4. Tabrak Menabrak

1969 Kata
"Kamu benar tidak kenapa-napa? Takut ada yang patah atau apa begitu? Mumpung ini lagi di rumah sakit, saya bisa ajak kamu periksa." Ricky mencoba lebih dekat dengan wanita yang dia tabrak. Siapa tahu wanita itu bisa menjadi istrinya. "Tidak apa-apa kok benar. Saya berterima kasih karena sudah membantu, tapi saya ada urusan dan tidak bisa lama-lama. Permisi." pamit wanita itu yang sekarang berlalu menuju lift umum. Ricky mengangguk, dia pun langsung berjalan menuju lift. Tentu saja mereka berbeda lift, Ricky lewat lift khusus dokter dalam organisasi rumah sakit. "Dia benar-benar cantik kayak bidadari. Gue berharap bisa jodoh sama dia." Ricky membatin sambil tersenyum dalam diam. Ricky sampai di lantai tiga, dia melihat Marsel berdiri di depan ruang rontgen. Dia ingin membagi kebahagiaannya pada Marsel yang baru saja bertemu dengan bidadari. Tapi sebelum menemui Marsel, Ricky lebih dulu menempelkan jari telunjuknya di mesin absen dekat lift. "Hey bro! Ngapain lo di sini?" Ricky menepuk bahu Marsel. "Menunggu orang." ternyata lelaki yang disapa Ricky adalah Marsel, teman seprofesinya. "Wuih... Siapa? Spesial?" Ricky mulai kepo. "Bukan urusan lo, mendingan lo langsung ke ruangan dan periksa semua pasien lo." Ricky mendengus mendengar kalimat tak mengenakkan dari Marsel. Tapi dia bisa maklum, memang seperti itu karakter seorang Marsel. "Eit bentar, gue mau cerita dikit. Di bawah barusan gue tidak sengaja menabrak cewek cakep banget. Dia benar-benar tipe gue, cantik sempurna." Ricky kembali membayangkan wanita dengan postur tubuh tinggi dan langsing.  Marsel melihat satu temannya itu mengekspresikan rasa kagumnya kepada gadis yang baru saja dia lihat. "Lo masih waras kan, Rick?" Marsel takut temannya itu kesurupan jin jomblo karatan. "Ya waraslah, memang lo kira gue gangguan jiwa apa." sewot Ricky. "Em maaf dok, ini flashdisk dokter ketinggalan di meja saya tadi pas habis copy file." Ricky melihat suster yang waktu itu dia lihat memakai pakaian biasa. Sudah jelas itu suster Brenda yang menghampiri Marsel. "Terima kasih Bren, kamu pulang naik apa?” Ricky sedikit kaget mendengar Marsel bertanya demikian pada Brenda. Padahal lelaki itu tipe orang yang cuek. Ricky melihat saja Brenda yang terus menatap Marsel tanpa meliriknya sama sekali. Padahal kata Marsel, gadis itu menyukainya. Tapi kenapa Brenda tidak pernah menyapanya. "Sudah ada ojek online menunggu di bawah, dok." Brenda tersenyum pada Marsel. "Padahal tadi kalau kamu belum pesan ojol, dokter Ricky siap mengantar kamu pulang sampai rumah. Sampai depan pintu kamar malah kalau perlu."  Ricky kaget setengah mampus mendengar penuturan Marsel. Dia menggeram kesal dan matanya sudah mendelik-delik ke sana sini karena ulah Marsel. Tak habis pikir, dari mana Marsel mendapat ide untuk bicara seperti itu. "Em sebelumnya terima kasih dok, tapi tidak perlu repot-repot. Saya bisa pulang sendiri." Ricky menatap tak suka pada Brenda. Bagi Ricky, Brenda itu suster yang tidak ada seksi-seksinya sama sekali. "Iya, pulang sendiri lebih baik. Saya juga banyak pekerjaan, tidak ada waktu buat antar kamu pulang." balas Ricky. Lelaki itu melihat Brenda tersenyum kecut mendengar perkataannya. "Kalau begitu saya pamit dulu dok, permisi." Brenda tersenyum kepada Marsel dan Ricky sebelum benar-benar pergi. "Huh... Sok cantik banget jadi cewek." dengus Ricky yang membuat Marsel menahan tawa. "Apaan ekspresi lo kayak begitu? Enggak asik lo." Ricky langsung pergi meninggalkan Marsel *** Ricky menerima beberapa file yang sudah disiapkan Liora, suster asistennya. Sebagai dokter yang baru aktif lagi, membuat Ricky harus mempelajari beberapa file tiga bulan terakhir. "Apa ini sudah semua, sus?" Ricky melihat setumpuk file di meja kerjanya. "Sudah dok, kalau ada yang tidak dimengerti bisa dokter tanyakan." Liora senang karena bisa bekerja dan menjadi suster asisten Ricky lagi seperti dulu. Dokter satu itu tergolong dokter yang ramah dan kocak. Tidak pernah menekan bawahannya dan selalu memberi waktu lebih leluasa dalam bekerja. "Kenapa tingkat katarak tahun ini meningkat di sini?" Ricky heran, banyak sekali orang yang terkena katarak dan harus dioperasi. "Iya dok, mungkin karena kurangnya kesadaran masyarakat tentang pentingnya kesehatan mata." mau jawab apa lagi, Liora juga tidak tahu pasti apa penyebab utama penyakit katarak meningkat. "Ya sudah, saya akan pelajari ini sesudah saya sarapan. Kamu bisa balik ke ruangan kamu." Ricky tersenyum pada Liora. Lelaki itu juga senang bahwa asistennya adalah Liora. Suster satu itu tergolong suster yang cerdas dan cepat tanggap. Jadi Ricky tidak harus berulang kali mengatakannya, Liora sudah langsung mengerti. Ricky memilih keluar dulu dari ruangan. Dia tidak bisa bekerja jika perut kosong, dan membaca juga mempelajari semua file itu butuh tenaga. Kini dari kejauhan Ricky melihat Marsel berjalan ke arah lobi. "Sel! Marsel!" seru Ricky. Ricky melihat Marsel berhenti dan dia juga membalikkan badannya menatap Ricky. Tak mau buang-buang waktu, Ricky berlari mendekati Marsel yang sedang jalan bersama perempuan. Berapa detik kemudian Ricky kaget melihat wanita yang berdiri di samping Marsel. "Dia kan cewek yang tidak sengaja gue tabrak tadi. Kok bisa sama Marsel ya? Tidak mungkin kan Rafli berubah jadi cewek." Batin Ricky bingung. Karena setahu Ricky, Marsel tidak memiliki adik perempuan dan adiknya cuma satu yaitu Rafli. "Apaan lo memanggil gue? Malah bengong." Marsel balik menatap Ricky. "Oh jadi kamu dokter juga di sini?" Ricky kembali tersadar tatkala mendengar pertanyaan wanita cantik yang Ricky anggap bidadari tadi. "Kamu kenal sama dia sayang?" tanya Marsel. Ricky semakin kaget saat Marsel memanggil wanita tadi dengan sebutan sayang. Sudah bisa ditebak kalau hubungan Marsel dengan wanita itu pasti lebih dari pacar. Ricky menebak kalau wanita itu adalah istri barunya Marsel. "Enggak sih, cuma tadi tidak sengaja dokter ini menabrak aku pas aku jalan mau ke lift." jawab gadis itu. Ricky merasa menyesal sudah berbagi cerita pada Marsel. Kalau dia tahu gadis itu adalah istrinya Marsel, dirinya tidak akan bercerita apa-apa tadi. "Oh... Jadi yang lo tabrak tadi itu istri gue, Rick." Marsel tertawa mengingat cerita Ricky tadi. "Patah lagi hati gue, Mak." Ricky menguatkan hatinya di dalam hati mendengar kenyataan. "Jadi ini istri lo?" tak bisa dibohongi kalau Ricky kaget mendengar berita menggemparkan hatinya. Gagal lagi dia punya calon bini cantik. "Iya, kenalkan Al, dia ini teman dekat saya namanya Ricky." Marsel mengenalkan Ricky pada istrinya. "Dan istri gue ini namanya Alexa, Rick." ganti sekarang Marsel mengenalkan istrinya pada Ricky, ternyata namanya Alexa. "Oh begitu, salam kenal deh." Ricky mengulurkan tangannya terlebih dahulu. "Buset, tangannya saja mulus banget begini. Apalagi dalemnya, kinclong plus licin kali ya." Batin Ricky. Bayangan Ricky sudah melayang ke mana-mana. Maklum, otak mesumnya kembali konek. "Ehem..." Ricky melihat Marsel berdehem, dia kikuk sendiri ketahuan menikmati salamannya dengan Alexa. "Eh... Hehehe sorry, kelamaan." cengir Ricky, tangannya kini menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal. "Oh iya, lo ada perlu apa barusan memanggil gue?" Marsel membuat Ricky kembali ke real life. "Oh itu, gue tadi mau ke kantin buat sarapan. Karena gue lihat lo masih di sini, ya tadinya gue niat mau mengajak lo sarapan bareng. Eh tahunya lo malah sama bini lo." Berat rasanya Ricky harus mengatakan gadis itu adalah istri dari Marsel. Dia sudah menyukai gadis itu dari awal dia tak sengaja menabraknya. Tapi ternyata istri sobatnya sendiri. "Sorry, gue tidak bisa. Gue harus mengantar istri tersayang gue ini ke kampus. Lo sarapan sendiri saja." tolak Marsel. "Ya sudah deh, mungkin next time. Gue ke kantin dulu ya." Ricky langsung pamit tanpa menunggu persetujuan dari Marsel dan Alexa. Ricky tersenyum kecut mendapat kenyataan seperti ini. Lagi-lagi orang yang dia sukai sudah dimiliki oleh orang. "Dan selalu lo yang lebih dulu dari gue." Ricky menahan gejolak yang ada di hatinya. Ricky melihat kantin rumah sakit, ibu-ibu yang biasa menjual nasi belum datang. Kebanyakan tinggal yang berjualan bakso, mie ayam, soto Bandung, lontong, ketoprak dan makanan selain nasi. "Aish... Gue butuh nasi buat mengisi tenaga gue sampai sore." desah Ricky. Terpaksa lelaki itu melangkahkan kakinya menuju kafe di depan rumah sakit. Sebenarnya dia malas sekali keluar dari area rumah sakit. Tapi mau bagaimana lagi, dia butuh asupan nasi untuk sarapan. "Menyesal gue kagak makan di rumah." Ricky sudah berjalan menuju pos satpam. "Selamat pagi, dok." sapa pak satpam. "Pagi, Pak." balas Ricky ramah. Ricky juga membalas sapaan para suster yang melewat di depannya. Banyak sekali suster yang berbisik-bisik tentang Ricky. Tapi dokter tampan satu itu hanya bisa diam, tanpa ada niatan menyahut. Toh mereka tidak mengatakan hal buruk tentang dirinya. Bruk! "Ah..." "Aish... Sial banget sih gue hari ini, kalau tidak menabrak ya ditabrak." desis Ricky. Lelaki itu sudah ada di area parkir kafe depan rumah sakit. Sedikit lagi dia bisa masuk tapi karena ada seseorang yang tidak sengaja menabraknya membuat jalannya terhambat sedikit. "Maaf, maafkan saya dok. Saya tidak sengaja." ujar gadis yang menabrak Ricky. Ricky hampir tak percaya dengan gadis yang menabraknya kali ini. Lagi-lagi dia bertemu dengan gadis ini. "Bukannya kamu sudah pulang? Kenapa masih di sini?" Ricky menatap tak suka pada Brenda. Ya, gadis yang tidak sengaja menabrak Ricky adalah Brenda. Mereka sekarang sama-sama berdiri di depan kafe. Brenda menatap bingung ke arah Ricky. "Oh... Itu, tukang ojolnya tiba-tiba membatalkan orderan dan terpaksa saya harus naik angkot karena ponsel saya lowbatt. Dan saya membeli beberapa makanan dulu di sini." Brenda menjelaskan secara detail. "Aish... Kenapa harus ketemu sama kamu lagi sih?" desis Ricky kesal. "Saya permisi, dok." Brenda langsung berlalu dari hadapan Ricky. Gadis itu tidak mau lebih banyak lagi mendengar kalimat tak suka yang keluar dari mulut Ricky. "Ish... Suster satu itu, bikin kesal saja." Ricky mendengus, dia membalikkan badan melihat Brenda. "Gadis itu bodoh sekali." gumam Ricky menunggu apa yang akan dia lihat selanjutnya. Setelah menimbang-nimbang pikiran dan hatinya akhirnya Ricky memilih berlari menuju arah Brenda. Entah apa yang membuatnya berlari sangat kencang. "Awas...!" Ricky menarik lengan Brenda sangat kencang sampai membentur tubuh tegapnya. Posisi Brenda dan Ricky sekarang lebih mirip seperti orang pelukan. Ricky tak habis pikir atas apa yang sudah dia lakukan sedangkan Brenda syok dengan apa yang terjadi. Brenda merasakan jantungnya berdegup kian kencang merasakan sedekat ini dengan Ricky. Sebelumnya dia belum pernah sampai seperti ini. Kepalanya menempel ke d**a bidang Ricky dan tangan yang ditarik Ricky menempel di perut sixpack-nya. "Kamu ini bodoh atau apa?" Ricky melepaskan tangan Brenda dan mundur beberapa langkah dari tubuh gadis itu. Brenda menatap Ricky tak percaya kalau lelaki itu baru saja menyelamatkannya dari mobil yang pasti akan menabraknya kalau tadi Brenda memaksa menyeberang. "Terima kasih, dok." hanya itu yang keluar dari bibir Brenda. Gadis itu menunduk, tak kuasa menatap wajah Ricky terlalu lama. Brenda masih berusaha mengontrol degup jantungnya. Ricky tak mengucapkan sepatah kata lagi, dia langsung berlalu meninggalkan Brenda dan masuk ke dalam kafe. Brenda melihat punggung Ricky yang semakin menjauh. Ada seulas senyum menghiasi wajahnya. Setelah bisa mengontrol perasaannya, Brenda kembali balik kanan dan menyeberang untuk menunggu angkutan lewat. Tak menunggu lama, angkutan itu langsung ada dan Brenda bersyukur karena angkot itu tidak terlalu penuh. Hanya ada tiga orang penumpang beserta dirinya. Padahal tadi niat Brenda pulang dengan tukang ojek online supaya bisa sampai depan rumah. Kalau naik angkutan umum cuma sampai depan gang rumahnya saja dan dia harus berjalan lumayan jauh, sekitar sepuluh menit baru bisa sampai. "Kenapa perasaan ini tetap ada? Padahal kita kan sudah tidak pernah ketemu pas dia dipindah tugaskan ke Magelang." Batin Brenda. Dia meremas baju bagian dadanya, ada rasa senang dan sedih. "Sadar Bren, dia tidak mungkin melirik lo. Dengar sendiri kan lo tadi kalau dia terang-terangan bilang tidak suka ketemu sama lo." Brenda masih membatin dan larut dalam pikirannya. Sekuat tenaga Brenda mencoba mengubur semua perasaannya pada Ricky, tapi nyatanya sampai detik ini pun tidak bisa. "Tadi itu cuma bentuk perikemanusiaan dia doang ke sesama manusia. Tidak lebih dan jangan berharap lebih dari dia, Bren." hatinya kembali bicara. "Gang Nanas, Neng?" sopir angkot bertanya pada Brenda. "Ah... Iya Mang, ya ampun sampai lupa." lamunan Brenda buyar mendengar pertanyaan sopir angkot. "Jangan sering melamun Neng, nanti kesambet. Kan tidak lucu, cantik-cantik kesambet." canda sopir angkot. "Hehe... Iya Mang, terima kasih ya." Brenda memberikan selembar uang senilai lima ribu pada sopir angkot tadi. "Coba saja yang bilang gue cantik itu dokter Ricky, bukan sopir angkot. Pasti senang banget gue." Brenda senyum-senyum sendiri. "Aih... Sadar Bren." Brenda menggeleng-gelengkan kepalanya. Brenda kembali melihat belakang angkutan yang dia naiki barusan, masih sedikit kelihatan meski sudah jauh. Ternyata yang Brenda naiki adalah angkutan langganannya jika berangkat pagi. Pantas saja sopirnya hafal. Brenda berjalan menuju rumahnya. Di gang itu sangat sepi, karena hanya ada rumah dinas dari pegawai perhutani. Jadi kalau istri dari pegawai perhutani tersebut tidak ikut pindah ke rumah dinas otomatis rumah itu sepi. Karena penghuninya bekerja. "Kembali ke dunia nyata Bren, dokter Ricky tidak akan mungkin jadi milik lo." entah kenapa hatinya seolah tidak mau diam. Brenda menarik napas dan membuangnya perlahan, dia mencoba menetralkan pikirannya kembali dan terus berjalan. Kasihan tubuhnya kalau tidak segera diistirahatkan, nanti malam dia harus bekerja di rumah sakit lagi. *** Next...
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN