Bab 2: Pesan

1140 Kata
"Jeng, jeng!" Bu Parmi menggoyangkan pundakku. Aku tersentak kaget dan menatapnya kemudian, "anaknya nangis," katanya lagi padaku dengan tatapan prihatin. Aku tersentak kaget dan tanpa menyadari bahwa air mataku telah tumpah dan buru-buru kuhapus dari pipi. Aku bergerak menuju kamar anak-anakku dan kulihat Aisyah telah bangun dan duduk terpekur melihat Hana yang menangis. Kuraih Hana dalam dekapanku, kucoba tenangkan dia dengan lantunan sholawat nabi yang kuhapal. Air mataku merembes lagi setiap kali teringat foto yang baru saja diperlihatkan oleh Bu Parmi padaku itu. Aku memang sedang menenangkan Hana, tapi rasa-rasanya aku seolah-olah menenangkan diriku sendiri. "Kenapa ummi nangis?" tanya Aisyah akhirnya. Aku menoleh ke arah putriku yang pendiam itu lalu menggeleng cepat ke arahnya. "Hana sudah tidur lagi itu ummi, tapi kenapa ummi yang sekarang nangis?" tanya Hana lagi seraya merangkak mendekat ke arahku yang duduk di tepi kasur. "Ummi tadi habis nonton film sedih sama bu Parmi," ujarku berbohong seraya menoleh ke arah bu Parmi yang kini menatapku iba di ambang pintu kamarku. Aku tak pernah mendapatkan tatapan seperti itu sepanjang aku hidup, bagiku tatapan seperti itu seolah hinaan. Sesusah apapun aku hidup dengan suamiku dulu aku tak pernah menunjukkannya kepada siapapun. Bahkan meminta tolong sekalipun. Orang bilang egoku tinggi karena lebih memilih kelaparan dari pada meminta tolong, tapi sebenarnya bukan karena egoku tinggi. Aku hanya ingat pesan ayahku, aku harus menjaga kehormatan dan harga diri, terlebih harga diri suamiku yang dulu sudah sangat banting tulang memenuhi keluarga kecilnya. Dan meminta tolong apalagi kepada keluarga besarku hanya akan membuatnya merasa terluka dan aku tak ingin membuatnya harga dirinya terluka sebagai seorang lelaki. Hana telah kembali terlelap. Aku meletakkannya ke kasur dengan hati-hati dan memandang ke Aisyah yang menatapku dengan wajahnya yang mengantuk itu. "Tidurlah kembali, nak," bujukku pelan kepada putriku tersebut. "Ummi di sini saja, ya, tadi Aisyah kaget kok Ummi gak ada. Aisyah mau turun cari ummi tapi Hana sudah keburu nangis," katanya merajuk. "Kenapa Aisyah cari ummi? Tumben takut tidur sendiri? Biasanya berani," kataku seraya membelai rambut halusnya yang panjang. Aisyah menggelengkan kepalanya, "Aisyah gak takut sama hantu. Aisyah baca doa sebelum tidur. Aisyah takut ummi pergi kayak Abi," kata Aisyah yang membuatku kaget mendengarnya. "Pergi kayak Abi? Gimana maksudnya sayang?" tanyaku penasaran. Aisyah meraih ponselku satunya di dekat nakas dan memberikannya padaku. Ponselku itu ponsel yang hanya bisa kirim pesan dan telepon saja bukan smartphone. Sengaja aku berikan ke anakku ketika kutinggal mereka sendirian ke rumah jika aku ada perlu ke warung. "Coba ummi buka pesan dari Abi," kata Aisyah. Aku terpanah kaget mendengarnya mengatakan hal itu. Kupandang bu Parmi sejenak sebelum aku meraih ponsel dari Aisyah itu dan membuka pesan dari suamiku dengan d**a yang berdebar-debar. Aisyah, Abi titip ummi dan Hana, ya. Karena Aisyah sudah besar tolong jaga ummi dan adik Hana, ya. Aku terpanah membaca pesan teks dari mas Bima tersebut. Apa maksudnya dengan meminta Aisyah menjagaku dan Hana? "Siapa yang bacakan pesan ini, nak?" tanyaku. "Budhe Lusi," jawab Aisyah cepat. Kenapa harus bu Lusi yang bacakan pesan ini ke Aisyah. "Ayah telepon tapi putus-putus dan Hana menangis, jadi ayah kirim pesan dan budhe Lusi yang bacakan pesannya," papar Aisyah menjelaskan. Kuraih Aisyah cepat-cepat dalam dekapanku agar ia tak mengetahui bahwa aku telah kembali berurai air mata. Rasa sakit ini tak pernah kurasakan sebelumnya. Aku tak bisa mendefinisikan apa yang kurasakan sekarang ini. Bayangan kehilangan mas Bima, bayangan kehidupan anak-anakku tanpa mas Bima membuat air mataku tak mau berhenti mengalir. Duh, Gusti, Apakah semua ini? "Ummi nangis lagi?" tanya Aisyah di dadaku. Aku menggeleng kuat. "Ummi tahu gak bahwa tadi itu Aisyah bangun karena mimpi Abi pergi dari kita. Abi sama seorang perempuan bersayap seperti malaikat. Cantik sekali. Saat Aisyah kejar Abi, Abi bilang Aisyah gak boleh ikut sama Abi dan harus jaga adik Hana dan ummi," kata Aisyah. Hatiku remuk redam mendengar setiap kata yang keluar dari mulutnya. Sungguh aku tak tahu sekarang ini aku harus berbuat bagaimana? Aku pusing. Aku merasa mual. Aku bingung. Aku kesal dan aku rindu. Semua rasa itu bertumpu jadi satu di diriku hingga aku merasa perutku seolah diaduk-aduk saat ini. Kurenggangkan tubuhku dari Aisyah dan berlari sekuat tenaga ke kamar mandi. Setelah pintu kamar mandi akhirnya terbuka, aku muntah hebat. "Ummi sakit?" tanya Aisyah saat aku berusaha bernapas dengan baik. Aku menoleh ke gadis kecilku yang matanya sudah berkaca-kaca itu. Ia menatapku dengan penuh rasa cemas. Aku menggeleng ke arahnya. "Ummi gak sakit, cuma masuk angin. Tadi sudah dikerokin sama bu Parmi sambil nonton film kok," kataku berbohong kembali. Kulihat wajah bu Parmi semakin menatapku prihatin dan iba. "Kakak tidur lagi bagaimana?" tawarku padanya "Tapi Aisyah maunya tidur sama ummi," rengeknya dengan suaranya yang serak itu. Kalau sudah suaranya yang serak itu keluar, air matanya akan segera turun jika aku tak menggendongnya segera. Segera kuraih tubuh mungil putri sulungku itu agar ia tak menangis. "Baiklah, tidur sama ummi, kan? Tapi kakak gak boleh sedih, ya?" pintaku berusaha tegar di hadapannya. Aisyah mengangguk, "Ummi, kenapa ya, di sini rasanya kok gak nyaman?" katanya seraya menunjuk dan mengelus dadanya. Aisyah adalah putriku yang sangat sensitif. Dulu saat Ayahku meninggal, ia juga bermimpi soal Ayah dan mengatakan kalau dadanya terasa tak nyaman. Sama persis dengan apa yang baru saja ia lakukan sekarang ini. Dadaku kembali terasa sesak tapi aku berusaha sekuat tenaga agar air mataku tak tumpah. Aku harus mencari tahu kebenarannya. Aku tak bisa percaya begitu saja pada foto yang diberikan bu Parmi kepadaku. Bisa saja itu adalah foto pria lain yang kebetulan hanya mirip dengan mas Bima. "Jeng, saya pulang dulu, ya, kasihan anak-anak di rumah. Kalau jeng mau tahu lebih jauh, bolehlah jeng ke rumah besok pagi," kata bu Parmi padaku. Aku mengangguk ke arahnya yang kini berlalu pergi dariku. "Terima kasih, bu," ucapku dan ia hanya menoleh dan mengangguk sekilas ke arahku. Aku membawa Aisyah kembali ke kamar dan menidurkannya sembari rambut halusnya kubelai pelan dan kukecup sesekali. Kulantunkan dengan sangat lembut lagu pengantar tidur untuknya. Sesekali tanganku yang lain membelai rambut patriku satunya, Hana. Kami bertiga telah bertahan selama setahun untuk menahan rindu kepada mas Bima. Aisyah bahkan telah membuat jadwal akan pergi ke mana saja ia dan Abinya setelah mas Bima nanti pulang, ia memintaku menuliskannya di catatan kecil. Tapi jika mas Bima benar-benar telah menikah lagi dengan perempuan lain, aku tak yakin Aisyah dan Hana punya waktu menuntaskan rindu kepada Abinya. Air mataku kembali menetes. Aku tak tahan membayangkan bagaimana rasa sakit yang akan dipikul oleh Aisyah ketika nanti ia tahu bahwa Abinya telah memiliki Ibu lain untuknya. Aku menghapus air mataku dan beranjak dari posisiku berbaring di samping Aisyah yang kini matanya telah terpejam. Kuraih ponsel Aisyah dan mulai membalas pesan mas Bima itu. Kapan pulang, mas? -Aku- Ajaib. Pesanku langsung terbalas tak lama kemudian. Belum tahu sayang, sepertinya proyek ini akan memakan waktu yang lama. Sabar ya, sayang. Aku pasti pulang ke kalian. Rinduku juga sudah sangat besar. -Mas Bima-
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN