Bab 4: Menguping

1116 Kata
"Mas Bima? Mas Bima kok tahu aku di sini?" tanyaku langsung padanya yang masih mengembangkan senyumnya dengan lebar. "Panjang ceritanya, yuk kita ke rumah dinas aku. Biar kalian bisa istirahat," katanya seraya menarik koper yang aku seret dan tetap Aisyah berada di dalam pelukannya yang lain. Perasaanku jadi tak menentu, aku sungguh ingin tahu apa sebenarnya yang sedang terjadi dengan mas Bima dan kenapa ia seperti biasa saja dengan kehadiranku yang tiba-tiba? Bukan seperti ini yang aku harapkan. "Ini mobil Abi?" tanya Aisyah saat mas Bima membuka pintu mobil pajero sport keluaran baru berwarna putih. "Aisyah suka?" tanya mas Bima, alih-alih menjawab pertanyaan dari Aisyah. Gadis kecilku itu mengangguk dengan sangat antusias atas pertanyaan mas Abi. Ia masuk dan duduk di kursi belakang yang leluasa. Mas Bima membukakan pintu sebelah kemudi dan menoleh ke arahku yang masih saja diam dan bingung dengan situasi yang ada padaku saat ini. "Ayo masuk, sayang," ajaknya, masih dengan senyuman yang sangat lebar. "Umi! Masuk! Di luar panas, di sini dingin," teriak Aisyah dari dalam mobil. Aku menuruti ucapan Mas Bima dan Aisyah untuk duduk di dalam mobil mewah itu. Tak berselang lama Mas Bima yang terlihat sangat bahagia dan bersemangat itu langsung menuju alih kemudi dan mulai menjalankan mobil. "Abi punya hadiah buat Aisyah," ujar Mas Bima. "Hadiah?" tanya ulang Aisyah dengan suaranya yang terkesan sangat bahagia itu. "Iya, ada di kursi belakang," jawab Mas Bima. Mataku ikut menoleh ke belakang dan melihat antusiasme anakku yang bisa kurasakan dari gerakan lincahnya mengambil hadiah di belakang. Aisyah mengambil dengan sedikit kesusahan kotak kado yang panjangnya lebih dari empat puluh centimeter. Gadis cantikku itu kembali duduk di tengah dan dengan senyumnya yang sumringah serta lebar itu ia menyobek kertas kadonya setelah tentu saja meminta ijin kepada Mas Bima. "Boneka barbie!" serunya setelah berhasil mengeluarkan kado itu dari kertas kado yang telah ia robek. "Abi! Terima kasih!" serunya kemudian. Aku turut tersenyum ketika kulihat wajah bahagia Aisyah itu memangku boneka barbie pemberian dari Abinya. "Pasti mahal ya, Mas," kataku. "Nggaklah, buat anak gak ada mahalnya," jawabnya dengan senyum yang lebar. "Aisyah suka?" tanya Mas Bima. "Suka banget, Abi!" jawabnya dengan nada yang sangat antusias. Aku memerhatikan kembali ke arah jalan dan mas Bima membelokkan mobilnya ke arah perumahan yang nampak cukup elit. Sisi kanan dan kiri terdapat rumah-rumah megah dan cukup mewah. "Katanya kita ke rumah dinas, mas? Kok ke sini?" tanyaku penasaran. "Iya, aku emang tinggal di sini," jawabnya. "Rumah dinasnya di sini?" tanyaku lagi. "Iya," jawabnya. Aku semakin tak mengerti dengan situasiku saat ini. Aku tahu dia bekerja dengan sangat giat, tapi aku juga tahu bahwa selama ini gajinya selalu ia kirimkan ke aku dan harus kubagi dengan adil bersama keluarganya yang juga mengandalkannya sebagai tulang punggung keluarga. Mas Bima akhirnya membelokkan mobilnya ke kiri dan memarkirnya di depan sebuah rumah berlantai dua yang terlihat cukup mewah tapi tetap anggun dan elegan. Aku menghela napas berat karena rumah yang afa di hadapanku sekarang ini bentuk dan modelnya sama persis dengan apa yang selama ini aku impikan. Rumah sederhana yang sudah memiliki aksen yang membuat siapapun melihatnya akan merasa betah. "Ini rumahnya, mas?" tanyaku saat aku sudah turun dari mobil dan pandanganku tak lepas dari rumah itu sama sekali. "Abi! Ini rumah siapa?" tanya Aisyah juga. Aku menoleh dan melihat mas Bima langsung menggendong Aisyah dalam dekapannya. "Rumah kita," jawab mas Bima yang berhasil membuat wajah Aisyah bersinar-sinar, bahkan mengalahkan panas dan teriknya matahari yang sedang menyengat. "Ayo ummi! Masuk!" ajak Aisyah bersemangat sesaat setelah ia dan mas Bima telah lebih dulu melangkah masuk. Ada rasa haru dan bahagia yang tiba-tiba menyerbu dadaku. Mas Bima benar-benar membuatku bingung dengan semua tingkah polanya dalam satu hari ini. Aku benar-benar tak mengerti sama sekali dengan apa yang sebenarnya sedang aku alami. Kami berempat masuk ke dalam rumah tersebut dan seluruh furniturenya adalah furniture yang aku impikan. "Mas ...." panggilku sesak. Ia menoleh ke arahku dan tersenyum kecil lalu merangkulku dengan lengan kanannya yang bebas itu, setelahnya ia mengecup keningku dalam-dalam. "Aku sudah berjanji kan padamu bahwa aku akan memberikan kehidupan yang layak padamu dan anak-anak kita," tuturnya. Ah, janjinya itu saat aku merelakan keinginanku lanjut kuliah dan memutuskan menikah dengannya. Entah kenapa waktu itu aku sangat percaya sekali padanya. "Tapi mas Bima kok tahu aku mau ke sini? Umi kan gak bilang mau ke sini, jam lepas landaspun mas Bima kok tahu sih?" tanyaku heran. Mas Bima kemudian merogoh saku celananya dan mengeluarkan tiket pesawat yang telah ia beli. Tiket pesawat tujuan Juanda. "Mas Bima mau pulang?" tanyaku bingung dan ia mengangguk. "Iya, udah kangen berat sama Aisyah dan Hana. Lah mas kan mau ke departemen pemberangkatan, lah kok ke penjemputan sih? Dan pas banget lihat kamu dan Aisyah di sana," katanya menjelaskan. Aku sama sekali tak habis pikir kalau mas Bima akan pulang di hari di mana aku akan menemuinya di Balikpapan. Tapi rasa ragu akan foto pelaminan itu membuatku masih meragukan kesetiaannya. "Mungkin Allah udah ngatur pertemuan kita sedemikian rupa ya, mas," kataku dan ia mengangguk setuju. "Kamu pasti lelah," katanya seraya menengok Hana yang terlelap di dadaku. "Sini aku yang gendong Hana," pintanya seraya menurunkan Aisyah. Ketika mas Bima akan meraih Hana dariku, ponselnya berdering dan ia merogoh saku celana kanannya dan mengeluarkan ponsel android lipatnya yang terlihat mahal dan mewah itu. Aku sampai tercengang kaget sekali lagi. Mobil mewah, rumah mewah yang katanya adalah rumah dinas dari kantornya dan apalagi itu? Ponsel mewahnya? Ia menatapku sekilas dengan sikapnya yang tiba-tiba canggung itu, lalu ia menunjuk ke arah pintu luar sembari mengangkat ponselnya tersebut dan berjalan menjauhiku sesegera mungkin. Bahkan mas Bima terlihat hati-hati dan lebih terkesan buru-buru keluar rumah. Aku penasaran tapi tak ingin mencolok lebih jauh dengan mengikutinya. Kuputuskan menaruh Hana di depan televisi di atas karpet berbulu yang sangat lembut. Aku meminta Aisyah untuk menemani adiknya yang senang sekali saat kuberikan buku dashboard bergambar hewan padanya. "Umi ke atas dulu, ya, nak," kataku pamit pada Hana. "Mau bawa koper naik ke kamar, jaga adiknya sebentae ya, sayang," imbuhku sekali lagi yang mendapatkan persetujuan dari Aisyah yang langsung menemani adiknya membaca bukunya. Akupun bergegas menaiki tangga sembari bersusah payah mengangkay koperku dengan kedua tanganku. Sampai di lantai dua, aku bergegas menuju jendela dan melihat ke bawah mas Bima sedang sibuk menelepon di bawah sana. Karena aku tak bisa memdengarkan apapun dari tempatku berdiri sekarang, akhirnya aku masuk ke kamar yang letaknya di atas persis mas Bima. Kubuka jendela dengan sangat pelan dan mulai mendengarkan dengan seksama apa yang sedang ia bicarakan. "Nggak bisa sekarang, aku harus jelaskan padanya pelan-pelan status pernikahan kita," kata mas Bima yang langsung saja membuatku kaget setengah mati hingga kurasakan kakiku bergetar hebat dan dadaku sakit sekali kemudian. Tunggu dulu, aku gak salah dengar, kan?
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN