"Rindu ini sungguh membuatku candu, berharap raga bisa terus menyatu. Rindu bukan soal perkara bertemu, berjumpa juga bukanlah sebuah titik temu. Seperti candu, ingin bersama selalu. Namun sayang selalu di batas oleh waktu."
----
"Bagaimana rasanya pulang diantar langsung oleh pimpinan rumah sakit, Cha?"
Pertanyaan tiba-tiba Nisa dengan raut wajah penuh selidik kepada Alissa. Kini mereka berdua tengah duduk santai di ruang praktik rumah sakit.
Nisa, satu-satunya sahabat Alissa yang menjadi saksi hidup semua kisah sedih dan bahagianya selama ini. Walaupun mereka sempat terpisah saat menempuh pendidikan kuliah, tapi pada akhirnya bisa kembali bertemu bahkan bekerja di rumah sakit yang sama. Nisa juga menjadi seorang dokter seperti Alissa. Bedanya, Nisa mengambil spesialis anak sedangkan Alissa mengambil spesialis kandungan.
"Bagaimana apanya, Nis?" cicit Alissa.
Nisa menipiskan bibirnya, melempar tatapan menggoda. "Kamu pasti tahu maksudku, Icha. Apa perlu aku perjelas pertanyaanku sebelumnya?"
Alissa terkekeh pelan, ia paham sahabatnya tengah menggodanya saat ini. Belum lagi di jawab, suara ketukan pintu mengalihkan pandangan mereka berdua.
"Dokter Icha, ini ada titipan dari Dokter Ashraf," ucap salah satu perawat seraya memberikan box putih berukuran sedang kepada Alissa.
Alissa mengerutkan alisnya. "Ini apa?" tanyanya bingung
"Saya kurang tahu isinya apa, tadi Dokter Ashraf cuman titip minta tolong diberikan kepada Dokter Icha," jawab si perawat.
Alissa mengangguk lalu menerima box yang belakangan di ketahui berisi beberapa kue didalamnya. Nisa yang penasaran pun ikut bertanya. "Terus Dokter Ashraf ke mana?"
"Dokter Ashraf pergi ke musolla. Mau solat dhuha, katanya. Makanya ini box dititipkan ke saya buat diserahkan ke dokter Icha," jawab perawat itu sejurus kemudian pergi meninggalkan Alissa dan Nisa berdua di ruangannya.
Ekspresi mengejek langsung melumuri wajah Nisa, ia memangkas jarak sedekat mungkin untuk kemudian berdiri tepat di samping Alissa.
"Lihat, hari ini Dokter Ashraf ngasih kue. Nggak menutup kemungkinan besok dia ngasih barang lainnya juga. Aku curiga, jangan-jangan dia naksir kamu, Cha."
"Hush..." desis Alissa. "...nggak mungkin, kita baru kenal beberapa hari."
Nisa mengangkat sebelah alisnya. "Kenapa nggak mungkin? Kamu kan cantik, Cha. Jangan bilang kamu belum bisa move on dari Azzam. Sadar, ini udah lebih dari sepuluh tahun. Mau sampai kapan kamu nungguin dia?"
Alissa tersenyum getir, entah apa arti senyum kali ini. Apakah karena lucu atau merutuk diri sendiri yang sampai detik ini masih belum bisa sepenuhnya melupakan Azzam, cinta pertamanya.
Alissa menoleh sebentar ke arah Nissa sebelum ia kembali berujar. "Kamu mau tahu sesuatu, nggak?"
Nisa menyipitkan kedua matanya, menatap Alissa penuh tanya. "Tahu sesuatu apa?"
"Dokter Ashraf itu sepupunya Azzam."
Mata Nisa sukses membola sempurna setelah mendengar apa yang sahabatnya ucapkan.
"Hah? Kamu yakin, Dokter Ashraf sepupu Azzam? Tahu dari mana?"
Alissa mengangguk. "Beberapa waktu lalu setelah sekian lama aku nggak sengaja ketemu Azzam di salah satu cafe. Dia nabrak aku."
Kali ini Nisa tidak kalah terkejut. Ia membayangkan bagaimana suasana bahkan perasaan sahabatnya ketika bertemu pria yang susah payah ingin di lupakan.
"Terus? Kalian sempat ngobrol? Apa gimana?" tanya Nisa penasaran.
"Nggak! Cuma bertegur sapa gitu aja, karena Ezhar buru-buru."
"Hubungannya sama Ashraf apa?" Nisa semakin penasaran.
Alissa mendesah pelan. "Jadi, waktu aku ketemu Azzam di cafe, kebetulan Ashraf juga ada di sana. Aku nggak sempat memperhatikan dia. Tapi, kemarin saat berkenalan di ruang praktik, tiba-tiba Ashraf tanya apa aku kenal Azzam? Dari situ dia cerita kalau dia sepupu Azzam."
Nisa mengangguk paham. Pikirnya hidup Alissa memang tidak bisa lepas dari keluarga Elhaq. Dulu Azzam, sekarang Ashraf. Bedanya dulu Alissa yang suka kepada Azzam sekarang mungkin saja Ashraf yang menaruh hati pada sahabatnya.
"Sepertinya kamu terkena kutukan keluarga Elhaq, Cha," seloroh Nisa.
"Hush ngawur!" kilah Alissa.
"Ya, dari dulu hidupmu nggak jauh-jauh dari keluarga mereka. Tapi kalau aku boleh kasih saran, mending sama Ashraf aja."
Alissa menautkan kedua alisnya penuh tanya. "Apa alasannya kamu pilih Ashraf? Baru juga kenal. Kalau Azzam kan kita berdua kenal dari kecil, Nis."
"Ya Feeling aku aja, Cha. Ashraf sepertinya lebih peka nggak kaya sepupunya tukang PHP."
Alissa tertawa mendengar jawaban Nisa yang begitu ketus. Sangat ketara bila wanita itu yang paling marah ketika tahu Azzam dulu sempat menjadikan Alissa kelinci percobaan sebelum ia menyatakan cinta pada Rachel. Sebenarnya bukan salah Azzam sepenuhnya. Pria itu hanya tidak tahu apa yang selama ini dirasakan Alissa. Andai saja Alissa lebih cepat memberitahu apa yang ia rasakan, mungkin jalan ceritanya tidak seperti sekarang.
"Alissa..." panggil seorang pria dari balik punggungnya ketika Alissa dan Nisa mulai menyusuri koridor rumah sakit. Alissa membalikkan badan lalu ia dapati Ashraf tengah menghampirinya.
Ashraf terdiam sesaat setelah melihat senyum di wajah cantik Alissa. Ia menyelami manik mata hitam itu dengan manik mata hazelnya. Entah mengapa ia begitu terpukau dengan apa yang ia lihat sekarang.
"Sudah terima bingkisan kuenya?" tanya Ashraf memecah keheningan.
Alissa mengangguk pelan. "Udah, terima kasih banyak. Tapi nggak perlu repot-repot gitu, Dok."
"Iya nih, yang di kasih kue Alissa aja, Dok? Mentang-mentang yang cantik cuma Alissa," celetuk Nisa tanpa dosa. Mendengar itu Alissa langsung mencubit halus sahabatnya.
"Sakit, cha!" protes Nisa.
Sementara itu Ashraf hanya terkekeh melihat sikap konyol dua wanita di hadapannya. Cepat-cepat pria itu menjawab pertanyaan yang sebelumnya Nisa lontarkan. "Kuenya buat sama-sama, kok. Next time saya belikan lagi lebih banyak. Biar bisa di bagi ke semua penduduk di rumah sakit."
Nisa tergelak mendengar ucapan Ashraf. Pikirnya pria di hadapannya ini akan jaim, tapi nyatanya bisa juga bercanda seperti sekarang. Dalam hati, Nisa semakin yakin mungkin Ashraf pantas mengisi kekosongan hati sahabatnya.
"Bisa aja Dokter Ashraf. By the way, saya duluan ya sudah waktunya praktik. Kalau Dokter Ashraf mau ngobrol sama Alissa silahkan, jam praktiknya masih setengah jam lagi, kok. Lumayan kan, buat pedekate."
Lagi-lagi Alissa melotot tajam ke arah Nisa sedangkan yang punya wajah hanya cuek dan berlalu pergi begitu saja meninggalkan Alissa dan Ashraf yang malah tampak canggung sekarang.
Ashraf berdeham mengusir kecanggungan. "Dokter Alissa ada praktik pagi, ini?" tanyanya seraya menggaruk tengkuknya yang tidak gatal.
Alissa tersenyum.
"Ada, Dok. Kan tadi Nisa udah ngasih tahu."
Ashraf mengangguk kikuk. "Ah, ya. Maaf sampai lupa."
Mereka berdua terus larut dalam perbincangan ringan disepanjang jalan menyusuri koridor rumah sakit. Hingga akhirnya salah satu dari mereka sampai di ruang jaga dan memulai dinas hari ini.
***
Menghabiskan waktu beberapa hari untuk dirawat di rumah sakit, Fatima akhirnya boleh pulang dan beristirahat di rumah. Sempat meminta Azzam untuk mengajak Rachel pulang sebentar ke Indonesia, hari pertemuan itu akhirnya tiba.
Sudah sedari pagi Fatima tampak sibuk memasak sendiri hidangan untuk menyambut kedatangan Rachel. Jangan ditanya bagaimana khawatirnya Azzam saat ini. Ia bahkan harus mengawasi serta memastikan sendiri Ibunya baik-baik saja selama memasak.
"Umi..." lirih Azzam pelan.
"Sebentar, Zam. Sebentar lagi semuanya selesai. Kalau kamu terus merengek seperti itu, kerjaan Umi nggak selesai-selesai."
Langsung saja nyali Azzam menciut setelah mendengar omelan Ibunya. Di dunia ini siapa yang bisa melarang seorang Fatima Azzahra Elhaq? Suaminya sendiri, Khalid Abdulazis Elhaq pun tidak pernah berani membantah ucapan istrinya.
Kalau ada istilah wanita selalu benar dan selalu berkuasa, maka ungkapan itu sangat pas untuk menggambarkan sosoknya. Itu sebabnya di rumah ia bagai permaisuri yang perintahnya tidak boleh di bantah apalagi diabaikan.
"Ya sudah, setelah selesai masak Umi langsung istirahat. Azzam mau jemput Rachel dulu."
Setelah mencium dan memeluk Ibunya, Azzam langsung bergegas untuk menjemput pujaan hatinya. Tidak butuh waktu lama, mengingat jarak antara kediaman orang tua Rachel dan Azzam tidak begitu jauh. Hanya membutuhnya waktu kurang lebih tiga puluh menit untuk akhirnya ia kembali tiba di rumahnya dan kini sudah bersama Rachel.
"Assalamualaikum..." ucap Rachel memberikan salam sesaat setelah ia memasuki ruang keluarga.
"Walaikumsalam anak Umi," sahut Fatima dan langsung menghamburkan pelukan ke arah Rachel.
"Gimana keadaan Umi? Udah sehat? Azzam cerita katanya Umi kemarin sempat masuk rumah sakit?"
"Hanya sakit biasa, sekarang Umi sudah jauh lebih baik," jawab Fatima.
"Alhamdulilah, semoga Umi dan Abi sehat selalu, ya."
"Ayo kita langsung ke meja makan, Umi sudah masakin Rachel masakan yang spesial." pinta Fatima dengan nada sangat lembut kepada Rachel.
Rachel mengangguk lalu menuruti ke mana Fatima membawa kakinya melangkah. Di meja makan mereka saling bercerita. Ayah Azzam juga tampak hadir sekarang.
"Di mana kak Emir?" tanya Rachel disela kegiatan makannya.
"Kak Emir lagi sibuk urus persiapan pernikahannya," jawab Azzam.
Rachel tiba-tiba tertunduk sendu. "Maaf kalau nanti aku nggak bisa datang ke acara pernikahannya kak Emir. Acaranya bertepatan dengan jadwal ujianku," lirih Rachel.
Fatima yang melihat Rachel sedikit bersedih langsung meraih jari jemari wanita itu lalu menggenggamnya erat. "Nggak apa-apa sayang, Emir pasti mengerti. Sekarang selesaikan makanmu, setelah ini Umi pengen ngobrol berdua sama kamu."
"Aku nggak di ajak, Umi?" tanya Azzam dengan raut wajah sebal yang di buat-buat.
Fatima menggelengkan kepalanya. "No! Ini urusan wanita. Mending kamu temani Abimu nonton bola saja."
Azzam mendesah pelan. "Baiklan, kalau begitu silahkan kalian berdua berkoalisi. Aku dan Abi akan pergi ke ruang tv."
Selesai makan, Umi Fatima langsung membawa Rachel pergi ke taman yang letaknya di belakang rumah. Mereka duduk tepat disamping kolam renang seraya menikmati pemandangan sore.
"Jadi gimana kuliahmu disana? Betah?" tanya Fatima memulai pembicaraan.
Rachel tersenyum lalu mengangguk. "Alhamdulilah betah, Umi. Walaupun kadang-kadang masih suka kangen sama yang ada di Indonesia."
Fatima menegakkan duduknya, raut wajahnya berubah sedikit serius sekarang. "Chel, kamu nggak ada niatan menikah sama Azzam?"
Rachel kembali tersenyum, raut wajahnya masih terihat tenang. Ia seakan sudah bisa menebak kemana arah pembicaraan selanjutnya.
"Ada, Umi. Rachel 'kan sudah lama dekat sama Azzam. Keinginan menikah itu pasti ada. Azzam juga sudah pernah bicara soal ini. Tapi, Rachel yang minta dia tunggu satu atau dua tahun lagi, setelah kuliah Rachel ini selesai."
Fatima mengangguk lalu menarik napas pelan. "Chel, Umi ini sekarang sakit-sakitan, nggak tahu umurnya sampai kapan. Maaf kalau Umi kesannya mendesak kalian berdua. Tapi apa nggak bisa, kamu dan Azzam segera menikah. Setelah itu kamu bisa melanjutkan pendidikanmu di Amerika."
Rachel tertegun sejenak. Menimbang perkataan apa yang pas untuk menjawab pertanyaan Umi Fatima. "Kalau memang keadaannya demikian, Insya Allah Rachel bisa pertimbangkan itu, Umi."
Seulas senyum terbit di wajah Fatima. Serasa mendapat angin segar karena Rachel tampaknya menyetujui permintaannya untuk segera menikah dengan Azzam. "Tapi, Umi punya satu permohonan sama Rachel." ucapnya dengan raut wajah serius.
Rachel menaikkan salah satu alisnya.
"Permohonan apa, Umi?"
"Setelah menikah, Rachel cukup menjadi Ibu rumah tangga. Nggak perlu cape-cape bekerja. Harta Azzam sudah lebih dari cukup untuk memenuhi semua kebutuhan Rachel dan anak-anak kalian kelak. Umi ingin Rachel fokus mengurus keluarga, apa bisa? Rachel tidak perlu khawatir. Bila menjadi istri Azzam, sebagian saham Elhaq otomatis menjadi milik Rachel."
Rachel terdiam cukup lama, entah mengapa saat ini keraguan malah menyergap pikirannya. Jawaban apa yang harus ia berikan kepada wanita di hadapannya? Apa ia harus menuruti permintaan tersebut? Ia merasa dilema sekarang.
Bila menerima permintaan Umi Fatima, itu sama artinya ia harus mengubur dalam semua cita-citanya selama ini. Tapi tawaran yang di berikan calon mertuanya juga tidak main-main. Ia bukan wanita penggila harta, tapi memiliki sebagian saham Elhaq Corpotation juga patut dipertimbangkan.
"Gimana, sayang?" tanya Fatima.
"Kalau kamu ragu, kamu bisa sholat Istikharah terlebih dahalu. Siapa tahu Allah kasih petunjuk yang terbaik untuk keputusanmu."
Rachel menatap gugup ke arah Fatima.
"Apa boleh Rachel memikirkannya dulu, Umi?"
Fatima mengangguk, sejurus kemudian menggenggam erat tangan Rachel. "Tentu saja boleh, pikirkan baik-baik. Karena kesempatan tidak datang dua kali."
"Baiklah, Rachel akan berikan jawabannya besok, Umi."
Fatima mengangguk, lalu meraih tubuh Rachel kemudian merengkuhnya dengan erat. "Apapun keputusanmu, itulah yang terbaik untukmu."
****
Hari ini, hari kepulangan Rachel ke Amerika. Wanita itu memang hanya bisa menghabiskan waktu selama tiga hari di Indonesia. Karena ada meeting penting, Azzam tidak sempat mengantar dan berpamitan langsung pada Rachel hari ini.
Walaupun begitu, sebelum keberangkatannya Rachel tetap menyempatkan diri untuk berpamitan pada Abi dan Umi Azzam terlebih dahulu.
Sepulang kerja, buru-buru Azzam menghampiri Ibunya yang tengah asyik menonton televisi.
"Assalamualaikum, Umi." sapa Azzam seraya mencium pipi Ibunya.
"Walaikumsalam, cepat mandi. Setelah itu kita makan malam bersama," perintah Fatima.
"Sebentar Umi. Sebelum mandi,Azzam mau tanya dulu. Apa Umi sudah berhasil membujuk Rachel?"
Fatima mengalihkan pandangannya dari film yang sedang ia tonton. "Sudah, Nak." jawabnya datar.
"Lalu, apa jawaban Rachel, Umi?" tanya Azzam penuh antusias.
Fatima tidak langsung menjawab, ia terdiam sejenak mengingat jawaban Rachel sebelum ia pamit untuk kembali ke Amerika.
"Jadi apa keputusan Rachel? Insya Allah apapun itu, Umi siap mendengarkannya."
Rachel mengulas senyum, dari raut wajahnya terlihat ia sangat gelisah saat ini.
"Bismillahhirahmannirahim, Umi dan Abi. Rachel sudah menetapkan jawaban dari apa yang Umi tanyakan sebelumnya. Mengenai permohonan Umi untuk melangsungkan pernikahan segera mungkin Rachel terima permintaan itu. Nggak ada salahnya, Rachel menikah, lalu setelahnya kembali melanjutkan kuliah. Namun, untuk permintaan Umi yang menginginkan Rachel menjadi Ibu rumah tangga, apakah boleh ditawar?"
"Kenapa, Chel? Rachel berat menjadi Ibu rumah tangga yang hanya mengurus suami dan anak saja?" tanya Fatima.
"Rachel merasa sia-sia pendidikan yang Rachel tempuh selama ini kalau pada akhirnya hanya menjadi Ibu rumah tangga, Umi." jawab Rachel takut-takut.
Fatima menghela napas sebelum akhirnya kembali berucap. "Nggak ada yang sia-sia di dunia ini, Chel. Bukankah mengurus suami itu merupakan ibadah? Lagi pula Ibu itu madrasah pertama untuk anak-anaknya, itu sebabnya ilmu yang Rachel dapat selama menempuh pendidikan, bisa di ajarkan kepada anak-anak kalian kelak."
Rachel menarik napas dalam.
"Baiklah, Rachel sudah yakin dengan keputusan yang Rachel pilih."
"Jadi apa pilihanmu, Nak?" tanya Fatima.
"Rachel mundur, Umi. Rachel nggak bisa menjadi istri dan menantu seorang Elhaq."
Fatima memejamkan matanya sejenak. Ada guratan kekecewaan terukir di wajahnya saat ini.
"Chel, apa kurang tawaran yang Umi berikan? Rachel nggak cinta sama Azzam?"
Rachel menggeleng keras.
"Rachel Sayang dan Cinta sama Azzam bahkan sama Umi dan Abi juga. Tapi sulit untuk mengorbankan cita-cita yang selama ini sudah mati-matian Rachel coba untuk wujudkan. Rachel minta maaf sama Umi dan Abi."
Fatima menarik napas sekali lagi. Lalu kemudian berucap, "Baiklah, Kalau keputusanmu memang bulat. Umi nggak bakal memaksa. Yang pasti mau bagaimanapun, Umi tetap anggap Rachel seperti anak sendiri. Soal keputusan Rachel, biar Umi yang menjelaskan langsung pada Azzam."
Azzam menatap nanar wajah Ibunya. Masih terlihat jelas guratan kekecewaan dan kesedihan di sana. Ia benar-benar menyayangkan apa yang menjadi keputusan Rachel kali ini. Pupus sudah kisah percintaan yang sudah bertahun-tahun ia jalin dengan wanita itu.
"Umi harap Azzam segera melupakan Rachel dan cari wanita lain yang benar-benar ikhlas lahir batin dan tahu tugasnya kelak sebagai seorang istri. Asal Azzam tahu, Umi sebenarnya tidak benar-benar meminta Rachel menjadi seorang Ibu rumah tangga."
Azzam terpaku dengan ucapan Ibunya. "Maksud, Umi?"
"Kalau Rachel memang mencintaimu dengan Tulus, harusnya kamu yang ia pilih bukan ambisinya. Kalau saja, ia ikhlas tulus memilihmu, Umi pasti tidak akan melarangnya untuk tetap mengejar karirnya asal ia tahu batasan mana yang boleh dan mana yang tidak. Tapi ternyata, anak Umi tidak jauh lebih penting dari cita-cita yang tengah ia kejar."
Azzam tertunduk lesu mendengar ucapan Ibunya. Memang benar yang Ibunya ucapkan. Azzam pun sebenarnya tidak melarang Rachel bila kelak setelah menikah wanita itu tetap mengejar karirnya asalkan ia tidak mengabaikan tugas sebagai seorang istri atau Ibu bagi anak-anak mereka.
Tapi apalah daya, ia sudah memilih. Itu artinya Azzam sudah tidak bisa lagi melanjutkan hubungan ini. Lantas ke mana ia kelak melabuhkan hatinya?
.
.
Aku nggak pernah bosan buat ingatin kalian semua. Semua Visual/Jadwal update/spoiller cerita/atau berita lainnya, aku info di story sss/ig story @novafhe. Silakan follow/add ya.
Atau gabung di grup sss khusus pembaca : Fhelicious
Grup wa khusus pembaca, bisa klik link nya di profile i********:.