Bab 21

1430 Kata
Pertempuran itu berakhir tragis dengan Kalio mendapat luka yang cukup parah. Beruntung ada beberapa orang yang melihat kejadian itu dan segera membantu Kalio yang sudah terluka berat. Sementara para pria berandal itu sudah pergi entah ke mana. Kini menyisakan Kaniya yang tidak tahu harus bagaimana dalam menebus biaya pengobatan Kalio yang jelas berjumlah banyak. Kaniya sendirian duduk di tempat tunggu sembari memegang kertas yang berisi jumlah p********n yang harus diselesaikan terlebih dulu untuk menyelamatkan Kalio. Tidak bisa dibayangkan betapa bingungnya Kaniya saat ini dalam mencari cara mendapatkan semua uang itu hingga esok. Isak tangis yang tertahan masih terdengar dari bibir Kaniya sejak beberapa saat yang lalu. Dirinya terlalu lemas hanya untuk berpikir ke mana dirinya harus pergi. Kenyataan bahwa Kalio sedang sekarat saat ini telah berhasil merenggut seluruh tenaga dan mentalnya tadi, kini gadis itu juga harus mencari cara untuk mendapatkan uang dalam jumah banyak secara instan. Kepala Kaniya terasa berkunang-kunang. Dirinya tidak memiliki sanak saudara yang bisa dipinjaminya uang, apa lagi dengan jumlah sebanyak itu. Dirinya juga tidak memiliki kenalan dekat yang bisa membantunya memikirkan jalan keluar. Kaniya hanya memiliki Kalio, dan pria itu kini tengah membutuhkan pertolongannya. Ke mana dirinya harus pergi? “Tidak, tidak. Aku tidak bisa menyerah secepat ini,” ucap Kaniya kemudian sembari menegakkan punggungnya kembali. Disekanya air mata yang membasahi kedua pipi, mencoba untuk menguatkan diri. “Yang pertama aku perlu keluar dari tempat ini dan memikirkan jalan keluar di sepanjang jalan. Aku harus tetap tenang.” Setelah menguatkan diri barulah Kaniya beranjak bangkit dari duduknya. Gadis itu mendekati ruangan Kalio dan melihat pria itu dari jendela. Kalio terlihat tidur dengan lelap di atas ranjang pasien dengan semua luka di wajah dan perban yang melekat di tubuhnya. Melihat bagaimana hancurnya pria itu saat ini membuat air mata Kaniya kembali menggenang di pelupuk mata. Kaniya menutup bibir dengan satu tangan untuk menekan isak tangisnya kembali ketika melihat kondisi Kalio yang terlihat menyedihkan. Rasanya baru tadi pagi dirinya masih bercanda tertawa bersama dengan anak itu, dan kini dia sudah terbaring tidak berdaya di atas ranjang pasien. Kaniya tidak tahan melihatnya. “Tuhan, aku mohon, tolong selamatkan Kalio. Dia satu-satunya harta yang kupunya,” bisik Kaniya dengan sepenuh hati mendoakan keselamatan Kalio. Setelah kembali mengusap air mata yang baru saja menetes di pipi sekali lagi, Kaniya menarik napas dalam-dalam lalu menghembuskannya dengan panjang. Kaniya perlu menenangkan hati kembali sebelum dirinya pergi mencari cara untuk mendapatkan semua uang itu. Setelah merasa lebih tenang, barulah gadis itu pergi meninggalkan ruangan Kalio dirawat. “Tunggu Kakak, Kalio. Kakak pasti akan mendapatkan uang itu dan menyelamatkanmu. Kakak janji!” ujar Kaniya sebelum gadis itu benar-benar pergi meninggalkan tempat itu. Di luar sana, Kaniya sibuk berkeliling mencari pinjaman di banyak tempat. Namun pada dasarnya Kaniya tidak memiliki harta berharga yang bisa dipakai untuk jaminan, serta tidak memiliki pekerjaan yang bisa dijadikan sebagai pegangan untuknya membayar, banyak dari tempat-tempat itu yang menolak Kaniya dengan mentah-mentah. Hari sudah malam ketika Kaniya mulai mencari pinjaman uang, dan bank pun sudah menghentikan operasi mereka sebelum Kaniya memohon pertolongan. Ingin menggadaikan satu-satunya rumah yang dimilikinya pun tidak bisa, karena kenyataannya rumah itu telah menjadi milik orang sejak beberapa tahun yang lalu, sejak kedua orang tuanya meninggal dan Kaniya harus membayar semua hutang yang mereka punya. Kaniya harus menggadaikan rumah itu juga dan membayar tagihannya. Tidak ada yang bisa digadaikan lagi karena Kaniya sudah tidak memiliki apa-apa. Kaniya bagai anak yang terluntang lantung di jalanan, tersesat tidak tahu arah demi mendapatkan uang sebanyak itu. Kaki dan pikiran sudah merasa lelah, akan tetapi Kaniya tidak ingin pantang menyerah. Gadis itu masih berusaha keras mencari tempat untuk mencari pinjaman uang. Namun setelah beberapa jam kemudian tetap dirinya tidak mendapatkan bantuan. Kaniya merasa lemas lahir batin. Hari sudah melewati batas, dan tidak mungkin ada instansi atau orang yang tetap buka pada jam tidur seperti ini. Beberapa kali Kaniya ingin menyerah saja, akan tetapi dirinya kembali teringat akan Kalio yang masih berusaha bertahan hidup di rumah sakit menunggu dirinya. Jika mengingat hal itu, seketika membuat Kaniya merasa malu sendiri karena kekalahannya. Tidak seharusnya dirinya menyerah di tempat ini dan membuat Kalio kecewa di sana. Berpikir bahwa mereka pasti bisa kembali bersatu memulai hari yang baru bersama membuat semangat Kaniya kembali meningkat. Dirinya tidak boleh patah semangat, demi Kalio, satu-satunya hal berharga dalam hidupnya. Kaniya kembali menyebarkan pandangan mata ke sekitar, mencari tempat yang sekiranya bisa membantunya untuk mendapatkan uang. Lalu tanpa sengaja pandangan mata Kaniya tertuju pada salah satu bar malam yang ada di sana. Satu-satunya tempat yang tentu masih buka di antara beberapa tempat lainnya. Ide gila seketika muncul dalam pikiran Kaniya. Pandangan mata yang masih menatap lurus ke arah tempat itu sembari membayangkan apa saja yang ada di dalam sana, membuat Kaniya dengan susah payah meneguk air ludahnya sendiri. “Tidak apa-apa. Ini semua demi Kalio. Tidak apa-apa,” batin Kaniya mencoba meyakinkan diri sebelum gadis itu akhirnya memantapkan pikiran dan beranjak dari tempatnya berdiri menuju tempat asing yang belum pernah dimasukinya itu. Seorang wanita paruh baya dengan make up tebal juga pakaian yang hampir dipenuhi dengan bling-bling menatap lurus ke arah Kaniya dengan pandangan mata bagai menilai suatu barang untuk diperjual-belikan. Tentu saja, karena Kaniya memang akan menjadi salah satu objek barang dagangannya malam ini. Benar. Dibanding dengan menjadi karyawan bar yang mengantar makanan dan minuman, akan lebih cepat untuk dirinya mendapatkan uang jika dirinya menjual tubuh pada p****************g di luar sana. Setidaknya itu adalah pikiran logis dari Kaniya. Dengan tubuh indah serta wajah yang begitu cantik, pasti tidak akan sulit untuk Kaniya menjadi pusat perhatian para p****************g itu. Masalahnya adalah kaniya merupakan gadis yang perawan. Dia tidak memiliki kemampuan apa pun di atas ranjang untuk memuaskan semua pria itu, dan ini menjadi suatu alasan bagaimana wanita paruh baya yang berdiri di depannya tengah menilai Kaniya. “Ini mungkin akan menjadi kekalahan terbesarku mengingat kau adalah gadis yang virgin. Kau tahu, banyak pria di tempat ini yang lebih suka mencari gadis yang berpengalaman untuk memuaskan mereka. Para pria itu datang ke tempat ini kebanyakan hanya ingin bersenang-senang dan melampiaskan kepenatan mereka. Intinya, mereka hanya ingin dipuaskan, bukan untuk mengajarkan atau pun memuaskan seorang gadis bau kencur seperti kamu. Hahhh ... apa yang bisa kulakukan? Kau hanya bagus dengan wajahmu,” ucap wanita itu dengan raut wajah penuh penyesalan seolah Kaniya adalah gadis yang paling disayangkan karena masih tidak punya kemampuan dalam memuaskan seorang pria di jaman seperti ini. Andai Kaniya juga seorang gadis yang berpengalaman, pasti gadis itu akan langsung menjadi gadis teratas dalam pencarian di tempatnya ini. Kaniya menundukkan kepala dengan dalam. Dirinya tidak pernah tahu bahwa akan tiba saatnya untuk Kaniya menyesali keperawanannya yang masih terjaga di era global saat ini. Sepertinya Kaniya telah hidup di dunia yang berbeda di antara orang-orang sekitarnya, sehingga membuatnya dipandang aneh hanya dengan sebuah status keperawanan. “Saya—saya akan berusaha melakukan yang terbaik untuk memuaskan mereka, Madam.” Panggilan Madam biasa ditujukan untuk wanita tersebut. Jantung Kaniya berdetak dengan cepat. Merasa takut, gelisah, sekaligus gugup. Di sisi lain dirinya berharap wanita itu akan mau menggunakannya. Kaniya sekali lagi tidak pernah menyangka bahwa dirinya akan memohon untuk dijual ke tempat ini. “Kau bilang kau adalah gadis perawan, dan masih kau meminta harga segitu banyaknya. Apa kau memiliki alasan untuk melakukan itu?” tanya Madam yang kini menatapnya dengan lebih lembut. Terbiasa bertemu dengan banyak orang membuat wanita itu bisa mengerti dan menilai siapa orang yang tengah dihadapinya, termasuk dengan Kania. Sejak awal dirinya melihat gadis itu, Madam sudah menyadari bahwa Kaniya sebenarnya adalah gadis polos yang lebih suka berada di dalam rumah, dibanding di luar sana. Terlebih dengan pakaian yang jelas sekali menunjukan bahwa gadis itu adalah gadis baik-baik. Tentu ada suatu alasan untuk Kaniya memilih jalan pintas seperti ini. Kenyataannya Madam juga pernah berada di waktu paling terpuruk dalam hidupnya sehingga dia memiliki ruang lain untuk orang yang jelas membutuhkan. Karena itu, Madam ingin mengetahui alasannya terlebih dahulu, barulah dia bisa memutuskan untuk bisa membantunya atau tidak. “Adik saya di rumah sakit. Dan saya harus mencari uang itu untuk membantunya tetap hidup hingga esok,” jawab Kaniya dengan jujur. Membicarakan tentang Kalio berhasil membuat Kaniya kembali menumpahkan satu tetes air matanya. Namun segera gadis itu mengusapnya hilang, untuk menyembunyikan kesedihannya. Kaniya merasa dirinya tidak boleh menunjukkan sisi lemahnya di depan Madam agar wanita itu tidak menilainya sebagai gadis yang lemah dan tidak pantas bekerja di tempat ini. Sayang sekali Madam sempat melihat air mata itu. Madam menghela napas panjang mendengar cerita Kaniya. Apa yang harus dilakukannya? Madam berpikir dengan dalam sembari kembali menilai Kaniya dari atas hingga bawah, lalu kembali lagi ke atas.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN