Bab 5: Cinta Pertama

1087 Kata
Apa maksud mas Bima dengan mengatakan hal tersebut? Apa dia benar-benar telah menikah secara diam-diam di belakangku? Tapi dengan siapa? Siapa perempuan yang telah dinikahinknya itu? Kenapa ia tega mengkhianatiku? Lalu apakah ia tak memikirkan nasib anak-anak kami nanti? Aku salah apa padanya hingga ia bisa bersikap seperti itu kepadaku? Diam-diam menikah di belakangku? Rasa sesak di dadaku semakin menjadi-jadi. Aku bahkan tak bisa lagi membendung air mataku. Air mataku tumpah ruah begitu saja saat ini. Aku merosot lemah di lantai, tak menyangka sama sekali bahwa ia yang selama ini selalu mengatakan akan memenunhi kewajibannya sebagai seorang suami padaku, nyatanya bukan hanya aku seorang saja yang menjadi istrinya. Aku tak tahu harus bagaimana lagi. Rasa sakit ini perlahan-lahan membuatku ingin mati saja. Suara tangisan dan jeritan Hana seketika menyadarkanku. Aku tergerak kemudian berlari sembari menghapus kedua air mataku yang turun dan membasahi pipi. Gegas aku menapaki tangga dan ketika hampir sampai aku melihat Hana sudah berada dalam pelukan mas Bima dan tangisnya mereda. Apakah Hana juga merasakan kesedihan yang sama dengan apa yang aku rasakan? Aku melangkah maju dan meraih Hana dari gendongan mas Hans yang mencoba menenangkannya. "Mungkin Hana mau tidur, mas," kataku padanya dan ia mengangguk. "Sayang, aku harus ke kantor sebentar, kalian di rumah sendirian gak papa, kan?" tanyanya yang membuatku akhirnya mengalah dan mengangguk. Kubiarkan ia pergi. Ia mengeluarkan dompetnya dan memgambil beberapa uang merah untuk ia berikan kepadaku. Aku menerimanya dengan dahi berkerut, banyak pertanyaan yang kini ada di otakku tentang sikapnya yang serba dadakan dan manis itu. "Buat beli makan, beli online aja ya," katanya lagi seraya mengecup pipi kiriku dan berlalu pergi begitu saja. Aku mengantar kepergiannya sampai ke teras rumah bersama Hana dan Aisyah yang terus melambai ke arahnya. Aisyah bahkan berteriak bahwa ia harus pulang cepat karena ingin diajak main. Mas Bima mengangguk dengan setuju dan berteriak menyanggupi permintaan Aisyah tersebut. "Aisyah seneng banget umi," katanya dan aku tersenyum kecil. Ia memang gadis kecil tanpa dosa. Aku bimbang saat ini. Apa yang seharusnya aku lakukan? "Aisyah lapar, umi," katanya lagi. Aku mengangguk padanya. Segera kukeluarkan ponsel untuk melihat menu-menu yang disediakan. "Aisyah mau makan ayam?" tanyaku. "Udang goreng ada?" tanyanya dan aku mengangguk padanya. Segera aku memesan udang goreng kesukaannya satu porsi dan satu porsi ayam bakar kesukaanku. Untuk Hana aku memesankan sop ayam kesukaannya. Makanan siap antar itu datang setengah jam kemudian. Setelah selesai membereskan makanan yang ada di meja. Aisyah bilang ia lelah. Bersama Hana aku menidurkannya. Setelah mereka tidur, aku bangkit dari tempatku berebah dan berjalan mengelilingi rumah mewah ini. Aku penasaran dengan gaji mas Bima saat ini. Dulu ia selalu bilang berapapun nominal gajinya kepadaku. Tapi sejak setahun ia bekerja di luar kota, ia sudah tak pernah lagi bilang gajinya kepadaku. Ponselku bergetar, sebuah pesan masuk dari bu Parmi. Dadaku berdebar-debar tak karuan kala melihat notifikasi dan gambar kamera dalam pesan itu. Itu berarti bu Parmi mengirimkan gambar kepadaku. Setelah beristighfar, aku membuka pesan tersebut dan terlihat jelas dalam gambar itu mas Bima tengah memeluk perempuan lain dengan rambut yang sangat indah tergerai begitu saja. Jeng, update hari ini. Ini saudara saya kebetulan ada di rumah suami jeng dan istri barunya. Benarkan itu suami jeng Am? Mas Bima berbohong padaku soal kepergiannya ke kantor. Air mataku jatuh kembali. Rumah tangga yang aku bangun dengan restu setengah hati orang tuaku dulu kini sedang mengambang tak jelas di lautan. Baju mas Bima adalah bukti bahwa kini ia sedang berada dengan istri mudanya. Tapi aku sama sekali tak tahu menahu kenapa ia ke sana dan sampai mengorbankanku dan anak-anaknya di sini tanpanya? Padahal kami baru saja tiba. Aku memutuskan tak membalas pesan dari bu Parmi itu. Aku putuskan untuk menelepon mas Bima. Cukup lama sambungan telepon yang kubangun tak juga terhubung hingga aku harus mencobanya sebanyak tiga kali sebelum akhirnya terangkat juga. "Iya, Am?" panggilnya padaku. Deg. Mas Bima sudah tak pernah memanggilku dengan hanya namaku saja sejak kita menikah. Hari-hari pertama pernikahan kita dulu ia selalu memanggilku dengan sebutan sayang atau adik, setelah Aisyah lahir ia langsung memanggilku dengan sebutan Ummi. Apa ia memanggil namaku karena ia tak ingin melukai hati istri mudanya? Bagaimana kamu bisa setega itu kepadaku, mas? "Mas Bima kapan pulang?" tanyaku lesu. "Apa mas Bima gak bisa ijin ke bos mas Bima? Aku dan anak-anak kan baru sampai mas," kataku memintanya untuk pulang. Aku ingin tahu reaksinya. Apa ia akan langsung menuruti keinginanku seperti dulu, atau menunda-nundanya? "Maaf, tapi aku sedang sibuk, akan aku usahakan segera, ya," jawabnya datar. Mas Bima sudah tak pernah menyebut dirinya sebagai 'aku atau saya' sejak kami menikah, apalagi punya anak. Perubahan ini terlalu mendadak dan ketara sekali. Aku penasaran, apakah istri mudanya itu tahu bahwa ia telah memiliki istri dan anak? "Baik, mas," jawabku seraya mematikan ponsel tanpa mengucapkan salam sama sekali. Aku menghapus air mataku cepat-cepat dan berlalu ke kamar utama. Kubuka nakas dan mengeluarkan apapun yang ada di dalam sana. Aku ingin tahu siapa perempuan yang telah dinikahi oleh suamiku. Aku tak menemukan apapun di nakas selain majalah-majalah dengan model perempuan yang sangat cantik. Majalah perusahaan bisnis. Satu dua tiga majalah aku kumpulkan dan mengamati wajah itu dengan seksama, lalu aku seolah merasa tak asing sama sekali dengan wajah itu. Tak berselang lama kemudian aku mengeluarkan ponsel di saku baju gamisku dan membuka foto pernikahan antara mas Bima dan perempuan muda yang dikirimkan bu Parmi, foto mereka di teras rumah mereka juga ada. Kulihat dengan seksama kemiripan antara keduanya dan aku sangat terkejut menyadari bahwa perempuan yang dinikahi oleh mas Bima adalah seorang model. Aku membuka-buka halaman demi halaman majalah itu dengan sangat cepat dan langsung mendapati nama lengkap model sampul bisnis itu. Hazel Amanda, 24 tahun. Aku menutup mataku saat aku ingat sekali nama itu. Nama yang aku ingat saat mas Bima bercerita soal cinta pertamanya yang dulu pergi meninggalkannya karena hamil di luar nikah dengan selingkuhannya. Mas Bima yang kecewa dan mas Bima yang patah hati. Gadis kecil cinta pertamanya. Dulu mereka merangkai cinta dengan beda usia yang cukup ketara. Hazel yang berusia delapan belas tahun dan mas Bima yang berusia dua puluh delapan tahun. Saat usia Hazel sembilan belas tahun, ia pergi meninggalkan mas Bima dan menikah dengan pria yang menghamilinya. Mas Bima patah hati, ia kemudian memilih mendalami ilmu agamanya dengan tinggal di pondek pesantren kilat. Itulah awal mula kami akhirnya bertemu dan memutuskan menikah. Kau tahu Mila? Apa, Mas? Matamu indah. Aku kemudian melihat dengan seksama ke arah kaca. Menatap mataku lekat-lekat dan menatap mata Hazel baik-baik. Mata Hazel yang indah berwarna coklat itu sangat sama dengan mata milikku.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN