"Jangan pernah berharap seseorang untuk terus bersamamu, jika yang kau berikan padanya adalah alasan untuk meninggalkanmu."
-----
Belasan Tahun Kemudian.
.
.
Azzam memandang Rachel dengan tatapan yang sulit diartikan. Melihat adanya amarah di mata pria yang telah menjadi kekasihnya beberapa tahun terakhir ini, Rachel kembali mengeratkan genggaman tangannya. Berusaha terus tersenyum, berharap amarah yang tengah menguasai pria itu segera mereda.
"Minggu depan aku harus berangkat ke Amerika, Zam," pintanya memelas. "kamu tahu sendiri bagaimana usahaku untuk mendapatkan beasiswa ini. Lantas sekarang? Aku lulus dan bisa mengikuti program doktoral seperti yang aku impikan."
"Harus berapa lama lagi aku menunggu? Kalau kamu mau, setelah kita menikah aku pun bisa membiayai pendidikan doktoralmu!" Azzam menatap tajam ke arah Rachel.
"No! Aku nggak butuh bantuanmu. Lagi pula, mungkin pendidikan ini akan selesai satu atau dua tahun, setelah itu aku janji kita akan menikah."
Azzam menarik napas begitu dalam.
"Apa itu nggak terlalu lama? Kamu tahu sendiri Umi dan Abi sudah berulang kali mendesakku untuk segera menikah."
Kini Rachel mengalihkan tangannya mengusap lembut pipi kekasihnya yang mulai ditumbuhi rambut-rambut halus.
"Bahkan Kak Emir pun belum menikah, bukan? Lalu kenapa kamu harus takut?"
"Tapi setidaknya kak Emir sudah bertunangan dan pasti akan menikah dalam waktu dekat. Sedangkan kamu sendiri menolak ketika ku ajak bertunangan," sahut Azzam.
Rachel menatap lekat pria pujaan hatinya.
"Oh ayolah, Zam. Lagi pula kamu juga sedang menikmati popularitasmu menjadi seorang engineer serta pengusaha muda yang sukses, bukan? Ku mohon tunggulah aku satu sampai dua tahun lagi. Aku benar-benar berjanji kali ini."
Azzam bergeming.
Matanya sesaat memejam, bersusah payah menimbang apakah kali ini ia harus kembali merelakan Rachel untuk pergi mengejar impiannya? Padahal jelas-jelas saat ini kedua orang tuanya terus mendesak agar ia segera menikah di umurnya yang hampir memasuki kepala tiga.
"Baiklah, kali ini kamu boleh pergi. Tapi kamu harus janji sepulang dari Amerika kita segera melangsungkan pernikahan."
Rachel tersenyum bahagia mendengar jawaban Azzam.
"Aku janji, dan selama aku pergi ku mohon tunggulah aku."
Azzam mengangguk sejurus kemudian menarik Rachel ke dalam pelukannya.
****
2 bulan kemudian.
Azzam memasuki sebuah cafe terkenal dibilangan Jakarta Selatan. Pria itu mengedarkan pandangan hingga netranya menangkap keberadaan tiga pria yang tengah menunggu kedatangannya.
"Maaf aku terlambat. Rapat dengan para investor dari Swiss memakan waktu terlalu lama," papar Azzam kemudian mendudukkan tubuhnya pada sofa yang sudah tersedia.
"Alasan! kami bahkan sudah menunggumu lebih dari empat puluh menit." Rayhan, pria paling muda di antara mereka terlihat menggerutu begitu kesal.
Azzam tertawa sinis.
"Sorry, tapi aku nggak pernah minta kamu buat nunggu, Ray. Kalau pun sekarang kamu mau pulang aku nggak akan sedikitpun melarangmu."
Rayhan mendengkus kesal mendengar ucapan Azzam.
"Kak Emir, kakak lihat sendiri? bagaimana bisa kakak memiliki adik yang begitu menyebalkan seperti dia?" tunjuk Rayhan. "Apa Umi Fatima saat itu salah mengidam ketika sedang mengandungnya?" lanjut Rayhan dengan nada mengejek.
"Hei, jangan bawa-bawa Umi ku, Ray. Kamu yang memang nggak sabaran. Pantas saja nggak ada wanita yang mau jadi kekasihmu. Lagi pula siapa yang mengajak kita berkumpul di sini saat hari kerja, seperti nggak ada waktu lain saja," protes Azzam.
Mendengar ucapan Azzam yang terkesan mengejek, Rayhan meremas tissue lantas melemparkannya ke arah Azzam. "Tidak ada hubungannya sama sekali antara Jomlo dan nggak sabaran. Kalau kamu lupa, mana ada satu wanita pun yang menolak menjadi kekasih seorang keturunan Elhaq, aku saja yang selama ini terlalu pemilih!" dalih Rayhan.
Benar apa yang diucapkan Rayhan. Siapa yang tidak mengenal keluarga besar Elhaq. Keluarga keturunan Arab yang memiliki kedudukan serta pengaruh besar dalam perkembangan bisnis di Indonesia, Singapura dan Timur Tengah. Elhaq Company merajai bisnis perminyakan, dunia medis, industri otomotif hingga perkapalan.
Emir, pria yang paling tua di antara mereka menggelengkan kepala melihat adik kandung dan adik sepupunya lagi-lagi berseteru mengenai hal yang tidak penting. Begitulah mereka berdua, selalu ada saja pembahasan yang pada akhirnya membuat mereka saling mengejek satu sama lain.
"Aku yang meminta kalian semua untuk berkumpul di sini." Emir akhirnya buka suara.
"Apa yang mau dibicarakan kali ini, kak?" tanya Azzam dengan raut wajah serius.
Emir bersedekap di depan d**a, terlihat ia menarik napasnya perlahan sebelum akhirnya kembali berbicara.
"Kalian tahu sendiri bulan depan aku akan menikah. Mau tidak mau aku harus mengambil cuti untuk mempersiapkan pernikahan. Lagi pula setelahnya aku berencana akan langsung berangkat berbulan madu ke New Zealand."
"Lantas?" tanya Azzam tampak tak sabaran.
Rayhan yang tadinya menyimak tersenyum masam ke arah Azzam. "Biasakan dengarkan dulu orang tua berbicara, Zam. Bahkan kak Emir belum selesai dan kau sudah memotongnya!"
"Baiklah aku minta maaf, tapi ku rasa kak Emir nggak perlu bertele-bete. Maksudku langsung aja pada pokok pembicaraannya."
Emir menatap adik-adik nya bergantian.
"Aku ingin meminta mu Azzam menggantikan posisiku di perusahaan selama aku mengambil cuti. Sedangkan Rayhan, aku tugaskan membantu Azzam kalau-kalau ia kesulitan mengurus beberapa perusahaan sekaligus. Untuk Ashraf, aku minta kamu segera ke rumah sakit Medika. Mereka butuh kehadiranmu."
Mendengar ucapan Emir yang berencana menempatkannya di kantor utama bersama rival abadinya, Azzam menggelengkan kepala tidak setuju. Jelas saja itu bukan pilihan yang tepat, menurutnya.
Bukan karena Rayhan tidak mampu membantunya karena sepupunya itu sendiri selain berprofesi sebagai pengacara, juga memiliki kemampuan dalam menjalankan bisnis. Bahkan perusahaan Baba Rumi-Ayah Rayhan berkembang pesat di bawah kepemimpinan Rayhan
Hanya saja kelakuan Rayhan yang gemar mengganggu dan mencelanya membuat Azzam berpikir dua kali. Mereka memang tidak pernah akur satu sama lain.
"Kenapa? Kamu nggak setuju jadi partner bisnisku?" tanya Rayhan ketika dirinya mulai menyadari gerak gerik Azzam yang terlihat tidak nyaman.
Azzam mencibir.
"Tentu saja, Ray. Aku malas harus berdampingan denganmu di Kantor. Kamu terlalu cerewet untuk ukuran seorang pria. Bahkan Aku sampai berpikir mungkin seharusnya kamu lebih bagus terlahir sebagai wanita. Cobalah bersikap seperti Ashraf yang nggak terlalu banyak bicara."
Mendengar namanya disebut, Ashraf pria yang paling banyak diam dari tadi hanya menggelengkan kepala melihat kedua sepupunya kembali bertikai.
Rayhan tertawa masam mendengar ucapan Azzam.
"Kamu bilang aku cerewet? Perlu diingat, setiap kamu butuh teman curhat kenapa selalu aku yang kau cari, hah? Dasar sepupu aneh!" balas Rayhan tak kalah sengit.
Lagi-lagi Emir hanya bisa mengelus d**a melihat kelakuan kedua adiknya.
"Sudahlah, hentikan pertikaian kalian berdua. Yang pasti mulai lusa kalian sudah harus pindah ke kantor utama," titah Emir.
Mau tak mau dua pria yang sedang terlibat adu mulut itu terdiam dan menyetujui perintah dari Emir.
Tak lama berselang, ponsel Azzam terdengar berbunyi. Melirik nama yang muncul di layar dengan segera ia mengangkatnya.
"Assalamualaikum, Umi?"
"Walaikumsalam, Zam, cepat pulang. Hari sudah hampir magrib. Umi juga sudah menyiapkan kalian makan malam. Kamu sedang bersama Emir, Ashraf dan Rayhan, kan? Ajak sekalian mereka ke rumah."
"Baiklah, sekarang juga Azzam pulang."
"Umi tunggu kalian semua. Assalamualaikum."
"Walaikumsalam," sahut Azzam kemudian mematikan ponselnya.
"Apa Umi mencarimu?" tanya Emir ketika mendengar kata Umi keluar dari mulut Azzam saat sedang dalam sambungan telponnya.
Azzam mengangguk.
"Beliau mencari kita semua lebih tepatnya. Umi minta kita cepat pulang," jawab Azzam. "Dan Kalian berdua, kalau ingin makan gratis cepat bergegas!" lanjut Azzam memberikan komando kepada dua saudara sepupu nyayang dibalas dengan anggukan.
Suatu tradisi yang selama ini dipegang teguh keluarga besar Elhaq adalah makan malam bersama. Sesibuk apapun, sedari kecil mereka dibiasakan ketika jam makan malam tiba, semua harus berkumpul dan menyantap makanan bersama di meja makan. Tidak ada alasan atau penolakan untuk yang satu ini terkecuali posisi mereka yang sedang berada di luar kota.
Biasanya disela-sela ritual makan mereka saling bertukar cerita. Ini adalah cara untuk mendekatkan diri satu sama lainnya.
Azzam pun beranjak dari tempat duduknya. Baru saja memutar tubuh dan hendak melangkah maju, tanpa sengaja ia menabrak seorang wanita yang sedang berjalan berlawanan arah dengannya.
"Astagfirullahhaladzim," pekik wanita itu karna minuman yang ia pegang terjatuh hingga isinya tertumpah habis di lantai.
"Maaf ... Maaf ..." sejurus kemudian Azzam langsung membantu memunguti cup minuman yang berserakan di lantai.
Wanita itu mengangkat wajahnya, seperdetik kemudian ia membeku di posisinya sampai akhirnya tanpa sadar berucap.
"Bee ... "
Azzam mengalihkan pandangannya. Ia seakan terpaku, karena seingatnya di dunia ini hanya satu orang yang memanggilnya dengan sebutan 'Bee'.
"Icha?" tebak Azzam ragu-ragu.
Wanita itu mengangguk dengan pelan. "Iya ... " lalu tersenyum tipis ke arah Azzam. Senyuman yang terlihat sedikit terpaksa.
"Astagfirullah, bisa ketemu disini," ucap Azzam sedikit tidak percaya.
Seingat Azzam, mungkin ia dan Icha atau Alissa Ameera lebih lengkapnya sudah tidak bertemu sekitar lebih dari sepuluh tahun lamanya. Dan sekarang tiba-tiba setelah sekian lama berpisah mereka bisa bertemu di tempat yang tidak terduga. Azzam merasa ini seperti takdir.
Bukan berlebihan, mengingat Alissa adalah sahabat masa kecil hingga ia beranjak besar, mereka dulu seperti sepasang remaja yang tidak bisa di pisahkan, lengket seperti perangko. Di mana ada Azzam di situ Alissa berada. Kalau saja Azzam tidak melanjutkan kuliah S1 dan S2 nya di luar negeri, mungkin mereka tidak akan terpisahkan hingga detik ini.
Emir yang memperhatikan adiknya menjadi sedikit heran kemudian bertanya, "Kalian saling mengenal?"
Azzam mengangguk.
"Ini Icha, kak. Icha yang dulu sering menginap di rumah. Yang sering bantuin Azzam kalau lagi berantem sama teman sekolah."
Emir mengerutkan dahinya.
"Icha? Maksudnya ini Alissa sahabatmu yang tomboi itu, kan?" tanyanya.
Alissa mengangguk.
"Iya Kak Emir, ini Alissa Icha."
"Kamu ke mana aja selama ini?" Azzam kembali bertanya.
Belum sempat Alissa menjawab, terdengar seorang pria yang posisinya tidak jauh dari pintu keluar memanggil nama wanita itu.
"Cha, ayo cepat. Nanti kita telat!" perintah pria itu dari kejauhan.
Alissa mengalihkan pandangannya kembali kepada Azzam dan para saudara nya.
"Aku duluan ya, Bee."
Azzam hanya mengangguk sebagai jawaban. Tak berselang lama setelah bayangan Alissa benar-benar menghilang, ia menepuk pelan dahinya.
"Kenapa sampai lupa minta nomor ponselnya."
.
.
.
Judul : YOU'RE STILL THE ONE
Link : https://m.dreame.com/n****+/zZWmF58O2LcMFqrBtuGHaQ==.html