Brenda sudah siap akan pulang, tapi tadi ibunya mengirim pesan bahwa beberapa bahan dapur dan sabun habis. Gadis itu memilih pergi ke minimarket sebentar.
Banyak yang Brenda beli, ada gula, kopi, teh, mie instan, saus, kecap, sarden, sosis, nugget, sirup, sabun mandi, sabun cuci, pewangi lantai, tisue, pembersih toilet, pengharum ruangan, dan masih banyak lagi.
"Kayaknya sudah semua deh, ke kasir ah." Brenda berjalan menuju kasir.
"Tolong! Tolong!" Brenda mendengar ada orang yang meminta tolong.
Banyak pengunjung minimarket mengerubungi entah apa. Tapi sepertinya ada orang pingsan. Brenda pun ikut berjalan mendekat.
"Astaga! Dokter Ricky!" pekik Brenda, dia tidak menyangka kalau orang yang pingsan itu adalah Ricky.
Brenda langsung mendekat dan meminta semua orang untuk bubar. Karena Ricky pasti butuh oksigen lebih.
"Dok, bangun dok." Brenda berusaha membangunkan.
"Bagaimana, Mbak?" penjaga minimarket juga khawatir.
"Ada yang punya minyak angin?" Brenda melihat dari sekian banyak pengunjung minimarket.
"Ini Mbak, saya punya." seorang ibu-ibu memberikan minyak anginnya kepada Brenda.
Gadis itu mencoba menyadarkan Ricky dengan membuka penutup minyak angin dan mendekatkan ke hidungnya.
"Dok sadar, dok." Brenda mengguncang tubuh Ricky.
Perlahan Ricky sadar dari pingsannya. Dia masih mengerjap-ngerjapkan kedua matanya. Brenda lega karena Ricky akhirnya sadar.
"Ada apa?" Ricky kaget saat melihat banyak orang mengerubunginya dan ada Brenda di sana. Lelaki itu juga bingung kenapa dirinya bisa berbaring di dalam minimarket.
"Barusan dokter pingsan dan saya coba membangunkan dokter." jawab Brenda jujur.
Ricky menatap tak suka pada Brenda, dia masih kesal dengan kejadian di kantin tadi siang. Lelaki itu langsung berdiri sambil memegangi kepalanya yang terasa pusing.
"Dok, hati-hati." Brenda mencoba membantu Ricky tapi lelaki itu menolak.
"Terima kasih semuanya." Ricky langsung keluar tanpa menghiraukan Brenda.
"Titip sebentar, Mas." Brenda memberikan barang belanjaannya pada kasir minimarket. Gadis itu memilih menyusul Ricky keluar.
"Dok, sebaiknya jangan menyetir dulu. Saya takut terjadi sesuatu dengan dokter, apalagi dokter sedang tidak sehat." Brenda terus saja mencoba membantu Ricky.
"Ah... Awas, saya bisa pulang sendiri. Huek..."
Bruk!
"Dokter!" pekik Brenda saat tubuh Ricky tiba-tiba ambruk. Tapi lelaki itu tidak pingsan lagi. Ricky juga muntah, untung tidak mengenai seragam Brenda.
"Saya bisa pulang sendiri." Ricky terus kekeuh menolak kebaikan Brenda.
"Tidak boleh, pokoknya dokter tidak boleh pulang sendiri. Ini bahaya, dokter bisa kecelakaan." dengan paksa Brenda mencari di mana Ricky menyembunyikan kunci mobilnya.
Pencarian itu membuahkan hasil, Brenda mendapatkan kunci mobil Ricky yang disimpan di saku belakang.
"Mau kamu bawa ke mana kunci mobil saya?"
"Dokter sekarang masuk, biar saya antar dokter pulang." Brenda membantu Ricky masuk ke mobil tapi di bagian penumpang.
"Aku bisa pulang sendiri." Ricky masih terus menolak.
"Tunggu sebentar, saya mau bayar belanjaan saya dulu." Brenda kembali masuk ke dalam minimarket dan meminta kasir menghitung semua belanjaannya.
Tidak lama, hanya lima menit dan Brenda langsung masuk ke mobil Ricky. Gadis itu akan mengemudikan mobil dokter satu itu.
"Kamu mau apa? Saya tidak mau mati konyol sama kamu karena kamu tidak becus bawa mobil." Ricky masih meracau.
Tanpa memedulikan Ricky lagi, Brenda langsung tancap gas. Dia berharap kalau Ricky masih sadar.
"Di mana alamat rumah dokter?"
Ricky sudah setengah sadar dan tidak. Lelaki itu menahan pusing yang melanda dirinya.
"Dok, dokter Ricky." panggil Brenda.
"Kamu bisa bawa mobil?" Ricky malah bertanya hal tak penting sekarang ini.
"Bisa, karena dulu Ayah saya juga punya mobil." jawab Brenda seadanya.
"Saya tidak mau mati konyol dengan gadis sepertimu." racau Ricky lagi.
"Alamat rumah dokter di mana?"
"Aish... Jalan flamboyan tiga, rumah nomor empat belas." jawab Ricky.
Brenda tahu alamat itu, dia akan segera ke sana dan membantu Ricky turun dari mobil. Tidak lama, hanya dua puluh menit perjalanan akhirnya Brenda sampai di rumah Ricky.
"Pak, tolong bantu saya. Dokter Ricky sakit dan tubuhnya sangat lemas." Brenda meminta bantuan pada satpam yang berjaga.
"Baik, Mbak." satpam tadi lebih dulu membuka pintu utama kediaman Hutagalung dan kemudian memapah tubuh Ricky ke kamar tuan mudanya tersebut.
"Hah... Berat sekali, Den." mereka bertiga sudah sampai di kamar Ricky.
Satpam tadi berhasil membaringkan Ricky di atas tempat tidurnya yang empuk. Brenda masih menunggu.
"Siapa saja yang tinggal di rumah ini, Pak?" Brenda melihat satpam.
"Hanya ada Den Ricky, Mbak. Kebetulan pembantu lagi pulang kampung." ujar satpam.
"Oh begitu, saya boleh minta izin buat rawat dokter Ricky sebentar. Hanya membuatkan bubur dan memberi obat saja, kemudian pulang." Brenda takut kalau tidak meminta izin nanti malah satpam itu berpikir yang tidak-tidak tentangnya.
"Mbak ini suster di tempat Den Ricky bekerja?" tebak satpam tadi.
"Iya, Pak."
"Pasti pacarnya ya." satpam tadi malah menggoda Brenda.
"Bukan Pak, saya hanya suster dan tadi kebetulan tidak sengaja lihat dokter Ricky pingsan di jalan." Brenda menggeleng-gelengkan kepalanya berulang kali.
"Oh begitu, ya sudah Mbak. Tidak apa-apa kalau mau merawat Den Ricky dulu. Lagi pula Bapak tidak mengerti masalah kesehatan begitu."
"Terima kasih ya, Pak."
"Sama-sama Mbak, saya permisi."
Sepeninggal satpam, Brenda langsung membuka sepatu kerja Ricky dan mengendurkan gespernya. Brenda juga membuka kancing kemeja paling atas supaya tidak terlalu mencekik, kemudian dia menyelimuti Ricky.
Gadis cantik itu menuruni tangga dan mencari di mana dapur rumah ini. Brenda tak menyangka kalau rumah Ricky sangat besar dan mewah. Sayang sekali rumah sebesar ini hanya ditinggali Ricky seorang diri.
Brenda menemukan dapurnya, dia mulai memasak bubur beras tanpa lain-lainnya. Karena kalau dia memasak bubur ayam, akan menyita waktu banyak. Sedangkan waktunya tidak banyak, dia harus segera pulang.
"Selesai." Brenda melihat bubur buatannya, dia menaruhnya di dalam mangkuk dan sekarang dirinya mencari obat untuk Ricky.
Gadis itu membawa nampan berisi mangkuk bubur, obat, gelas dan botol berisi air mineral. Saat sampai di kamar Ricky, ternyata lelaki itu masih terlelap.
"Dok, dokter Ricky." pelan sekali Brenda membangunkan Ricky. Dia tidak mau membuat Ricky kaget.
"Em..." Ricky menggumam tapi tidak membuka matanya.
"Makan dulu, lalu minum obat." Brenda masih berusaha membangunkan Ricky.
Dokter mata itu mengerjapkan matanya, dia antara sadar dan tidak. Dia pun menerima suapan demi suapan dari Brenda. Hanya lima suap kemudian Ricky mengatakan dirinya sudah kenyang.
"Aku tidak mau makan lagi." tolak Ricky.
"Ya sudah, sekarang diminum obatnya." Brenda memberikan dua butir obat untuk Ricky.
Lagi-lagi lelaki itu hanya menurut dan meminum kedua obatnya. Dia langsung balik berbaring dan memejamkan matanya lagi. Brenda pun kembali membenarkan selimut Ricky.
"Selamat malam dok, cepat sembuh." ujar Brenda sembari tersenyum pada Ricky meski pun dia tahu kalau Ricky tidak melihatnya.
Brenda langsung keluar dari kamar Ricky. Gadis itu akan pulang, hari sudah malam. Ini sudah jam delapan malam. Sesekali Brenda melihat sekilas foto-foto Ricky yang dipajang di dinding rumah. Sampai pada akhirnya gadis itu benar-benar keluar dari rumah Ricky.
"Sudah Mbak?" satpam tadi menyapa Brenda.
"Sudah Pak, kalau begitu saya permisi dulu." pamit Brenda.
Satpam tadi mengangguk dan mengucapkan terima kasih juga hati-hati.
Brenda berjalan, dia bingung harus pulang naik apa. Batrei ponselnya low dan tidak bisa memesan ojol. Dia berharap ada angkutan umum yang ada di sekitar sana.
***
Brenda meringis mendengar teriakan ibunya. Ini memang kecerobohannya jadi wajar saja ibunya marah.
"Lagian bagaimana bisa ketinggalan sih, Bren?" Dina, dia tidak habis pikir pada Brenda bagaimana bisa gadis itu melupakan belanjaannya.
"Maaf Bun, ketinggalan di mobil teman." Brenda baru ingat kalau tadi dia pulang tanpa membawa barang belanjaannya.
"Kamu pulang diantar teman?" Wahyu, Ayah Brenda langsung menyahut.
"Tidak diantar Yah, tadi itu aku menolong dia yang pingsan terus belanjaan aku ketinggalan di mobil dia. Kan Ayah lihat sendiri aku pulangnya pakai ojek biasa." Brenda mencoba menjelaskan.
Wahyu tipe orang yang keras dalam mendidik anak-anaknya. Bisa dibilang over protektif, apalagi pada anak perempuannya. Bahkan selama ini belum ada lelaki yang datang melamar Brenda karena takut pada Wahyu.
"Bagaimana ceritanya sih bisa ketinggalan?" Dina sudah memegang kepalanya.
"Aish... Sudahlah Bun, besok aku ambil. Aku sekarang mau mandi, makan terus tidur." Brenda berlalu begitu saja.
Bobby hanya menggeleng-gelengkan kepalanya melihat adu mulut mereka malam ini. Bobby adalah adik Brenda yang masih sekolah di SMA.
"Awas saja kalau anak itu sampai ketahuan jalan sama laki-laki. Aku gantung dia."
"Sudahlah Yah, lagian kan Kak Brenda sudah dua puluh enam tahun. Mau anaknya jadi perawan tua enggak kawin-kawin." sahut Bobby dengan beraninya.
"Kamu, berani ya bilang begitu sama Ayahmu."
Bobby langsung ngacir masuk ke dalam kamarnya. Dia takut dengan Wahyu.
Brenda selesai mandi, dia langsung makan karena perutnya lapar. Masakan Dina memang selalu bisa membuatnya semakin lapar.
"Yang tadi benar enggak sih kalau gue menyuapi dokter Ricky terus kasih obat? Kayak mimpi tapi gue enggak lagi tidur." Brenda mengingat kejadian tadi sambil makan sendirian di meja makan.
"Andai saja gue bisa jadi pacarnya, pasti senang banget." Brenda tersenyum sendiri sambil menyuapkan nasi gulai ke mulutnya.
"Tapi semuanya cuma mimpi Bren, dokter Ricky enggak bakal suka sama lo. Dia saja setiap ketemu selalu terang-terangan bilang tidak suka sama lo." Desah Brenda, dia menyelesaikan makan malamnya.
Gadis itu langsung mencuci piringnya dan masuk ke dalam kamar. Dia mematikan lampu kamar dan mulai berbaring.
"Lo harus bisa lupakan dokter Ricky, Bren. Lo tidak pantas sama dia, lo cuma seorang suster dari keluarga sederhana. Sedangkan dia seorang dokter dan dari keluarga kaya raya." sepertinya Brenda hobby sekali bicara dalam hati.
Lagi-lagi Brenda mendesah, dia langsung memejamkan matanya memasuki dunia mimpi. Besok dia harus kembali bekerja.
***
Next...