7. Suster Penguntit

1528 Kata
Ricky terbangun dari tidurnya, dia merasa sesak karena tidur masih memakai kemeja dan celana kerjanya. Lelaki itu bingung saat melihat dirinya berbaring di atas kasurnya. "Perasaan tadi gue di minimarket mau beli kopi botolan deh, kenapa sudah ada di sini saja?" Ricky masih mencoba mengingat-ingat tentang apa yang terjadi. Lelaki itu menoleh ke samping, dia memeras otaknya untuk berpikir lebih keras. Saat melihat mangkuk bubur dia mengingat kalau tadi Brenda mengantarnya pulang dari minimarket. "Astaga, berarti dia sudah lancang masuk kamar gue dong. Gadis itu berani-beraninya. Cish..." desis Ricky, dia memilih bangun dan mengganti pakaiannya. Ricky merasa tubuhnya sudah enteng, kepalanya tidak seberat tadi sore dan perutnya sudah tidak mual lagi. Dia melihat wajahnya di pantulan cermin, keringat dingin mengucur banyak di pelipisnya. "Kutukan apa sih sampai dunia gue sepertinya penuh sama suster itu?" desah Ricky. Tangannya sekarang memutar keran wastafel kamar mandi. Dia membasuh wajahnya dengan sabun muka, dia tidak betah merasakan wajahnya penuh minyak. Jika diperas sepertinya bisa dipakai buat menggoreng cabai, bawang, tomat dan terasi. Tak butuh waktu lama, Ricky langsung membilas wajahnya sampai bersih dan mengelapnya menggunakan handuk kecilnya. "Hah... Segar." Ricky langsung balik ke kamarnya lagi. Dia melihat mangkuk bubur itu, dia tersenyum kecut. "Hah... Mungkin dengan kayak begini dia pikir gue bisa balas perasaan dia kali ya? Tidak mempan." Ricky langsung kembali tidur. Bagaimana pun kondisinya dia harus tetap kerja besok. Hari sabtu tidak boleh bolos, karena besoknya hari minggu. *** Brenda mondar-mandir di depan ruangannya, dia sengaja berangkat pagi sekali hari ini. Sesampainya di rumah sakit Brenda langsung mengerjakan semua pekerjaannya mengenai perkembangan data pasien di semua ruangan yang dikelola Marsel. "Duh, bagaimana caranya gue ngomong sama itu dokter buat ambil belanjaan gue yang ketinggalan? Bisa digorok gue sama emak kalau belanjaan itu enggak dapat, kalau belanja lagi sayang duit gue sudah menipis." Brenda kehilangan akal, dari semalam dia memikirkan hal itu sampai pagi ini tapi tidak menemukan ide yang brilliant juga. Brenda memilih turun ke lantai dasar, dia berniat menunggu Liora sampai datang di meja resepsionis. Gadis itu baru saja melihat ruangan Liora, masih kosong. "Nina, sudah lihat Liora datang belum?" Nina melihat ke arah Brenda, suster itu mengingat-ingat apakah Liora sudah datang atau belum. "Em... Hehehe... Enggak tahu Bren, tidak memperhatikan." cengir Nina. "Ish... Lo mah, jawab begitu pakai mikir segala." dengus Brenda. "Memangnya kenapa sih Bren, mencari Liora?" sambil kerja, Nina sambil mengobrol dengan Brenda. "Gue ada perlu sama dia?" Brenda terus melihat para suster yang berdatangan untuk pergantian shift. "Masalah bakso sama dokter Ricky kemarin di kantin?" tebak Nina. "Ish... Kok lo malah bahas itu sih, ya enggaklah." dengus Brenda. "Sus, saya mau tanya pasien atas nama Fiarsya dirawat di ruangan apa ya?" seorang ibu-ibu bertanya pada Brenda. "Nin, pasien atas nama Fiarsya di ruangan apa?" Brenda ganti bertanya pada Nina. "Di ruangan anggrek nomor tiga, Bu." Nina memberi tahu. "Terima kasih, sus." Brenda dan Nina hanya mengangguk membalas ucapan ibu-ibu tadi. "Lo mau sampai kapan jadi tiang resepsionis rumah sakit kayak begitu?" pertanyaan Nina sedikit menusuk d**a Brenda. "Ish... Bentar lagi." desis Brenda. Dia melihat Ricky masuk rumah sakit, lelaki itu langsung berjalan menuju lift khusus. Brenda bingung, harus minta bantuan Liora atau bicara langsung pada Ricky. "Mending gue ngomong langsung deh, nanti kalo ke Liora yang ada malah dikira gue habis ngapa-ngapain lagi sama itu dokter ngeselin." Batin Brenda, setelah menimbang-nimbang, Brenda memilih meminta langsung pada Ricky. "Gue ke ruangan dulu ya Nin, thank sudah menemani." pamit Brenda. Gadis itu berlari menuju lift umum, dia akan meminta langsung pada Ricky. Saat sampai lantai tiga, Brenda berjalan pelan-pelan dan mengikuti Ricky. Banyak suster yang melihat kelakuan Brenda, tapi mereka hanya diam. Ricky sudah hampir masuk ke ruangannya, tapi tiba-tiba lelaki itu berhenti mendadak dan membuat Brenda mendesis. "Masih kurang puas semalam menguntit saya sampai kamar saya? Dan sekarang masih menguntit lagi." ujar Ricky geram melihat tingkah Brenda. Lelaki itu memang tidak membalikkan badan, tapi dia tahu kalau Brenda mengikutinya dari tadi. Ricky sendiri heran kenapa Brenda senang sekali mengikutinya. Apa suster satu itu tidak memiliki pekerjaan lain. "Aish... Suster aneh." desis Ricky, dia langsung masuk ke dalam ruangannya. Tapi Brenda masih mengikutinya, bahkan dia menyusul Ricky ke dalam ruangannya. Brenda bisa melihat Ricky menggeram kesal saat dirinya berhasil masuk. "Apa yang kamu inginkan dariku, suster Brenda yang terhormat?" terdengar jelas kalau Ricky menahan emosinya. "Em... Maaf dok, itu em... em..." Brenda bingung harus bilang bagaimana. Ricky membalikkan badannya menatap Brenda. Lelaki itu melihat Brenda yang gugup akan mengatakan sesuatu. Ricky menyilangkan kedua tangannya di depan d**a. "Ayo katakan." Ricky melihat tajam ke arah Brenda. "Itu dok, saya itu, em..." Cklek! Ricky dan Brenda kaget saat melihat Liora masuk tanpa permisi. Suster pemilik alis tebal itu pun sama kagetnya. "Em... Maaf sudah mengganggu." Liora sudah hampir menutup pintunya kembali. "Mana jadwal saya hari ini, suster Liora?" tanya Ricky, itu artinya Ricky mempersilakan Liora masuk ke ruangan. Liora kembali membuka pintu dan masuk dengan langkah pelan. Dia heran kenapa Brenda ada di dalam ruangan Ricky sepagi ini. "Ini dok." Liora menyerahkan selembar file berisi jadwal pada Ricky. "Tolong kamu tanya ke suster asisten dokter Marsel itu kenapa dia menemui saya sepagi ini?" Ricky menitah Liora. Lelaki itu sudah beralih membaca jadwalnya sambil duduk di kursi kejayaannya. "Bren, lo ngapain di sini?" Liora bertanya pada Brenda sedikit berbisik. Brenda memejamkan matanya, dia tidak tahu harus bilang apa pada Liora. Dia bingung harus memulainya dari mana. "Bren, jawab." bisik Liora lagi. "Kalau suster itu tidak ada kepentingan dengan saya, bisa diminta keluar dari ruangan saya." ucap Ricky lagi. Brenda memejamkan matanya, dia tidak bisa keluar begitu saja tanpa barang belanjaannya. "Bren, mending lo keluar deh. Dari pada dokter Ricky makin marah lagi." Liora masih bicara bisik-bisik pada Brenda. "Gue mau ngomong penting sama dokter Ricky." balas Brenda. "Ngomong apa? Dari tadi lo diam saja." Liora tak mau kalau Brenda semakin mendengar kata-kata kasar dari mulut Ricky. "Ish... Ini urusannya sama dokter Ricky." "Suster Liora." "Ya dok." Liora ganti mendekat pada Ricky. "Saya sudah membaca semua jadwalnya, tolong beberapa pasien alihkan ke dokter Talia. Hari ini saya ada operasi laser dengan pasien saya yang terkena minus tinggi." ujar Ricky. "Baik dok, akan saya alihkan ke dokter Talia." Liora mengangguk mengerti. "Satu lagi sus, tolong bilang ke suster itu kalau di sini tidak menerima patung dadakan." Brenda semakin ngenes saja mendengar perkataan Ricky. Liora yang mendengarnya saja ikut ngeri, bagaimana Brenda. "Baik, dok." Liora balik kanan dan mendekat ke Brenda. Dia tak tega sebenarnya dengan Brenda, tapi pekerjaan tetap pekerjaan. "Bren, mending lo keluar deh. Tadi gue dengar lo dicari dokter Marsel buat menyiapkan ruang operasi." Liora tak berkata bohong. "Aish... Lo kenapa tidak bilang dari tadi sih? Gue lupa." Brenda langsung keluar dari ruangan Ricky dan menuju ruang operasi. Gadis itu lupa kalau kemarin Marsel sudah memberinya tugas untuk menyiapkan ruang operasi pagi-pagi. Karena ada pasien yang akan melangsungkan operasi usus buntu. "Permisi, dok." Liora langsung keluar dari ruangan Ricky. Ricky tak habis pikir, bagaimana bisa ada suster seperti Brenda. Dia juga bingung kenapa hari ini gadis itu menguntitnya sampai berani masuk ke ruangan. Ricky menarik napas perlahan, sebentar lagi dia akan melangsungkan operasi laser pada pasiennya. Di rumah sakit ini memang memiliki dua ruang operasi, jadi jika ada pasien darurat yang mengharuskan dioperasi bisa langsung melakukan tindakan tanpa menunggu operasi yang belum selesai. Dan untuk operasi laser sendiri tidak melakukan pembedahan, jadi Ricky masih bisa menanganinya sendiri tanpa bantuan dokter bedah. *** Liora kembali memilih duduk bersama Brenda saat makan siang. Gadis berpipi chubby itu penasaran kenapa tadi Brenda nekat mengikuti Ricky, bahkan sampai berani masuk ke dalam ruangan segala. "Lo kalau suka kira-kira dong Bren, jangan nekat." ujar Liora memperingati. Gadis itu hanya tidak mau kalau Brenda jadi bahan olok-olokan oleh Ricky dan pegawai rumah sakit lainnya. "Ish... Gue itu mau ngomong penting banget sama dia, Ra." Brenda menyuapkan mie ayam ke dalam mulutnya. "Ngomong penting apa? Ngomong kalau lo suka dia?" Liora asik menikmati nasi opornya. Gadis satu itu memang cinta banget sama nasi. Sangat jarang makan bakso, mie ayam, kupat dan lain-lainnya. Beda dengan Brenda yang jarang makan nasi ketika di rumah sakit. "Ish... Bukan itu, ini lebih penting dari kata-kata gue suka dia." Kedua suster cantik itu memperhatikan Ricky yang sedang makan bersama Marsel dan Arya. Seolah tidak ada partner lain di rumah sakit. "Terus apa? Lo mau melamar dia? Lo mau dia jadi laki lo begitu?" desis Liora, dia sebenarnya tidak sampai hati harus berkata demikian. "Ish... Bukan begitu Ra, pokoknya ada sesuatu yang tidak semestinya lo tahu." Brenda memilih memakan mie ayamnya lagi. Gadis itu sangat lihai dalam menggunakan sumpit. Bahkan kadang Brenda makan bakso saja memakai sumpit. "Lo bikin gue makin kepo deh. Memangnya hubungan lo sudah sejauh apa sih sama dokter Ricky?" Liora bukannya diam, tapi dia malah makin kepo. "Gue ragu cerita sama lo." Brenda takut Liora malah mengira yang tidak-tidak tentang dirinya. "Ish... Begitu amat sama gue." Liora mendesis, dia lebih memilih menikmati nasi opornya. "Bren." panggil Liora lagi. "Hem..." Brenda selesai makan mie ayamnya dan sekarang sedang menghabiskan es teh manisnya. "Lo benar enggak mau cerita sama gue? Gue janji bakal jaga rahasia lo." ternyata Liora masih penasaran. "Gue mau cerita tapi takut lo berpikir yang tidak-tidak." Dengan Brenda bilang seperti itu malah semakin membuat Liora penasaran dan berpikiran yang tidak-tidak. "Gue netral kok, punya filter bagus." Liora menyusul Brenda yang menghabiskan makanannya. Brenda menatap Liora dalam-dalam, dia menimbang-nimbang terlebih dahulu. Tapi akhirnya Brenda mengatakan semuanya pada Liora dari awal sampai akhir. Dari kejadian di minimarket sampai dirinya memberi obat untuk Ricky di dalam kamar dokter tampan satu itu. Liora mendengarkan dengan saksama. "Hah? Beneran Bren?" Liora sampai membekap mulutnya tak percaya. "Ngapain gue bohong, tidak mungkin gue mengikuti itu dokter kalau tidak ada kepentingan." dengus Brenda, dia kesal karena tadi pagi dia gagal bilang. *** Next...
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN