Sekarang.
"Astaghfirullahadzim ... Asa ...." Ramzi masih belum bisa berkata - kata. Ia benar - benar masih terguncang dengan segala rentetan cerita Asa.
"Sorry, banget, Zi. Seharusnya gue cerita sama lo sejak awal. Seenggaknya kalau gue ada temen berbagi keluh kesah, gue nggak akan sebingung sekarang." Asa menghapus sisa airmata di pipinya.
"Sa ... jujur saat ini gue masih kaget banget. Gue beneran nggak ngira lo waktu itu beneran mau ijab kabul. Gue pikir Lo cuman ngelabak aja gitu. Gue bahkan masih belum tahu harus ngomong apa buat bikin perasaan lo lebih baik." Ramzi menyentuh jemari Asa.
"Tapi semuanya udah kejadian, Sa. Nggak mungkin bisa diulang lagi. Lo sekarang adalah seorang calon bapak. Lo harus siap menghadapi segala hal dengan berani dan lantang. Karena lo adalah kepala keluarga."
"Iya, Zi. Gue lagi berusaha."
"Terus gimana cerita selanjutnya? Lo udah nikah sama Ruma, udah sah jadi suaminya. Kenapa lo nggak tinggal di rumahnya? Kenapa masih nge - kost sama gue di sini?" Ramzi benar - benar tak habis pikir. "Apalagi Ruma lagi hamil, kan?"
"Itu lah, Zi ...." Napas Asa seakan tercekat, membuatnya sulit untuk lanjut bicara.
"Tenang, Sa ... jelasin pelan - pelan aja."
"Karena gue bersikeras buat tetep nikahin Ruma tanpa restu orang tua gue, Abah ternyata nggak bisa lepasin Ruma gitu aja tanpa syarat."
"Maksudnya?"
"Abah ngasih izin gue untuk tetep nikahin Ruma. Asal ... asal ...." Asa menggeleng. Merasa bahwa bercerita pada Ramzi seperti ini sangat lah sulit.
"Abah minta gue harus punya tempat tinggal yang layak untuk kami tinggali setelah menikah. Entah itu rumah pribadi, entah ngontrak, entah kost. Yang penting layak huni untuk kami berdua. Itu yang ngeberatin gue, Zi. Buat biaya gue sendiri aja masih terlunta - lunta. Dengan kost yang gue tempatin berdua sama lo. Gimana gue mau bayar sewa tempat yang lebih besar?"
"Terus?"
"Ya gitu. Gue tetep kayak gini. Kadang di sana, kadang di sini. Kalau kerjaan dan tugas gue kelar nggak kemaleman, gue sama Ruma. Kalau kerjaan dan tugas gue sampai tengah malem, gue ke kost."
Ramzi mengangguk - angguk. "Pantesan lo jadi sering nggak pulang ke kost. Eh ... nggak sering juga, sih. Malah lo lebih sering tidur sama gue dibanding sama Ruma." Ramzi berdecak. "Berarti lo jarang dapet jatah, dong!"
"Hus ... lambemu, Sam!" Logat khas Malang Asa langsung keluar. Lambemu adalah bahasa Jawa yang berarti mulutmu. Sedangkan Sam adalah Mas yang dibalik. Seperti ciri khas orang - orang Malang yang gemar membolak - balik kata.
Ramzi segera tergelak karenanya. Menganggap tiap kali cara bicara orang Malang yang suka membolak - balik kata adalah hal yang menghibur. Mas jadi Sam. Malang jadi Ngalam. Sehat jadi Tahes. Dan lain sebagainya.
"Nikah tuh nggak melulu tentang sering dapet jatah atau nggak, Zi. Ish ... jangan samain gue kayak lo!" Asa mendelik.
"Ampun, Sam ... ampun ...." Ramzi minta ampun masih dengan terus tertawa sesuka hati. Ia juga menirukan gaya bicara khas Malang dari Asa.
"Astaghfirullah ... misal bukan temen udah gue pites lo!"
"Pites aja, Sa, kalau bisa. Ikhlas gue. Dikira kutu apa dipites!" Ramzi lagi - lagi tergelak.
"Terserah lo deh!" Asa benar - benar dongkol.
"Ngambek ... gitu aja ngambek ...." Ramzi masih terus menggoda Asa. "Terus tadi gimana lanjutannya? Si Abah itu, lho. Kok aneh banget. Udah nikah, tapi kok masih ikut ngatur - ngatur? Nggak boleh, lho. Soalnya Ruma udah jadi istri lo. Hak lo sepenuhnya. Mana dari apa yang gue tangkep dari cerita lo, si Abah orangnya cukup religius, kan?"
Asa mengangguk. "Bukan cukup religius. Si Abah mah religius banget orangnya. Beliau cuman sayang banget sama anak - anaknya. Nggak mau lihat anaknya kesusahan. Apalagi anaknya cuman dua. Ya kali, gue bawa terus gue ajakin tinggal di kost yang nggak layak? Mana Abah terima? Misal gue ada di posisi Abah, bisa jadi gue bakal lakuin hal yang sama. Bahkan lebih parah."
"Woes ... calon bapak posesif!" Ramzi bertepuk tangan ria.
"Nggak jelas banget, sih, lo Zi!" Asa makin jengkel rasanya. "Bukan posesif. Ya di mana - mana bapak emang gitu. Mana ada orang tua yang rela anaknya hidup sudah?"
"Haha ... nggak jelas - nggak jelas gini, gue sobat lo yang paling loyal, tauk!" Ramzi menaikturunkan alis. "Iya gue ngerti kok. Cuman gue belum bisa bayangin aja. Soalnya gue masih belum ada kepikiran jadi bapak."
Asa tersenyum mendengarnya. "So pasti.".
"Alhamdulillah ... bentar lagi gue bakal jadi Oom. Makasih, lho, Sa ... udah ngasih gue ponakan. Tok cer juga lho. Padahal jarang dapet jatah. Puhahahaha ...."
Asa bergegas berdiri lalu mendekap dan membekap mulut Ramzi yang sedari tadi bebas tertawa lepas di atas penderitaannya. "Iya ... ketawa terus, Zi .... Ketawa terus sampai puas .... Sampai ngompol!"
Ramzi meronta-ronta agar Asa melepaskannya. Tenaga kuda Ramzi segera berhasil membuat bekapan dan dekapan Asa terlepas. Kini Ramzi sedang mengusap - usap mulutnya. "Hoek ... uasin ...."
"Rasain lo!"
"Eh, tapi ... ya kali selamanya lo bakal tinggal terpisah sama Ruma? Yakin? Apalagi sekarang Ruma lagi hamil. Nggak kerasa ntar tahu - tahu udah mau ngelahirin."
Raut Asa berubah muram kembali. "Itu dia, Zi. Berhubungan erat sama syarat dari Abah. Setelah gue lampaui syaratnya, gue boleh tinggal di sana. Tinggal bareng sama istriku tercinta. Huhu ...." Asa pasang tampang mewek.
"Berarti kunci dari masalah ini, ada di lo sendiri, Sa. Lo harus buru - buru beraniin diri bilang ke orang tua lo. Makin cepet, makin bagus."
"Ngomong doang gampang, Zi. Ngelakuinnya itu, lho."
"Iya gue ngerti. Tapi lo nggak mungkin terus menunda, kan? Lo mau nunggu sampai kapan?"
Raut Asa makin murung karena ucapan Ramzi. "Gue udah persiapin diri sama Ruma, Zi. Baik fisik ataupun mental, lagi kami persiapkan mateng - mateng."
"Oh ... berarti lo udah ada target waktu kapan bakal minta restu ke Malang?" Wajah Ramzi terlihat semringah karena menganggap bahwa masalah Asa akan segera mendapat titik terang.
Asa mengangguk. "Segera, Zi. Maksimal sebelum kandungan Ruma nginjek usia lima bulan."
"Alhamdulillah ... berarti kurang dari sebulan lagi, ya. Syukur deh, gue ikut lega dengernya."
Asa mengangguk. Bibirnya mengukir senyum. Berusaha tak menampakkan kelumit yang meradang memutari otak dan hatinya.
Karena seperti apa yang Asa katakan tadi. Semua tak semudah kelihatannya. Bicara saja mudah, melakukannya yang sulit.
Rupanya Ramzi telah membuktikan bahwa ia adalah sahabat yang baik. Kenapa?
Karena kegundahan hati Asa saat ini dapat dilihat dan dimengerti olehnya.
Pemuda itu beringsut mendekat, mendekap tubuh kurus Asa dengan hangat. "Yang kuat, ya, Sa. Gue tahu lo bakal bisa laluin ini semua. Allah tahu apa yang lo rasain. Allah nggak tidur."
"Iya, Zi ... makasih banget, Zi. Makasih ...."
***