"Udah mendingan?" tanya Ramzi seraya meletakkan segelas air putih di atas meja di sebelah ranjang Asa.
"Udah, sih." Asa menjawab dengan malas. Ia berbalik membelakangi Ramzi, menaikkan posisi selimutnya sebatas telinga.
"Masih ngambek gara - gara gue manggil bidan bukannya dokter?" Ramzi kembali menahan tawanya.
Asa tak menjawab pertanyaan Ramzi. Ia betah membelakangi sahabatnya itu. Sahabat paling konyol sepanjang masa.
"Sa ... kan gue udah bilang. Dokter - dokter praktik jam segini udah pada tutup. Cuman para bidan aja yang stand by 24 jam, gara - gara jaga - jaga kalau tiba - tiba ada ibu hamil yang mau bersalin. Masih syukur kost - an kita depan belakang sama rumah Bu Andin. Lagian salah sendiri, diajakin ke rumah sakit nggak mau. Minta diperiksa di rumah aja. Ya harus terima risiko, dong!"
Rentetan kata - kata Ramzi berhasil menguliti Asa habis - habisan. Asa menutup kedua telinganya rapat - rapat dengan tangan.
Ya ... Asa mengaku salah. Ia juga sudah tidak sebal - sebal amat karena barusaja diperiksa dan disuntik oleh seorang bidan. Tapi ....
Pikiran Asa masih dipenuhi dengan keputusan yang ia buat.
"Zi ...."
"Kenapa?"
"Besok gue mau pulang."
Tercipta kerutan di dahi Ramzi. "Pulang? Kok tumben? Lagian kok tiba - tiba amat." Ramzi duduk di tepian ranjang Asa. "Kenapa? Perut lo masih sakit banget, sampai - sampai kepengin pulang?"
Asa perlahan berbalik kembali pada posisi terlentang. "Nggak. Gue cuman kangen sama orang tua gue."
"Terus kuliah lo gimana? Masih ada tiga hari aktif sebelum akhir pekan. Bukannya selama ini lo rajin banget kuliah? Sampai - sampai ninggalin satu mata kuliah aja lo nggak pernah mau."
Asa menghela napas panjang. "Gue pengin banget ketemu Ayah sama Ibu. Perasaan gue nggak enak. Gue cuman mau pastiin mereka baik - baik aja."
Ramzi mengangguk mengerti. "Kalau itu alasannya, gue bisa ngerti. Terus sekarang lo butuh apa? Tiket kereta? Biar gue pesenin."
"Huum ... tolong, ya, Zi. Kalau masih ada, beliin tiket keberangkatan yang paling pagi. Biar gue bisa cepet nyampek rumah."
Ramzi tercenung menatap raut Asa yang terlihat murung. "Oke ... oke ...," jawabnya kemudian.
***
Asa mengenakan jins dan jaket hitam. Pun dengan topi dan masker dengan warna senada. Tas ransel ia letakkan di kabin. Asa duduk diam di bangku miliknya.
Ia duduk bersandar, meletakkan headset di telinga, menyetel musik yang menenangkan, dan memejamkan mata.
Pemuda itu tak henti - hentinya memanjatkan doa dalam hati. Mempersiapkan diri sebaik mungkin untuk mengatakan pada Ayah dan Ibu tentang maksud kedatangannya.
Entah bagaimana reaksi mereka nanti. Asa sendiri masih belum yakin akan berani bilang atau tidak. Tapi berani tak berani, harus tetap dijalani.
Ini demi masa depannya sendiri, bersama keluarganya. Jika ditunda, toh pada akhirnya mereka akan tahu. Tapi makin lama ditunda, akan makin menyakitkan pula bagi semua pihak.
Dua jam berlalu, kereta akhirnya sampai di Malang, kota kelahiran Asa, dan tempat di mana ia dibesarkan. Asa memesan ojek online untuk mengantarnya pulang. Asa sengaja tidak memberi kabar pada orang rumah. Karena jika Asa memberi kabar, mereka akan bertanya macam - macam. Sementara Asa butuh banyak mempersiapkan diri.
Begitu turun dari ojek, Asa dikejutkan dengan suasana rumah yang ramai. Perasaan tak enak Asa semakin besar.
Sesuai apa yang ia katakan pada Ramzi semalam, alasan Asa pulang tak hanya karena ingin mengatakan rencananya untuk menikahi Ruma. Tapi juga karena firasat buruk tentang keluarganya.
Asa buru - buru masuk rumah. Asa melihat Ibu menangis sembari memeluk pemuda yang meraung - raung di lantai. Sementara Ayah berusaha mengunci pergerakan tak beraturan oleh kaki pemuda itu.
Sementara banyak tetangga yang berkerumun. Ada yang ikut membantu sekadarnya. Ada yang hanya menjadi penonton.
"Azam, Nak ... istighfar, Sayang ... istighfar ...." Ibu terus menggumamkan kata - kata itu tanpa henti.
Asa tak ragu untuk segera mendekat pada keluarganya. Ayah, Ibu, dan kakak kandungnya, Azam.
"Ayah ... Ibu ...," panggil Asa dengan nama khawatir. "Mas Azam kenapa?"
"Asa ... Ya Allah ... Asa ...." Ibu terkejut sekali karena kemunculan Asa yang tiba - tiba.
"Le ... kakak kamu barusaja kena musibah lagi." Abah berusaha menjelaskan. "Hampir sama seperti yang terjadi empat tahun lalu."
Pikiran Asa segera kembali pada peristiwa empat tahun yang lalu. Saat itu Asa masih duduk di bangku SMA, dan Azam sudah kuliah semester empat.
Azam memiliki seorang kekasih bernama Elya. Mereka sudah menjalin hubungan selama dua tahun lamanya. Namun Elya justru pergi tiba - tiba. Tak hanya meninggalkan Azam. Tapi juga meninggalkan dunia untuk selama - lamanya karena kecelakaan.
Azam sangat terpukul karena kepergian Elya. Begitu terpukulnya, hingga membuat jiwa pemuda itu terguncang. Azam menjalani perawatan selama hampir dua tahun sampai ia kembali sehat seperti semula.
"Kakak kamu kembali bertemu seseorang beberapa bulan yang lalu. Tapi ternyata Meria bukan gadis baik - baik. Dia seorang pembohong. Dia ternyata sudah punya suami dan anak, tapi mengaku masih single pada Azam. Meria cuman pengin morotin Azam.
"Masalah kali ini memang mungkin tak seberat yang pertama. Hanya saja, hal itu seperti kembali membuka luka lama. Puncaknya hari ini, kakak kamu sampai kehilangan kendali seperti ini."
Terdengar sirine ambulans dari luar rumah. Orang - orang yang berkerumun segera merenggangkan barisan supaya tenaga medis dapat lewat dengan leluasa.
Mereka dengan cekatan mengendalikan Azam, menbaringkannya pada brankar dorong, dengan berbagai peralatan untuk mencegah pergerakan tak beraturan yang dilakukan oleh Azam.
Ayah dan Ibu ikut bersama tenaga medis masuk ke ambulans. Mereka juga mengajak Asa untuk ikut serta.
Asa yang masih berusaha menyesuaikan diri dengan rentetan hal yang terjadi, membutuhkan waktu hingga akhirnya ia memutuskan untuk ikut masuk ke ambulans. Mengantarkan kakaknya ke rumah sakit.
Satu hal yang merajai pikiran Asa saat ini. Bagaimana ia bisa mengatakan maksud kepulangannya pada Ayah dan Ibu? Sementara situasi sedang kacau seperti ini.
Tidak. Asa harus mengurungkan niatnya untuk pulang. Ia harus menunda dulu pertemuan mereka. Ia harus bergegas pergu, supaya tidak ada yang memergokinya. Atau ada tetangga yanh sekadar menjadi saksi mata atas kedatangannya, sehingga nanti berita itu akan sampai di telinga orang tuanya dengan cepat.
Lebih baik ia bergegas. Meski lelah itu begitu menyiksa. Tapi ia tak peduli. Yang ia peduli, hanya memikirkan bagaimana caranya supaya ia cepat bisa pergi, tanpa ada yang melihat.
Tapi tidak ... nyatanya Asa tidak tega melakukan itu. Ia melihat dengan kepalanya sendiri. Orang tuanya sedang kesusahan. Kakaknya sedang sakit. Mana bisa ia pergi begitu saja?
Asa pun kemudian langsung kembali. Ya, ia harus kembali. Hanya saja ia tak akan melanjutkan niatnya. Ia hanya kembali untuk membantu kedua orang tuanya merawat sang kakak.
***