6. Tanpa Sengaja

2176 Kata
"Jika namamu yang tertulis untuk melengkapi separuh hidupku. Semoga Tuhan mencukupi segala kekuranganku untuk menggenapimu." ---- Sudah seminggu semenjak kepulangannya ke Amerika, Rachel tidak pernah sekalipun mau mengangkat telpon atau membalas pesan singkat yang Azzam tujukan kepadanya. Padahal Azzam masih sedikit berharap wanita itu mau mengubah keputusannya. Jika itu terjadi, dengan senang hati Azzam akan merayu Ibunya untuk kembali merestui hubungan mereka. Namun, sepertinya Azzam memang harus mulai belajar melupakan Rachel. Bahkan beberapa hari yang lalu, Ibunya terang-terangan menyampaikan wacana ingin menjodohkannya dengan anak salah seorang kolega bisnis. Itu artinya, jika ia tak kunjung mendapat pasangan, mau tidak mau ia harus menerima keputusan tersebut. Azzam mengusap wajahnya gusar. Kepalanya terasa berat memikirkan nasibnya beberapa waktu kedepan. Padahal, di negara ini siapa yang tidak mengenal keluarga Elhaq? Bahkan banyak wanita di luaran sana ingin menjadi pasangannya secara cuma-cuma. Tapi tentu saja, Ibunya tidak mungkin serta merta menerima begitu saja. Fatima Elhaq terkenal sangat pemilih untuk urusan yang menyangkut keluarganya. "Zam, apa yang sedang kamu lamunkan?" tegur Fatima ketika melihat Azzam yang begitu gelisah di tempat duduknya. Azzam mengangkat wajahnya lalu menggelengkan kepala pelan. "Memikirkan nasib Azzam, Umi. Siapa yang mau Azzam ajak duduk bersama di pelaminan nanti." Fatima terkekeh. "Kalau kamu pusing, biar Umi yang bantu cari seperti kata Umi kemarin. Atau kamu mau Umi suruh Emir pasang iklan di televisi buat bantu mencarikan calon istri?" Azzam mencebikkan bibirnya membuat Fatima menjadi gemas. "Umi tega mempermalukan anak Umi yang tampan ini? Lagi pula Ini sudah 2019. Sudah nggak zaman perjodohan seperti Siti Nur Baya. Kasih Azzam waktu sebentar untuk mencari calon menantu yang terbaik untuk Umi. Doakan Azzam, sispa tahu pulang nanti ketemu bidadari di pinggir jalan terus mau dibawa pulang." Fatima tertawa lalu berjalan menghampiri posisi dimana Azzam duduk. Kemudian wanita itu dengan lembut merengkuh tubuh anak bungsunya. "Umi doakan Azzam bisa segera ketemu bidadari surga yang sayang dan tulus cinta sama Azzam." Setelah Fatima mengurai pelukannya, Azzam bangkit dari tempat duduknya. "Ayo, Azzam antar Umi check up dulu kerumah sakit. Kemarin Ashraf sudah buatkan janji sama Dokter Robbi. Fatima mengangguk lalu mengikuti Azzam yang menuntunnya dengan perlahan menuju mobil. Karena masih dalam tahap perawatan, Fatima di sarankan untuk terus check up ke dokter seminggu sekali. Azzam sangat berharap kondisi Ibunya bisa kembali pulih dan normal seperti sedia kala. Di lain tempat, Terlihat Alissa yang baru saja keluar dari mobil milik Ashraf. Bukan tanpa alasan mereka berdua bisa turun kerja bersama. Ini tak lain karena perbuatan Nisa yang hari sebelumnya mengatur sedemikan rupa agar sahabatnya bisa berangkat kerja bersama Ashraf. "Dokter Ashraf belum pulang?" tanya Nisa ketika tanpa sengaja bertemu dengan Ashraf yang baru keluar dari ruang operasi. Ashraf melempar senyum. "Saya ada panggilan operasi malam ini. Dokter Nisa sendiri kenapa belum pulang jam segini?" tanya Ashraf. "Saya Dinas sore, Dok. Nanti jam 10 baru pulang." Ashraf mengangguk. "Tumben juga sendirian." Nisa tersenyum, ia paham maksud ucapan Ashraf yang satu ini. "Dokter cari Alissa? Dia dinas pagi, Dok dan nggak ada jadwal praktik malam ini. Jadi sudah pulang duluan." "Oh, begitu." jawab Ashraf singkat. "Kalau Dokter mau, besok pagi berangkat kerjanya bareng Alissa aja," tawar Nisa. Ashraf mengangkat sebelah alisnya. "Maksud Dokter Nisa?" "Iya, biasa Alissa berangkat kerja di antar atau bareng saya. Tapi besok saya nggak bisa jemput dia karena ada urusan mendadak. Kalau Dokter nggak keberatan, bisa gantiin saya buat jemput Alissa." Ashraf terdiam sejenak setelah mendengar apa yang Nisa ucapkan padanya. "Kamu yakin Alissa mau?" tanya Ashraf sedikit ragu. Nisa mengangguk mantap. "Tenang, dia pasti mau, Dok. Nanti sampai rumah saya info ke Alissa juga kalau besok Dokter Ashraf yang menggantikan saya jemput dia." Ashraf kembali terdiam. Raut wajahnya tampak sedang menimbang penawaran yang Nisa berikan. "Gimana, Dok?" tanya Nisa memastikan. "Baiklah, besok saya jemput Alissa di rumahnya." "Ok, nanti sepulang kerja saya kabari Alissa." Maka pagi ini, tanpa sepengetahuan Alissa, tiba-tiba mobil Ashraf terparkir rapi di depan rumahnya. Ia sempat bingung bahkan dengan polosnya bertanya kepada Ashraf kenapa pagi-pagi datang ke rumahnya. Selidik demi selidik ternyata Nisa sengaja tidak mengabari Alissa jika pagi ini Ashraf yang menjemput dan mengantarkannya kerja. Selama ini, Alissa memang selalu berangkat kerja di antar supir atau ikut dengan Nisa. Tak pelak, suasana canggung bahkan sempat menyergap antara shraf dan Alissa. Wanita itu bahkan bersumpah akan memberikan Nisa pelajaran saat mereka bertemu nanti. Untungnya Ashraf pintar mencairkan suasana di sepanjang perjalanan menuju rumah sakit. "Hari ini kamu pulang jam berapa, Cha?" tanya Ashraf sebelum Alissa turun dari mobil. Alissa menoleh ke arah Ashraf. "Seperti biasa jam 6 sore. Emang kenapa, Ash?" "Nanti pulang bareng aku aja." ajak Ashraf. "Bukannya kamu ada praktik nanti malam?" tanya Alissa. Ashraf tersenyum ke arah Alissa membuat wanita itu mengerutkan keningnya. "Kok malah senyum?" Ashraf menggelengkan kepalanya. "Kamu tahu dari mana nanti malam aku ada praktik?" Selidik Ashraf. "Kamu mata-matain aku, ya?" lanjutnya. "Ish! Sembarangan. 'Kan aku yang bantu susun agenda kamu, jadi sudah pasti tahu jadwal kerjamu," kilah Alissa. Ashraf tertawa melihat ekspresi wajah Alissa yang tidak terima dituduh memata-matainya. Bahkan menurut pria itu, wajah Alissa terlihat menggemaskan sekarang. "Aku nggak ada praktik malam ini. Dokter Andreas minta tukar jadwal, jadi praktiknya diganti besok," ucap Ashraf menjelaskan. Alissa mengangguk paham. "Hmm, gitu. Ya udah kalau gitu." "Ya udah apa?" tanya Ashraf cepat. "Ya udah kalau nanti sore pulang bareng kamu lagi." Lagi-lagi Ashraf kembali tertawa setelah mendengar jawaban Alissa. Entah kenapa melihat setiap ekspresi yang ditunjukkan Alissa membuatnya senang. Setelah berdebat soal jadwal praktik, mereka pun akhirnya sampai di rumah sakit. Alissa tampak lebih dulu keluar dari dalam mobil lalu Ashraf mengikuti dari belakang. "Kamu duluan aja pergi ke ruangan, Cha. Aku mau ke tempat Dokter Andreas sebentar." Mereka berdua akhirnya berpisah. Alissa melangkah lebih dulu menuju ruang kerja Ashraf untuk menyiapkan jadwal dan agenda apa saja yang akan Ashraf lakukan hari ini. Saat melewati ruang tunggu VIP, tanpa sengaja Alissa menabrak seseorang yang begitu familiar di matanya. "Umi..." ucap Alissa ragu-ragu. Fatima tertegun sejenak, memorinya mencoba untuk mencerna siapa yang sedang ia lihat sekarang. Hingga detik kemudian ia akhirnya bersuara. "Icha, 'kan?" Alissa mengangguk lalu tersenyum. "Apa kabar, Umi?" lalu Alissa mengulurkan tangannya menyalami Fatima. Wanita paruh baya itu menyambut lalu menarik tubuh Alissa dan memeluknya. "Sudah lama Umi nggak ketemu sama kamu. Kenapa nggak pernah main-main ke rumah lagi? Umi kangen," ucap Fatima seraya mengurai pelukannya. Alissa tersenyum lalu menjawab. "Alissa kemarin pindah ke Jogja ikut Papa dinas di sana. Maaf nggak sempat pamitan sama Umi," ucap Alissa dengan nada penuh sesal. Fatima balas tersenyum. "Nggak apa-apa. Padahal waktu itu Azzam sampai pusing cari kamu. Hampir aja dia nggak mau berangkat ke Amerika sebelum ketemu dan pamitan sama kamu dulu." Alissa tertegun mendengar ucapan Fatima. Seketika luka yang sudah susah payah ia kubur seakan kembali terbuka. "Oh ya, Umi ngapain ke sini?" tanya Alissa sengaja mengalihkan pembicaraan. "Umi ada janji sama Dokter Robbi untuk check kesehatan," jawab Fatima. "Kamu kerja di sini?" tanyanya kemudian. Alissa mengangguk. "Icha praktik di rumah sakit ini," jawab Alissa. "Umi lagi sakit?" tanya Alissa kemudian dengan penuh khawatir. Fatima menggelengkan kepalanya. "Umi cuma cek kondisi jantung aja." Lalu Fatima tersenyum tipis untuk mengusir raut khawatir di wajah Alissa. "Baiklah kalau begitu. Umi mau Icha antar ke ruangan Dokter Robbi?" tawar Alissa. Fatima mengangguk. "Boleh saja kalau tidak merepotkan." Belum lagi sempat beranjak dari posisi di mana mereka berdiri, seseorang datang menghampiri. "Icha..." Panggilan itu sukses membuat Alissa tertegun sejenak di posisinya. Ia mematung. Bibirnya bahkan kelu hanya untuk sekedar menyahut kata 'iya' atau 'hai' untuk berbasa basi. "Icha..." suara lembut itu kembali menyentak Alissa dari lamunannya. "Bee..." sahut Alissa pelan. Lama keheningan kembali tercipta di antara mereka berdua. Tiba-tiba Azzam kembali berujar sehingga membuat tubuh Alissa membeku. "Aku kangen banget sama kamu, Cha." Alissa tersenyum tipis tanpa berniat untuk membalas kalimat yang Azzam lontarkan kepadanya. Sebisa mungkin ia menampilkan raut wajah yang tenang. Padahal hati dan bibirnya berontak ingin sekali menjawab ucapan Azzam kalau ia juga tak kalah merindukan pria itu. Sementara di sisi yang tak jauh dari mereka, Ashraf muncul dan langsung membaur di antara keduanya. "Dokter Alissa." panggil Ashraf membuat Alissa dan Azzam menoleh bersamaan ke arahnya. "Dokter diminta ke ruang bersalin sekarang juga," ujarnya lagi. Alissa mengangguk kikuk. "Baik, Dok. Terima kasih informasinya," jawab Alissa formal. Kemudian Alissa menghampiri Fatima yang berdiri tidak jauh dari Azzam. "Umi, Alissa pamit kerja dulu. Insya Allah di lain waktu kita ketemu lagi. Titip salam untuk Abi." Fatima memeluk tubuh Alissa sekali lagi sejurus kemudian berucap, "Kalau ada waktu, main-main kerumah Umi, ya." Alissa mengangguk pelan. Kini pandangan matanya tertuju pada sosok pria yang sedari tadi ingin ia hindari. "Aku permisi dulu, Bee." Selepas mengucapkan kalimat itu, buru-buru Alissa pergi menjauh untuk menyembunyikan raut wajahnya yang sudah mulai berubah. Bahkan kristal bening tanpa terasa sudah mulai membasahi pipinya. Di dalam ruang bersalin, Alissa menempelkan telapak tangan di depan dadanya. Ia mencoba merayu detak jantungnya yang mulai menggila agar cepat tenang dan kembali berdetak normal. Menarik napas berkali-kali untuk mengisi rongga d**a yang mulai terasa sesak. Kuatkan hatimu, Cha. Jangan sampai perasaan itu kembali muncul. **** Sambil menunggu Ibunya yang sedang menjalani serangkaian pemeriksaan, Azzam memilih menunggu di ruang kerja Ashraf. Mengingat sepupunya itu ternyata kerja di tempat yang sama dengan sahabatnya, Azzam berinisiatif untuk bertanya. "Kamu kenal baik sama Icha?" tanya Azzam tiba-tiba. Ashraf yang sedang membaca beberapa berkas medis mengalihkan perhatiannya. "Dokter Alissa maksudmu?" Azzam mengangguk. "Iya, Alissa." "Kenal, bisa di bilang dia asistenku di rumah sakit ini. Memangnya kenapa?" tanya Ashraf. Azzam menghela napas pelan. "Sudah lama aku nggak ketemu sama dia. Sekali ketemu, dia malah sepertinya menghindar." Ashraf terkikik geli mendengar ucapan Azzam yang terdengar sedikit frustrasi. "Mungkin kamu pernah buat salah sama dia. Makanya dia nggak mau ketemu sama kamu lagi." Azzam tercenung, mencoba mengingat kembali memori 10 tahun yang lalu. Seingatnya, ia tidak pernah melakukan kesalahan terhadap Alissa. Bahkan, jauh-jauh hari Azzam sudah menyiapkan kado yang akan ia berikan tepat di hari kelulusan mereka. Namun wanita itu malah menghilang seperti di telan bumi. Azzam mendesah kesal, tangannya terulur memijat halus pelipisnya. "Justru dia yang dulu ninggalin aku. Kamu nggak tahu gimana pusingnya aku nyari dia. Kalau emang aku pernah buat salah, kenapa dia nggak ngasih tahu. Seenggaknya aku bisa minta maaf." Ashraf mengangguk seakan mendukung argumen sepupunya. "Ya kamu coba aja nanti tanya sama dia alasannya kenapa," saran Ashraf. "Iya, aku harus menemui dan menanyakan hal itu. Lagi pula, banyak yang mau aku ceritakan dengannya." jawab Azzam. Tapi ngomong-ngomong, kamu sama dia dulu emang dekat banget?" "Bukan dekat lagi, kami berdua emang nggak bisa dipisahkan. Asal kamu tahu, Icha dulu tomboy nggak se-feminim sekarang. Dulu, Icha satu-satunya perempuan yang ikut ekskul taekwondo dan cuma dia cewek yang nggak pernah di ganggu sama anak-anak nakal si sekolah. Nggak ada yang berani. Dia udah kaya bodyguard aku. Sampai cewek-cewek yang naksir sama aku pada nggak berani mendekat, takut duluan di terkam sama Icha." Mendengar ucapan Azzam, seketika mulut Ashraf tenganga lebar. "Yang benar saja, dia bahkan keliatan lemah lembut dan pemalu menurutku." Azzam menarik wajahnya dalam mendengar ucapan Ashraf. "Lemah lembut apanya? Seumur hidupku, satu-satunya cewek yang bisa manjat pohon? Cuma dia. Umi aja sampe geleng-geleng kepala kalau lihat kelakuan Icha dulu." "Soal Umi, sepertinya beliau juga sudah kenal dekat sama Icha?" Azzam mengangguk. "Dulu Icha emang sering nginap di rumah. Bahkan Umi yang minta izin langsung ke orang tua Icha buat memperbolehkannya tidur di rumah kalau weekend. Umi sayang banget sama dia, alasannya klise karena dari dulu pengen punya anak perempuan." Ashraf terkekeh mendengar penjelasan panjang lebar dari Azzam. Di lihat dari semua penjelasan yang sepupunya itu jabarkan, dapat disimpulkan mereka berdua memang sangat dekat. "Sejujurnya aku tertarik dengan Icha," ucap Ashraf tiba-tiba. "Entahlah, aku merasa nyaman bila berada di dekatnya." Azzam terkesiap mendengar pengakuan Ashraf. Entah kenapa, ia merasa tidak nyaman dengan apa yang baru saja sepupunya ungkapkan. Padahal tidak seharusnya ia merasa demikian mengingat ia dan Alissa hanya sebatas sahabat selama ini. "Lalu kamu mau coba mendekatinya?" tanya Azzam ragu-ragu. "Aku kasih tahu, Icha itu pemilih soal pasangan. Selama sekolah dulu banyak cowok yang naksir tapi nggak ada satu pun yang mampu menggugah hatinya. Aku juga bingung, kriteria dia seperti apa." lanjutnya kemudian. Ashraf menggelengkan kepala. "Aku akan bersikap biasa saja. Lagi pula kami baru kenal. Aku nggak mau terburu-buru lalu membuatnya merasa nggak nyaman dan akhirnya dia malah menghindariku. Biarkan semuanya mengalir begitu saja, toh waktuku cukup banyak untuk mendekatinya." Tanpa sadar Azzam mengembuskan napas lega setelah mendengar jawaban Ashraf. Pria itu lantas tak lama kemudian berdiri dari tempat duduknya. "Kalau begitu aku mau menyusul Umi dulu. Mungkin pemeriksaannya sudah selesai. Lain waktu aku berkunjung lagi kemari, sekalian menemui Icha." Ashraf ikut bangkit lalu memeluk tubuh sepupunya yang sudah bersiap pergi. "Salam buat Umi. Hati-hati di jalan nanti." Mereka berdua kemudian berpisah dan melanjutkan kegiatan masing-masing. Sementara Azzam membatin dalam gerak langkahnya. Berharap di pertemuan berikutnya ia benar-benar bisa berbicara empat mata dengan Alissa. *** Aku nggak pernah bosan buat ingatin kalian semua. Semua Visual/Jadwal update/spoiller cerita/atau berita lainnya, aku info di story sss/ig story @novafhe. Silakan follow/add ya. Atau gabung di grup sss khusus pembaca : Fhelicious Grup wa khusus pembaca, bisa klik link nya di profile i********:.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN