4. Permintaan Khusus

2227 Kata
"Atas nama Rindu, aku menantimu setiap waktu. Tak pernah lelah walau ku telan pilu. Berharap bisa bertemu, kau yang hilang bagai ditelan waktu." ---- Dengan langkah gontai Azzam mendudukkan tubuhnya tepat di salah satu sisi ranjang tempat ibunya tengah berbaring. Sesekali ia mengusap wajahnya gusar. Pandangan mata yang sendu, menandakan betapa sedihnya ia saat ini. Seumur hidup, baru kali ini Azzam melihat ibunya terbaring tidak berdaya di rumah sakit. Pikiran buruk bahkan tengah berputar di otaknya. Ia benar-benar belum siap jika hal yang paling ia takutkan terjadi pada Ibunya. Sudah lebih dari dua belas jam Umi Fatima belum sadar. Walaupun Dokter mengatakan itu hal yang wajar, tapi tetap saja Azzam merasa khawatir dan takut. Sesekali ia menarik napas panjang, menggenggam erat tangan Ibunya dengan lembut. Mulutnya tak berhenti merapalkan doa, berharap wanita itu segera tersadar dari tidurnya. Bangun Umi. Azzam mohon, Jangan tinggalin Azzam, Azzam mengecup lembut punggung tangan Ibunya. Azzam janji setelah Umi bangun, apa pun itu yang Umi minta pasti Azzam lakukan. Azzam membaringkan kepalanya pada sisi ranjang. Genggaman tangannya tak sedikitpun terlepas. Merasa lelah karena belum ada tidur semalaman, tanpa sadar ia pun terlelap disamping Ibunya. Belum ada satu jam tertidur, samar-samar Azzam merasakan pergerakan di pergelangan tangannya. Bahkan tak berapa lama kemudian, ia merasa ada yang tengah mengusap puncak kepalanya. Cepat-cepat Azzam mengangkat kepala lalu mendapati Ibunya tengah tersenyum. "Umi..." Azzam bangkit lalu memeluk tubuh Ibunya. "Umi baik-baik saja, Zam," jawab Fatima pelan. "Maafin Azzam, Umi. Azzam minta maaf." "Kenapa harus minta maaf?" tanya Fatima bingung. Azzam mengendurkan pelukannya lalu kembali ke posisi duduknya. "Maaf waktu Umi sakit, Azzam nggak ada di samping Umi. Azzam udah berdosa, lalai menjaga Umi." Fatima tersenyum. Bersyukur memiliki anak pria seperti Azzam dan Emir yang begitu menyayangi kedua orang tuanya. Tidak pernah sekali pun mereka membantah apa yang diminta dan perintahkan. "Zam, Umi mau duduk. Tolong bantu," pinta Fatima. Azzam menatap wajah Ibunya. "Kenapa nggak tiduran aja, Umi?" Fatima menggeleng. "Umi cape, pengen duduk, Zam." Azzam menarik napas lalu pelan-pelan membantu menyandarkan tubuh Ibunya yang masih lemas pada sandaran kasur. Wanita itu kembali tersenyum. Tanpa ragu Azzam menuntun tangannya memijat pelan kaki Fatima. "Azzam pijitin, biar Umi nggak kecapean." "Umi nggak apa-apa, Zam." "Sssttt, gantian. Biasanya Azzam yang selalu Umi pijitin badannya kalau sakit." Fatima terlekeh pelan mendengar ucapan manis anak bungsunya. "Dimana Emir dan Abimu?" "Abi pulang ke rumah buat ganti baju, kalau Kak Emir ada pertemuan penting sama investor asing," jawab Azzam masih memijat kaki Ibunya. "Bukannya kakakmu harus mengurus persiapan pernikahannya?" tanya Fatima bingung. "Hanya hari ini Umi. Harusnya Azzam yang bertemu dengan investor itu. Tapi karena Azzam pengen temani Umi sampai sadar, jadi kak Emir yang mengalah." Fatima mencubit pipi Azzam dengan gemas. "Kamu ini, kasian kakakmu. Lagi pula ada banyak perawat di sini yang menjaga Umi." "Tapi nggak ada yang bisa menjaga dengan penuh kasih sayang seperti Azzam, Mi." Fatima tertawa mendengar ucapannya anaknya. Di bandingkan Emir, memang Azzam yang secara terang-terangan menunjukkan rasa sayang kepada kedua orang tuanya. Bahkan di umur yang sudah menginjak dua puluh delapan tahun ia tak pernah sedikitpun malu menggandeng, mencium bahkan memeluk Ibunya di depan orang banyak. Kalau kata orang banyak 'Pria bertanggung jawab dilihat dari cara ia menyanyangi Ibu dan dan saudara perempuannya' maka gelar itu pantas di sematkan pada Azzam. "Zam..." lirih Fatima pelan. Azzam mengalihkan pandangannya. "Iya, Umi mau sesuatu? Makan? Minum? atau apa?" Fatima menggeleng. "Umi nggak mau apa-apa. Umi mau ngomong serius sama kamu." Azzam menatap lekat Ibunya. Terlihat jelas dari raut wajahnya ada sesuatu hal yang mengganjal dan ingin wanita itu sampaikan. "Iya, Umi mau ngomong apa? Azzam dengerin." Fatima meraih jari jemari Azzam lalu menggenggamnya erat. Wanita itu menarik napas dalam sebelum akhirnya berbicara. "Menikahlah Zam. Nikahi wanita pilihanmu. Umi takut kalau umur Umi nggak sampai kalau menunggu lebih lama lagi." Azzam menggelengkan kepalanya. "Umi, kenapa ngomong gitu? Umi sendiri yang bilang kalau Umi baik-baik aja, kan? Umi pasti sempat melihat Azzam menikah." Fatima tersenyum getir. Ia tahu sakit apa yang tengah ia derita saat ini. Ia pun sadar penyakit tersebut bisa merenggut nyawanya kapan saja tanpa peringatan terlebih dahulu. Itulah sebabnya, ia ingin melihat anak bungsunya segera menikah. Dengan begitu, tugasnya sebagai seorang Ibu di dunia menjadi tuntas dan Ia bisa pergi kapan saja dengan tenang. "Zam, kita nggak tau Umi bisa bertahan sampai berapa lama. Umi takut ketika tiba masanya, Umi belum sempat menyaksikan pernikahanmu." "Umi..." lirih Azzam pelan. "Menikahlan, Nak." ucap Fatima sedikit memohon. "Tapi Umi kan tau kalau Rachel masih menyelesaikan pendidikannya di Amerika," sela Azzam "Dia bisa izin untuk pulang sebentar, kan? Setelah kalian menikah, nggak masalah dia mau melanjutkan S3, S4 atau S5 nya sekalipun." Azzam terdiam sejenak. Baginya, semua yang Ibunya minta adalah titah yang wajib hukumnya untuk dilaksanakan. Azzam selalu diajarkan untuk tidak membantah satu pun perintah kedua orang tuanya. Ia terlampau sayang dan penurut. Lalu bagaimana dengan Rachel? Wanita itu pasti menolak untuk menikah secepat ini. Ia bahkan sudah meminta Azzam untuk menunggu terlebih dahulu. Tapi permintaan Ibunya kali ini tidak bisa begitu saja ia abaikan. Ia tidak ingin mengecewakan Wanita yang paling ia harap surganya. Azzam menarik napas panjang. "Azzam coba hubungi dan bicarakan dulu sama Rachel. Umi doain aja Rachel luluh hatinya." Fatima kembali menggenggam erat tangan Azzam. "Umi selalu doain semua anak-anak Umi. Suruh Rachel pulang buat ketemu sama Umi." Azzam mengangguk. "Insya Allah, Azzam usahain ya, Umi." *** Alissa baru saja menanggalkan jas putih yang biasa ia kenakan, lalu menggantinya dengan Blazer hitam yang sudah tergantung rapi pada hanger di ruang kerjanya. Waktu dinasnya sudah selesai hari ini. Itu sebabnya ia tengah bersiap-siap untuk pulang sekarang. Melangkah keluar ruangan, seseorang terdengar sedang memanggil namanya. "Cha..." Alissa menoleh ke sumber suara. "Hmmm..." sahut Alissa sambil terus melangkah. "Kamu pulang sama siapa?" "Ya sendiri seperti biasa, Nisa." "Bareng aku aja, bentar lagi jam dinas aku selesai." ucap Nisa. "Ya udah ka---" "Dokter Alissa..." Kini sosok lain tampak memanggil nama Alissa. Sosok pria yang baru saja dikenalnya belakangan ini. "Dokter Ashraf..." ucap Alissa dan Nisa bersamaan. Ashraf tersenyum. "Kamu udah mau pulang?" Alissa mengangguk pelan. "Iya Dok. Tapi mau tunggu Nis---" "Ya udah bareng saya aja," potong Ashraf untuk kedua kalinya. Nisa yang memperhatikan dua orang di hadapannya hanya tersenyum. "Ya udah, Cha. Kamu pulang sama Dokter Ashraf aja." Alissa menggelengkan kepala. "Terus kamu gimana? Bukannya kamu nyuruh aku tunggu." "Udah aku mah santai aja, aku bawa mobil sendiri. Lagi pula kalau nunggu aku, agak lama. Kan jam dinas aku belum selesai." Alissa menatap Nisa bingung. "Kamu gimana sih, tadi nyuruh aku ikut kamu," protes Alissa. "Ya nggak apa-apa kamu pulang sama dokter Ashraf aja. Cepetan gih, itu kasih Dokter Ashraf nungguin." Tersadar kalau di antara mereka ada sosok pria yang tengah menunggu, buru-buru Alissa mengalihkan pandangannya ke arah Asharaf. "Maaf Dokter, sepertinya saya tunggu Nisa aja. Lagian saya nggak enak." Ashraf menatap bingung. "Nggak enak kenapa? Jadi pulang bareng saya nggak enak?" tukas Ashraf. Alissa menggelengkan kepalanya berkali-kali. "Bukan, maksudnya nggak enak di lihat orang kalau saya pulang sama pimpinan rumah sakit." Benar kata Alissa. Bisa saja kepulangannya bersama Ashraf menjadi bahan gosip rekan-rekan sejawat lainnya. Apalagi semua orang tahu bahwa Ashraf adalah pimpinan rumah sakit yang baru. Bisa-bisa Alissa di gosipkan sengaja mendekati pimpinan agar mendapatkan perlakuan istimewa. Tidak, Alissa tidak ingin teman-temannya sampai berpikir seperti itu. "Sudah tenang aja, lagi pula kita cuma pulang bareng, kan?" ucap Ashraf meyakinkan. "Udah, Cha. Cepatan kasian Dokter Ashraf nungguin." Alissa berpikir sejenak, menimbang tawaran Dokter Ashraf. "Baiklah kalau begitu. Saya ikut Dokter Ashraf." Ashraf tersenyum lalu melangkah lebih dulu menuju parkiran sejurus kemudian Alissa mengekorinya dari belakang. Di sepanjang perjalan pulang mereka beberapa kali terlibat perbincangan ringan. Ashraf yang biasanya diam, tidak henti-hentinya tersenyum dan tertawa mendengar ocehan Alissa. "Jadi Dokter Ashraf itu aslinya takut jarum suntik?" tanya Alissa tidak percaya. "Iya, bahkan dulu saya pernah pura-pura pingsan supaya nggak disuntik sama dokter. Tapi bodohnya saya, namanya dokter kan pasti bisa bedain mana pingsan beneran mana bohongan." Alissa tergelak mendengar cerita Ashraf. Tawanya yang menular membuat Ashraf juga ikut tertawa dibuatnya. Sejauh ini, ia tidak pernah merasakan se-asyik ini bila bercerita terhadap lawan jenis. Predikat pria dingin dan tertutup yang selama ini melekat pada dirinya, harus ia tanggalkan sekarang. "Itu rumah saya, Dok." tunjuk Alissa saat mereka sudah memasuki komplek perumahan tempat Alissa tinggal. "Jadi kamu tinggal di sini? Ternyata nggak jauh dari rumah sakit," gumam Ashraf. Alissa mengangguk. "Iya, rumah saya memang dekat sama rumah sakit. Tapi tetap saja saya sering terlambat masuk kerja," ucap Alissa tersipu malu. "Oh ya, Dokter Ashraf nggak mau mampir dulu?" tawar Alissa kemudian. Ashraf tersenyum tipis. "Terima kasih tawarannya. Tapi sudah malam, lain kali aja saya mampirnya." Alissa mengangguk. Hening sejenak, mereka berdua malah saling pandang untuk beberapa detik hingga akhirnya Alissa mengalihkan pandangannya keluar jendela. "Kalau begitu terima kasih, Dok." ucap Alissa lalu bersiap untuk membuka pintu mobil. "Dokter Alissa..." Alissa menoleh ke arah Ashraf. "Iya..." "Besok-besok kalau di luar jam kerja panggil saya Ashrsf aja, jangan Dokter Ashraf. Biar kedengarannya nggak kaku," pinta Ashraf. Alissa tersenyum. "Baiklah, sekali lagi selamat malam, Ash. Terima kasih tumpangannya." Alissa akhirnya benar-benar keluar dari mobil dan langsung masuk ke dalam rumah. Sementara Ashraf masih terdiam di tempatnya. Entah mengapa, ia merasakan desiran aneh didalam hatinya. *** Azzam diam terpaku di posisi duduknya. Matanya terus memandangi ponsel yang sedang ia pegang. Melihat adiknya yang sedari tadi termenung, Emir mendudukkan dirinya bersisian dengan Azzam. "Kenapa? Kakak lihat kamu gelisah dari tadi," tanya Emir. Azzam menarik napas cukup dalam sebelum akhirnya mengembuskan dengan gusar. "Umi maksa Azzam buat nikah sebulan setelah pernikahan Kak Emir." Emir mengerutkan alisnya. "Lalu apa yang membuatmu gelisah?" "Rachel pasti nggak mau, kak. Udah dari jauh-jauh hari dia tekankan kalau mau menikah setelah S3 nya selesai. Azzam bingung harus gimana. Sementara Umi lagi sakit sekarang." Emir tersenyum lalu menepuk halus pundak adiknya. "Hubungi Rachel, jelaskan kepadanya. Kalau Rachel memang tulus mencintaimu, harusnya ia bisa memilihmu. Toh pendidikan S3 nya bisa tetap ia selesaikan walaupun sudah menikah, kan? Ingat Zam, menikah itu ibadah. Menunda-nunda pernikahan padahal kamu mampu dan memenuhi semua syaratnya sama saja dengan dosa." Azzam tercenung mendengar ucapan Emir. Kakaknya benar. Umur Azzam dan Rachel sudah sangat matang untung melangkah ke jenjang pernikahan. Lalu apalagi yang mereka cari, mengingat Azzam juga berlimpahan materi saat ini. Walaupun Rachel tidak bekerja dan memiliki anak banyak sekalipun, Azzam insya Allah sanggup membiayainya dan memberikan fasilitas nomor satu untuk keluarga kecilnya. "Lebih baik sekarang hubungi Rachel. Jelaskan padanya pelan-pelan. Beritahukan juga kondisi Umi saat ini. Kalau ia memang sayang kepadamu, ia pasti mempertimbangkan kembali permintaanmu, Zam." Lalu Emir beranjak masuk ke dalam ruang rawat inap ibunya meninggalkan Azzam sendiri di kursi tunggu. Azzam masih bergeming, ia masih saja mengumpulkan keberanian untuk menghubungi Rachel. Jujur, Azzam takut kalau Rachel menolak permintaannya mentah-mentah. Kalau itu sampai terjadi, bagaimana ia menjelaskan kepada Uminya. Lalu siapa lagi yang mau ia ajak untuk menikah? Larut dalam perasaan kalut, Tuhan seperti mendengar doa yang Azzam rapalkan dalam hati. Wanita yang sedari tadi ingin ia hubungi tiba-tiba menelponnya. Bismillahhirahmannirrahim Lirih Azzam dalam hati sebelum benar-benar mengangkat telpon dari Rachel. "Halo..." "Azzam, kamu ke mana aja? Udah dua hari ini nggak kedengaran kabarnya. Aku nggak lagi buat salah, kan? Kalau ada apa-apa jangan diemin aku gini!" tanya Rachel bertubi-tubi. "Assalamulaikum dulu, Chel." "Iya, Assalamualaikum, sayang." "Walaikumsalam. Aku nggak kemana-mana. Umi masuk rumah sakit, jadi pikiran aku fokus ke dia. Maaf kalau nggak sempat hubungin kamu." "Umi masuk rumah sakit? Sakit apa, Zam?" Ada nada keterkejutan diseberang sana. Azzam menarik napas sebelum menjawab. "Umi kena serangan jantung, ini sudah hari ketiga beliau dirawat di rumah sakit." jawab Azzam. "Tapi sekarang udah sadar atau mendingan, kan?" tanya Rachel khawatir. "Alhamdulilah udah baikkan. Paling dua hari lagi boleh pulang." "Syukurlah, semoga Umi cepat sehat dan nggak kambuh lagi," balas Rachel. "Chel, aku mau ngomong sesuatu," lirih Azzam pelan. "Mau ngomong apa, Zam? Ya ngomong aja." Hening sesaat, Azzam tampak sedang merangkai kata apa yang pas untuk ia ucapkan kepada Rachel. Jangan lupa, ia juga sedang mempersiapkan diri kalau-kalau Rachel menolak permintaannya. "Kamu bisa pulang nggak dalam waktu dekat ini?" "Pulang? Dalam waktu dekat ini?" tanya Rachel meyakinkan. "Iya pulang, sebentar aja. Umi mau ngomong penting secara langsung sama kamu." Rachel terdiam sejenak, sementara Azzam merasa harap-harap cemas menunggu apa yang akan Rachel jawab. "Umi pasti mau bahas soal pernikahan, kan?" selidik Rachel. Mampus, sepertinya Rachel bisa membaca situasi saat ini. Tapi siapa pun juga pasti akan berpikiran sama dengan Rachel. Untuk apalagi Umi meminta pulang kalau tidak membicarakan soal pernikahan. Sekarang kemungkinannya hanya dua, Rachel pulang atau ia tetap bertahan di sana. "Ok, akhir pekan nanti aku akan pulang ke Indonesia. Tapi maaf, aku mungkin nggak bisa lama-lama, Zam. Minggu depan aku harus ikut ujian untuk pertama kalinya." jawab Rachel. Seulas senyum terbit di bibir Azzam. Ada perasaan lega tengah meliputinya saat ini. Padahal ia sempat bersumpah dalam hati jika Rachel kali ini menolak untuk bertemu Umi, ia akan bersiap-siap untuk mencari wanita lain. Namun nyatanya, sekali lagi Tuhan sedang berpihak dengannya. Memang benar rupanya, bila niat membahagiakan Ibu kita, Tuhan akan selalu mempermudahkan usaha kita. Azzam yakin akan hal itu. "Baiklah, nggak masalah. Tiket pulang dan pergimu akan aku siapkan. Terima kasih ya, Chel. Umi pasti senang kalau dengar ini," ucap Azzam tulus. "Kalau gitu sampai jumpa akhir pekan nanti, salam buat Umi. Kamu juga, jaga kesehatan. Love you." "Love you more," balas Rachel lalu menutup telponnya. . . Judul : YOU'RE STILL THE ONE Link : https://m.dreame.com/n****+/zZWmF58O2LcMFqrBtuGHaQ==.html
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN