Brenda menikmati kupat tahu yang diracik oleh pedagang kaki lima di luar rumah sakit. Sudah sebulan semenjak kejadian di kantin bersama Ricky saat meminta barang belanjaannya yang tertinggal itu Brenda tidak lagi mau makan di kantin. Bahkan jika dia haus dan butuh minum pun Brenda akan membeli di luar rumah sakit. Dia tidak mau lagi dibilang penguntit orang atau mencari perhatian orang.
"Mau sampai tua lo tidak mau menginjak lantai kantin lagi?" sindir Liora yang juga makan bersama Brenda.
"Mau sampai tua lo mengikuti gue makan di luar?" Brenda balik menyindir Liora.
Kedua gadis itu sama-sama mendengus, mereka saling tatap sekarang. Entah apa yang membuat mereka seperti itu.
"Jangan kekanak-kanakan, Bren."
"Gue cuma tidak mau dibilang mencari perhatian dia atau mencoba mendekati dia doang, Ra. Dengar sendiri kan lo bagaimana dia pas menghina gue waktu itu?" Brenda mendesah, dirinya menyudahi acara makan kupat tahu dan meminum teh hangat yang disuguhkan penjual sampai habis.
Mereka tidak merasa terganggu makan di pinggir jalan, berjejalan dengan orang asing bahkan kadang ada yang bau keringat. Tak hanya keringat, tapi asap rokok, knalpot, bau got, sampah dan berbagai macam lainnya. Bahkan jika siang hari, udara di luar sangat panas meski sudah di bawah terpal.
Berbeda jauh dengan kantin rumah sakit yang sangat elegan, bersih, tidak ada asap knalpot, bau sampah dan teriknya matahari.
"Kantin itu tempat umum, tidak ada larangan atau peraturan dari Presdir Liau bahwa lo tidak boleh ke kantin." Liora pun menyudahi acara makannya.
Kedua gadis itu sama-sama diam, mereka melihat ada banyak orang datang memesan kupat tahu. Dan sepertinya tempat ini kurang untuk menampung mereka. Brenda memilih berdiri dan membayar makanannya, begitu pun Liora. Mereka tak mungkin membiarkan orang-orang itu makan sambil berdiri sedangkan dirinya mengobrol sambil duduk.
"Lihat sendiri kan? Secara tidak langsung kita diusir, padahal kita juga bayar makan di sana." dengus Liora.
"Kita tidak diusir, itu sebuah simpati pada seseorang." Brenda mencari kata-kata yang pas, meski masih terdengar aneh.
Liora tertawa kecil, dia menggeleng-gelengkan kepalanya mendengar perkataan Brenda. Jarak antara jalan raya dan gedung rumah sakit lumayan jauh, jadi mereka sedikit harus berolah raga di siang hari untuk mengisi perut selama sebulan terakhir ini.
"Kenapa lo bisa secinta itu sama dokter Ricky? Bahkan setelah penghinaan itu pun lo tidak bisa juga buang perasaan lo sama dia?" Liora menatap heran pada Brenda.
Mereka sudah memasuki rumah sakit, hawa dingin dari pendingin ruangan langsung menyegarkan tubuh kedua suster itu.
"Gue tidak tahu." Brenda menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Bagaimana lo bisa tidak tahu sih, kenapa lo bisa secinta itu sama dokter satu itu?" desah Liora, heran dia melihat Brenda.
"Apakah cinta butuh alasan kenapa seseorang bisa mencintainya? Sedangkan cinta sendiri tidak pernah memberi alasan untuk membuat seseorang bertahan pada cinta sendirian." Brenda meninggalkan Liora begitu saja, gadis itu memilih masuk ke lift khusus. Tentu saja Liora tidak bisa menyusulnya, dia harus lewat lift umum.
"Hah... Gadis itu, bodoh sekali. Mau-maunya diperbudak oleh cinta." Liora pun langsung masuk ke dalam lift saat pintu lift terbuka.
Brenda kaget saat dokter Jian berlari ke ruang tulip. Bahkan Brenda juga mendengar kalau alarm di kamar itu berbunyi. Gadis itu memutuskan turun di lantai dua, dia akan memastikan yang sebenarnya. Tapi dia tidak melihat Marsel berada di sana menanganinya. Brenda menyusul Jian masuk ke ruang tulip, dan benar kalau dokter itu sendirian.
"Ke mana dokter Marsel, dok?" Brenda mendekat dan berusaha menenangkan pasien.
"Panggil dia, sepertinya masih berada di ruangannya." perintah Jian.
Brenda menurut, dia berlari lewat tangga darurat dan langsung ke ruangan Marsel. Dia bingung semakin lama, sikap Marsel semakin dingin. Entah apa yang membuat lelaki itu sangat sulit tersentuh dan ditebak.
Brenda memberi tahu Marsel kalau alarm di ruang tulip berbunyi. Dokter tampan dengan kulit putih itu langsung menyiapkan stetoskop, termometer dan suntikan. Mereka berlari bersama ke ruang tulip. Sesampainya di ruang tulip, Marsel langsung memberikan penanganan. Tak selang lama pasien itu bisa tenang.
Marsel mengatakan kalau suami dari pasien harus menemuinya di ruangannya. Suster cantik itu menganggukkan kepalanya dan bergegas menemui suami pasien.
"Ruangan dokter Marsel ada di lantai tiga, Pak. Anda bisa langsung ke ruangannya." ujar Brenda sopan.
"Terima kasih, sus." suami dari pasien tadi langsung menuju lift dan mencari di mana ruangan Marsel.
Brenda berlalu pergi ingin menuju ruangannya untuk memberikan laporan kesehatan pasien yang ada di ruang tulip kepada Marsel. Suster cantik ini berjalan ke arah barat. Tangannya meraih ponsel dan melihat isi ponselnya sebentar. Tapi tiba-tiba ada seseorang yang menabraknya dari arah lawan.
Saking takutnya, Brenda memejamkan mata ketika dirasa tubuhnya melayang. Dirinya tahu jika jatuh rasanya pasti sakit, maka dari itu Brenda sengaja memejamkan mata. Ponselnya pun terlepas dari genggamannya. Tapi sudah sekian detik berlalu Brenda merasa dirinya masih melayang, tidak terjatuh.
"Hey... Bangun!" titah suara lelaki yang menabrak Brenda.
***
Liora mondar-mandir di depan ruangannya, dia menunggu Ricky yang tak kunjung datang. Sudah banyak pasien yang mengantre dan semua harus diperiksa hari ini. Ricky sudah pergi terlalu lama, bahkan dari sebelum jam makan siang. Banyak pasien yang sudah mengeluh bahwa pelayanan di rumah sakit ini kurang memuaskan.
"Aish... Ke mana sih dokter itu?" Liora sampai menggigit kuku-kukunya.
"Liora!" akhirnya Ricky datang dengan napas terengah-engah.
Lelaki itu seolah habis berlari sangat jauh. Liora bisa bernapas lega karena Ricky datang. Bisa disate dia sama pemimpin departemen dokter mata kalau sampai Ricky tidak menyelesaikan pekerjaannya.
"Dokter dari mana saja? Sudah ada lima belas pasien yang menunggu dokter dari sebelum jam makan siang tiba." dengus Liora.
"Maaf sudah merepotkanmu, bagaimana kalau sebagai kata maaf saya nanti sore saya ajak kamu makan iga bakar di tempat yang enak?"
Benar kan, Ricky orang yang baik. Apalagi dengan Liora, lelaki itu selalu royal padanya. Ricky pernah bilang pada Liora kalau kebaikannya pada Liora adalah sebagai rasa terima kasihnya karena suster itu sudah sangat banyak membantu pekerjaannya.
"Saya takut dengan calon suami saya dok, tapi saya juga mau iga bakarnya." ujar Liora.
Ricky memutar bola matanya, selalu seperti itu jawaban Liora. Dia sudah sangat hafal, bahkan seperti tidak ada jawaban lain. Ricky mengeluarkan dompetnya dan memberikan dua lembar uang berwarna merah pada Liora.
"Ini, buat beli iga bakar sama calon suami kamu." Ricky memberikan uang itu.
"Yes, terima kasih dok." jawaban tadi trik yang paling jitu untuk membuat Ricky mengeluarkan uang dari dompet untuknya.
"Sekarang cepat bantu saya, akan saya periksa mereka semua siang ini." desah Ricky. Lelaki itu langsung masuk ke ruangannya.
"Hah... Pasti orang-orang berpikir kalau gue menghamili itu suster rese deh. Lagi pula kenapa harus ada insiden tabrakan segala sih?" dengus Ricky, dia mengingat acara tabrakannya tadi dengan Brenda yang tidak disengaja.
Tabrakan itu pun terjadi karena kesalahannya. Lelaki itu berlari dari lantai bawah supaya bisa cepat sampai ke ruangannya dan memeriksa semua pasiennya. Bukan lebih cepat, yang ada malah terjebak mencari ponsel sama Brenda.
"Aish... Kenapa bisa ada kejadian tidak sengaja begini lagi sih? Setelah sebulan tidak ada masalah antara gue sama dia." Ricky benar-benar tak habis pikir.
Tok... Tok... Tok...!
"Masuk!"
Liora sudah bersama dengan pasien yang akan Ricky periksa. Dia harus menyelesaikan semua pasiennya siang sampai sore ini juga. Tidak ada yang boleh ditunda sampai senin. Bisa mendapat ceramah tujuh hari tujuh malam dia dari kepala departemen dokter mata.
***
Ricky sudah siap dengan pakaian olah raganya. Hari minggu dia sering olah raga di sekitar taman kota. Celana training di atas lutut, kaos singlet, handuk putih, kaos kaki dan sepatu olah raga melekat di tubuhnya. Tapi lelaki itu lebih dulu naik mobil sebelum sampai ke sekitar taman karena jarak dari rumahnya ke taman lumayan jauh.
"Hah... Hidup sehat memang enak." Ricky sudah bersiap dan masuk ke dalam mobilnya.
Lelaki itu kembali memakai Terios hitamnya, karena dia malas mengeluarkan mobil satunya.
"Siap berangkat." Ricky langsung memacu kuda besinya menuju taman kota. Dia memutar musik yang menurutnya asik di telinga.
"Cish... Andai gue sudah punya anak bini, pasti gue olah raga bertiga sama mereka." sebenarnya Ricky juga ingin segera menikah, tapi gadis yang sesuai kriterianya sangat sulit didapat.
Ricky sudah sampai di taman kota, dia membawa sebotol air mineralnya dan mulai berjalan kaki dulu. Dia memilih di mana tempat yang pas untuk pemanasan sebelum berlari. Pandangan Ricky terpaku pada sebuah kerumunan manusia yang ada di ujung jalan tapi tak jauh dari posisinya. Hanya berjarak tiga mobil yang diparkir.
"Maaf, ada apa Pak?" Ricky menyempatkan diri bertanya pada tukang parkir yang ikut berlari.
"Itu Mas, baru saja ada kecelakaan motor di depan."
Ricky mengangguk-anggukkan kepalanya, dia berjalan mendekati kerumunan itu dan akan melihat korban kecelakaannya. Banyak sekali yang mengerubung.
"Permisi." Ricky meminta beberapa orang untuk memberinya celah.
***
Next...