini. Hebat sekali. Kamu dipandang anak emas oleh Oma Ayu, Mas. Disayang sepenuh hati oleh Mama Rani. Tapi, kenapa kamu tega membohongi mereka? Aku tahu sulit melepas orang yang dicinta, tapi dengan tidak mengakhiri hubungan kalian, sama saja kamu menyakiti mereka. Orang-orang kesayanganmu. Semalaman suntuk kalian di satu ruangan, apa yang terjadi? Salahkah aku menuduh kalau kalian sudah kelewatan? Pasti hancur sekali hati Oma Ayu, mengetahui cucu yang diceritakannya dengan bangga, sampai sejauh ini. Sebagai dinding pembatas yang diselipkan beliau, aku merasa bersalah. Jangankan jadi halangan kecil, memberi pengaruh saja buat Mas Bima tidak. Dia justru makin terang-terangan, memanggapku seolah tidak ada. Menganggap janji suci yang baru saja kami buat, sekadar angin lalu. Berembus pelan kemudian pergi. Tapi, harusnya aku tidak perlu berkecil hati. Seperti yang kukatakan sebelumnya, kami baru terlibat. Semuanya masih baru, jadi belum sepantasnya aku mengklaim diriku kalah. Lagipula sama seperti harapanku, aku mulai berusaha jika sudah sepantasnya. Mulai menyerah, jika memang puncaknya. Sekarang aku bangun dengan semangat baru. Membersihkan diri beberapa belas menit di kamar mandi, kemudian keluar dengan bathrobe hotel. Aku membuka koper milik Mas Bima, di sana pakaian kami campur jadi satu. Kuambil dress baru pemberian Oma Ayu, mengenakannya setelah memasang dalaman. Beberapa saat kemudian semua sudah selesai, aku bahkan sudah sarapan karena menggunakan layanan kamar. Masih dengan kesendirian. Mendekati jam check out, kupikir akan kulakukan sendiri juga. Tapi nyatanya tidak saat kutemukan pintu terbuka, menampilkan Mas Bima dengan raut lelahnya. Tatapan kami sempat bertemu, hanya sesaat karena segera diputuskan olehnya.  Dia melangos menuju koper, mengambil pakaian kemudian masuk ke kamar mandi. Sepanjang tindakannya itu, bodohhnya aku mengamati. Bukan karena merasa sedikit senang atau lega, tapi kembali memikirkan, apa yang terjadi di kamar sebelah malam tadi? ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN