"Kita mau ke mana, Ummi?" tanya Aisyah padaku ketika aku melipat-lipat baju mereka dan memasukkannya ke dalam koper yang telah sudah lebih dulu terisi beberapa bajuku.
"Jalan-jalan ke tempat Abi," jawabku santai yang langsung disambut dengan senyum lebar dari Aisyah. Sedangkan anakku Hana hanya menoleh sebentar lalu sibuk membolak balikkan buku dashboardnya dengan susah.
"Benarkah?" tanyanya padaku dengan matanya yang berbinar penuh dengan kepolosannya itu. Ia merangkulku dengan satu lengan kanannya yang bergelayut manja di bahu kiriku.
"Iya. Apa kakak senang?" tanyaku padanya yang mulai terlihat bersemangat, tidak seperti sebelumnya yang lesu sekali karena ia merindukan telepon dari Abinya yang beberapa minggu terakhir tak jua menghubunginya.
Jangan telepon Abi, ya, kakak. Abi sedang sibuk.
Nanti Abi telepon kalau Abi sudah tidak sibuk.
Kakak jangan telepon dulu, biar Abi yang telepon.
Kakak jangan kirim pesan dulu, ya, biar Abi yang kirim pesan ke kakak.
Dan masih banyak pesan yang berisi kata jangan dan jangan yang lainnya yang belakangan baru kuketahui kenapa ada pesan tersebut. Sedangkan Aisyah mengetahuinya dibantu bu Lusi tetanggaku. Jika tahu begini, aku pasti tak akan membiarkan Bu Lusi membacakan pesan-pesan tak menyenangkan itu.
Selepas menunaikan salat subuh tadi pagi, kutengok anak-anakku yang masih terlelap di atas kasur. Pelan-pelan kututup pintu kamar dan segera keluar menuju rumah Bu Parmi yang hanya beda dua rumah saja dengan rumahnya yang telah kusewa.
Bu Parmi membuka pintu rumahnya dengan mukenah yang masih menempel di badannya. Ia masuk dan aku ikut juga masuk ke dalam.
"Aku belum dapat konfirmasi lagi soal kebenaran foto itu," kata bu Parmi membuka suara, seolah tahu sekali alasan aku datang menghampirinya pagi-pagi ini, "nanti kalau ada info lebih lanjut, kami akan memberitahumu," imbuhnya. Dadaku masih terasa sesak dan aku hanya berharap bahwa semua yang terjadi ini adalah mimpi buruk belaka.
"Saya minta alamatnya, bu," kataku padanya. Dia diam memandangku dengan sedikit keterkejutan di wajahnya.
"Tapi, bukannya suami Bu Mila ada di luar kota, ya?" tanyanya lagi dan aku diam sembari tersenyum kecil ke arahnya.
"Iya, bu, untuk itu saya ke sini, saya mau menyusul mas Bima," jawabku yang membuat wajahnya sedikit terkejut mendengar penuturanku.
"Tunggu di sini sebentar ya, jeng," kata Bu Parmi seraya berdiri dan hilang di balik tirai. Aku menghembuskan napas setelah menahannya sekuat tenaga. Hatiku masih bergemuruh tak menentu saat ini. Ingin kutanyakan dengan segera kepada mas Bima apa benar dia yang duduk di pelaminan?
Bu Parmi datang dan memberikan kertas kecil padaku, aku menerimanya dengan segera sebelum ia tahu bahwa sesungguhnya tanganku kini sedang gemetar luar biasa. Aku merasakan hatiku yang tak tenang kini juga mulai merasa sangat takut dan kalut. Aku bingung, sungguh.
Aku mengangkat wajahku dan berusaha menatapnya dengan senyuman, "Terima kasih banyak, bu," kataku yang mendapatkan anggukan ringan bu Parmi. Aku berdiri dan segera pamit pulang ke rumah. Setelah masuk kembali ke rumah aku gegas masak untuk sarapan lalu merapikan pakaian untuk kubawa pergi ke kota di mana suamiku berada. Tak berselang lama kedua anakku bangun.
Setelah mengecek semua keperluan yang harus kubawa dan semua urusan rumah yang juga sudah kubereskan, kuajak Aisyah berjalan bergandengan tangan sembari kugendong Hana di bagian d**a depan seraya menyeret satu koper penuh di tanganku yang lainnya. Beberapa tetanggaku keluar dari rumahnya dan menatapku dengan mata dan wajahnya yang penuh tanda tanya, sedangkan aku hanya melempar senyum kecil ke arah mereka.
"Mau ke mana, jenk?" tanya bu Lusi yang selama ini sangat baik kepadaku. Ia selalu membantuku merawat Aisyah dan Hana ketika aku sibuk di rumah, bahkan tak jarang ia juga turut serta mengantarkanku ke manapun aku perlu menggunakan motornya. Tapi belakangan ini sikapnya sungguh menyebalkan sekali.
"Mau ke luar kota, bu," jawabku kecil. Dahinya berkerut, tanda ia tak puas dengan jawaban yang aku lontarkan barusan.
"Mau ke mana? Perlu aku antar?" tawarnya. Aku menggeleng pelan.
"Cuma mau nyusulin Abinya anak-anak, kok," jawabku.
"Kalimantan?" tanyanya dengan keterkejutan yang tercetak jelas di wajahnya. Aku hanya tersenyum kecil, "kenapa mendadak sekali?" tanyanya lagi. Aku heran dengan pertanyaannya itu. Sok ingin tahu sekali.
"Anak-anak sudah sangat kangen sama Abinya," jawabku, "sebentar ya, bu, saya mau ke rumah Bu Parmi buat menyerahkan kunci rumah," kataku sekali lagi yang hanya membuatnya mengangguk lemah dan masih terheran-heran.
Aku melangkahkan kakiku ke rumah bu Parmi dan menyerahkan kunci rumah ke pembantu rumahnya yang kebetulan bilang padaku bahwa Bu Parmi baru saja pergi ke kelurahan untuk imunisasi cucunya.
Kebetulan sekali saat aku menoleh, taksi online yang kupesan telah datang. Aku bergegas masuk ke dalam taksi sebelum bu Lusi kembali menghampiri dan bertanya semakin banyak hal kepadaku. Meski aku sering kali bungkam acap kali ia bertanya, ia akan mencari tahu ke yang lainnya tentangku. Kadang aku tak mengerti kenapa ia bisa begitu baik tapi juga bisa begitu aneh karena selalu ingin tahu dengan apa yang aku lakukan sehari-hari. Sempat aku curiga bahwa ia mencintai suamiku yang tampan karena setiap kali suamiku pulang, ia hampir setiap hari ke rumahku dengan berbagai macam alasan kebaikan yang ia berikan. Tapi aku menepis pikiran itu jauh-jauh dari benakku karena ia tak pernah menyinggung persoalan suamiku sama sekali saat kami mengobrol ringan.
"Kita naik pesawat, Ma?" tanya Aisyah dan aku mengangguk padanya. Wajahnya kembali berbinar dengan sangat senang, "hore! akhirnya Aisyah bisa ngerasain naik pesawat terbang!" serunya kegirangan.
Kami tiba di Bandara Juanda tak lama kemudian. Karena hari yang kupilih untuk ke Balikpapan adalah hari kerja maka jalanan besar Surabaya tak begitu ramai saat ini. Saat tiba di Juanda, Aisyah tak berhenti menatap dengan sangat takjub suasana Bandara. Selesai check in, aku membagasikan koperku dan langsung menuju ruang tunggu.
Penerbangan yang kupilih adalah jam sepuluh pagi, tapi sialnya aku dan kedua anakku mengalami delay. Aisyah bisa lebih sabar, tapi tidak dengan Hana yang merengek meminta pulang karena memang ia tak suka berada di tempat keramaian.
Satu jam berlalu, akhirnya kami naik pesawat dan Hana telah tertidur karena lelah bermain dengan kakaknya di ruang tunggu. Selain itu ia juga sudah kenyang dengan snack keju buatanku yang menjadi kesukaannya sejak usia sembilan bulan.
Penerbangan dari Bandara Juanda ke Bandara Sepinggan, Balikpapan memakan waktu sampai lepas landas kurang lebih satu jam sepuluh menit. Aisyah telah tertidur saat ia sibuk melihat awan-awan di luar jendela yang katanya bisa saja ia raih jika jendelanya terbuka sedikit saja. Aku hanya tersenyum menimpalinya.
"Apa Abi akan menjemput kita, Umi?" tanya Aisyah saat kami baru saja keluar dari tempat untuk mengambil koper.
"Tidak sayang, Abi tidak tahu kalau kita ke sini, kita yang bikin kejutan ke Abi," kataku dengan senyum sedikit. Aisyah manyun.
"Padahal Aisyah sudah sangat kangen berat sama Abi, Ummi," katanya jujur. Aku tersenyum penuh pengertian ke arahnya.
"Ummi juga kangen," jawabku.
"Aisyah! Hana!" teriak seseorang. Langkah kakiku langsung terhenti kala mendengar dengan sangat jelas suara yang sangat aku kenal itu berasal dari siapa. Aku mendongakkan kepalaku dan melihat dengan kedua mataku mas Bima sedang melambai ke arahku, Aisyah dan Hana dengan wajahnya yang sumringah. Saking aku terkejut dengan kehadirannya itu, aku tanpa sadar telah melepaskan genggaman tangan Aisyah dari tanganku. Gadis kecilku itu begitu bahagia berlari menghampiri Abinya.
Masalahnya adalah, dari mana mas Bima tahu aku akan ke Balikpapan? Apa Bu Parmi yang memberitahunya?