11. Tak Terduga

1677 Kata
"Hempt..." Brenda kaget saat ada seseorang membekap mulutnya dari belakang dan memaksanya masuk ke dalam mobil. Orang yang membekap Brenda bertindak sangat cepat, sekarang dia sudah kembali masuk ke mobil dan melajukan mobilnya. Brenda seolah kenal dengan mobil itu. Dia pernah melihatnya tapi dia tidak mau kepedean. "Dokter Ricky ngapain melakukan hal barusan?" Brenda seolah tak bisa percaya kalau orang yang menyekapnya barusan adalah Ricky. "Saya merasa harga diri saya hari ini tidak ada sama sekali." ucap Ricky tanpa menoleh ke Brenda. Brenda tahu apa yang dimaksud Ricky kali ini. Pasti tentang status dokternya dan korban kecelakaan tadi. "Maaf, bukan maksud saya merendahkan harga diri dokter. Saya hanya melakukan apa yang saya ketahui saja." Brenda menundukkan kepalanya. "Dari mana kamu belajar semua itu?" Brenda menatap Dicky yang terus fokus ke jalan rasa. Hari minggu lumayan banyak orang bersepeda, jadi harus fokus supaya tidak menabrak. "Saya pernah melihat dokter Marsel melakukan hal seperti tadi saat ada korban kecelakaan juga." Brenda mengingat kejadian dulu saat bertemu korban kecelakaan beberapa tahun lalu. Ricky mengangguk-anggukkan kepalanya mendengar jawaban Brenda. Logis juga jawaban Brenda, dia sudah menjadi suster asisten Marsel bertahun-tahun, otomatis Brenda juga mengerti tentang penyakit dalam yang diderita pasien. "Di mana kamu menyervis ponselmu?" Ricky mengalihkan pertanyaan. "Memangnya kenapa, dok?" Brenda menjadi bingung. "Bukankah kemarin kamu ngotot ingin saya tanggung jawab sampai mempermalukan saya di depan banyak suster dan keluarga pasien?" dengus Ricky, dia masih kesal dengan kejadian kemarin. "Tidak perlu dok, terima kasih." Brenda menggigit bibir bawahnya, dia merutuki tingkah bar-barnya kemarin. Padahal dia sudah berjanji akan menjauh sejauh-jauhnya dari Ricky. Tapi kelakuannya kemarin malah membuatnya kembali terlihat bodoh di depan Ricky. "Saya masih punya muka buat tanggung jawab." Ricky masih kekeuh ingin bertanggung jawab atas rusaknya ponsel Brenda. "Tidak usah dok, saya tidak mau merepotkan dokter. Dan saya mohon turunkan saya di sini." Brenda menatap Ricky penuh harap. Ibunya pasti sudah mengomel di rumah karena dirinya tak kunjung pulang. "Saya tidak akan menurunkan kamu kalau kamu tidak memberi tahu saya di mana kamu menyervis ponsel itu." ancam Ricky. Brenda membulatkan matanya, dia tak percaya dengan apa yang dikatakan Ricky. "Di konter cell jalan Ahmad Yani." terpaksa Brenda harus memberi tahu Ricky. Tanpa pikir panjang, Ricky langsung menuju konter itu. Kebetulan dia tadi membawa dompet berisi uang tunai lumayan banyak. Tidak perlu waktu lama, Ricky sudah sampai konter yang dimaksud Brenda. "Kamu tunggu di sini, biar saya yang mengambilnya." Gadis itu tak habis pikir dengan apa yang dilakukan Ricky. Bisa-bisanya lelaki itu menyanderanya seperti sekarang ini. "Apa ini ponselmu?" Ricky memperlihatkan ponsel di tangannya. "Ya, benar." Ricky kembali ke konter, membayar ongkos servis dan kembali masuk ke mobil. Tapi lelaki itu tidak memberikan ponsel Brenda, melainkan memasukkan ke dalam saku celananya. "Dokter bisa turunkan saya di sini, bukankah saya sudah memberi tahu konternya dan dokter sudah membayarnya." Brenda tidak tahu lagi apa yang diinginkan Ricky. "Saya akan mengembalikan ponsel kamu kalau kamu sudah menemani saya sarapan." Ricky kembali melajukan mobilnya, dia mencari pedagang kaki lima yang menurutnya enak. "Tapi dok, saya harus segera pulang. Bunda, saya pasti sudah menunggu sayuran ini untuk dimasak." Gadis itu sungguh tidak mampu menebak isi pikiran Ricky. Hari semakin siang, dan Dina akan semakin marah padanya. "Makanya jangan membantah dan lakukan secepat mungkin." Ricky masih mencari penjual soto Bandung yang akan dia makan untuk sarapan di hari minggu ini. Tak butuh waktu lama, dia memarkirkan mobilnya dan mengajak Brenda turun. Suster cantik yang baru saja menyelamatkan nyawa orang itu menurut saja, dia ikut duduk bersama Ricky. Mereka menunggu pesanan mereka jadi. Banyak pengunjung di soto Bandung pinggir jalan ini. "Silakan." penjual soto tadi meletakkan dua mangkuk soto di depan Brenda dan Ricky. "Di rumah kamu ada berapa orang?" Menurut Brenda, pertanyaan Ricky sangat unfaedah. Untuk apa lelaki itu bertanya demikian. "Jawab saja, ada berapa orang?" tanya Ricky lagi. "Empat dengan saya." Brenda memilih memakan sotonya tanpa memedulikan Ricky. "Mang, sotonya dibungkus ya tiga." pesan Ricky. Brenda kembali dikagetkan oleh tindakan Ricky. Untuk siapa lelaki itu memesan tiga porsi soto yang dibungkus. "Tidak usah repot-repot untuk keluarga saya, dok." ujar Brenda. "Siapa yang memesankan soto untuk keluarga kamu, itu saya pesan untuk satpam, tukang kebun dan asisten rumah tangga saya." Glek! Brenda menelan sotonya begitu saja tanpa mengunyahnya terlebih dahulu. Malu pakai banget dia sudah kepedean kalau Ricky memesan tiga soto untuk orang rumahnya. "Oh... Ya sudah, baguslah." Brenda tak tahu harus menjawab apa. Wajahnya pasti sudah tidak berbentuk kali ini. Rasa malunya dari ujung kaki sampai ubun-ubun. Brenda dan Ricky makan dalam diam, terlebih Brenda malu dengan kejadian barusan. Dia cepat-cepat menghabiskan sotonya dan ingin segera pulang. Brenda menghabiskan teh di gelasnya kemudian mengelap dengan tisue yang tersedia. "Mana ponsel saya, dok? Saya kan sudah selesai menemani dokter sarapan." Brenda menengadahkan tangannya pada Ricky. "Lihat dong, saya makan saja belum selesai." Ricky malah asik memakan sotonya yang masih setengah. "Dok, tapi saya harus segera pulang." "Sebentar lagi juga ini habis." Ricky tak memedulikan Brenda, dia terus memakan sotonya. Brenda mengeluarkan seluruh kesabarannya untuk menghadapi Ricky. Kenapa dokter itu sangat berbeda dengan biasanya. "Saya bayar sebentar." Ricky berdiri dan membayar semua pesanannya sambil membawa keresek berisi tiga porsi soto yang dibungkus. Brenda menunggu Ricky sampai selesai bayar, tapi lelaki itu kembali masuk mobil tanpa memedulikannya. Tak bisa tinggal diam, Brenda langsung menyusul Ricky dan meminta ponselnya dari balik jendela. "Dok, ponsel saya mana?" "Saya akan kembalikan kalau sudah sampai rumah kamu." seru Ricky. Ya Tuhan, apalagi yang dia mau? Brenda kembali menghela napas dan masuk ke dalam mobil Ricky. "Apa yang dokter mau dari saya?" tanya Brenda serius. "Memangnya kamu punya apa sampai sok-sokan bertanya seperti itu pada saya?" Kepala Brenda hampir pecah merasakan Ricky. Dokter satu itu sungguh bisa membuatnya gila mendadak. "Ya sudah cepat antar saya pulang." ujar Brenda mengalah. "Memangnya kamu siapa berani menyuruh saya seperti itu?" "Dokter Ricky! Jangan bikin kesabaran saya habis!" teriak Brenda di dalam mobil, dadanya sudah naik turun tak karuan menghadapi Ricky. Dokter satu itu malah tersenyum melihat Brenda kesal. Ini kedua kalinya Ricky melihat Brenda memakai pakaian biasa, bahkan kali ini pakaiannya sangat rumahan. Brenda terlihat berbeda, sangat terlihat keibuan jika berpenampilan seperti ini. "Di mana alamat rumah kamu?" Ricky sudah menghidupkan mesin mobilnya lagi. "Jalan Ahmad Yani, Gang Nanas." terpaksa Brenda harus memberi tahu Ricky. Tanpa menunggu lama, Ricky langsung tancap gas menuju alamat yang dikatakan Brenda. Tidak jauh, hanya melewati beberapa perempatan dan belokan saja. Sekarang mereka sudah sampai di gang Nanas. "Rumah kamu yang mana?" Ricky melihat rumah-rumah di gang ini, mayoritas memang keluarga sederhana. "Sampai sini saja dok, sa..." "Ya sudah turun, tapi tanpa membawa ponsel." potong Ricky cepat. "Cish... Dokter satu ini." desis Brenda. "Cepat bilang rumah kamu yang mana?" "Maju dikit, rumah warna hijau sebelah kanan." Brenda berharap Wahyu tidak ada di rumah. Bisa digantung dia kalau ketahuan jalan dengan laki-laki. Ricky sampai di depan rumah yang Brenda maksud. Rumah sederhana yang cantik dan asri. Banyak tanaman bunga di depan rumah itu. "Dokter!" Brenda ikut turun, dia berlari dan berusaha mencegah Ricky supaya tidak ke rumahnya. "Selamat pagi, Tante." Ricky menyalami tangan Dina. Brenda memejamkan matanya, dia takut melihat tatapan tajam dari Dina. Pasti ibunya itu sudah marah sekali padanya. "Pagi, temannya Brenda?" tanya Dina, dia tidak mungkin marah-marah pada tamunya. "Kak Brenda pulang sama siapa, Bun?" Bobby keluar dengan kehebohannya. "Hallo, kamu adiknya Brenda?" Ricky ganti menyapa Bobby. "Iya, Abang ini pacarnya Kak Brenda ya?" celetuk Bobby. "Bobby! Jangan ngomong sembarangan." tegur Brenda. Ricky hanya tersenyum, ternyata adik Brenda sangat mirip dengannya. "Kamu mau soto Bandung enggak?" "Mau, Bang." Bobby mengangguk-anggukkan kepalanya. "Hus!" tegur Brenda lagi. "Ini ada soto buat kamu, ambil." Ricky memberikan plastik berisi soto tiga porsi tadi pada Bobby. "Wah... Terima kasih ya, Bang." Bobby mengambil keresek tadi dan membawanya masuk ke dalam. "Ayah! Kak Brenda pulang diantar sama pacarnya!" Brenda makin memejamkan matanya mendengar teriakan Bobby. Tamat sudah riwayatnya kali ini. "Tante, maaf sudah telat mengantar Brenda-nya pulang. Tadi ada korban kecelakaan di jalan dan kami putuskan untuk menolongnya dan membawanya ke rumah sakit dulu. Jadi saya mohon jangan marahi Brenda. Saya salah satu dokter di tempat Brenda bekerja." Ricky menatap Dina. "Terima kasih sudah mengantar Brenda pulang ya, dok." "Mana yang katanya pacarnya Brenda?!" suara Wahyu terdengar dari dalam rumah. Dina dan Brenda sudah gelagapan, mereka takut Wahyu akan memarahi Ricky. "Mendingan dokter pulang sekarang, saya takut Ayahnya Brenda akan memarahi dokter." titah Dina. "Iya dok, mendingan dokter pulang sekarang. Keburu Ayah melihat dokter." Brenda juga ketakutan. Ricky malah kebingungan kenapa kedua wanita di depannya ini menyuruhnya pulang. "Tapi kenapa?" "Sudah dok, saya tidak mau ambil risiko kalau suami saya menghajar dokter di sini. Cepetan pulang." Dina memohon dengan sangat. "Dokter Ricky cepetan pulang!" sentak Brenda. Ricky menurut saja, dia berpamitan dan berjalan menuju mobilnya. "Astaga, ponsel gue!" pekik Brenda, dia langsung berlari menyusul Ricky dan meminta ponselnya. "Maaf dok, ponsel saya." Brenda meminta ponselnya. Ricky memberikan ponsel itu tanpa syarat lagi. Brenda langsung mengambilnya dan segera menyuruh Ricky masuk mobil. "Terima kasih, dok." ucap Brenda sebelum Ricky benar-benar memasuki mobilnya. "Mana pacarnya Brenda!" Mendengar suara Wahyu yang menggelegar, Brenda langsung balik badan dan berniat kembali ke rumah. Tin...! "Hua...!" "Brenda!" teriak Dina dan Ricky berbarengan. "Kalau nyeberang lihat-lihat dong, Mbak." marah pengendara motor tadi. "Maaf Mas, maaf." Brenda meminta maaf pada pengendara tadi dan berdiri. Untung saja Brenda tidak tertabrak. Ricky mau turun menolong Brenda tapi gadis itu mengucapkan padanya untuk segera pergi. Tanpa banyak tanya, akhirnya Ricky pergi. "Bren, kamu enggak apa-apa?" Dina berjalan menghampiri Brenda. "Enggak Bun, aku enggak apa-apa kok." Brenda menggeleng-gelengkan kepalanya. Wanita paruh baya itu menuntun Brenda sampai teras rumah. Gadis itu takut melihat Wahyu yang sudah berkacak pinggang. "Mana yang katanya pacarnya Brenda?!" sentak Wahyu melihat Dina dan Brenda. "Ayah ini apa-apaan sih, anak hampir ketabrak motor juga masih saja marah-marah tidak jelas." Dina membantu Brenda duduk dan menuangkan minum ke gelas bersih yang tersedia di meja depan. "Siapa yang marah-marah tidak jelas? Tadi Bobby bilang Brenda diantar pulang sama pacarnya." Wahyu masih saja berkacak pinggang. "Tadi itu tukang ojek yang bantu Brenda bawa keresek soto, Yah. Bukan pacarnya Brenda." Dina yang menjawab dan mencari alasan semuanya. "Maaf ya Bun, gara-gara menolong korban kecelakaan dan bawa ke rumah sakit dulu jadi siang deh masaknya." Brenda merasa bersalah pada Dina. "Sudah enggak apa-apa, kamu istirahat saja di sini. Bunda mau ke dapur dulu, mau masak." Dina membawa tas belanjaan Brenda ke dalam. Brenda memilih membuka ponselnya, sudah bisa kembali hidup. Dia membuka aplikasi w******p-nya karena ada banyak sekali chat yang masuk. Gadis itu memilih membuka chat dari Liora. Suster Liora. "Siap-siap besok ke rumah sakit pakai helm buat menutupi wajah. Gosip lo jalan bareng sama dokter Ricky pagi ini sudah menyebar ke seisi rumah sakit." inilah isi chat dari LiLiora. Syok! Brenda tak menyangka kalau kedatangannya bersama Ricky tadi yang membawa pasien korban kecelakaan menyebar sangat cepat. Brenda mengurut pelipisnya yang semakin pening. *** Next...
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN