Bab 6: Perempuan Itu Bernama Hazel

1073 Kata
"Apa kau mencintaiku?" tanyaku pada mas Bima selepas ia pulang dari rumah istri mudanya. Ia yang sedang menuangkan air dalam gelas dan hendak meneguknya itu, menoleh dan menatap mataku lekat-lekat. Anak-anak sudah tidur dan aku tak tahan jika harus menunggu lebih lama lagi tentang apa yang disembunyikannya dariku. "Tentu, Hana dan Aisyah itu buktinya," jawabnya dengan senyum tanpa rasa bersalah sama sekali. "Apa kamu menyembunyikan sesuatu dariku, mas?" tanyaku lagi. Ingin rasanya sekarang juga aku menggretaknya dengan bukti foto pernikahannya dengan Hazel yang ada dalam ponselku, tapi foto saja tak akan menjadi bukti kuat dalam sidang perceraian kami nantinya. Aku sangat tahu kalau mas Bima sangat menyayangi Hana dan Aisyah. Saat dulu Hazel hamil di luar nikah, mas Bima bilang kepadaku bahwa ia sempat bahagia bahwa mengetahui hal itu, katanya itu pertanda bahwa ia tak mandul seperti yang dikatakan dokter. Nyatanya setelah ia tahu bahwa Hazel hamil dengan orang lain dan bukan dengan dirinya, ia murka sekali dan marah besar ke Hazel. Jadi ketika aku hamil dan Aisyah memiliki wajah yang mirip sekali dengannya, ia sangat bahagia dan tak mau kehilangan buah hatinya itu. Ia ingin membuktikan kepada orang tuanya dan dokter yang memvonisnya bahwa ia bisa memiliki anak. Tuhan maha baik. Aku ingat sekali kalau aku mengatakan hal tersebut kepada mas Bima dan ia mengangguk seraya memelukku yang sedang hamil Aisyah saat itu. Saat itu aku yakin mas Bima telah berubah. Aku tak keberatan sama sekali dengan masa lalunya yang kelam, yang aku tahu waktu itu adalah mas Bima telah menjadi lelaki soleh yang katanya ia berubah karena ingin mendapatkan jodoh yang baik. Dan ia beruntung karena memilikiku. "Kenapa kamu bertanya seperti itu?" tanya Mas Bima padaku dengan tatapannya yang penuh selidik itu. Aku merasa mas Bima sepertinya sudah menyadari kalau aku mencurigainya mempunyai istri selain aku. Aku menggeleng ke arahnya, "Aku ke sini murni karena aku ingin memberimu kejutan, tapi nyatanya aku yang terkejut lebih banyak," kataku penuh arti. "Maksudnya?" tanyanya penasaran. Aku menggeleng lemah. "Bandara, rumah mewah dan mobil mewah, semua seperti mimpi, lalu kapan kita balik ke Surabaya, mas?" tanyaku kemudian. Aku ingin tahu jawabannya. Apa ia akan mengikutiku pulang ke rumah atau tetap akan tinggal di sini bersama dengan perempuan yang sudah dinikahinya beberapa waktu lalu. "Aku suka dengan pekerjaanku di sini, sayang, kamu saja yang pulang ke Jawa, ya? Aku akan cari uang di sini dan akan sering pulang juga ke Jawa jenguk kalian," jawabnya. Aku merasakan bahwa sesungguhnya arti ucapannya yang sebenarnya itu adalah ia tetap ingin menjalin hubungan jarak jauh denganku dan tetap ingin menyembunyikan pernikahan barunya dengan Hazel. "Bagaimana jika aku tinggal saja di sini bersamamu?" pancingku dengan bertanya hal yang mungkin baginya sangat mustahil. Ia nampak terkejut dengan pertanyaanku. Aku turun dari kursi tempatku duduk di hadapannya dan berjalan mendekat ke arahnya. Lalu kuletakkan kedua tanganku di kedua bahunya dan kudekatkan wajahku di bahunya, "Anak-anak juga bisa sekolah di sini juga, kan?" kataku lagi seraya tersenyum lembut ke arahnya yang nampak tegang. Raut wajahnya ketara sekali kalau ia nampak kebingungan dengan apa yang baru saja aku utarakan kepadanya. "Bagaimana mas?" tanyaku. Ia menoleh kepadaku, "Pekerjaanku tak menentu sayang, kadang aku bisa di sini beberapa hari bahkan minggu. Kadang aku harus ke Samarinda, Sangatta, atau bahkan ke Sulawesi," katanya berkilah. "Gak masalah, mas," kataku. "Bahkan sekarang aku siap hidup pindah-pindah denganmu. Aku sudah tak mengkhawatirkan Mama lagi, ada kak Mira yang memutuskan tinggal di rumah almarhum bibi," kataku yang sekali lagi membuat wajahnya terlihat bingung. Aku akan menyerangnya secara pelan-pelan, seperti ia menyerangku secara pelan-pelan pula. Ia seharusnya sudah sangat paham bahwa aku tak suka dibohongi oleh siapapun, bahkan keluargaku sendiri. "Kita bicarakan lagi nanti ya, sayang, sekarang bagaimana kalau kita tidur?" ajaknya padaku seraya merangkulku dalam dekapannya. Aroma parfumnya yang berbeda dari biasanya yang ia pakai itu membuat pikiranku berkelana kemana-mana. Bayangan ia tidur dengan perempuan lain yang ia sebut istri menggelayut di benakku. "Aku sangat merindukanmu," katanya seraya mengecup kecil bibirku. Ia kemudian mengangkat tubuh kecilku dalam kedua tangannya dan aku membiarkannya saja. Ketika ia meletakkanku di atas kasur dan mulai mencumbuku pelan-pelan, kubisikkan sesuatu di telinganya. "Maaf mas, aku sedang datang bulan," kataku padanya. Sontak saja ia kaget dan menghentikan aktifitasnya itu lalu menatapku lekat-lekat. "Kenapa tidak bilang dari tadi?" tanyanya dengan nada kesal. "Sengaja. Biar kamu gendong," jawabku dengan nada manja dan senyum yang sedikit menggoda. Biasanya jika sudah seperti itu ia akan balas menggodaku, tapi Rasa-rasanya ia masih terlihat sangat kesal. "Kamu tidurlah, aku keluar malam ini, mungkin akan pulang larut," katanya seraya melangkah menuju pintu. "Baru juga sehari aku pulang, mas, kenapa sering kali pergi? Katanya kau merindukanku dan anak-anak?" tanyaku heran. Aku sengaja mengatakan hal tersebut agar mas Bima tak keluar dari rumah dan menemui maduku. Mas Bima menoleh dan menatapku jengah. "Bukankah kita sudah setahun tidak bertemu?" tanyaku. Ia menghela napas berat. Dulu aku tak senang kala melihat dirinya yang murung dan bingung, tapi kali ini berbeda, rasa-rasanya sangat menyenangkan sekali melihatnya bingung seperti itu. Ia pasti tak tega meninggalkanku sendirian di rumah sebesar ini, lalu ia juga pasti kepikiran istri mudanya itu. Aku menepuk kasur di sebelahku, tanda kalau aku memintanya untuk tidur di sebelahku. Akhirnya aku menang juga, kulihat ia melangkah mendekat ke arahku dan duduk di tempat mana aku menepuk sofa. "Ayo tidur," ajaknya. "Aku buatin coklat hangat dulu buat mas Bima, ya," pamitku seraya berdiri dari posisiku. Mas Bima sangat senang dengan coklat hangat buatanku, katanya itu menenangkan pikirannya. Sebelum turun ke dapur, aku menyempatkan menengok ke kamar anak-anakku yang letaknya di sebelah kamar tidurku dan mas Bima. Setelah memastikan kedua putriku terlelap di masing-masing tempat tidurnya, aku kembali turun ke bawah dan membuatkan coklat hangat untuk mas Bima. Setelah selesai membuat, aku kembali ke kamar dan di sana aku sudah melihat mas Bima terlelap di atas kasur. Pelan-pelan kugerakkan tanganku di depan wajahnya yang mana matanya terlelap. Tak ada reaksi. Aku kemudian menoleh ke arah ponselnya yang terletak di atas nakas. Iseng aku menoba membukanya, dan sialnya ponselnya terkunci dan ketika aku mencoba memasukkan nomer kelahiranku untuk membuka kunci ponselnya, tapi tak bisa. Aku mencoba memasukkan tanggal ulang tahun Aisyah dan juga Hana, tapi tetap saja gagal terus menerus. Akhirnya aku berjalan ke arah nakas dan membuka lembaran di mana profil Hazel dijelaskan. Aku mencoba memasukkan tanggal lahir Hazel ke dalam ponsel mas Bima dan ajaib, kunci terbuka dan aku bebas menjelajah. Tapi hatiku terluka, sebegitu pentingkah Hazel sekarang di dalam hidupnya hingga tanggal lahirnya jadi kata sandi di atas ponselnya?
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN