Asa menendang ban motor matic - nya saking kesalnya. Ia sedang buru - buru. Ada tambahan kuliah pagi ini, dan ia bangun kesiangan. Ia sudah ngebut di jalan demi mengejar waktu, tapi ban motornya malah bocor begini.
Karena masih pagi, jarang orang lalu lalang untuk ditanya. Yang banyak adalah orang - orang yang ngebut di jalan seperti Asa tadi -- ada yang berangkat sekolah, kuliah, kerja -- demi mengejar waktu agar tidak terlambat. Kalau sudah begitu, keselamatan dilupakan. Baru nanti menyesal kalau sudah telanjur kecelakaan.
Asa menuntun sepeda motornya menelusuri jalan sembari mencari - cari tukang tambal ban.
"Dek, gang itu masuk, terus belok kanan. Ada tambal ban," kata seorang lelaki paruh baya dari teras rumahnya.
Asa segera menoleh. Bukannya berterima kasih, Asa malah berkaget ria. Itu ... Abah, kan? Uhm ... maksudnya, bukan kah itu adalah ayah Ruma yang di KM kemarin? Jadi ... rumah yang baru saja ia lewati adalah rumah keluarga Ruma?
Asa semakin yakin ketika melihat ada dua motor yang terparkir. Motor kantor pos dan motor warna hitam. Disusul dengan Ruma dan Haru yang keluar dari dalam rumah. Mereka terlihat sudah siap dan rapi. Juga Umi yang mengantar keluarganya berangkat menjalani aktivitas sampai depan rumah.
"O - oh ... gang yang ini, Pak?" Asa akhirnya menanggapi ucapan Abah.
"Iya, gang itu masuk, terus belok kanan dikit. Kanan jalan."
"Oh, iya, Pak. Terima kasih info - nya," ucap Asa seraya membungkuk sekilas. Matanya belum bisa terlepas dari Ruma yang saat ini sudah bertengger di atas motor hitamnya.
"Adek mau kerja apa kuliah?" tanya Abah.
Asa mau tak mau harus mengalihkan pandangan sejenak. "Kuliah, Pak."
"Kuliah di mana?"
"Di UN PGRI, Pak. Dulu namanya IKIP." Asa memberikan penjelasan karena biasanya orang yang sudah sepuh tidak tahu UN PGRI. Tahunya IKIP.
"Lhoh, sama kayak anak saya, dong!" seru Abah.
Asa tersenyum tanpa sadar. Ternyata ia dan Ruma kuliah di universitas yang sama.
"Kamu ambil prodi apa, Dek?" tanya Abah lagi.
"Saya ambil Akper, Pak."
"Lhoh, lha kok sama lagi. Anak saya juga akper!" Seruan Abah disertai senyuman kali ini.
Membuat senyuman Asa semakin lebar saja. Demi apa ternyata ia dan Ruma juga satu program studi. Tapi kenapa Asa tak pernah melihatnya? Kira - kira Ruma semester berapa? Atau mungkin jam kuliah mereka beda sehingga tak pernah bertemu.
"Kamu semester berapa?" Abah bertanya sekali lagi.
"Semester empat, Pak."
Kedua mata Abah membulat. "Masyaa Allah, lha kok sama lagi." Abah menunjuk Ruma. "Itu anak saya, tuh, pasti kalian saling kenal, kan? Meski mungkin nggak sekelas, sesekali pasti pernah ketemu."
Asa tanpa sadar menelan ludah. Ia benar - benar kaget setelah tahu Ruma juga semester empat. Benar kata Abah, meski tak sekelas, setidaknya mereka pasti pernah bertemu. Tapi ... sungguh Asa belum pernah melihatnya sama sekali di kampus. Semenjak OSPEK sampai sekarang ... sama sekali belum pernah. Asa jadi merasa bersalah dan tak enak.
"Nduk, kamu kenal dia?" Abah bertanya pada putrinya kali ini.
Ruma tak segera menjawab. Ia menatap Asa sekilas, lalu mengangguk. "Asa, kan?" tanyanya kemudian. Pandangannya terlihat ... entah lah. Sulit diartikan. Seperti malu, takut, dan minder, berbaur menjadi satu.
Ruma ternyata mengenalnya. Asa semakin merasa buruk karena tak pernah tahu keberadaan Ruma.
Syukur lah ....
Syukur lah Asa melihat Ruma dan keluarganya di KM tempo hari. Syukurlah Asa mendengar obrolan mereka sehingga Asa tahu nama Ruma.
Asa mengangguk membenarkan ucapan Ruma. "Kamu Ruma, kan?" Asa akhirnya berpura - pura mengenal gadis itu. Demi menjaga perasaan Abah dan pastinya Ruma sendiri.
Reaksi Ruma ... gadis itu terlihat terkejut mengetahui Asa mengenalnya. Asa yang tersohor itu mengenal mahasiswi ghaib sepertinya? Bagaimana bisa?
"Udah Abah duga kalian ternyata temen!" seru Abah lagi - lagi. "Gitu kok dari tadi diem - dieman aja kayak nggak saling kenal," godanya.
"Bah, kalo gitu biar Nak Asa berangkat bareng aja." Umi kali ini. "Kasihan kalo nunggu bannya selesai ditambal, pasti telat nanti."
"Oh, iya - iya," jawab Abah. Lalu ia beralih pada Asa. "Ya udah, kamu anterin dulu motornya ke tambal ban. Abis itu balik ke sini. Kita berangkat bareng."
Asa mengangguk setuju. 'Alhamdulillah, nggak jadi telat,' batinnya.
***
Selama berjalan menuntun motor ke tambal ban, Asa terus memikirkan bagaimana ia akan berboncengan dengan Ruma nanti. Ia harus memikirkan topik pembicaraan yang tepat agar ia bisa ngobrol akrab dengan Ruma.
Ketika Asa kembali ke rumah Ruma, Abah sudah siap di atas motor. Begitu pun Ruma. Hanya Haru yang masih belum terlihat. Entah ke mana. Padahal tadi anak itu juga sudah siap. Atau jangan - jangan sudah berangkat? Siapa tahu Haru di - charter - kan kendaraan antar jemput, kan?
Asa segera berjalan menghampiri Ruma. Canggung rasanya. Tapi ia berusaha sebaik mungkin supaya ia dan Ruma bisa akrab. "Uhm ... kamu turun dulu. Biar aku yang bonceng." Asa memberikan senyuman terbaiknya.
Ruma tertunduk malu. Asa bisa melihat semburat merah di kedua pipinya.
"Nak Asa, ngapain kamu di situ?" Abah terlihat bingung dari atas motornya. "Ayo sini buruan naik. Nanti kita telat, lho."
Untuk sementara Asa masih berusaha mencerna apa yang terjadi. Oh, jadi ....
Haru berlari dari dalam rumah dengan memakai helm standart kecil berwarna biru.
"Tadi Haru lupa nggak pakek helm. Makanya ke dalem dulu ambil," jelas Umi.
"Biasanya Haru bareng sama Abah. Tapi hari ini biar sama Ruma dulu. Nggak apa - apa Abah anter kamu ke kampus dulu, baru ntar Abah bablas ke kantor pos," tambah Abah. "Soalnya kamu sama Ruma, kan, nggak boleh boncengan. Bukan muhrim." Abah terkikik mengakhiri bicaranya.
Sumpah, Asa sangat malu. Sangat - sangat malu. Bagaimana tadi ia bisa mengira bahwa ia akan berboncengan dengan Ruma?
Bodoh ... Asa bodoh! Asa benci sekali dirinya yang seperti ini. Bisa kah ia memiliki kekuatan super untuk mengulang waktu sebentar saja? Supaya ia bisa sedikit memperbaiki kebodohannya. Atau kekuatan super menghilangkan ingatan. Supaya ia tak ingat kalau pernah berkelakuan memalukan seperti ini. Atau dua-duanya juga boleh, deh.
"Kita berangkat dulu, ya, Mi. Assalamualaikum."
Mereka semua berpamitan dengan ceria pada Umi -- kecuali Asa.
"Waalaikum salam," jawab Umi sembari melambaikan tangan.
Dengan pikiran Asa yang masih dipenuhi penyesalan dan rasa malu akan kebodohannya sendiri. Dan mereka berempat pun akhirnya berangkat.
***