Asa kembali ke kost satu jam kemudian. Tampangnya terlihat sumringah. Berbanding terbalik dengan Ramzi yang menatapnya tajam.
Ramzi masih sama seperti tadi pagi, hanya pakai celana boxer. Seakan sengaja memamerkan body - nya yang bagus seperti model. Ramzi memang rajin olah raga. Ditambah tinggi badannya yang spektakuler. Asa saja kalah 2 cm. Andai saja Lolita -- anak PBSI alias Pendidikan Bahasa dan sastra Indonesia, yang nge - fans berat pada Ramzi -- ada di sini. Pasti langsung mimisan, deh.
Ramzi duduk di pinggiran ranjang, menatap Asa tak berkedip, bersiap untuk mengintrogasi Asa lagi. Sayang, Asa mencuri start.
"Woy, bentar lagi shift lo di Wagu. Kok belum siap - siap?" goda Asa. "Ngomong - ngomong gue udah dapet kerja part time lagi, lho! Di KM juga. Di lantai dua. Yang tempat jualan baju 35 ribuan. Lo tahu, kan?" Asa berusaha supaya terhindar dari pertanyaan macam - macam.
Tapi rencananya ia memang sudah mempersiapkan diri untuk terus terang pada Ramzi. Bukan hanya pada Ramzi, sih. Melainkan pada semua orang.
"Gue minta penjelasan yang sejelas - jelasnya dari lo!" tembak Ramzi langsung pada intinya.
"Penjelasan tentang?" Asa masih berusaha mengulur waktu rupanya. Ternyata dalam hati yang paling dalam - - sama seperti Ruma -- Asa pun belum 100% siap.
"Nggak usah sok nggak paham, Sa! Lo pasti udah tahu maksud gue." Mimik Ramzi tak berubah. Tetap geram pada Asa.
Asa menunduk. Ia menarik napas dalam, berusaha menenangkan diri. Ia lalu duduk di pinggiran ranjangnya pula, berhadapan dengan Ramzi.
"Lo bener, Zi. Tentang gue yang akhir - akhir ini sering diem, sering murung, sering banyak pikiran," ucap Asa kemudian.
Raut Ramzi melunak. "Lo harusnya cerita sama gue sejak awal. Lo anggep gue apa? Bukannya kita sahabat? Kali aja gue bisa bantu, kan?"
Asa mengangguk. "Lo bener, Zi. Harusnya gue cerita sejak awal. Tapi ... hal ini mungkin nggak sesederhana yang lo pikir. Gue ... gue butuh waktu untuk sekadar cerita. Sekali pun itu sama sahabat gue sendiri. Sorry, ya, Zi."
Asa sampai terbata - bata menjelaskan pada Ramzi. Padahal bahkan ia belum memulai awal dari cerita yang hendak ia katakan.
Ramzi menyentuh lutut Asa, menyalurkan empati. "Yah ... mau gimana lagi? Lo udah telanjur telat ngomong. Tapi ... lebih baik telat dari pada nggak sama sekali, kan? Jadi, lebih baik lo mulai cerita sekarang. Seberat apa pun, se - nggak jelas apa pun, semengejutkan apa pun. Gue bakal denger. Gue bakal bantu lo sebisa gue."
"Thanks, Zi. Gue beruntung punya sahabat kayak lo. Gue nggak tahu apa jadinya kalo nggak ada lo." Kedua mata Asa berkaca - kaca.
"Ya elah, Sa. Nggak usah terharu gitu keles!" Niat Ramzi menggoda Asa supaya bocah itu tertawa dan tidak terlalu tegang.
Di luar ekspektasi, bulir bening yang menggenang di kedua mata Asa justru mengalir bebas. Asa makin menunduk, menghapus airmatanya dengan kasar.
Ramzi merasa kalut tentu saja. Ia merasa tak enak karena sudah membuat Asa menangis. Ayo lah, seorang Asa yang mandiri, kuat, dan selalu berpikir positif. Tiba - tiba menangis di hadapannya secara terang - terangan.
Apa masalah Asa benar - benar seberat itu?
"Sa ...." Ramzi membungkuk, berusaha melihat wajah Asa. Ia mengambil selimutnya yang masih belum dilipat. Di kamar ini tidak ada persediaan tisu. Maklum lah, penghuninya laki - laki semua. Ramzi tidak tahu harus menghapus airmata Asa menggunakan apa. Jadi lah selimut kumal itu yang ia pakai.
"Udah, Sa. Ya Allah, gue jadi ngerasa bersalah udah nyuruh lo cerita."
Asa terdiam, sesekali terisak, membiarkan Ramzi menghapus airmatanya.
Asa agaknya sudah mulai tenang. Ia memberi gestur pada Ramzi untuk berhenti menghapus airmatanya. Ia justru meminta selimut itu untuk mengelap ingusnya sampai bersih.
"Sa, njir ... nggak ingus juga kali!" protes Ramzi.
Asa melempar selimut kumal Ramzi kembali ke peraduannya -- kasur kapuk milik Ramzi.
"Apa bedanya ingus sama air mata? Orang sama - sama asin. Jadi lo nggak usah protes." Asa menolak omelan Ramzi.
"Tapi kan tetep aja beda. Satu keluar dari mata. Satu keluar dari idung. Air mata sifatnya suci kalo keluar dari hati. Tapi ingus ... tetep aja jijik meski pun keluarnya karena nangis, bukan karena pilek." Ramzi masih protes besar - besaran.
"Zi, sejijik - jijiknya ingus gue, masih lebih jijik bau - nya selimut lo. Masih lebih jijik kumel - nya selimut lo. Udah berapa tahun itu nggak dicuci. Lo beruntung gue nggak nolak waktu lo bersihin airmata gue pake itu selimut! Sekali menjaring, ikan di dua sampai tiga sungai terhabisi. Ya sekalian aja buat lap ingus."
"Syalaaaaaaaan!" Ramzi marah besar. Ia merasa terhina karena kata - kata Asa. Eh, tapi memang benar sih. Kira - kira sudah ... satu ... dua .... Dua tahun semenjak ia kuliah. Empat semester terlampaui, tapi Ramzi belum pernah membawa selimutnya ke laundry sama sekali.
"Zi ...." Nada bicara Asa berubah serius.
Fokus Ramzi segera teralih. Kembali pada topik pembicaraan semula. Tentang masalah Asa yang disembunyikan selama ini.
"Gue ...."
Ramzi mendengar perkataan Asa dengan seksama. Tak mau terlewat sedikit pun.
"Gue bentar lagi mau jadi ayah." Akhirnya terucap.
Ramzi melotot. "Sa ...."
Asa menggeleng. "Lo nggak salah denger, Zi. Istri gue sekarang lagi hamil." Asa mengangkat empat jarinya. "Udah empat bulan."
Ramzi melotot lebih lebar. Bibir tebalnya komat - kamit, ingin bicara tapi jiwanya masih terguncang berat. "I - istri?"
"Iya, Zi. Gue udah nikah. Sekali lagi gue minta maaf karena baru ngasih tahu sekarang."
"Sa ... Ya Allah, Sa ...." Ramzi speechless seketika.
Asa hanya bisa tersenyum kecut. Tapi setidaknya sekarang ia sudah lega. Satu - satunya orang yang bisa ia andalkan untuk menolongnya, sekarang sudah tahu.
Asa jadi mendapatkan kekuatan tambahan jika nanti sewaktu-waktu rahasianya dengan Ruma ini akan terbongkar dan diketahui khalayak ramai.
Kalau boleh jujur, sebenarnya tidak ada yang berniat menyembunyikan. Asa dan Ruma kan menikah sah baik secara agama atau pun negara. Hanya saja mereka menikah dengan sangat sederhana sekali. Bahkan hanya sedikit orang saja yang diundang untuk menyaksikan pernikahan mereka. Dokumentasi pun ala kadarnya dengan ponsel. Dan belum pernah mereka bagikan di sosial media sama sekali. Karena mereka memang bukan orang yang aktif di dunia maya.
***