KESAN

1066 Kata
Lima bulan yang lalu. Asa luar biasa kesal karena bosnya di food court KM berulah lagi. Asa tak tahu harus bersyukur atau justru mengutuk kesempurnaan fisiknya. Karena kesempurnaan fisik ini, pekerjaannya justru terasa tidak nyaman. Kenapa? Karena sang Bos adalah wanita. Wanita itu memperlakukan Asa secara berbeda. Ia mengistimewakan Asa, seakan apa pun yang dilakukannya adalah yang paling benar dibanding rekan - rekannya. Padahal pekerjaan mereka semua sama saja. Bahkan beberapa justru bekerja lebih baik dari Asa. Tapi selalu Asa yang mendapat pujian. Selalu Asa yang menjadi percontohan. Asa benar - benar tak enak pada mereka semua. Asa ingin keluar saja dari pada rezekinya tidak berkah. Tentu saja, ia bekerja dengan tidak nyaman, dengan beban sosial dan mental, dengan menyakiti hati rekan - rekannya. Dari mana mau berkah? Namun Asa memikirkan lagi semuanya dengan baik. Ia benar - benar sulit dan lama mendapatkan pekerjaan ini. Daftar di kedai atau toko lain, tidak mungkin akan langsung menerima Asa seperti di sini. Kebanyakan bos di stan - stan dalam KM adalah laki - laki. Laki - laki normal, dengan melihat Asa saja pasti langsung keki setengah mati. Mereka gelap mata, sama sekali tak memperhitungkan peluang keuntungan bisnis dengan merekrut Asa sebagai pegawai. Pasti pelanggan wanita akan berdatangan. Kenyataannya, mereka langsung tidak suka pada Asa karena kesempurnaan fisiknya. Kecuali kalau bos itu tidak normal alias belok, baru lah mereka akan menerima Asa secara cuma - cuma. Tapi Asa sadar betul bekerja karena hal seperti ini, lebih tidak barokah ketimbang menjalani pekerjaannya yang sekarang. Huff .... Asa lelah. Menjadi cogan pujaan memang menyenangkan. Tapi segala hal di dunia diciptakan berpasang -bpasang. Ada baik, ada buruk. Ada putih, ada hitam. Hal yang menyenangkan pun, pasti akan dipasangkan dengan hal yang tidak menyenangkan. Seperti apa yang Asa alami sekarang, yang ia sebut sebagai derita orang tamvan. *** Asa berjalan gontai dari dalam elevator yang mengantarnya dari lantai empat ke lantai dasar. Pekerjaannya sama sekali tidak berat. Tapi terasa berkali - kali lebih berat karena beban mental dan sosial yang dialaminya sebab perlakuan istimewa sang bos. Di lantai dasar ini ada restoran Jepang yang cukup digemari. Setiap hari selalu ramai dikunjungi oleh pelanggan. Sorot mata Asa beralih, dari restoran Jepang menuju parkiran samping. Dinding KM terbuat dari kaca bening. Jadi apa pun yang terjadi di luar sana, bisa Asa pantau dengan baik dari dalam seperti ini. Ada dua motor yang baru datang. Satunya adalah motor berwarna oranye khas kantor pos. Sementara satu lagi motor produksi Tiongkok berwarna hitam. Motor kantor pos dikendarai oleh lelaki paruh baya yang membonceng wanita berhijab. Pasti itu istrinya. Sementara motor Tiongkok dikendarai oleh seorang gadis berkacamata, berambut ikal. Ia membonceng anak kecil laki - laki. Pikiran Asa segera menebak bahwa mereka ini adalah satu keluarga. Kedatangan mereka benar - benar menarik perhatian Asa. Hingga pemuda itu tak bisa mengalihkan pandangan dari mereka. Bagaimana tidak? Uhm ... bukannya Asa menghina. Tidak ... ia hanya penasaran. Mayoritas orang yang datang ke mall adalah kaum borjuis yang beramai -ramai menunjukkan gaya hidup hedonis. Tapi keluarga ini? Mereka datang dengan segenap kesederhanaan, namun dengan senyuman yang mewah. Maksudnya, lihatlah senyum dan raut ceria mereka. Sama sekali tak ada kesan sombong ataupun ingin pamer. Apalagi bersaing gaya hidup dengan pengunjung lain. Seakan kedatangan mereka ke mari murni karena ingin menikmati quality time bersama keluarga. Mereka berjalan melewati pintu masuk, masih dengan raut sumringah yang menyenangkan untuk dilihat. Si gadis berkacamata terlihat memimpin keluarganya, mengarahkan mereka dengan baik, menuju restoran Jepang. Kini jarak Asa dengan mereka sangat dekat. Pemuda itu sedikit menyamarkan pengamatannya dengan sesekali menatap ke arah lain. Asa tak ingin membuat mereka merasa tak nyaman. Si gadis memilih tempat duduk yang nyaman untuk keluarganya. Ia lalu menuju ke loket pemesanan. "Mbak, buku menunya boleh saya pinjem sebentar?" "Boleh, Mbak. Silakan." "Terima kasih." Gadis itu kembali ke meja, menyerahkan buku menu pada keluarganya. "Abah, Umi, Dek Haru, silakan. Mau pesen apa aja bebas." Gadis itu senantiasa tersenyum tulus. Dua orang yang ia panggil dengan sebutan Abah dan Umi terlihat bingung memilih menu. Sementara anak kecil bernama Haru sudah menentukan pilihan. Ia menunjuk salah satu menu yang terlihat paling mencolok di matanya. "Naruto!" katanya. Yaitu semangkuk ramen dengan toping yang mirip dengan ramen favorit Naruto dalam serial animasi Jepang. Gadis itu tertawa. "Oke, Dek Haru. Nanti Mbak pesenin. Nunggu Abah sama Umi dulu." "Dek Haru, jangan pesen yang terlalu mahal! Kasihan Mbak Ruma," kata Abah. Diiyakan oleh Umi. 'Oh, jadi namanya Ruma,' batin Asa. Haru cemberut. Ia kesal karena dilarang. Padahal Ruma tidak keberatan. "Nggak apa - apa, Abah, Umi. Gaji pertama aku dari kerja part time cukup, kok. Kita, kan, nggak setiap hari kayak gini. Sesekali makan makanan mahal, lah. Biar pernah," katanya sambil terkikik malu. Tingkahnya itu membuat anggota keluarganya ikut terkikik geli. Dan membuat Asa tersenyum tanpa sadar. "Kalo gitu Abah pesen ini!" Abah menunjuk sushi roll porsi jumbo. "Biar kayak di tipi - tipi," lanjutnya. "Umi yang ini aja." Umi menunjuk paket bento dengan side dish lengkap. "Siap! Aku ke loket dulu. Mau pesen," pamit Ruma. Senyum tulus pada keluarganya sama sekali tidak luntur. Asa masih belum bisa mengalihkan pandangan dari Ruma. Ketulusannya, kepeduliannya, rasa sayangnya pada keluarga, benar-benar membuat Asa terkesan. Asa jadi rindu pada keluarganya. Keluarga Asa tidak kekurangan dalam hal finansial. Orang tuanya cukup berada. Ia juga mendapat beasiswa karena otaknya yang cerdas. Tapi, Asa ingin mandiri. Ia tak mungkin selamanya bergantung pada orang tua. Ia meminta mereka untuk mengirim secukupnya setiap bulan. Setidaknya cukup untuk makan dan bayar kost. Selebihnya, untuk jajan, bayar praktik yang tidak terklaim beasiswa, dan kebutuhan lain-lain, Asa ingin membiayai semua sendiri. Orangtuanya menolak keputusan itu pada awalnya. Tapi setelah Asa memberi pengertian tentang keinginannya untuk mandiri, mereka lambat laun mau mengerti. Asa pun berjanji, dengan bekerja, tidak akan mengurangi prestasinya. Ia akan tetap menjadi anak yang membanggakan seperti apa yang mereka selalu harapkan. Keluarga itu--keluarga Ruma. Mereka bahagia dalam kesederhanaan. Ketulusan mereka telah menyadarkan Asa untuk lebih mensyukuri hidup. Ah ... Asa benar-benar rindu pada keluarganya sekarang. Mengingat mereka seperti ini membuat semangatnya untuk bekerja kembali naik. Tak apa. Tak apa ia menanggung beban mental dan sosial yang berat. Ia harus tetap menjalani semuanya dengan hati yang lapang agar rezekinya berkah. Perlakuan istimewa dari bosnya itu bukan sebab ketidak berkahan, namun justru sumber keberkahan jika dianggap sebagai ujian. Manusia yang lolos ujian kehidupan, derajatnya akan diangkat, bukan? Asa mengangguk. Ia harus mempertahankan mindset seperti itu mulai sekarang. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN