KUMAT

1017 Kata
Mulai terasa, kan. Aduh ... Asa meremas - remas perutnya yang perih. Kenapa juga ia harus menutup - nutupi hal ini tadi? Fakta bahwa ia tidak bisa makan pedas. Kalau sampai makan, penyakit bawaan oroknya akan langsung kumat. Salahnya juga, sih. Kenapa tadi malah belok ke restoran ayam geprek. Akibatnya, sekarang ia tidak bisa fokus bekerja. Untung ia sudah mengantongi izin dari bosnya untuk pulang lebih awal. "Bor, yang semangat dikit napa kalo kerja!" tegur Ramzi yang barusaja datang. Asa meneleponnya tadi, minta dijemput. "Aduh ... sakit banget perut gue," keluh Asa. "Kenape lo?" "Sakit perut." "Kebelet boker?" Asa menggeleng. "Ambeien?" "Njirrrr, perut gue yang sakit, Zi. Kenapa malah jadi ambeien." "Terus elu kenapa?" "Maag gue kumat, Bego!" Ramzi mencebik, kedua matanya membulat. "Habis makan apaan sampai maag kumat segala?" "Ayam geprek!" Ramzi berdecih. "Ya gitu ... makan enak nggak ajak - ajak temen. Sekarang sakit, gue yang disuruh jemput. Langsung Dapet auto ganjaran kan lo dari Yang Maha Kuasa. Rasain!" "Zi, gue lagi sakit. Elu malah ngomel - ngomel terus. Tega lo!" "Gue cuman ngomong sesuai kenyataan. Lo tuh yang lebih tega sama gue." "Aduh ...." Asa kembali meremas perut ratanya. "Duh, Bor ... beneran sakit, ya? Terus gue harus gimana sekarang? Terus kalo lo gue bonceng, ntar motor lo gimana?" "Masa bodoh motor gue, yang penting gue pengin pulang. Pengin bobok di kost - an sekarang." "Iya deh iya, kita pulang ...." "Tolongin ...." Asa mengangkat lengannya, minta dipapah. "Eh buset ... ini di mall, bisa turun pasaran gue gara - gara peluk - pelukan sama lo, Sa." "Zi ... tolongin ... gue udah mau tepar rasanya, beneran!" "Sa, kuat - kuatin, lah. Kita naik lift aja biar cepet nyampek parkiran." Ramzi masih berusaha mencari jalan keluar selain dengan cara peluk - pelukan. "Zi ... gue udah nggak tahan, sumpah." Asa tak ragu memeluk Ramzi secara terang - terangan. Dari pada terjungkal betulan. Malah dua kali lipat repotnya. "Duh ... Ya Allah Gusti ... dosa apa ... dosa apa ...." Ramzi akhirnya pasrah memapah Asa, berpeluk - pelukan sepanjang jalan, dipandangi orang - orang dengan tatapan aneh. *** Terngiang dalam benak Asa tentang semua yang terjadi tadi. Selain tentang kesetujuannya untuk menikah dengan Ruma dalam waktu dekat. Dan juga .... Kata - kata Abah. Abah mengatakannya saat mereka hanya berdua. Abah mencegahnya untuk menyusul Umi, Ruma, dan Haru yang sudah keluar duluan. "Tunggu sebentar." "Ada apa, Bah?" "Abah sebenarnya juga nggak yakin, hal ini perlu dikatakan atau tidak." Abah menghela napas. Terlihat gelisah. "Ruma ... putri Abah satu - satunya. Abah ... sayang banget sama Ruma. Nanti ... jika saja ... jika saja suatu hari nanti, Nak Asa udah nggak cinta lagi sama putri Abah, jangan bilang sama dia. Nak Asa bilang sama Abah. Biar Abah jemput dia. Nak Asa balikin Ruma ke Abah." Abah menyeka airmatanya yang jatuh tanpa diminta. Asa pun merasa terenyuh dengan kata - kata Abah. Ia bisa memahami perasaan laki - laki ini -- calon mertuanya. "Saya janji akan jaga dan cinta sama Ruma selamanya, Bah. Saya pernah jatuh cinta, tapi cinta itu nggak pernah seistimewa cinta saya ke Ruma. Insyaa Allah saya akan menjadi imam yang baik." Abah menepuk - nepuk bahu Asa, kemudian tersenyum, berusaha menyembunyikan perasaan sesungguhnya. Perasaan tak rela melepas putrinya untuk Asa. "Memang seharusnya seperti itu." Pesan Abah itu sangat membekas. Asa jamin, ia tak akan lupa seumur hidup. Asa sedang memikirkan semuanya. Ia sedang sangat bingung. Bagaimana bisa ia membuat keputusan dengan begitu cepat? Maksudnya ... ini adalah pernikahan. Sebuah bahtera yang dipenuhi dengan komitmen. Sebuah ikatan yang menyatukan dua keluarga. Yang ada dalam pikiran Asa, hanya mempertahankan Ruma di sisinya. Sampai - sampai ia berbuat nekat. Mengambil keputusan besar tanpa pikir panjang terlebih dahulu. Asa tidak menyesal. Ia hanya ... sedang sangat bingung. Terutama tentang bagaimana ia akan memberi tahu keluarganya. Asa mengernyit, perutnya kembali melilit tak keruan. Selain karena sambal bawang ayam geprek, maag - nya kumat karena ia stres memikirkan reaksi keluarganya nanti. Tahu sendiri, kan, stres adalah salah satu pemicu terbesar penyakit maag. Lebih tepatnya memacu kenaikan asam lambung. Asa tak yakin keluarganya akan langsung setuju. Kalau pun setuju, pasti dalam hati mereka belum ikhlas melepas Asa menikah. Itu lah yang membuat Asa sangat berat untuk memulai meminta izin dan restu pada mereka. "Sa ... Bu Andin udah dateng." Ramzi nyelonong masuk kamar bersama seorang wanita berhijab, memakai jubah putih khas dunia medis. Asa sepertinya tidak asing dengan nama Andin. Tapi ia tidak ingat siapa. Masa bodoh lah, yang penting ia dapat perawatan dan obat sekarang juga. Dari pada tidak bisa tidur sampai pagi gara - gara menahan harus sakit. Setidaknya kalau sudah minum obat, dia akan mengantuk. Sehingga ia bisa istirahat dengan tenang, nyaman, san nyenyak. Dengan ekspektasi keesokan harinya, kondisinya sudah lebih baik. Semoga saja. "Gue udah keliling cari dokter yang bisa dipanggil ke rumah. Eh, enggak ada. Ya udah, gue panggil yang senantiasa ada dan bisa dipanggil kapan aja. Bu Bidan Andin, depan kost - an kita ini. Bu Andin nggak akan pergi ke mana-mana. Toh rumahnya di situ juga." Ramzi nyengir lebar mengakhiri kata - katanya. Asa mendelik. Bidan katanya. Depan kost sana rumahnya. Nah ... itu dia. Pantas saja Asa sama sekali tak asing dengan namanya. Kan sering berpapasan saat di depan. Ya Allah ... si Ramzi ini. Benar - benar kelakuannya. kenapa malah bidan, sih, yang dibawa? Dipikir Asa ini ibu hamil apa? Bidan memang bisa menangani pasien selain ibu hamil, sih. Di klinik desa alias Polindes, yang menangani masyarakat sakit juga para bidan. Tapi Bu Bidan terlalu identik dengan urusan ibu hamil dan bersalin, bukan. Rasanya jadi agak gimanaaaa gitu. Apa lagi Bu Andin dipanggil untuk home visit seperti ini. Seolah-olah sedang menangani ibu hamil yang request mau melakukan home birth, alias melahirkan di rumah saja. Supaya suasana lebih syahdu dan tenang. Tahu begini, tadi Asa minta tolong pada Ramzi untuk langsung beli obat ke apotek saja. Toh ia tahu resepnya. Asa mau protes pada Ramzi, tapi tidak enak juga pada Bu Andin yang senantiasa memberi senyuman ramah. Asa hanya mendelik tajam pada Ramzi. Sementara yang bersangkutan hanya menahan tawa saking gelinya. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN