Brak!
"Astaga!"
"Kenapa Mang?" Brenda ikut kaget saat mendengar suara benturan yang sangat kencang. Bahkan sopir angkot yang dia tumpangi pun mengerem angkotnya mendadak.
"Ada kecelakaan, Neng." sahut sopir angkot.
Brenda langsung turun dan membawa barang belanjaannya. Gadis itu baru saja pulang belanja sayuran dari pasar seorang diri.
"Ini Mang." Brenda memberikan ongkos pada sopir barusan.
"Mau ke mana, Neng? Bahaya." sopir angkot tadi berusaha mencegah tapi Brenda tetap saja berlari ke arah korban kecelakaan.
"Awas! Permisi!" dengan tubuh kecilnya, Brenda mencoba menerobos kerumunan tadi.
Ternyata ada seorang bapak-bapak yang kesakitan karena kecelakaan barusan. Banyak orang yang menatap remeh ke Brenda yang hanya memakai baju rumahan, kaos lengan pendek dan kulot panjang bermotif bunga.
"Apa yang mau kamu lakukan?" tanya salah seorang penonton yang menatap remeh pada Brenda.
Brenda langsung mendekati lelaki paruh baya itu dan mencoba berbicara padanya.
"Apa Bapak masih ingat ini di mana?" tanya Brenda pertama kali. Hal itu berguna supaya penolong tahu apakah pasiennya dalam keadaan sadar atau mabuk.
"Taman." ujar laki-laki itu lirih.
"Astaga, bagaimana ini?" Brenda kebingungan, dia tidak membawa ponselnya karena ponsel itu masih berada di tukang servis.
"Tolong telefon ambulans." Brenda meminta tolong pada mereka tapi tidak ada yang bergerak satu pun.
"Permisi!"
Brenda mendengar ada orang yang mengucapkan kata permisi.
"Dokter Ricky." entah keberuntungan, kebetulan, takdir, disengaja atau apa. Dirinya tak habis pikir, di setiap ada kejadian selalu saja ada Ricky di sana.
"Dia kenapa?" Ricky mendekat ke arah Brenda, dia ikut mengecek sebisanya.
"Apa dokter membawa alat medis?"
"Sebentar." Ricky kembali melewati kerumunan tadi dan berlari mengambil alat medisnya di dalam mobil.
"Bertahanlah, semua akan baik-baik saja." Brenda terus saja memegang tangan lelaki paruh baya tadi.
Banyak orang-orang yang menatap remeh ke Brenda. Bahkan banyak yang berbisik, mana mungkin wanita lusuh sepetinya bisa menyelamatkan nyawa orang lain.
Ricky kembali datang dan membawa kotak berisi peralatan medisnya. Semalam dia baru saja menjadi dokter umum di salah satu keluarga dari kalangan TNI. Kebetulan kotak medisnya masih ada di dalam mobil. Meski menjadi dokter umum, Ricky hanya mengerti tentang demam dan penyakit ringan saja. Jika lebih serius, maka dia akan merujuk ke dokter spesialis di resepnya.
"Tolong jangan menonton, dia butuh oksigen!" seru Ricky menatap ke arah penonton dadakan.
Brenda membuka kancing baju lelaki itu dan menempelkan telinganya di d**a bagian kanan. Ricky juga ikut mengecek denyut jantungnya menggunakan stetoskop.
"Denyut jantungnya semakin melemah." ujar Ricky.
Brenda kembali mencari sesuatu dari dalam kotak medis milik Ricky. Berharap apa yang dia cari ketemu.
"Brenda, bibirnya semakin membiru." Ricky takut laki-laki itu akan meninggal dunia.
Lelaki tadi kolaps dan terus memegangi dadanya. Ricky tak tahu harus bertindak apa, ini bukan bidangnya dan sama sekali belum pernah menangani hal seperti ini.
"Apa yang harus kita lakukan?!" bentak Ricky karena Brenda terus saja fokus ke kotak medisnya.
Orang-orang tak mau pergi, mereka terus saja menonton apa yang akan dilakukan gadis sok tahu itu. Menurut mereka, Brenda adalah gadis sok tahu.
Brenda sudah memegang apa yang dia cari, dia membuka penutup jarum dan bersiap menusukkan jarum itu ke sela-sela iga lelaki itu.
"Apa yang akan kamu lakukan?" Ricky mencegah Brenda. Dia takut kalau Brenda melakukan kesalahan.
"Pasien ini terkena pneumotoraks tension. Kita harus mengeluarkan udara dari dalam paru-parunya." Brenda kembali bersiap.
"Dari mana kamu tahu? Kamu bukan dokter dan jangan sok tahu!" bentak Ricky.
"Wajahnya semakin membiru, dokter akan membiarkan saya melakukannya atau membiarkan pasien ini mati?" Brenda menatap emosi pada Ricky.
Ricky pun menatap tak suka pada Brenda. Gadis itu langsung saja menusukkan jarum suntik ke d**a bagian kanan pasien untuk mengeluarkan udara yang tersumbat.
Brenda bernafas lega saat lelaki tua itu sudah tidak lagi kejang-kejang. Pertolongannya berhasil, pasien itu benar-benar mengalami pneumotoraks tension. Sebuah penyakit yang dialami karena benturan keras sehingga membuat paru-paru rusak atau jaringan di sekitar paru-paru tidak berfungsi.
Pasien yang mengalaminya tetap bisa menghirup udara tapi tidak bisa mengeluarkan udara karena rusaknya paru-paru. Dan jalan satu-satunya adalah menusukkan jarum suntik ke sela-sela iga pasien. Karena kalau tidak cepat diselamatkan, udara yang masuk bukan hanya memenuhi paru-paru. Tapi juga memenuhi jantung dan membuat jantung semakin membengkak kemudian terjadilah pecahnya jantung sehingga membuat pasien itu kehilangan nyawa.
"Hah... Syukurlah." Brenda bisa bernafas sedikit lega.
Orang-orang yang tadi meremehkan Brenda menatap tak percaya dengan apa yang dilakukan gadis itu. Dia sungguh-sungguh menolong korban kecelakaan barusan. Mereka sudah salah meremehkan orang lain.
Bukan hanya orang-orang itu, bahkan Ricky pun menatap tak percaya dengan apa yang dilakukan Brenda. Baru saja gadis itu menyelamatkan nyawa seseorang.
Brenda langsung memeriksa tensi dan detak jantung korban kecelakaan di depannya. Wajah dan bibir lelaki tadi sudah tidak membiru.
"Sudah mendingan, Pak?"
Lelaki tadi menganggukkan kepalanya. Dia memegang tangan Brenda sambil berusaha tersenyum di sela-sela rasa sakitnya.
"Terima kasih sudah menolong saya, dok." ujar lelaki tadi.
"Saya bukan dokter, Pak." jawab Brenda.
Gadis itu ganti membalas lirikan Ricky yang dari tadi meliriknya.
"Kalian bubar!" Ricky mengalihkan pandangan dengan menyuruh semua orang bubar.
"Dok, bisa tolong telefon ambulans?" pinta Brenda, tidak mungkin dia meninggalkan pasien itu di sini begitu saja.
"Kamu saja, saya tidak bawa ponsel." Ricky tidak berbohong. Dia memang tidak membawa ponsel.
"Ponsel saya masih di tukang servis karena jatuh ke selokan kemarin." sahut Brenda.
Ricky ingat kejadian kemarin di rumah sakit yang tak sengaja menabrak Brenda sampai membuat ponsel gadis itu jatuh ke dalam selokan dan mati. Bahkan karena kejadian itu juga Ricky merasa malu karena Brenda terus berteriak bahwa dirinya harus tanggung jawab.
"Pakai mobil saya saja." Ricky kembali berdiri dan akan mengambil mobilnya yang terparkir tak lumayan jauh.
Brenda membereskan alat-alat medis Ricky, sehingga saat lelaki itu sampai tinggal berangkat. Benar dugaan Brenda, lelaki itu tidak lama.
"Ayo Pak, saya bantu." Ricky membantu lelaki paruh baya itu dan memapahnya sampai masuk ke jok belakang.
Brenda kembali mengambil alat medis Ricky dan turut memasukkan kotak medis itu ke dalam mobil Ricky. Begitu pula dengan dokter spesialis mata itu, dia sudah masuk ke dalam mobilnya.
"Terima kasih dok, sudah membantu." ucap Brenda dari balik jendela.
"Kamu tunggu apa lagi? Ayo masuk." titah Ricky.
"Maaf dok, saya langsung pulang saja." Brenda masih berdiri di luar mobil dan tidak ada niat masuk ke dalam mobil lelaki itu.
"Suster Brenda, kamu harus mempertanggungjawabkan tindakan yang sudah kamu lakukan. Lagi pula saya harus menyetir, siapa yang akan membantu saya kalau terjadi sesuatu pada Bapak itu?" terlihat jelas kalau Ricky memancarkan emosinya pada Brenda.
"Tapi, dok..."
"Masuk sekarang juga!"
Dengan terpaksa akhirnya Brenda masuk ke dalam mobil Ricky sambil membawa barang belanjaannya. Dia tak habis pikir kenapa Ricky bisa sekasar itu padanya.
***
Brenda memanggil suster yang berjaga di hari minggu. Dia juga membawa tas belanjaannya masuk ke dalam rumah sakit.
"Ada apa sih, Bren?" yang berjaga di meja resepsionis kali ini Nina.
Nina bingung kenapa Brenda datang-datang memanggil suster untuk membawa brankar ke luar.
"Ada korban kecelakaan. Gue titip belanjaan bentar dong Nin, tidak mungkin kan gue bilang ke dokter di UGD bawa belanjaan begini." Brenda mengulurkan tas belanjaannya.
"Ok tidak apa-apa dititipkan di sini." Nina mengambil tas belanjaan Brenda.
"Suster Brenda!" panggil Ricky yang sudah membawa pasien itu menuju ruang UGD.
"Gue ke sana dulu, Nin." Brenda berlari begitu saja.
Nina kaget saat melihat Brenda bersama dengan Ricky. Dirinya hampir tak percaya, bagaimana kedua orang itu bisa bersama di hari libur seperti sekarang ini.
Biasanya setiap minggu, semua dokter libur. Hanya ada dua atau tiga yang mau mengambil jam kerja sebagai lembur. Tapi tidak untuk dokter di bagian UGD, mereka bergilir setiap hari minggu. Karena UGD tidak diperbolehkan kosong dari dokter.
Sedangkan suster mereka liburnya digilir. Hanya saja berbeda dengan Brenda, yang setiap minggu selalu libur dan tetap mendapat jatah libur sehari di hari kerja. Tapi Brenda jarang mengambil libur itu selain ada keperluan mendadak. Hal itu dilakukan Brenda supaya tidak ada suster lain yang iri padanya. Suster satu itu memang mendapat fasilitas khusus dari pihak rumah sakit berkat Marsel.
"Bagaimana kejadiannya?" Darren, dokter umum dengan usia muda yang mendapat jadwal berjaga di ruang UGD pada hari minggu kali ini.
"Pasien mengalami pneumotoraks tension." jawab Brenda.
"Primer atau sekunder?"
"Primer dan pneumotoraks non trauma. Pasien dalam keadaan baik-baik saja saat kejadian kecelakaan terjadi dok." jelas Brenda.
Ricky mendengarkan penjelasan Brenda, dia tidak menyangka kalau Brenda mengetahui tentang hal demikian.
"Terima kasih suster Brenda sudah melakukan penanganan awal. Kami akan melakukan CT-Scan dan tindakan operasi untuk memperbaiki paru-parunya yang rusak." Darren menatap Brenda dan Ricky sebelum dirinya benar-benar masuk ke dalam ruang UGD.
"Baik, dok." Brenda hanya menganggukkan kepalanya.
Ricky memilih duduk di kursi ruang tunggu. Brenda merasa tak enak hati pada Ricky.
"Brenda! Apa benar kamu baru saja menangani korban kecelakaan yang terkena serangan pneumotoraks tension?" ternyata hari ini Marsel memilih kerja.
Brenda takut Marsel marah padanya, ini bukan hal yang seharusnya dia lakukan. Dia tidak berani menjawab, Brenda hanya menundukkan kepalanya.
"Jangan khawatir, semua akan baik-baik saja. Presdir Liau tidak akan marah karena hal ini." Marsel mengusap-usap bahu Brenda.
Brenda baru berani membalas tatapan Marsel. Dia percaya dengan Marsel, dokter satu itu akan selalu membantunya.
"Saya malah mengucapkan terima kasih karena kamu baru saja menyelamatkan nyawa orang."
Brenda tak menyangka kalau Marsel tersenyum padanya. Setelah sepuluh bulan lelaki itu bersikap dingin, ini pertama kalinya dia tersenyum lagi padanya.
"Sama-sama, dok."
Marsel mengalihkan pandangannya, dia melihat Ricky yang duduk santai. Dalam hati dia bertanya-tanya kenapa Brenda bisa bersama Ricky membawa pasien ke rumah sakit.
"Kalian ada hubungan spesial?" tebak Marsel menatap Ricky dan Brenda bergantian.
Ricky kaget mendengar pertanyaan Marsel. Dia langsung berdiri dan bersiap menjawab.
"Tidak dok, kami tadi hanya tidak sengaja ketemu di lokasi kecelakaan." belum juga Ricky menjawab, Brenda sudah mendahuluinya.
"Oh begitu, ya sudah kamu boleh pulang."
Brenda mengangguk dan dia balik kanan. Dia akan pulang, pasti ibunya sudah menunggu sayuran yang dia beli di pasar.
"Saya permisi dulu, dok." pamit Brenda pada Ricky dan kemudian langsung pergi.
Marsel beralih menatap Ricky, dia bisa menebak kalau Ricky baru saja melakukan olah raga.
"Yakin tidak punya perasaan sama dia?"
Ricky menatap tak percaya pada Marsel. Bisa-bisanya lelaki itu bertanya hal konyol seperti ini padanya di pagi hari.
"Tidak usah mengarang, gue cuma memakai perikemanusiaan gue saja sama pasien tadi."
Marsel mengangguk-anggukkan kepalanya dan tersenyum pada Ricky.
"Semoga cuma rasa perikemanusiaan sama pasien saja ya, tidak lebih." Marsel menepuk-nepuk bahu Ricky beberapa kali dan langsung masuk ke ruang UGD.
"Cish... Dia pikir dia siapa? Sok-sokan tahu perasaan gue." Ricky langsung balik kanan dan berniat pulang. Acara lari paginya berantakan sudah.
***
Next...