Brenda tidak bisa mengalihkan pandangan dari wajah Ricky. Setiap kali dirinya makan di kantin, tidak sengaja dokter satu itu pun makan di kantin bersama Arya atau Marsel. Mereka bertiga terlihat sangat dekat.
"Heh... Mau makan bakso apa sambal?" Liora datang sambil membawa sepiring nasi rames di tangannya.
Liora duduk di depan Brenda, dia tadi tidak berminat duduk bersama Brenda. Tapi melihat gadis itu tidak berhenti menyendokkan sambal ke dalam mangkuknya, membuat Liora ingin makan bersama Brenda.
"Astaga, berapa sendok yang sudah gue masukan?" Brenda kaget ketika melihat mangkuk baksonya penuh sambal.
Liora menyipitkan matanya, dia heran dengan Brenda. Bagaimana mungkin gadis itu lupa sudah memasukkan sambal berapa sendok ke dalam mangkuk baksonya.
"Amnesia dadakan lo?" Liora sudah mulai menikmati makanannya.
"Ish... Gue lupa, Ra." cengir Brenda, dia langsung mengaduk baksonya.
"Tidak usah dimakan Bren, nanti lo sakit perut." Liora mencegah Brenda supaya tidak memakan baksonya.
Brenda tersenyum pada Liora, beruntung dia memiliki rekan kerja yang perhatian. Selama ini Brenda tidak memiliki teman dekat di rumah sakit. Mereka hanya sekedar kenal, saling sapa, senyum dan tidak memiliki masalah. Hanya Liora yang lumayan dekat dengan Brenda.
"Tidak apa-apa Ra, gue suka pedas kok." Brenda sudah memasukkan satu suap mie beserta bakso yang super pedas itu ke mulutnya.
"Tapi itu sambalnya banyak banget, Bren."
Percuma Liora mencegah Brenda sekuat tenaga, tapi gadis itu tetap memakannya dengan enjoy. Liora hanya menggeleng-gelengkan kepalanya. Gadis itu pun langsung memakan nasi ramesnya.
"Lagian lo lihatin apa sih tadi sampai tidak sadar begitu?" Liora mulai curiga.
"Em... Enggak, gue cuma lagi memikirkan masalah pekerjaan saja." Brenda mencoba mencari alasan, dia tidak ingin Liora mengetahui kalau dirinya memperhatikan Ricky.
"Memangnya ada masalah sama dokter Marsel?" Liora tahu kalau dokter satu itu terkenal dingin dan sulit dimengerti. Tapi Liora salut pada Brenda yang mampu bertahan sekian lama menjadi asisten Marsel.
"Tidak ada masalah sih, baik-baik saja. Cuma dokter Marsel makin dingin saja habis liburan sama istri keduanya sembilan bulan lalu." ujar Brenda jujur.
"Masa sih habis liburan malah makin dingin? Harusnya makin lumer dong." Liora juga tidak mengerti dan tidak terlalu dekat dengan Marsel.
Brenda sesekali minum karena merasa pedas. Liora sendiri meringis melihat Brenda kepedasan. Kalau itu bakso milik Liora, sudah pasti tidak akan dia makan. Lebih baik Liora pesan bakso yang baru.
"Liora, gue balik duluan ya." seorang suster membuat Liora menengok ke belakang untuk sekedar menjawab pamitannya.
"Iya." Liora tak sengaja melihat Ricky yang makan sambil bercanda bersama Arya. Ada Marsel juga di antara Ricky dan Arya.
Liora tersenyum, dia tahu sekarang apa yang membuat Brenda melamun sampai menyendokkan banyak sekali sambal ke dalam mangkuk baksonya.
"Lo tadi lihatin dokter Ricky kan?" tebak Liora menatap Brenda dengan senyuman menggoda.
"Uhuk... Uhuk..." Brenda kontan tersedak.
Liora kaget melihat Brenda tersedak, gadis itu berdiri dan kebingungan sendiri bagaimana menolong Brenda. Tangan Brenda terus menepuk-nepuk dadanya yang terasa sakit. Brenda menolak minum saat Liora memberikan sebotol air mineral.
"Duh... Bren, hati-hati dong kalo makan." Liora sungguh kebingungan.
Liora malah bolak-balik bagaimana caranya menolong Brenda. Gadis itu menatap Liora dengan tatapan kesakitan. Bahkan kedua matanya memerah menahan panas dan sakit yang melanda.
"Lo keselek bakso, Bren?"
Brenda menganggukkan kepalanya beberapa kali. Gadis itu tidak bisa bicara, tenggorokannya tersumbat bola bakso.
"Tolong! Tolong!" Liora sudah panik, dia bingung bagaimana caranya menolong Brenda yang terus meronta kesakitan.
"Kenapa? Kenapa?" banyak suster yang berdatangan ingin mencari tahu apa yang terjadi.
"Suster Brenda tersedak bakso." Liora kebingungan.
Banyak suster yang juga kebingungan bagaimana caranya mereka menolong Brenda. Sedangkan Brenda sudah merasa tersiksa karena dadanya sangat sakit dan panas.
"Ada apa ini?" Arya datang bersama Ricky dan Marsel.
"Brenda." kaget Marsel, dia mendekati Brenda yang kesakitan sambil memegang lehernya.
"Ini dok, tadi suster Brenda makan bakso yang sangat pedas dan tidak sengaja tiba-tiba dia tersedak bakso." jelas Liora.
"Sok-sokan kalo makan sih." Ricky sedikit tidak suka dengan Brenda yang mencari perhatian orang banyak.
"Awas, minggir kalian."
Ada banyak suster minggir, mereka akan melihat apa yang akan dilakukan Marsel pada Brenda.
"Tahan sebentar, ini sedikit sakit." ujar Marsel.
Marsel berdiri di belakang Brenda, dia sudah bersiap-siap. Liora sudah khawatir dengan keadaan Brenda. Semoga bisa diselamatkan.
"Satu, dua, tiga!"
Bugh!
"Uhuk..." Brenda merasa lega karena bakso di dalam tenggorokannya sudah keluar.
Liora meringis ketika melihat Marsel memukul punggung Brenda sangat kuat. Sekarang dia bisa melihat Brenda yang bernapas lega.
"Buahaha..." Arya tiba-tiba tertawa membuat semua yang ada di kantin menatap ke arah dokter umum itu.
Semuanya menatap Ricky dan menahan tawanya. Tak terkecuali Liora, tapi dia tidak berani tertawa. Sekuat tenaga Liora menahan tawanya. Brenda yang meringis takut melihat tatapan tajam dari Ricky. Bagaimana mungkin bakso yang menyangkut di tenggorokannya tadi bisa menyangkut di mulut Ricky.
"Puih..." Ricky menyemburkan bakso di mulutnya.
Jelas Ricky marah pada Brenda, kedua matanya menatap tajam. Terlihat jelas bahwa Ricky marah besar kali ini.
"Kamu..." kedua mata Ricky menajam menatap Brenda.
"Maaf dok, saya tidak sengaja." hanya itu yang bisa Brenda lakukan. Apalagi selain minta maaf, masa Brenda harus membersihkan mulut Ricky.
"Argh...!" Ricky pergi begitu saja.
Lelaki itu merasa dipermalukan oleh Brenda siang ini. Apalagi banyak orang yang melihat kejadian itu. Mereka semua menahan tawanya meski Ricky sudah pergi.
"Saya ke ruangan dulu." pamit Marsel.
"Em... Dok, terima kasih sudah menolong."
Marsel hanya mengangguk mendapat ucapan terima kasih dari Brenda. Lelaki itu berlalu tanpa senyum, lagi pula dia juga tidak bisa diam saja saat melihat Brenda tersedak bakso. Semua suster yang menyaksikan kejadian tadi juga langsung bubar.
"Hahaha... Kocak asli, bisa-bisanya itu bakso dari tenggorokan lo tiba-tiba menyangkut di mulutnya dokter Ricky." Liora tak berhenti tertawa melihat kejadian barusan.
"Ish... Takut gue lihat itu dokter seram bertanduk." Brenda bergidik mengingat ekspresi Ricky tadi.
"Kalian jodoh kali." goda Liora.
"Apaan sih, sudah ah gue ke ruangan dulu." Brenda meninggalkan Liora seorang diri yang masih tertawa terbahak-bahak.
***
Ricky mengusap bibirnya berulang kali dengan air dari keran. Ternyata kepergiannya dari kantin tadi bukan ke ruangan, tapi ke toilet. Dia masih tidak percaya bagaimana bisa bakso tadi menyangkut ke mulutnya.
Lelaki itu menatap pantulan dirinya di depan cermin. Dia masih menggeram kesal.
"Ish... Bagaimana bisa kejadian kayak tadi menimpa gue." kekesalannya semakin memuncak saat mengingat bahwa Brenda orang yang tadi tersedak bakso.
"Suster satu itu, selalu saja bisa mencari perhatian." Ricky masih merasa jijik dengan bibirnya sendiri.
"Aish... Sebanyak apa pun gue basuh ini bibir pakai air, tetap saja tidak menutup kenyataan yang tadi terjadi." geram Ricky sangat kesal.
Lelaki itu melirik jam di tangannya, sudah masuk jam kerja. Dia harus segera kembali ke ruangannya dan memeriksa banyak pasien yang berdatangan hari ini untuk memeriksakan mata mereka.
Ricky kembali membasuh bibirnya sekali lagi dan mengelapnya dengan tisue yang tersedia. Tapi bukan tisue toilet seperti yang disediakan toilet pada umumnya.
Dokter tampan itu kembali ke ruangannya, dia tadi ingat bahwa masih ada empat sampai lima pasien lagi yang akan periksa mata hari ini.
"Liora." panggil Ricky pada suster yang sedang membawa lembar absen pasien hari ini.
"Ya dok, kenapa?" Liora sedikit takut pada Ricky karena kejadian di kantin tadi.
"Masih berapa banyak pasien lagi yang harus saya periksa?" tentu saja mereka tidak bicara di depan pasien.
"Tambah dua dok, jadi tujuh. Dan ada pasien yang dari tadi terus mengeluh matanya sakit." ujar Liora.
"Antrean nomor berapa pasien itu?"
Liora melihat daftar absennya lagi, memastikan kalau jawabannya tidak salah.
"Kalau dari sekarang sih pasien nomor dua dok." Liora yakin bahwa jawabannya benar, tidak salah.
"Ya sudah, urut saja sesuai antrean."
"Baik, dok."
Ricky langsung masuk ke ruangannya. Ruangan sekaligus tempat praktiknya di rumah sakit. Karena setiap dokter memiliki ruangan dan tempat praktik yang lumayan luas.
Baru saja Ricky duduk, Liora sudah mengetuk pintunya. Ricky mempersilakan masuk, ada tiga orang yang masuk ke ruangan Ricky. Satu anak remaja, ibunya dan Liora.
"Silakan duduk, Bu." Ricky mempersilakan pasiennya duduk.
Tanpa berkata apa pun, Liora meletakkan data penyakit yang diderita oleh pasien. Memang selalu seperti itu, tanpa bicara. Kalau pun bicara pasti berbisik. Liora kembali keluar dari ruangan Ricky dan menutup pintunya kembali.
"Siapa yang mau periksa?" meski sudah tahu, Ricky tetap bertanya.
"Ini dok, anak saya bilang katanya lihat jauh agak buram." ujar sang ibu.
"Adik ini namanya siapa?" Ricky berdiri dan mengambil beberapa alat periksanya.
"Luna, dok." jawab gadis manis yang kiranya masih SMP.
"Ok, Luna sudah lama mengalami seperti itu? Buram lihat jauh?" Ricky berpindah duduk di depan sebuah alat untuk mengecek kesehatan mata.
"Baru terasa sekarang, dok."
"Sekarang Luna bisa duduk di depan saya, lihat ke sini."
Gadis kecil itu menurut, dia duduk di depan sebuah alat untuk cek mata. Ricky akan mengecek lewat teropong dulu.
“Tidak kuat dok, perih." ujar gadis tadi.
"Ya, mata kamu berair. Kita cek secara manual saja langsung." Ricky kembali berdiri dan mengambil alat keur-nya.
"Coba dipakai." Ricky memberikan alat berbentuk seperti kacamata tapi di alat itu ada angka derajat untuk mengecek penderita silinder.
Ricky menutup satu mata Luna dengan alat, dia meminta Luna mengucapkan angka yang di depan. Lelaki itu mencari berapa angka minus yang menurut Luna nyaman. Karena jika menggunakan alat keur, penderita yang merasakannya dan dokter hanya ikut apa kata penderita berada di angka berapa dia nyaman.
Ricky sudah berhasil menemukan minus kedua mata Luna. Meski lumayan lama tapi akhirnya ketemu juga.
"Bagaimana? Terbaca semua?"
"Iya dok, semua tulisannya jelas." Luna menganggukkan kepalanya.
"Sekarang kamu coba jalan, apa bergelombang atau merasa pusing." titah Ricky.
Luna mengikuti instruksi Ricky, dia berjalan-jalan sebentar dan merasakan yang dia alami.
"Dok, pusing terus mual." ujar Luna.
Dengan tanggap Ricky langsung mengganti lensa dan menurunkan ukuran minus Luna. Dia kembali menitah Luna jalan.
"Bagaimana? Masih pusing dan mual?"
"Tidak, dok." Luna menggelengkan kepalanya berulang kali.
Ricky meminta Luna melepaskan alat tadi. Dokter satu itu kembali ke tempat duduknya. Dia menuliskan resep kacamata sesuai ukuran minus Luna.
"Minusnya yang kiri sudah 1,75 dan yang kanan 1,00 Bu, jadi harus memakai kacamata. Karena kalau tidak akan mengganggu keseharian Luna dan ukuran minusnya akan semakin bertambah." Ricky masih serius menuliskan resep untuk Luna.
"Kenapa bisa setinggi itu, dok?"
"Ini karena Luna tidak menyadari bahwa dia sudah terkena minus. Memang awalnya tidak terasa dan di saat ukuran sudah di atas 1,00 baru terasa buram." Ricky tersenyum pada ibu dari Luna.
"Ini resepnya, ibu bisa datang ke optik yang sudah saya tuliskan alamatnya. Bilang saja, rujukan dari dokter Ricky." Ricky tersenyum pada ibu tadi.
"Apa ada obat yang harus diminum, dok?"
"Tidak ada Bu, kalau minus atau plus obat satu-satunya hanya kacamata. Dan maaf, ini biaya administrasinya. Bisa dilunasi di bagian admin. Terima kasih."
"Sama-sama, dok." ibu tadi pergi bersama Luna, putrinya.
Ricky bernapas lega karena pasiennya tersisa enam lagi.
"Tidak ada ruginya gue jadi dokter mata, tiap ada yang kena minus atau plus langsung gue rujuk saja ke optik punya gue." tawa Ricky.
Selain mendapat penghasilan dari profesinya seorang dokter. Ricky juga mendapat penghasilan dari optik yang dia dirikan sekitar dua tahun lalu.
Liora kembali masuk bersama pasien yang katanya terus saja menangis dan mengeluh kesakitan. Ricky langsung memeriksanya. Tanpa berbaring, hanya melihat kedua bola mata wanita paruh baya itu dengan bantuan senter.
"Bagaimana, dok? Mata saya sakit sekali." wanita paruh baya itu sampai menangis di depan Ricky.
"Maaf, ibu ini terkena penyakit mata yang namanya daging tumbuh. Jalan satu-satunya supaya tidak sakit hanya operasi untuk membersihkan daging tumbuh itu." jelas Marsel.
"Operasi dok? Apa tidak ada cara lain?" sepertinya ibu itu sangat ketakutan.
"Itu jalan satu-satunya, Bu. Tenang saja, bukan operasi besar."
"Tapi saya takut gagal, dok."
"Tidak usah takut Bu, mayoritas masyarakat yang mengalami operasi ini 99% berhasil. Kalau Ibu setuju operasi, minggu depan datang lagi ke sini." Ricky menuliskan resep obat yang akan diminum pasien keduanya di siang hari.
"Terima kasih, dok." pasien tadi langsung pergi sambil membawa resep obat dan biaya administrasi dari Ricky.
Ricky menghela napasnya, masih ada lima orang pasien lagi yang harus dia periksa. Dirinya merasa lelah dan sedikit merasa pusing hari ini, padahal dia sudah biasa memeriksa banyak sekali pasien.
***
Next...