Genap empat hari Asa berada di Malang. Niat awalnya untuk pulang, tetap belum terlaksana. Ia justru harus menunggui Azam di rumah sakit bergantian dengan Ayah dan Ibu.
Kadang Asa menyesalkan sosok Azam yang kurang bisa legowo menerima kenyataan hidup. Seandainya Azam bisa lebih kuat .....
Mungkin Asa tak akan mengalami kesulitan seperti ini.
Namun Asa tak mungkin terus - terusan menyalahkan kakaknya yang bahkan sampai kini keadaannya belum stabil.
"Kamu nanti berangkat jam berapa, Sa?" tanya Ibu ketika terbangun dari tidur singkatnya.
Lehernya pasti sakit karena tertidur dengan posisi duduk, berbantalkan pinggiran brankar Azam. Azam sendiri masih dalam pengaruh obat penenang.
"Nanti tiket keretanya jam dua siang, Bu," jawab Asa.
Hari ini Asa memang akan kembali ke Kediri. Dengan tidak membuahkan hasil apa pun akan usahanya mengatakan rencana pernikahan.
"Maaf, ya, Sa. Kamu liburan empat hari aja, tapi nggak bisa menikmati." Ibu terlihat sangat menyesal.
Asa memang berasalan kepulangannya adalah liburan. Meski sebenarnya bukan. Kebohongan demi kebaikan. Demi menyelamatkan perasaan kedua orang tuanya.
Asa tersenyum getir. Apa mau dikata? Ini pun di luar kehendak semua orang, bukan?
"Nggak apa - apa, Bu. Maaf juga karena nggak bisa bantu jagain Mas Azam sampai bener - bener baikan."
Ibu menggeleng. "Kenapa kamu harus minta maaf, Nak? Kamu pergi bukan tanpa alasan. Kamu pergi untuk lanjut menuntut ilmu. Demi masa depan kamu. Demi mengangkat derajat keluarga kita."
Napas Asa tercekat seketika. Ibu membahas hal ini lagi. Rasanya seperti mengingatkan Asa tentang sesuatu yang ia lupakan, sehingga berani memiliki niat untuk mengutarakan rencananya untuk menikah muda.
"Setidaknya ada anak Ibu dan Ayah yang sampai sarjana. Ibu sudah kehilangan satu harapan setelah Azam sakit. Kini tinggal kamu harapan kami satu - satunya." Ibu segera menghapus airmatanya yang baru saja menetes.
Kedua telapak tangan Asa mengepal. Setitik beban di hatinya, perlahan berubah menjadi gumpalan besar yang membuat sesak.
Suara pintu terbuka mengalihkan perhatian Asa dan Ibu. Ayah baru saja masuk. Rautnya terlihat luar biasa lelah.
Ayah membawa satu tas kresek ukuran tanggung. "Ini buat kamu sama Ramzi. Jangan lupa sholat!"
Asa menerima pemberian Ayah. Ia melihat isi tas kresek dari celah yang terbuka. Dua kotak sarung baru. "Makasih, Yah."
Ayah hanya tersenyum menanggapi ucapan terima kasih dari Ayah. "Kamu sama Ibu lagi ngobrol apa tadi? Serius banget kayaknya."
Ibu yang menjawab. "Ini lho, Yah. Ibu lagi ngobrol masalah masa depan sama Asa. Ibu lagi nyemangatin dia, supaya kuliah dengan baik, lulus dengan predikat cumlaude, dapet kerjaan yang bagus, sukses."
Ayah mengangguk mengerti. "Iya, Sa. Kamu harapan kami satu - satunya. Soal pacar, kamu nggak perlu pusing. Sekarang kamu fokus ke pendidikan dulu. Kelak kalau kamu udah sukses, wanita - wanita akan datang dengan sendirinya. Apalagi anak Ayah ganteng banget gini. Mau calon istri secantik apa pun, pasti kamu bisa dapet." Ayah terkikik mengakhiri kata - katanya.
Ibu menambahkan. "Ibu nggak henti - hentinya berdoa yang terbaik buat kamu. Sehat - sehat di sana, ya, Nak."
Asa mengangguk sekilas. Lalu ia menunduk dalam. Dadanya terasa amat sesak. Airmatanya mengalir tanpa diminta.
Sampai hatikah Asa mengutarakan niatannya?
***
Sekitar pukul lima sore, Asa akhirnya sampai di kost. Raut suramnya masih bertahan. Mungkin sedikit lama untuk mengembalikan senyumnya. Ramzi belum pulang. Syukurlah ... dengan begitu Asa tak perlu menghadapi banyak pertanyaan macam - macam.
Karena Asa belum siap untuk menjawab. Atau ia justru akan marah atau bersikap tidak baik pada Ramzi nantinya.
Asa menghempaskan tubuhnya ke ranjang. Menghela napas dalam nan panjang. Menatap langit - langit yang dihiasi banyak sarang laba - laba. Sudah lama ia dan Ramzi tidak bersih - bersih. Kondisi kamar yang berantakan, beberapa bungkus makanan ringan yang tercecer. Ya Tuhan ... membuat Asa semakin pusing tujuh keliling.
Bagaimana ini?
Asa jadi menikah dengan Ruma atau tidak?
Menuruti permintaan orang tuanya ... dan mengorbankan perasaannya.
Atau ... justru mengutamakan perasaannya. Mengesampingkan keinginan orang tuanya.
Asa memejamkan kedua matanya. Berharap Tuhan akan segera mengirimkan sebuah jawaban atas pertanyaan - pertanyaan dalam otak yang membuat Asa sakit kepala dan sulit bernapas.
***
Sebuah pesan singkat dari Abah tadi pagi, menjadi sebuah jawaban yang akhirnya Asa pilih.
Abah sudah ke kiai untuk tanya tanggal baik.
Percaya nggak percaya, kita adalah orang Jawa.
Tinggal di tlatah Jawa.
Jadi harus nurut sama budaya dan kearifan lokal yang ada.
Tanggal yang baik adalah tanggal 5, 12, dan 28 Dzulhijah.
Kalau tanggal umumnya 17 dan 24 Agustus. Dan tanggal 10 September.
Apa dari ketiga tanggal, ada yang merupakan nas atau hari meninggalnya kakek nenek atau orangtua Nak Asa?
Jika ada, jangan dipilih!
Asa menggigit bibir bawahnya. Abah bahkan sudah bertanya tanggal baik pada Kiai.
Ponsel Asa berbunyi lagi. Pesan lain dari Abah.
Gimana kemarin? Orang tua Nak Asa setuju dengan pernikahan ini?
Asa sedang mengetik sebuah balasan.
Aku ke rumah sekarang, ya, Bah. Sekalian aku mau nanyain pengurusan surat numpang nikah di sini ke balaidesa.
***
"Jadi Nak Asa nggak dapet restu dari Ayah dan Ibu Nak Asa di Malang?" Meski berusaha menahan, namun siratan kemarahan itu terlihat.
"Bukan begitu, Abah. Kemarin saya pulang untuk minta doa restu. Tapi kakak saya lagi sakit. Makanya saya belum jadi bilang." Asa mengatakan apa adanya sesuai kenyataan.
"Dengan kata lain, pernikahan kamu dengan Ruma ditunda? Atau nggak jadi?" Nada suara Abah meninggi.
Asa menggeleng. "Nggak gitu, Abah ...." Asa berpikir keras, berharap ia bisa mengatakan maksud hatinya dengan baik. "Saya akan tetap menikah dengan Ruma. Pernikahan kami nggak akan ditunda. Apalagi nggak jadi."
"Tapi bagaimana jadinya? Tanggal pernikahan sudah sangat dekat. Apa kamu berpikir akan menikah tanpa memberitahu orangtuamu? Tanpa restu mereka?"
Asa tertegun. Telak. Benar - benar telak. Abah mengulitinya habis - habisan. Abah bisa menebak dengan telak apa yang sedang dipikirkannya.
"Nggak bisa, Nak Asa!" tegas Abah. "Sebuah pernikahan. Sebuah komitmen seumur hidup. Ibadah seumur hidup. Menyatukan dua keluarga. Bagaimana kamu akan menikah tanpa restu orangtuamu?"
Asa menunduk dalam. Abah benar. Menyatukan dua keluarga, tak mungkin tanpa memberitahu salah satunya.
"Mereka akan tahu nanti, Bah."
"Kamu akan menikah dulu, baru memberi tahu mereka?"
"Ya."
"Nggak bisa, Nak Asa. Kamu harus memberitahu orangtuamu, meminta restu mereka. Atau tidak ada pernikahan sama sekali!"
Asa memberanikan diri berjalan mendekat pada Abah. Asa menatap kedua netra Abah yang masih menyimpan amarah besar.
"Abah percaya, kan, sama saya? Saya janji akan menjaga Ruma dengan baik."
"Saya memang percaya sama kamu. Tapi tanpa restu orangtuamu, apalah arti kepercayaan itu?"
"Kepercayaan itu adalah kuncinya, Bah. Jika Abah benar - benar percaya sama saya, berarti Abah nggak akan memikirkan hal lain. Termasuk memaksa saya untuk meminta restu pada orangtua saya terlebih dahulu. Kondisi keluarga saya saat ini sedang tidak baik. Saya akan memberi tahu mereka nanti. Asal Abah bersedia untuk percaya sama saya."
Abah menatap tajam Asa di hadapannya. Deru napasnya memburu. Belum bisa menerima apa yang diucapkan oleh calon menantunya -- entah jadi atau tidak.
"Saya ini laki - laki, Bah. Berbeda dengan pihak calon mempelai wanita, di mana harus ada wali. Sementara pihak laki - laki tidak. Saya sudah bertanya dengan modin desa ini di balaidesa tadi. Bahkan kedua saksi pernikahan lebih baik berasal dari keluarga atau kerabat mempelai perempuan. Boleh salah satunya dari keluarga atau pihak laki - laki, jika diperlukan. Jadi sekali lagi kuncinya tetap ada pada Abah sendiri, mau percaya pada saya atau tidak."
Sorot mata Abah masih belum beralih dari Asa. Namun siratan kemarahan itu perlahan memudar.
Ia mengerti maksud Asa. Sangat mengerti. Ia bahkan sudah memahami hal itu tanpa Asa harus menjelaskan. m.
Mengingat ia cukup menguasai ilmu fiqih. Dan yang pasti ... ia sudah pernah menikah. Ia sudah pernah melampaui lebih dulu, apa yang saat ini hendak Asa lampaui.
Asa benar. Saat ini kuncinya adalah dirinya sendiri. Ia ingin percaya pada Asa. Atau bersikeras meminta pemuda itu untuk meminta restu pada keluarganya terlebih dahulu.
***
Ramzi mengernyit sebagai efek dari rangsang indra penciumannya yang masih normal. Rangsang yang disebabkan oleh wangi parfum yang menguar.
Ramzi akhirnya terbangun sebagai efek lanjutan dari keheranannya, karena pagi - pagi buta begini, wangi parfum sudah memenuhi ruangan.
Ramzi mendapati Asa yang sedang sibuk memasang dasi di depan cermin. Asa memakai celana hitam dan kemeja putih yang disetrika rapi.
Sebuah jas warna hitam yang digantung di knop lemari, tak luput dari sapuan penglihatan Ramzi.
Pemuda jangkung itu menendang selimutnya ke sembarang arah. Ia bangkit dari pembaringan, duduk bersandar pada dinding.
"Mau lamar kerja di mana, Sa?" tanya Ramzi akhirnya, dalam keadaan masih setengah sadar. "Tumben pakek sewa jas segala. Mau tes jadi TKI ke Korea?"
Asa terkikik karena penyataan ngawur Ramzi. "Mau lamar anak orang gue."
Ramzi tergelak seketika. "Ikut gue."
"Mandi dulu sana!"
"Ogah ... dingin banget jam segini." Ramzi mengucek matanya yang masih terasa sepet. "Tapi sebenernya lo mau ke mana, sih?"
Asa tak langsung menjawab. Bibirnya mengulum senyum simpul. "Mau ijab kabul."
Ramzi kembali tergelak. "Mendingan gue tidur dari pada dengerin lo ngelabak." Ramzi kembali berbaring dengan nyaman di kasurnya. "Moga - moga sakinah, mawadah, wa rahmah," katanya sebelum lanjut tidur.
Asa lagi - lagi tersenyum. "Aamiin, Ya Allah."
***