tujuh

1678 Kata
Dulu kita sedekat nadi, kini menjadi sejauh mata memandang. Iya, sekarang aku hanya bisa memandangi kamu yang melambaikan tangan, menunjuk mobil, seolah mengatakan kalau urusanmu entah-bersama-siapa-mungkin-Ririn itu jauh lebih penting. Ouch, Kay, jelas saja perempuan itu berapa kali lipat pun jauh di atasmu. Kamu hanya sahabatnya, dulu, sementara detik ini, ia punya kesenangan baru. Menarik napas dalam-dalam, aku mengembuskannya kasar. "Oke, sekarang waktunya gue sadar, kalau Tara emang punya kehidupan sendiri. Ngapain gue mikirin temen yang nggak mikirin gue? Wake up, Kay, elo nggak lagi hidup bareng dramanya Brad Pitt dan Angelina Jollie." Ya, sekarang waktunya pergi ke toko donat seorang diri. Weekend kali ini, aku akan membuktikan pada dunia, kalau sendiri itu tidak menyiksa. Kalau mempunyai sahabat itu memang ada masanya.  Dan, percayalah, masa itu akan kembali ada, meski bukan dengan orang yang sama. Aku menghentikan motor sekitar satu meter sebelum gerbang, saat melihat seseorang melepas helm dari salah satu ojek online. Begitu orang itu berbalik, aku mengumpat pelan. Ngapain lelaki itu sore-sore datang ke sini? Aku jadi ingat, kiriman Pie s**u beberapa hari lalu atas nama Atha Alfarezi. Saat aku mengiriminya chat, dengan sombong dia membalas, "Sori ya. Aktor sibuk banget. Harus lanjut take di Jakarta. Makanya gue kirim lewat Go-Jek. Jangan marahin Nayla karena udah jadi informan terpecaya gue." Dan, sekarang dia berada di sini entah untuk alasan apa. Tidak membawa kendaraan, itu berarti aku yang akan menjadi sopirnya, seperti biasa. Dasar, menyebalkan. Dia pikir rupa bisa menjamin semua kehidupan? Well, mungkin benar. Karena yang kulakukan sekarang adalah membalas lambaian tangannya dan mengangguk pada satpam yang memasang raut penuh tanya. "Dia temen saya, Pak." Aku menegaskan. Satpam di sini tak ubahnya biang lapor kalau aku tak bisa mengambil hatinya. "Kalau dia ke sini, jangan diusir yaa. Gini-gini dia artis, walaupun nggak Bapak kayaknya nggak kenal sih." Bapak itu tertawa. "Bapak tahunya Raffi Ahmad, Kay. Yaudah monggo, mau nonton ya?" "Iya, Pak. Mari." Al berjalan mendekatiku. Melihatnya menenteng helm hitam di tangan, aku membuka milikku dan terbahak. "Ngapa lo ketawa?" "Elo ngapain bawa helm segala? Kayak yang bakal gue angkut aja lo." Bahunya bergerak tidak acuh. Kapan lelaki ini bersikap normal dan tidak menunjukkan kesombongannya? "Gue udah siap nih, Kay. Datang jauh-jauh dari Sunter ke Kelapa Gading." Berlebihan sekali, I know. "Pake jaket tebel nih, bawa helm dan ... yang pasti ini...." Cengiran itu sedikit membuat wajah angkuhnya memudar, berubah menjadi bocah laki-laki menggemaskan. Bagaimana mungkin dia bisa memiliki banyak karakter dalam satu waktu? "Jangan ketawain gue ya, Kay, pakai minyak kayu putih. Sumpah, tanpa ini, elo nggak bisa tahu ada aktor namanya Al." "Banyak ngomong ih! Mau ke mana sih lo?" "Main ke sini." "Ngapain?" "Kasih oleh-oleh." Tangannya mengangkat paper bag. "Kan kemarin udah." "Itu kan Pie. Kalau nggak cepet dikirim, nanti rasanya beda. Ini baju pantai." "Elo demen banget sih pakai gituan. Ini tuh Jakarta, bukan Bali. Nggak bisa sok-sokan ala pantai gitu." "Elo kode minta diajak liburan?" Aku diam. Al tertawa. Menyerahkan paper bag itu ke hadapanku. Kemudian yang selanjutnya tanganku lakukan adalah menarik benda itu kasar, dia justru nyengir seraya membenarkan jaket denimnya. "Elo mau ke mana, Kay?" "Mau mainlah." "Yeee, gue datang, elo malah pergi. Nggak sopan banget lo." "Modelan elo tuh nggak layak ngomongin sopan santun." Sambil mencibir, aku berjalan meninggalkannya, meletakkan 'oleh-oleh' itu di dalam kamar. Dia masih berdiri di tempatnya, saat aku kembali duduk di atas motor. "Elo nggak balik? Kan udah gue terima." "Makasih, Al. Sama-sama, Kay." Aku mendorong bahunya, cukup kencang. Namun, tetap tertawa juga. "Makasih, Al." "Elo udah disogok masih dendam aja sama gue. Gue traktir nonton, mau?" "Males." "Buset dah." Kuperhatikan, dia menggaruk alisnya yang ... cukup tebal. Matanya dalam ... tegas dan ... great, Kay. Baru saja kamu memuji cowok sombong di depanmu ini. "Ohya, ini kos-kosan semua?" "Enggak. Itu rumah yang gede, punyanya ibu kos." "Terus tadi mobil yang baru keluar?" "Anaknya." Dia menganggukkan kepala. Aku sengaja nggak mengajaknya ngobrol lagi. Kita lihat, Al, seprofesional apa kamu sebagai aktor berperan dalam suasana ini. Buktikan kalau kamu memang mampu membangun peran dan karakter terbaik. Ayo, ajak aku berbincang tanpa aku yang harus mendahului. Namun, yang ada, aku justru dibuat kebingungan saat tiba-tiba ia tertawa. Tanpa sebab. Tangan kirinya mendekap mulut, sambil melirik ke sekeliling. "Al ... lo sakau ya?" Kepalanya menggeleng kaku. "Kayak ngerti sakau aja lo." Kulihat, kakinya menendang angin, pelan, kemudian ia letakkan di foot step. "Gue lagi nyari topik nih, Kay. Sialan nggak nemu." Omongannya sukses buat aku melongo. "Cewek kayak lo bahaya ya. Bikin orang nggak bisa mikir, intimidasinya tajem." Mulutku masih terkatup rapat. "Wajar sih, karena kita kan kenalnya belum lama. So, kenalan yuk, Kay?" Kali ini, barulah aku tertawa kencang. Tanganku mengatup di d**a saat Satpam menatapku penuh curiga. Seusainya, fokus kukembalikan pada cowok ini. "Sinting ya lo! Selama ini emang kita belum kenal?" "Belum," jawabnya cuek. "Gue belum tahu kalau weekend lo ngapain. Gue belum tahu lo suka makan apa. Gue belum tahu, kenapa lo galak banget. Dan, gue belum tahu kenapa elo nggak suka gue." "Gue jawab deh ya." Aku mengibaskan tangan sambil menahan tawa. Kurasa, dia ini bocah yang terjebak dalam tubuh orang dewasa. "Setiap weekend gini, gue selalu nongkrong buat makan donat. Gue rela nggak makan nasi asal digantiin donat berlusin-lusin. Soal gue nggak suka elo, karena nggak ada alasan buat gue suka." "Anjrit! Serius? Sedikit pun gue nggak ada pesonanya?" Tubuhnya ia putar-putar, kemudian menyisir rambutnya dramatis. Dan, yang membuatku semakin terbahak adalah dia kini memasang wajah sok serius, sambil sebelah tangan di saku jaket. "Kayak gini, masih belum terpesona, Kay?" "Makasih lho, Al. Udah bikin gue ketawa. Minggir ah. Gue mau makan donat nih." "Yaudah ayok. Gue siap traktir kok. Jangan takut, saldo di rekening gue bisa bikin lo sampai gumoh kok." Mendengar ucapan jumawa itu, aku hanya mampu menggelengkan kepapa, kembali memasang helm. "Ayo, jalan!" teriaknya, saat sudah duduk di belakangku, siap dengan helm hitamnya. "Elo nggak malu, Al?" "Apa?" "Yang boncengin gue?" Dia meringis. "Enggak deh. Daripada bahaya. Jangan kebut-kebut ya, Kay. Gue belum ngerasain k*****s yang sesungguhnya." Tuhanku ... harusnya aku tahu, kalau Kau membuat seseorang pergi dari hidupku, maka Kau siap menggantikannya dengan yang lain. Aku hanya perlu sadar dan mempertimbangkannya. Ada Nayla yang mulai rutin bersamaku. Sekarang ... ada lelaki nggak jelas satu ini, yang sedang memeluk pinggangku erat, tanpa suara. Kenapa dia selalu terlihat ketakutan setiap duduk di belakangku di atas motor? "Al, lo masih hidup?" Aku sedikit membesarkan volume, takut dia tak mendengar. "Dari tadi lo diam aja." "Masih kok." Suaranya tak kalah kencang. "Gue lagi baca doa dalam hati, jangan diganggu, Kay." Senyumku mengembang lebar. Kalau biasanya, weekend aku membawa lelaki tampan bernama Tara. Kini, aku membawa bocah menggemaskan bernama Al. Sekitar tiga puluh menit---aku tidak benar-benar menghitungnya---, kami akhirnya bisa mendaratkan b****g di kursi. Di hadapanku sudah tersaji makanan bulat dengan macam-macam rasa dan warna. Sementara Al hanya memesan satu frozen yogurt. Aku meringis, melihat perbandingan di depan mata. "Mmm, lo nggak makan apa gitu, Al?" "Enggak ah. Enek. Ini aja. Elo mau nambah lagi?" "Ih, itu sindiran lho." "Bukan! Maksudnya ... duh, yaudah deh nggak jadi nanya. Lanjutin aja makannya." Tak menanggapi lagi, aku memilih memenuhi mulutku dengan sesuatu yang manis dan mengenyangkan ini. Ouch, surgaaaaaa, ini memang nikmat sekali. "Harus banget ya, Kay, sampe merem-merem gitu?" Mataku langsung terbuka. "Hah?" Bodoh, aku lupa kalau di sampingku ini bukan Tara yang jelas sudah maklum dengan semua tingkahku. "Menikmati, Al. Meresapi. Nghomhong-nghomong nhi, Ahl," Aku menelan kunyahan dengan susah payah. Namun, tak ada teguran yang kudapat dari Al, dia justru terkikik geli sambil geleng-geleng kepala. "Elo ngapain sih jadi baik sama gue? Hello, gue bukan anak SMP ya yang nggak ngerti arti dari semua ini. Elo yang tiba-tiba minta nomor gue ke Nay, terus chat gue, kirimin Pie, beliin baju, dan sekarang traktir Jco. So, Bapak Al yang terhormat, sudi kiranya Anda memberi tahu saya apa motif di balik semua ini?" "Sialan, tembak langsung ya, Kay. Pura-pura nggak peka kek, Kay. Biar gue nggak kelabakan nyari alasan gini. Apa ya ..." Aku memperhatikan dia yang membuka mulut, memasukkan sesendok krim putih itu. Kok kesannya enak banget. "Elo naksir gue, Al?" "Hahaha." Al meletakkan sendok itu, menatapku serius. "Ngapa ya, Kay, kira-kira? Awalnya sih gue kesel mampus sama lo. Gila aja, ada cewek cuma kru tv doang berani nendang betis gue. Terus, tiba-tiba datang dan ngamuk di rumah gue. Terus bikin gue demam karena gaya Rossinya. Tapi iya, ya ... kok sekarang gue malah di sini?" Aku memicingkan mata. Mendekatkan wajah ke wajahnya, memberinya tatapan paling serius yang kubisa. "Fix, lo naksir gue, Al." "Masa sih?" "Iyalah!" "Yakin lo nggak kepedan?" "Gue udah biasa ditaksir cowok kali." Seketika, aku mengerutkan dahi saat mendengar dia kembali tertawa. "Lo nggak percaya? Coba deh elo liat muka gue. Nggak jauh beda kan sama Maudy Koenady. Tapi sayang, cowok yang mau deketin cuma bertahan sampai pedekate." "Kok gitu?" "Enggak tahu deh. Gue yakin, ntar juga elo menjauh. Hilang kayak busa." Sesaat, atmosfer seakan berubah jadi hening, damai, tanpa suara. Aku dan Al hanya saling tatap. Sama sekali aku tak mendengar bising orang-orang sekitar. Sampai, suara Al menyapa gendamg telingaku lagi. "Kenapa gue harus hilang kayak busa?" "Karena elo bakalan tahu, kalau gue sayang sama sahabat kadang lebih dari pasangan. Elo nggak percaya kan ada sahabatan cewek-cowok?" Al bergeming. "Soalnya gue udah anggap dia bener-bener kayak satu-satunya keluarga yang gue punya. Kayak yang mungkin lo tahu, Al, gue nggak terlalu jago bangun komunikasi dan baik ke orang. Gue nggak punya banyak sahabat. Dan, nggak banyak cowok yang ngerti perasan gue ke Tara itu beda sama perasan gue kalau lagi naksir cowok." "Trus, kenapa elo harus sedih gini?" Aku mengendikkan bahu. "Nggak pa-pa. Dia udah punya hidup sendiri, mungkin jadi lupa kalau dulu ada gue di hidupnya." Al nggak menjawab lagi. Dia justru mengalihkan pembicaraan ke momem saat pertama kali kami bertemu yang jelas-jelas itu membuatku kesal sekaligus terbahak. Obrolan kami merambat ke aktivitasnya selain syuting di Bali dan bagaimana lawan mainnya yang suka ketiduran sebelum take. Aku tidak tahu, alasan dia menceritakan semua itu. Satu yang pasti, aku memahami sesuatu; kalau aku banyak tertawa di akhir obrolan kami.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN