"Pusing gue, nyokap menyuruh gue cepetan kawin mulu." dengus Ricky, dia berkeluh kesah pada kedua sobatnya.
"Makanya cepetan kawin." Arya menimpuk Ricky dengan sedotan bersih.
"Dikira gampang apa, cari cewek sesuai kriteria gue itu susah."
Marsel dan Arya menertawakan Ricky. Mereka masih ingat apa saja kriteria gadis yang diinginkan Ricky saat percakapan mereka beberapa bulan lalu saat Ricky baru saja pulang dari Magelang.
"Sampai ubanan pun lo enggak bakal dapat yang kayak begitu. Keburu enggak lempeng lagi itu." ledek Marsel.
Lagi-lagi mereka semua tertawa, Ricky yang menjadi bahan bullying mereka kali ini.
"Sama suster yang kemarin saja sih Rick, gue lihat dia cakep juga." Arya menyesap minumannya.
"Tidak usah banyak pilih, rasanya sama meski beda cewek." Marsel ikut menyesap minumannya.
"Tuh dengarkan pakarnya, yang sudah dua kali menikahi gadis. Yang penting kan bisa lo ajak hidup susah senang bareng, menerima lo sama keluarga lo apa adanya dan yang penting bisa kasih kewajiban biologis sama lo. Cari yang kayak bagaimana lagi?" Arya dan Marsel bingung juga dengan satu temannya itu.
"Memang Airin sama Alexa rasa itu-nya sama, Sel?" Ricky malah membuka pembicaraan unfaedah.
Plak!
Ricky menerima pukulan dari tangan Marsel. Ricky hanya nyengir, Arya sudah tertawa melihat pertikaian dua sahabatnya.
"Sembarangan saja itu mulut kalau ngomong."
"Ya tadi lo bilang rasanya sama meski beda cewek, berarti punya Airin sama Alexa sama. Ya kan gue kagak tahu, orang enggak pernah mengincip punya mereka." Ricky sudah siap-siap, dia menutup kepalanya dengan tangan. Antisipasi kalau Marsel kembali menimpuknya.
Bugh!
"Bangkai! Kaki gue yang jadi sasaran." ringis Ricky merasakan kakinya hampir remuk.
Bukan menimpuk sekarang, tapi Marsel menginjak kaki Ricky. Lelaki itu meringis kesakitan mendapat siksaan dari Marsel.
"Jahat amat Mas, sama dedek."
"Hahaha... Enggak kuat gue lihat ekspresi lo, Rick. Kocak parah." Arya sampai memegangi perutnya yang kesakitan.
"Sekali lagi itu mulut ngomong yang enggak-enggak, gue lempar lo ke aspal." ancam Marsel.
"Hih atut..." cengir Ricky.
"Eh tapi dengar-dengar tadi suster Brenda masuk ke ruangan lo, Rick?" Arya mendengar dari beberapa suster.
"Iya, itu suster ganggu bet dah. Kemarin sore pakai acara menolong gue yang pingsan di minimarket segala terus mengantar gue balik. Dia buatkan bubur, menyuapi gue di kamar gue sama kasih obat ke gue. Merasa kek dibutuhkan banget kan itu suster satu." ujar Ricky tanpa saringan, bibirnya terus nyerocos tentang kejadian kemarin sore.
"Hah? Dia sudah sampai ke kamar lo?" kaget Arya.
"Ngapain lo sama asisten gue di dalam kamar bareng?" Marsel tak kalah kagetnya.
Ricky menutup wajahnya, dia salah ngomong. Mulutnya kebablasan, tak bisa direm mendadak. Sekarang Ricky cuma nyengir belaka.
"Hehehe... Enggak ngapa-ngapain kok, orang gue saja kagak sadar. Gue kan semalam demam." cengir Ricky mencoba meyakinkan mereka.
Dokter tampan dengan lesung pipit itu tidak mau Marsel dan Arya salah paham.
"Yakin lo enggak ngapa-ngapain dia?" tuding Marsel.
"Buju buset, yakin Sel. Gue sentuh saja kagak." Ricky menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Yakin? Tidak bohong lo sama gue?"
"Astaga, enggak! Bagaimana bentuk dalam minisetnya saja gue kagak paham suer..." Ricky sampai mengangkat jari-jarinya membentuk huruf V supaya Marsel dan Arya percaya.
Ricky benar-benar menganggap d**a Brenda itu kecil sampai-sampai dia mengatakan miniset, bukan bra.
"Tapi lo mau ngapa-ngapain juga terserah deng. Dengan begitu nanti lo jadi cepat-cepat kawin." Arya malah menaik turunkan alisnya menggoda.
Marsel tertawa melihat Ricky menekuk wajahnya. Diam-diam dari tadi Marsel tahu kalau Brenda terus memperhatikan Ricky, tapi Marsel tidak memberitahu Ricky.
"Bangsul lo." ganti Ricky yang melempar Arya dengan sedotan bersih.
"Ya sudah yuk, sudah mau habis jam makan siangnya." Arya berdiri terlebih dahulu.
Marsel dan Ricky menyusul, mereka akan langsung ke ruangan masing-masing. Sistem p********n di kantin rumah sakit ini adalah sistem kasbon untuk dokter dan suster. Saat mereka mengambil makanan mereka akan bilang ke pengurus kantin dan akan dibayar serentak oleh pihak rumah sakit dari uang potong gaji karyawan yang bersangkutan.
"Dokter Ricky! Tunggu!"
Langkah kaki Ricky dan kedua dokter lelaki tadi terhenti saat mendengar suara perempuan yang menghentikan langkah Ricky. Marsel sudah sangat hafal suara siapa itu.
Mereka bertiga membalikkan badan dan betapa kagetnya Ricky kalau orang yang memanggilnya tadi adalah Brenda. Lagi-lagi dia harus berurusan dengan suster aneh satu itu.
Brenda mendekat ke Ricky, dia gugup harus bilang bagaimana pada Ricky. Sekuat tenaga dia mengumpulkan keberaniannya. Liora menunggu di tempat mereka makan tadi.
"Ada apa?" Ricky masih berbaik hati menunggu apa yang akan disampaikan Brenda padanya.
"Em... Itu dok, saya... saya... saya mau itu em..." Brenda merutuki dirinya sendiri, kenapa bilang hal sepele saja sangat sulit.
Marsel dan Arya ikut penasaran apa yang membuat Brenda berani mengganggu Ricky hari ini. Ricky menarik napas dalam-dalam, dia geram melihat Brenda tak kunjung bicara.
"Kamu mau bilang apa?"
"Saya mau bilang itu dok, itu... Aish..." desah Brenda.
Ricky kesal sendiri, dia tak lagi menghiraukan Brenda. Lelaki itu membalikkan badan dan berniat kembali ke ruangannya. Percuma menunggu Brenda yang tak kunjung bicara.
"Saya mau ambil barang saya yang ketinggalan di mobil dokter Ricky." ujar Brenda lancar dan lantang.
Gadis itu memejamkan matanya, dia takut banyak orang yang salah paham antara dirinya dengan Ricky. Brenda sekarang menggigit bibir bawahnya, semoga dia tidak salah.
Ricky menghentikan langkah kakinya dan berbalik arah menatap Brenda. Dokter spesialis mata itu mengepalkan tangannya, dia menahan amarahnya. Ricky mendekati Brenda dan tiba-tiba menarik tangan gadis itu entah ke mana.
"Dok, lepaskan saya dok." Brenda berusaha meronta tapi pegangan tangan Ricky terlalu kuat.
"Rick, mau lo bawa ke mana?" Arya takut kalau Ricky berbuat yang tidak-tidak pada Brenda.
Liora tak kalah takutnya, dia juga khawatir kalau Ricky menyakiti Brenda. Melihat banyak orang yang menyaksikan kejadian ini. Lagi-lagi kantin menjadi saksi pertikaian mereka berdua.
Brenda meringis saat Ricky memojokkannya di halaman rumah sakit yang sepi. Jarang ada orang berlalu lalang di sana.
"Aw... Sakit dok." ringis Brenda saat Ricky menghempaskan tangannya.
"Sakit kamu bilang? Ini tidak seberapa dengan rasa malu saya karena kamu terus menguntit saya." ujar Ricky tajam.
"Saya sama sekali tidak menguntit dokter, tapi saya cuma mau mengambil belanjaan saya yang tertinggal di mobil dokter kemarin." ujar Brenda jujur, dia sama sekali tak ada niatan buat menguntit Ricky.
"Barang belanjaan apa? Saya tidak bawa mobil yang kemarin, saya bawa mobil lain." Ricky pun tak bohong.
"Barang belanjaan saya tertinggal di mobil dokter. Kemarin saat saya mengantar dokter pulang saya menaruh keresek minimarket di jok tengah dan lupa mengambilnya, dok." Brenda menundukkan kepalanya, dia tidak berani beradu tatap dengan Ricky.
Mereka hanya berdua, karena memang tempat itu jarang sekali dikunjungi orang. Posisi Ricky yang memojokkan Brenda ke tembok dan menghadang suster itu di depannya bisa menimbulkan fitnah kalau ada yang melihat mereka.
"Halah, itu akal-akalan kamu saja kan biar bisa dekat dengan saya?"
Brenda menggelengkan kepalanya berulang kali. Itu sama sekali tidak benar, Brenda tidak berusaha mendekati Ricky sama sekali.
"Bukan dok, itu murni karena saya lupa."
"Ingat ya sus, saya tidak menyukai kamu dan saya tidak suka kamu mendekati saya. Jadi jangan berpikir kalau saya bisa membalas perasaan kamu. Ngaca dong, kamu itu bukan tipe saya." perkataan Ricky memang sedikit keterlaluan.
Sekuat tenaga Brenda menahan air matanya supaya tidak terjatuh. Perkataan Ricky sangat membuat hatinya sakit berkeping-keping. Brenda sadar kalau sampai kapan pun dirinya tidak akan bisa bersanding dengan Ricky.
"Saya tidak bohong dok, saya hanya ingin mengatakan kalau barang belanjaan saya tertinggal di dalam mobil dokter. Itu saja, tidak lebih. Dan selama ini saya tidak berusaha mendekati dokter Ricky."
"Halah bullshit! Dasar cewek tidak tahu diri." Ricky meninggalkan Brenda begitu saja tanpa tahu kalau perasaan wanita itu terluka karena kata-katanya.
"Sadar Bren, lo tidak pantas buat dia. Buang rasa cinta lo ke dia."
Brenda menghapus air matanya yang jatuh semakin deras. Gadis itu merasa dirinya terjebak dalam sebuah perasaan yang tak berbalas. Sesakit itukah mencintai orang lain?
Bertahun-tahun Brenda memendam rasa untuk Ricky. Bertahun-tahun pula Brenda mencoba menghilangkan perasan itu. Tapi bertahun-tahun pula Brenda tidak bisa menghapusnya.
"Bren, lo harus kuat ya."
Brenda kaget saat tiba-tiba Liora berdiri di depannya. Gadis itu langsung menghapus air matanya. Dia tidak mau terlihat lemah di depan Liora.
"Gue tidak apa-apa kok, Ra." Brenda ingin pergi meninggalkan Liora.
"Gue menyusul lo ke sini terus lo malah mau cuekin gue begitu saja?"
Langkah kaki Brenda terhenti, gadis itu kembali menangis. Dia langsung memeluk Liora. Brenda tak tahu harus berkata apa-apa lagi.
"Selama ini gue tidak berusaha mendekati dia, Ra. Gue juga enggak tahu kenapa di setiap ada kejadian selalu saja ada kaitannya sama dia. Terus gue juga enggak bohong kalau gue mau ambil belanjaan gue yang ketinggalan di mobil dia." Brenda sudah sesenggukan dalam pelukan Liora.
"Lo yang sabar ya Bren, gue percaya sama lo. Bagaimana kalau nanti sore gue temani lo ke rumahnya dokter Ricky buat ambil barang belanjaan lo yang ketinggalan itu?" tawar Liora, gadis itu membantu menghapus air mata Brenda.
"Gue takut merepotkan lo."
"Sudah tenang saja, lo tidak merepotkan gue sama sekali kok. Nanti gue temani lo ke sana. Tidak usah menangis lagi." Liora mengusap-usap bahu Brenda, berharap suster itu bisa sedikit lega.
"Terima kasih ya Ra, lo sudah peduli sama gue." lagi-lagi Brenda memeluk tubuh Liora.
Brenda berusaha menenangkan hatinya sendiri.
~Cinta gue ke lo itu ibarat hari minggu ke senin, terlalu dekat. Sedangkan lo ke gue ibarat senin ke minggu, sangat jauh. Sangat berbeda, dan mustahil untuk bisa sejalan seirama.~
***
Liora menepati janjinya, dia menemani Brenda ke rumah Ricky untuk mengambil belanjaan Brenda yang tertinggal di dalam mobil Ricky.
"Pak, dokter Ricky-nya ada?" kali ini Liora yang bertanya pada satpam.
"Kebetulan Den Ricky baru pulang, Mbak." satpam tadi membukakan gerbang untuk Liora dan Brenda.
Liora dan Brenda langsung masuk ketika gerbang terbuka. Satpam itu melihat Brenda dan mencoba mengingatnya.
"Suster ini yang semalam menolong Den Ricky kan?"
"Iya, Pak."
"Pak, boleh minta tolong panggilkan dokter Ricky tidak? Soalnya kami berdua tidak lama dan ada perlu sebentar." ujar Liora sesopan mungkin.
"Saya panggilkan bentar ya, Mbak." satpam tadi berlalu dan masuk ke rumah Ricky.
Liora melihat rumah Ricky, sangat mewah dan megah. Mereka menunggu di pos satpam karena mereka tidak mungkin masuk.
"Ada apa kamu mencari saya ke rumah, Ra? Pakai mengajak suster..." Ricky datang menghampiri Liora dan Brenda.
"Em maaf dok kalau saya tidak sopan, kedatangan saya ke sini mau mengantar Brenda untuk mengambil barang belanjaannya yang tertinggal di mobil dokter kemarin." Liora sengaja memotong ucapan Ricky, karena dia tidak mau mendengar hinaan Ricky lagi untuk Brenda.
"Oh... Jadi suster penguntit itu cari bala bantuan." senyum sinis Ricky.
"Apa bisa langsung diambil ya, dok?" Liora merasa dirinya tidak sopan, tapi dari pada berlama-lama di sini mendengar hinaan demi hinaan yang diberikan Ricky untuk Brenda.
"Pak Lan, tolong ambilkan kunci Terios saya di kamar." titah Ricky.
"Baik, Den." satpam tadi berlari mengambil kunci mobil Ricky yang dibawa kemarin.
Sedari tadi Brenda hanya mengangguk tidak berani menatap Ricky. Dia sudah terlalu sakit hati dengan penghinaan Ricky tadi siang.
"Ini, Den." Pak Lan memberikan kunci mobil kepada Ricky.
Ricky mengambil kunci itu dan berjalan menuju mobilnya. Ternyata benar, di jok tengah ada satu kantong keresek minimarket besar berisi belanjaan Brenda. Ricky membawa keresek itu.
"Tuh ambil." Ricky tak segan-segan menjatuhkan keresek berisi belanjaan Brenda ke depan kaki gadis itu.
Brenda kaget, bahkan beberapa isi dari keresek itu ada yang sampai keluar. Gadis cantik berkulit putih itu langsung memungutinya. Dan Brenda sangat malu karena yang keluar dari keresek itu adalah pembalut berukuran sedang. Ada dua, siang dan malam. Brenda merutuk dalam hati kenapa kedua bungkus pembalut itu bisa keluar semua.
Liora hampir tak percaya kalau Ricky bisa sekasar itu kepada Brenda. Padahal setahu Liora, selama ini Ricky tipe lelaki yang care dan mudah bercanda.
"Dokter kenapa kasar sekali dengan suster Brenda?" Liora tak habis pikir.
Brenda berdiri sambil memegang keresek tadi. Dia berusaha menatap Ricky yang juga menatapnya tajam.
"Terima kasih dok, maaf mengganggu." ucap Brenda pada Ricky.
"Ayo Ra, kita pulang." Brenda menarik tangan Liora supaya gadis itu mau pulang.
"Bentar Bren, gue mau dengar apa jawaban dokter Ricky bisa sekasar itu sama lo." Liora menghentikan langkahnya tapi Brenda terus menariknya.
Ricky tidak memberi jawaban. Lelaki itu langsung saja pergi dan meninggalkan kedua gadis itu begitu saja.
"Ingat dok! Kalau tidak ada suster Brenda kemarin yang menolong dokter sampai rumah! Mungkin sekarang dokter sudah terbaring di rumah sakit!" teriak Liora.
Gadis itu malah emosi, ternyata Ricky sengaja berhenti dan mendengarkan perkataan Liora. Beberapa detik kemudian Ricky langsung melanjutkan langkah kakinya dan masuk ke dalam rumah.
***
Next...