"Seringkali kita terlalu mudah membuka hati. Sulit membedakan mana yang betul penghuni, mana yang hanya sekedar mengunjungi. Tak jarang membuat perasaan jadi berantakan karena dia yang jelas berstatus 'tamu' terlalu dipersilahkan."
-----
28 Agustus 2019
Angin,
Sudah begitu jauh kau membawa rasa ini pergi.
Lalu kenapa tiba-tiba kau bawa ia kembali?
Apa kau tahu?
Bahkan butuh satu dasawarsa aku mencoba untuk lupa.
Jangan.
Jangan goyahkan hati ini,
Cukup sekali aku sakit,
Jangan ada lagi rasa sakit di kemudian hari.
Angin,
Ku mohon, musnahkan rasa cinta ini.
Alissa menutup buku pink di hadapannya. Memejamkan mata sejenak , berusaha tak menghiraukan rasa nyeri yang berkecamuk dihati. Bertahun-tahun dengan percaya diri merasa kuat, menyugesti bahwa rasa kecewa itu telah menghilang. Namun nyatanya, hanya dengan satu kali pertemuan semua pertahanan yang ia buat menjadi gagal total.
Alissa tersenyum getir.
Jangan sakiti dirimu sendiri, Alissa.
***
Suara derap langkah bersaut-sautan terdengar mengentak lantai ubin nan mengkilap itu. Dengan terseok-seok Alissa melewati koridor panjang yang dipenuhi para perawat. Bibirnya tak berhenti menyunggingkan senyum ketika semua orang menyapanya dengan sopan.
Tepat di depan ruangan yang ia tuju, Alissa menghentikan langkah sejenak. Mengarahkan tangannya untuk memperbaiki penampilannya lalu membenarkan jas putih serta rambutnya yang sedikit berantakan. Setelah merasa rapi, Alissa menarik napas panjang lalu mulai membuka pintu.
Seorang wanita paruh baya terlihat sedang duduk serius seraya membaca tumpukan kertas yang ada di hadapannya. Sesekali wanita itu mengerutkan dahinya seperti sedang mencerna apa yang sedang ia periksa.
"Dokter Rima, maaf saya agak telat," ucap Alissa pelan.
Wanita itu melirik jam di pergelangan tangannya.
"Terlambat lima menit, tapi ya sudah tidak masalah. Lain kali kamu harus tepat waktu, Cha. Ingat, sebentar lagi kalian punya pimpinan baru," ucap Rima.
Alissa mengembuskan napas panjang.
"Insya Allah saya nggak bakal telat lagi, Dok. Tapi ngomong-ngomong, Dokter Rima tau siapa yang bakal jadi pimpinan baru di Rumah sakit ini? Apa beliau sangat galak?"
Dokter Rima terkekeh.
"Kamu lihat saja nanti siapa yang akan menggantikan posisiku. Semoga saja beliau sesuai harapan kalian."
"Apa dia orang tua yang sangat tegas? Sejujurnya saya belum siap berpisah denganmu, Dok," lirih Alissa.
"Tapi menurutku kalian semua bakal betah. Apalagi kalau tahu siapa orangnya." jawaban Dokter Rima semakin membuat Alissa penasaran.
"Memang Dokter kenal sama pimpinan yang baru?" tanya Alissa.
Dokter Rima tersenyum.
"Tentu saja aku kenal, Cha. Dia Dokter spesialis toraks dan kardiovaskular lulusan luar negeri. Kami bahkan pernah sama-sama menangani bedah rekonstruktif di salah satu rumah sakit yang ada di Singapura."
Alissa mengangguk.
"Kalau mendengar cerita Dokter Rima, sepertinya beliau cukup berpengalaman."
"Bisa dikatakan begitu. Tapi lebih baik kalian buktikan sendiri. Yang pasti, aku harap kalian bisa bekerja sama dengannya memajukan rumah sakit ini." Alissa mengangguk. Sejurus kemudian Dokter Rima beranjak dari kursinya bermaksud untuk keluar ruangan.
"Kita ke ruang direksi sekarang. Sebentar lagi mungkin beliau akan sampai." ajak Dokter Rima.
Alissa mengangguk lalu mengekori langkah Dokter Rima menuju ruang direksi. Di sana sudah berkumpul beberapa Dokter spesialis lain yang memang menunggu kedatangan pimpinan baru.
Banyak desas-desus mengatakan kalau pengganti Dokter Rima adalah seorang pria. Tapi tidak dijelaskan apakah pria tersebut sudah berumur atau masih muda. Alissa sendiri tidak ambil pusing soal itu. Toh baginya mau tua atau muda bukan masalah selagi ia bertanggung jawab dan dapat mengayomi para bawahannya.
Lima belas menit setelah memasuki ruang direksi, orang yang ditunggu-tunggu akhirnya datang. Sontak semua Dokter yang ada di sana berdiri memberi hormat. Tidak terkecuali Alissa, ia cukup terkesiap dengan sosok yang ada di hadapannya. Ia pikir, pimpinan yang akan menggantikan Dokter Rima pria berumur, nyatanya seorang pria muda yang mungkin sepantaran dengannya.
"Teman-teman sejawat lainnya, perkenalkan ini Dokter Ashraf. Beliau yang akan menggantikan saya memimpin rumah sakit ini." ucap Dokter Rima kepada seluruh dokter yang ada di sana.
"Perkenalkan, saya Ashraf. Mohon bantuan dan bimbingannya selama saya bertugas di rumah sakit ini," ucap Ashraf singkat. Lalu pria itu menyalami satu persatu dokter ada di sana hingga tiba giliran Alissa.
Alissa tersenyum seraya mengulurkan tangannya.
"Perkenalkan, saya Alissa. Tapi Dokter bisa panggil saya Icha."
Ashraf menyambut uluran tangan Alissa. Pria itu tertegun sesaat seraya terus menatap wajah Alissa.
"Ashraf. Senang berkenalan denganmu."
Setelah berkenalan dan di ajak mengelilingi semua tempat yang ada di rumah sakit. Kini Ashraf tengah dituntun oleh Dokter Rima dan Alissa menuju ruang kerjanya.
"Ini ruang kerja Dokter Ashraf. Selama bertugas di sini, Dokter bisa meminta bantuan apa pun pada Dokter Alissa. Selama ini, selain menjadi Dokter, beliau juga menjadi asisten pribadi saya."
Ashraf mengangguk.
"Terima kasih arahannya. Semoga saya bisa dengan cepat beradaptasi," jawab Ashraf.
Dokter Rima melempar senyum ke arah Ashraf.
"Kalau begitu saya pamit undur diri. Sementara itu, Dokter Alissa akan tetap di sini sebentar membantu semua keperluan anda."
Ashraf mengangguk.
"Baik, terima kasih."
Setelah kepergian Dokter Rima, Alissa langsung menjalankan tugasnya menunjukkan beberapa agenda serta tugas apa saja yang biasa dilakukan seorang pimpinan rumah sakit. Di saat Alissa sedang menjelaskan, Ashraf kembali memandang lekat lawan bicaranya.
"Sepertinya kita pernah ketemu sebelumnya," ucap Ashraf tiba-tiba.
Alissa terkesiap mendengar ucapan Ashraf.
"Oh ya? Kalau boleh tau kita pernah ketemu di mana?" tanya Alissa
"Beberapa hari yang lalu, di cafe Corner. Kamu wanita yang nggak sengaja ditabrak Azzam, kan?"
Alissa terdiam sejenak mencoba mengingat kejadian beberapa hari yang lalu.
"Iya benar. Emangnya Dokter ada di sana?" tanya Alissa penasaran.
Ashraf tersenyum.
"Mungkin kamu cuma sibuk sama Azzam, jadinya nggak merhatiin orang lain yang ada di sana," sahut Ashraf.
Alissa menunduk malu. Tapi yang di katakan Ashraf memang ada benarnya. Tempo hari pandangan Alissa hanya terkunci pada pria yang selama ini susah payah untuk ia lupakan.
"Bukan gitu, kemarin juga saya buru-buru jadi nggak sempat memperhatikan orang di sekitar. Dokter Ashraf temannya Azzam?" tanya Alissa memastikan.
"Bukan, Saya sepupunya."
"Sepupu?"
Ashraf mengangguk pelan. "Iya saya sepupu Azzam. Baru beberapa tahun ini pindah ke Indonesia. Sebelumnya saya tinggal dan menetap di luar negeri."
"Oh, pantes aja," sahut Alissa sambil mengangguk.
"Pantes apa?" tanya Azzam. Ia seperti senang mengorek informasi pada wanita yang baru dikenalnya ini.
"Pantes aja nggak pernah lihat sebelumnya. Selama ini saya tahunya cuma Rayhan."
"Kamu kenal Rayhan juga?"
Alissa mengangguk. "Kenal. Kan dulu saya, Azzam dan Rayhan satu sekolah waktu SMA."
Ashraf mengangguk tanpa berbicara.
"Ternyata sepupu Azzam gini semua ya?"
Ashraf kembali mengangkat sebelah alisnya. "Begini gimana?"
"Cakep-cakep semua, kaya aktor Turkey yang sering saya tonton."
Ashraf terkekeh pelan. Entah kenapa, untuk ukuran seseorang yang baru pertama kali saling kenal, ia merasa cocok dengan pembawaan Alissa. Padahal Ashaf sebelumnya terkenal sebagai sosok yang pendiam dan tidak suka berbicara banyak. Tapi lihatlah sekarang, ia bahkan sudah merasa akrab dengan wanita yang baru beberapa jam dikenalnya.
Asyik bercerita, terdengar suara ketukan sebanyak tiga kali pada pintu ruang kerja Ashraf. Dengan cepat Alissa menghampiri dan membukanya.
"Dokter Alissa, ada pasien darurat yang mau melahirkan. Sekarang sudah di ruang bersalin menunggu tindakan operasi. Dokter diminta menanganinya sekarang," ucap salah seorang perawat dengan nada sedikit cemas.
Alissa langsung menoleh ke arah Ashraf. "Dok, saya izin tugas dulu. Kalau ada yang belum dipahami, dokter bisa hubungi saya nanti via telpon atau w******p. Ini kartu nama saya," ucap Alissa seraya menyerahkan sebuah kartu nama kepada Ashraf. Wanita itu lantas pergi mengikuti perawat yang sebelumnya datang menjemput.
Ashraf menatap kartu nama yang baru saja Alissa berikan padanya. Cepat-cepat ia menyimpan nomor handphone yang tertulis di kartu tersebut seraya tersenyum.
Jadi, dia dokter kandungan.
***
Azzam menyesap teh di cangkirnya sembari menatap luar jendela. Tampak pemandangan gedung-gedung pencakar langit serta jalanan kota Jakarta yang sangat padat di jam kantor seperti sekarang ini.
Ini hari pertama Azzam bertugas di kantor pusat menggantikan Emir yang sedang cuti mempersiapkan pernikahan. Sebagai seorang Mechanical Engineer tidak sulit baginya menjalankan perusahaan yang bergerak di bidang industri otomotif dan perkapalan seperti sekarang. Walaupun ia sendiri lebih suka terjun langsung ke lapangan ketimbang hanya duduk di balik meja seperti saat ini.
Azzam melirik ponsel yang tergeletak di atas meja kerjanya. Tiba-tiba ia teringat peristiwa beberapa hari yang lalu tanpa sengaja bertemu Alissa.
Ku pikir setelah lebih sepuluh tahun berpisah aku nggak bisa ketemu kamu lagi, Cha.
Tanpa sadar sudut bibir Azzam terangkat membentuk senyuman.
Sayang banget kemarin aku nggak sempat minta nomor handphone kamu.
Sial!
Azzam merutuk dirinya sendiri. Namun tak berapa lama pria kembali tersenyum tipis.
Semoga suatu saat kita bisa ketemu lagi, Cha.
Lalu sebuah panggilan telpon dari seseorang yang ia kenal membuyarkan lamunan Azzam. Cepat-cepat pria itu mengangkatnya.
"Zam, Umi masuk rumah sakit Medika. Kamu harus ke sini sekarang juga!"
Belum lagi Azzam mengucapkan salam dan menyahut ucapan lawan bicaranya, panggilan telpon tersebut di putus sepihak. Merasa ini sangat darurat, Azzam bergegas menuju rumah sakit.
Sampai di rumah sakit, sudah ada Emir dan Ashraf yang sedang berbincang di depan pintu ruang unit gawat darurat. Dari raut wajahnya mereka tampak sedang berbicara serius.
"Gimana, Umi? Beliau baik-baik aja, kan?" tanya Azzam masih dengan napas tersengal-sengal.
Ashraf mengangguk.
"Insya Allah nggak apa-apa, Dokter Robbi masih observasi didalam. Kita tunggu aja sebentar." Ashraf mencoba menenangkan Azzam yang terlihat kalut.
Tak lama berselang, Dokter yang menangani Umi Fatima keluar dari ruang IGD. Pria paruh baya itu langsung menghampiri ketiga pria yang sedari tadi menunggu kabar berita.
"Dokter Ashraf, keluarga Ibu Fatima yang mana?" tanya Dokter Robbi.
Emir dan Azzam serempak menjawab. "Kami anaknya, Dok."
"Baiklah, saya ingin menginformasikan kalau Ibu Fatima saat ini mengalami Sindrom koroner akut atau lebih tepatnya serangan jantung."
Azzam terbelalak kaget. "Ibu saya terkena serangan jantung?" tanya Azzam memastikan.
Dokter Robbi mengangguk.
"Benar, serangan ini terjadi akibat terhambatnya aliran darah ke otot jantung. Biasanya pasien yang terkena serangan jantung sering mengeluh nyeri d**a, sesak napas, keringat dingin atau gelisah. Tapi ada juga yang tanpa keluhan dan langsung mengalami henti jantung mendadak. Ini yang sangat parah."
"Lalu, apa Ibu saya bisa di obati, Dok?" tanya Azzam.
"Bisa, metode pengobatan tergantung pada parahnya serangan jantung dan waktu terjadinya keluhan. Bisa menggunakan obat-obatan, pemasangan ring atau operasi baypass jantung. Untuk kasus ibu anda sendiri, beliau termasuk dalam kategori awal atau ringan. Tapi kita tetap harus terus waspada. Karena serangan jantung itu bisa datang kapan saja bahkan tanpa gejala."
Azzam terdiam sejenak, ia terlihat sedikit syok mendengarkan penjelasan Dokter Robbi. Ia sangat tidak menyangka ibunya yang menerapkan pola hidup sehat bisa terkena serangan jantung seperti sekarang. Melihat adiknya bergeming di posisinya, giliran Emir berinisiatif untuk bertanya lebih lanjut kepada Dokter Robbi.
"Lalu kami lakukan untuk mencegah timbulnya penyakit itu, Dok?" tanya Emir.
"Jaga pola makannya, ajak beliau untuk sering berolah-raga dan yang paling penting beliau tidak boleh stress. Penyebab utama penyakit ini datang adalah Stress yang tidak dikelola dan dikontrol dengan baik."
Emir dan Ashraf mengangguk setelah mendengar penjelasan dari Dokter Robbi. Sedang Azzam masih bungkam di posisinya.
"Kalau begitu saya permisi dulu, sebentar lagi pasien akan dipindahkan ke ruang rawat inap." ucap Dokter Robbi lalu pergi meninggalkan ketiga pria di hadapannya.
Ashraf menghampiri Azzam, lalu menepuk pelan pundaknya. Ia sangat tahu apa yang di rasakan pria itu sekarang. Sebagai anak bungsu yang paling dekat dengan ibunya, tentu Azzam sangat terpukul mendengar berita ini. Tapi terpuruk juga bukan pilihan yang tepat sekarang. Alih-alih meratapi, lebih baik berusaha menjaga agar penyakit yang menyerang ibunya tidak kambuh atau semakin parah.
"Tenang saja, Zam. Umi baik-baik aja. Sekarang masuklah ke dalam, mungkin sebentar lagi Umi pasti sadar. Biar urusan administrasi aku yang urus."
"Terima kasih, Ash. Aku sama kak Emir masuk dulu."
Sepeninggalan Azzam dan Emir yang masuk ke dalam ruang IGD, seorang wanita dari kejauhan terlihat berjalan sedikit tergesa-gesa menghampiri Ashraf yang belum beranjak dari posisinya.
"Dokter Ashraf di sini rupanya?" Alissa mengembuskan napas perlahan.
Ashraf mengangguk.
"Pelan-pelan aja Dok ngomongnya," ucap Ashraf saat menyadari Alissa yang berbicara sedikit terengah-engah.
"Saya sampai mencari ke seluruh ruangan direksi. Dokter harus meninjau departemen medik dan keperawatan yang tertunda sebelumnya." lanjut Alissa
Ashraf tersenyum.
"Saya ke bagian administrasi dulu sebentar. Dokter Alissa bisa duluan, nanti saya menyusul."
Alissa mengangguk tanpa bertanya, lalu mengikuti ucapan Ashraf untuk pergi lebih dulu. Padahal kalau Alissa datang lima menit lebih cepat, mungkin saat ini ia akan bertemu Azzam untuk kedua kalinya. Tapi begitulah takdir. Ia dengan pandai mempermainkan nasib dua insan yang telah lama berpisah. Mungkin saja di kemudian hari mereka berdua kembali bertemu di tempat dan waktu yang tepat. Semua sekali lagi tergantung takdir.
.
.
Judul : YOU'RE STILL THE ONE
Link : https://m.dreame.com/n****+/zZWmF58O2LcMFqrBtuGHaQ==.html