lima

2322 Kata
I hate Monday. Dan, spesial di hari ini, benciku berkali lipat. Semuanya tak sama seperti Senin-Senin biasanya. Aku bangun pada pukul seharusnya---padahal, yang lalu, aku harus menunggu ponsel berdering dari nomor yang sama; Tara---, bersiap diri. Lalu bergegas ke garasi dan menunggu lelaki itu. Biasanya juga, di Senin pagi, ia akan berangkat ke kantor bersamaku. Selalu begitu. Seakan sudah menjadi jadwal kami. Namun, harusnya aku cukup sadar diri, dengan dia yang mendiamkanku seharian kemarin, dia tak mungkin datang ke garasi ini dengan helm dan jaketnya. Aku masih nggak mengerti di mana letak fatal dari tindakanku kemarin. Aku dan dia sudah melalui kehidupan ini bersama. Ia diputuskan pacar-pacarnya dulu karena hubungan kami pun sudah bukan hal baru. Begitu juga diriku. Banyak lelaki yang tak jadi mendekat hanya karena mengetahui siapa Tara di hidupku. Jadi, Ririn tak mungkin kekasih Tara, karena aku percaya sahabatku itu masih menepati janji. Lalu, kenapa Tara bisa semarah itu? Senyumku mengembang lebar, tanganku kuangkat saat melihat Tara berjalan dengan kemeja biru langit lengkap dengan dasi hitam. Dia selalu tampan di waktu kerja. Tidak. Kapan pun, sahabatku itu memang selalu tampan. Namun, ketampanannya hari ini tidak mampu memberi energi baru di Senin pagi, karena sekarang, yang kulakukan hanya mematung, dengan tangan masih di udara, begitu melihat dia mengabaikanku dan berjalan ke mobilnya. Tanpa kata. Tanpa gestur yang menunjukkan kalau dia tahu aku ada di sini. Menunggunya. Pintu gerbang dibuka lebar oleh satpam, saat Tara membunyikan klakson dua kali. Selanjutnya, benda bergerak bewarna putih itu menghilang. Dia marah. Bukan. Dia kecewa. Terakhir kali, aku membuatnya begini di semester akhir, saat aku dengan sengaja melepaskan burung kesayangannya. Dan, sejak itu, dia tak pernah lagi memelihara burung selama aku belum memutuskan hengkang dari indekos ini. Great, Kay. Seharusnya aku sudah bisa mengira, kalau Ririn sama berharganya dengan burungnya dulu. Satu fakta baru; Ririn bukan sekarang orang biasa bagi Tara. Lalu, siapa? Membutuhkan satu jam, aku bisa memarkirkan Scoopy ini dengan apik di tempatnya. Seandainya. Seandainya saja, aku diizinkan untuk menenangkan diri, maka sekarang yang kulakukan adalah membawa Scoopy ke kantor Tara. Mencoba meminta kejelasan. Oh, tidak. Maaf. Ya, aku seharusnya melakukan itu. Bukan malah meratap dan ikut diam. Bodoh, Kay. Sangat bodoh. "Kay, naskah mana?" Beruntunglah mereka yang memiliki perusahaan, karena tak perlu memaksa diri demi uang seperti yang kulakukan. Tak peduli bagaimana semrawutnya pikiran, tenagaku tetap harus on untuk menghasilkan pundi rupiah. "Jadi, nanti, Delon ini dimasukin di segmen akhir gitu?" Bang Jovi, memastikan konten untuk malam ini. "Udah siap kan tapi Delonnya?" Aku mengangguk. "Bukan di segmen akhir juga, Bang. Kan di situ ada tuh, dia masuk di segmen sebelum segmen terakhir. Jadi, biar surprise, terus bisa ngobrol bentar sama Andrea dan Delon." "Mereka berapa lama sih pacaran?" "Baru lima bulanan keknya. Nggak tahu gue. Cowoknya jarang pos foto mereka, alam aja isinya." "Oke. Amy!" Bang Jovi melambaikan tangan. Kulihat di ujung sana, asisten Bang Jovi wara-wiri. Begitulah jadi asisten produser, betis pasti rasanya bengkak. Jalan ke sana-sini, bahkan, kadang juga diminta membuatkan kopi. Ck. "Cari informasi lebih detail tentang hubungan Andrea dan Delon ya! Buat dua pembahasan segmen terakhir. Di naskah menurut gue masih kurang." *** Aku memang bukan orang yang bisa membohongi diri sendiri. Apalagi, kalau masalahnya berhubungan dengan orang terdekat. Orang yang kusayang. Seharian di kantor, pikiranku masih seputaran Tara. Apa yang sedang ia lakukan, pikirkan saat ini. Bahkan, pesanku pun tidak mendapatkan balasan sama sekali. Tidakkah dia kekanakan dalam hal ini? Well, kalau dia betul marah atau apapun-jenis-perasaan-sialan-itu harusnya dia ngomong, bukan malah diam begini. Itu bukan cara orang dewasa menyelesaikan masalah. Dan, ... "Ngapain lo di sini?" Aku keluar lift, berjalan ke deretan motor yang terdapat miliku di antaranya. Kudengar, langkah kaki di belakangku semakin cepat. Lalu, tiba-tiba saja, dia sudah berdiri di samping Scoopy. "Jangan belagu deh. Nih, gue mau mulangin sapu tangan lo. Nanti lo nggak ikhlas, hidup gue nggak tenang." Aku merebutnya, memasukan ke dalam bagasi sembari mengeluarkan sarung tangan. Di depanku, Al masih berdiri dan aku sama sekali nggak berniat buat bertanya. Kalau saja ini dalam keadaan normal, aku sudah mengejeknya.. Bertanya, sejak kapan dia menunggu di sini. Namun, suasana hatiku sedang sangat tidak baik. Dan, berbicara dengan lelaki menyebalkan ini jelas bukan pilihan tepat. Jadi, lebih baik diam. "Mau gue traktir enggak? Gue banyak uang kok sekarang. Dan, gue juga nggak mau dinilai nggak tahu terima kasih. Jadi, karena lo udah nganterin gue dan---" "Makasih. Tapi gue nggak berpikir kayak gitu kok. Santai aja." Setelah memasang helm, aku bersiap menyalakan mesin, tetapi terhenti karena sebuah pertanyaan, "Lo kenapa?" Aku diam, memandangi Al. Hari ini, mukanya tak sesombomg biasanya. Detik ini, aku bisa melihat sorot teduh walaupun masih ada kesan jahat itu. Dia ... kenapa? "Gue?" Aku menunjuk diri sendiri. Saat melihat dia mengangguk, tawaku pecah. "Enggak kenapa-napa. Memangnya kenapa? Well, gue duluan. Al apaan sih, turun!" Kurang ajar. Dia malah naik ke atas motor sambil nyengir sok ganteng. Aku mengantukkan kepalaku yang terbungkus helm ke kepalanya, mengabaikan u*****n pelan itu. "Gue bilang turun! Gue mau balik." "Jalan aja. Gue numpang sampai depan." "Mobil lo mana?" "Enggak bawa. Gue naik Uber. Nggak mungkin gue izin Mama 'Ma, Al mau anterin sapu tangan stranger' enggak banget kan." Taraaaaa, aku butuh kamu. Butuh terbebas dari lelaki aneh ini. Tolong aku, jangan marah lagi. Mengembuskan napas, akhirnya aku menyalakan mesin dan keluar basement. Namun, saat sudah berada di gerbang, Al tetap tidak mau turun justru mengeratkan genggamannya di jaketku. "Turun, Al. Jangan bikin gue marah." "Marah aja lagi. Gue udah denger lo marah beberapa kali." "Tapi hari ini gue lagi nggak pengin marah." "On point! Karena gue tahu lo lagi kenapa-napa. Yakan?" Kenapa lelaki ini amat sangat menyebalkan. Dari mana ia merasa perlu ikut campur atas apa yang kurasa? Ouch, aku butuh sesuatu untuk menetralkan pikiran. Sangat. "Gue Al." Tangannya terulur ke dapan begiti saja, masih duduk di belakangku. Aku menoleh ke belakang, memandangnya sengit dari balik helm. "Hello, semua orang tahu lo Al." Malah tertawa! Sungguh, aku tidak yakin kalau dia bukan kloningan. "Nah, itu. Lo tahu gue sebagai artis. Bukan personal. Nama lo siapa?" "Nggak usah tahu." "Kenapa?" "Berisik, cepetan turun!" Kepalanya tetap menggeleng. Dia memberiku senyuman lebar. Tuhanku, bagaimana cara melawan makhluk ini? Bukan hanya kekanakan, dia juga sepertinya tak punya otak. "Cewek kalau lagi sedih, harus ditemenin. Dan, karena gue orangnya baik, sebagai ganti karena gue udah keterlaluan sama lo waktu itu, gue temenin. Mau ke mana?" Aku masih diam. Mau bertemu Tara, Al. Aku takut sahabatku itu benar-benar membenciku. "Hey, lo denger gue enggak?" "Iya." "Mau ke mana?" "Kay." "Hah?" "Nama gue Kayshilla. Cukup Kay aja." "Well, good! Sekarang .... ayo nyalain motornya!" Aku tertawa kecil, tetapi menuruti ucapan lelaki sombong ini. Tuhanku,kenapa sosok mengesalkan semacam Al saja tahu kalau perempuan sedang sedih memang memerlukan teman,dan mengapa Tara-si-diam-kurang-ajar itu malah nggak peka? Aku bisa mendengar teriakan heboh Al di sampingku. Jangan belagu, Al. Kalau ketahuan polisi kamu tanpa helm, kita akan mati mendadak. "Jangan mau galau karena dunia, Kayshilla! Whoo! Kita ini aktor, Tuhan kasih kita peran sebetulnya sesuai apa yang kita mau!" Ucapan keras itu itu jelas, menyapa gendang telinga. Aku melirik ke samping, wajahnya sedang berada tepat di sebelah kupingku. "Jadi, lo tinggal pilih, jadi Si Pemurung atau Penikmat dari segala keindahan." Itu kenapa dia selalu bersikap semaunya? Karena dia punya pemahaman demikian? Lima belas menit, aku menghentikan motor di sebuah warung soto, tanpa persetujuannya. Dia bilang, aku bebas ke mana pun. Dan, saat ini yang kuinginkan adalah kuah segar dari kaldu itu dan dicampuri asamnya jeruk nipis. Nikmat sekali. "Lo oke gue ajak ke tempat kayak gini?" Sejujurnya, aku sedikit heran karena sejak ia mendaratkan bokongnya di kursi plastik seberangku, tak ada gestur tak nyaman yang coba ia sembunyikan. Semuanya tampak normal. "Lo kan belagu, nanti nggak main makan di tempat kayak gini." Tawanya menyapa ruangan tanpa AC ini, hanya bermodalkan kipas yang di paku di dinding, memutar, mencoba membantu mengurangi aura panas. Namun, sepertinya gagal, karena Al masih terlihat berpeluh, ia mengambil gulungan tisu dan mengelap jejak keringat itu. Gerakan tanganku saat menulis menu pesanan terhenti, saat dia berkata, "Gue suka makan di tempat semacam ini." "Ohya?" "Karena biasanya, mereka nggak heboh ngeluarin hape. Atau kalau mereka memang kenal gue, cukup senyum dan nyapa. Ada juga sih yang dengan sopan minta foto. Bukan yang diam-diam rekam, terus upload di sosmed dengan caption semaunya." I know. "Lo pesan apa, Kayshilla?" "Kay aja. Kepanjangan." Tawa itu lagi. Aku baru sadar, kalau dia ini sebetulnya mudah sekali tertawa. Cuma, memang omongannya terkadang cukup bikin mengelus d**a. "Gue mau soto ayam. Elo apa?" "Samain aja deh." "Okay." Sambil menunggu pesanan, yang kami lakukan adalah berbincang seputar pekerjaannya, pekerjaanku yang kalau bertemu artis macam dia. Dan, selama itu dia banyak tertawa sambil sesekali pasang ekspresi tengil; mengangkat sebelah alis dramatis sambil menepuk d**a, sombong. Satu yang mengganjal, kenapa dia mudah menceritakan apa yang dia rasa sementara first impressian kita tak bisa dikatakan baik? "Dulu, kalau lo mau tahu. Awal-awal gue ngelakuin meet and greet setelah film perdana itu jebol, ya Allah, gue dicakar." Aku terbahak. "Serius?" Kepalanya mengangguk. Kulihat, bibir itu menenggak air mineral dari botol. "Kadang, gue suka nggak percaya sih, mereka sebegitunya bisa suka sama orang cuma lewat layar lebar. Padahal kan gue manusia, sama kayak mereka. Tapi masih mending, Indonesia nggak semengerikan luar. Di sana, gue yakin paparazzi banyak yang tahu warna celana dalamnya Kyle Jenner." Ouch, berengseknya keluar. "Dan, lo selalu begini?" "Apa?" "Sama fans lo? Sombong dan ngeselin?" Kini, tawanya tidak bisa dikategorikan biasa saja. Karena dia sampai menutup mulutnya sendiri. "Percaya enggak lo, kalau ortu gue bilang gue adalah anak paling asyik dan nyenengin?" Aku menggeleng. "Gue tahu lo bakal jawab itu. Pacar-pacar gue dulu juga bilang gue nggak semenyebalkan yang lo maksud kok. "Jadi, maksud lo ... lo baik sama orang-orang tertentu?" "Bisa jadi. Tapi serius, waktu itu lo nyebelin juga. Marah mulu bawaannya. Padahal niat gue bercanda lho soal Scoopy lo." "Bercanda lo kasar!" Dia meringis. "Sori." Obrolan kami terhenti, saat pesanan datang. Aku menikmati soto milikku, begitupun Al. Satu fakta lagi; dia suka sekali kecap dan sambal. Hingga tak terasa, setelah makanan habis, aku kembali mengantarkannya pulang. Aku memberhentikan motor di gerbang kompleks, sesuai permintaan Al. Dia bilang, Mamanya akan ngamuk kalau tahu dia berbohong. Aku tidak tahu menahu drama kehidupan keluarga artis sepertinya, jadi menurut saja. "Makasih. Udah dianterin. Lagi." Terkadang, omongannya selalu mengundang tawa. Ekspresi tajamnya yang tiba-itba melunak, cukup baik untuk dipandang. Barangkali dia jadikan itu daya jual? "Sama-sama. Makasih juga sudah dipulangin sapu tangannya." "Hahaha. Yang bukan hak kita, bakalan balik ke pemilik seharusnya." Tangannya dimasukkan ke dalam saku, tubuhnya ia miringkan sedikit ke kanan, gestur sombong yang kutahu selalu ia tampilkan. Dasar. "Ohya, besok gue mulai syuting film baru. Set lokasi yang pertama diambil, di Bali." "So?" "Nggak mau ngucapin hati-hati, good luck atau semacamnya?" Kini, justru aku yang dibuatnya terbahak. Helmku bahkan sampai terasa berat sekali. "Oke ... hati-hati, Alfarezi." Dia mengangguk. Aku sudah kembali menyalakan mesin ... "Kay." "Ya?" "Nice meeting you." Otakku berhenti sejenak, tak sanggup mencerna. Namun, hingga beberapa detik kuhabiskan sia-sia, akhirnya aku tersenyum lebar. "You too." Tangannya melambai. Sementara aku mengangguk, mulai menjalankan motor. Sebelum itu, aku sempat mendengar teriakannya, "Cewek kayak lo lebih cocok marah-marah daripada galau! Sekadar informasi aja sih!" Dasar gila. Lelaki gila satu itu ... setidaknya sudah membantuku menghabiskan waktu untuk merutukinya sepanjang jalan. Hingga akhirnya aku sampai di garasi. Aku mematung, begitu melihat mobil Tara juga baru pulang. Jangan takut, Kay. Inilah saatnya aku mengklarifikasi semuanya. Tara harus tahu aku tidak berniat sejahat itu. Sungguh. Maka, menghampiri mobilnya, aku berdiri di samping pintu kemudi. Jaga-jaga kalau tiba-tiba dia menghindar lagi. Benar saja. Dia mau kabur jika aku tidak segera menahan lengannya. "Ta, kita harus ngomong." Dia masih diam. "Oke, gue kelewatan. Maaf untuk itu. Tapi, lo kan udah janji kalau---" "Sampai kapan?" "Gimana?" Tatapannya terlihat lelah. Dia mengembuskan napas sambil melonggarkan dasi. "Kita bukan anak SMA, Kay, yang bisa menjalin sahabat selamanya. Gue dan elo punya kehidupan masing-masing. Dan, enggak semua hal bisa kita jamah cuma karena jaminan kata sahabat." Dia berbicara panjang. Dalam. Menyakitkan. "Gue punya kebutuhan. Pengin date, pengin ngerasain disayang pacar nggak cuma tiap hari denger keluh kesah lo. Gue manusia. Punya batas normal. Oke, gue turuti apa pun yang lo mau. Temenin lo ngabisin waktu. Tapi sampai lapan?" "Tara ... semua ini... jadi lo.... Maaf." "Kay, gue udah dua puluh tujuh. Banyak hal yang harus gue pikirin. Kalau gue terus-terusan ada di lingkaran lo, kapan gue nikmatin dunia gue?" Dia bermaksud mengatakan kalau aku membuat hidupnya tak bahagia? Kalau aku hanya beban, begitu? "Sori. Kalau selama ini gue cuma beban." "Bukan itu poinnya." Tangannya menarik daguku, membuatku mendongak menatap wajahnya. "Ririn itu satu-satunya cewek yang percaya kalau gue dan elo sahabat. Awalnya, sampai pengakuan lo kemarin, dia beneran nggak yakin. Maksud gue gini." Aku menggigit bibir bawah, menanti kelanjutannya. "Sahabat itu bukan berarti semuanya harus kita lakuin bareng. Bukan berarti lo sendiri maka gue harus. "Enggak gitu, Kay. Gue punya pacar pun, lo tetap punya tempat di hati gue. Percaya sama gue, lo itu satu-satunya cewek yang bikin gue percaya kalau pertemanan antara laki-laki dan permepuan itu memang ada." "Elo juga gitu kok. Di mata gue." Dia adalah bukti bahwa hubungan laki-laki dan perempuan tak melulu dilingkari cinta dan nafsu. "Kalau gitu, sekarang gue udah boleh punya pacar?" Aku menggeleng. "Kaaaay." "Nanti lo nggak mau nemenin gue nge-donat lagi." "Gue temenin." "Bohong." "Janji." "Kalau ingkar?" Dia membuang muka, menggosok wajahnya kasar. "Gue traktir lo makan donat sebulan penuh. Tapi pengecualian kalau cewek gue nggak ngebolehin." Senyumlu langsung redup. "Kalau dia nggak ngebolehin selamanya? Gimana?" "Gue bakal kasih dia pengertian. Percaya sama gue. Karena gue bukan cuma milik lo, Kay. Gue dimiliki sama hati perempuan lain. Paham?" Aku mengangguk. "Pinter. Cepetan cari pacar makanya." Dia menarikku dalam dekapan, mengelus punggungku pelan. "Weekend nanti, minta maaf ke Ririn, mau?" Lagi, aku hanya mengangguk. Yang bukan hak kita, bakalan balik ke pemilik seharusnya. Great, Kay. Entah kenapa harus kalimat Al yang cocok dengan situasi ini.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN