empat

1144 Kata
I love Saturday. Karena di hari inilah, setelah menyelesaikan kewajiban pagi, aku bisa kembali bergelung dalam mimpi. Kemudian, bangun sekitar pukul sebelas. Brunch. Itu kenapa, mag sering kambuh dadakam. Tidak masalah, masih bisa kuatasi lewat pil atau di rumah sakit. Tentunya, kalau keadaan dompet sedang membaik. Namun, untuk urusan yang satu ini, tak peduli bagaimana dompetku menangis, aku tetap memaksanya terbuka, dermawan pada sang empu. Betul sekali. Aku dan Tara sudah berada di toko donat. Tara dengan coffee dan sandwich, sementara aku tentu saja donat dan yogurt kesayangan. Bagaimanapun masalah hidup, saat empuknya donut berada di dalam mulut ... ouch, kurasa itu adalah surga dunia tersembunyi. Apalagi choco forest. Tuhanku, aku rela menghentikan waktu hanya untuk menikmati ini. "Ta, lo sebagai cowok jijik enggak sih ada cowok nggak bisa nyetir mobil atau pun naik motor?" "Biasa aja." "Terus, terus," Aku memasukkan potongan donat sampai mulutku penuh. "Khalau lhiat chowhok---" "Gue balik nih." "Nho!" Aku mengangkat tangan tinggi. Tara selalu begitu ancamannya setiap aku makan sambil berbicara. "Udah, gue telen. Terus, terus, kalau ada cowok yang kepanasan pakai freshcare, menurut lo gimana?" "Freshcare emang panas banget." "Terus, terus, kalau ada cowok yang demam mendadak karena naik motor malam-malam, gimana?" "Udara malam emang nggak bagus buat badan." "Terus, terus---" "Kay." "Ya?" "Lo lagi ngomongin siapa?" "Orang." "Penting enggak buat hidup lo?" Aku menggeleng. "Kalau gitu jangan dilanjutin. Jangan buang tenaga dan waktu buat mikirin atau ngomongin orang yang bahkan hidupnya nggak ngaruh buat kita." Ouch, tepat sasaran, Boy. Tara Pradipta. Lahir di bulan Maret. Kalau ngomong sering menyakitkan walaupun aku tahu yang tersirat adalah kasih sayangnya untukku. Tak jarang juga, dia hanya diam, sama sekali tak merespons apa yang kukatakan. Berteman dengan lelaki, aku kadang merasa adanya pergeseran makna gender. Secara de jure (baik itu atas dasar standard society maupun kelompok tertentu), perempuan haruslah didengar dan memang perempuan selalu benar. Namun, de facto, Tara tidak melakukan itu. Dia ... sering menyudutkanku. Dia ... melakukan kesalahan karena melanggar hukum masyarakat. Ck. "Tahu nggak sih, Tar? Seumur-umur gue kerja, baru pertama ini, gue disuruh boncengin bintang tamu. Cowok lagi. Dan, seumur-umur, baru dia yang ngehina Scoopy Sweety gue itu. Seumur-umur, dia doang cowok yang sama sekali nggak gentle di mata gue. Seumur-umur, gue baru ini ketemu sama orang nyebelin kayak dia! "Iya, Ta, dia tuh ya Allah ... astagfirullah ... udah mana mukanya songong, omongannya sombong, sikapnya enggak banget. Dan, yang paling menjijikan dari semua keburukannya adalah ... dia manja banget!" Kalau mengingat dua hari lalu, aku barangkali bisa mendata kejadian itu sabagai hal terburuk sepanjang sejarah Kayshilla Nastiti. Dan, semoga dia adalah daftar terakhir. "Dan, lo tahu enggak, Ta, dia itu masih artis baru. Udah belagu. Gue sangsi banget deh, kayaknya sebelum jadi artis kerjaan dia sebagai admin akun yang suka mojokin orang itu. Ih, amit-amit banget, Ta. Ta ..." Aku menoleh ke samping, dan mengerang saat melihat Tara sedang memainkan ponsel! "Tara, lo dengerin gue enggak?" "Hm." "Ah, malesin lo! Gue tuh lagi butuh pelampiasan tahu. Serius." "Cari pacar makanya." "Kan gue udah punya elo." "Kalau pacar, bisa lo jadiin pelampiasan. Lo pukul, jambak dan sebagainya. Kalau gue lo gituin," Dia menelengkan kepala, memasang wajah galak. "gue mutilasi." "Jahat." "Balik yuk, ah. Udah abis kan?" Aku mencebik. Memasang ekspresi haru penuh sarat permohonan. "Nanti dulu, please ... gue masih mau lagi." "Enggak ada. Kalau gitu, gue tinggal." "Oke, fine, balik. Tapi lo ganti duit gue yang buat bayar tadi." "Iya." Syukurlaaaaah. Isi dompetku bisa kembali istirahat dalam ketenangan. Tersenyum lebar, aku berdiri dan merangkul lengannya, berjalan keluar. Satu-satunya hal yang tak kusuka di weekend adalah tangan bergandengan tersebar luas di sekitaran. Ada yang sambil cekaka-cekiki, ada pula yang hanya memoles senyum tipis tetapi aku tahu penuh cinta. Untung saja, Tara belum memiliki kekasih. "Ta." Dia diam. Memasang helm dan jaket, kemudian mengulurkan helm milikku. "Lo ngapain sih buru-buru? Mau date ya lo?" "Enggak. Cepetan naik." Aku sebetulnya sudah bisa menebak apa yang akan dia lakukan kalau mulai aneh begini; main games di dalam kamar. Namun, tak ada salahnya kan aku bertanya untuk mengonfirmasi langsung pada yang bersangkutan? Dia kira, menunggu hal yang belum tentu pasti dan benar itu nyaman? Tidak. Ouch, dunia, kenapa kamu cepat sekali berganti cahaya di akhir pekan? *** Aku mengerutkan kening, menemukan perempuan berambut sebahu sedang duduk di saung---yang biasanya digunakan pengunjung anak kos. Kulihat, senyum perempuan itu merrlekah, senyum yang ia tujukan pada .... ah, Tara. Sementara lurus di depan, pintu rumah Tara dalam keadaan tertutup. Ke mana Tante Vega dan Oom Ikhsan? Jadi, begini, indekos dan rumah Tara itu berada dalam satu area. Sebelah kanan rumah Tara, dan di kiri adalah deretan kamar kos. Itu kenapa, kalau mau bawa pasangan dan aneh-aneh, sering ketahuannya. "Lho, Ririn, ngapain?" Tara menyetandarkan motor, berjalan mendekati saung sambil buka helm. Dan, tentu saja aku membuntuti. Penasaran juga siapa perempuan itu. "Kok nggak masuk?" "Tadi aku udah ketuk pintu, tapi kayaknya nggak ada orang. Kata Mbak sebelah, Tante sama Oom lagi pergi. Kamu dari mana?" Aku-kamu? Seriously? Jangan bilang Tara mengajakku pulang karena dia sudah tahu kalau ada perempuan ini di rumah. Well, dia mau bermain denganku. Begini caranya, Ta. Aku beritahu. Mendekat, aku tersenyum lebar. "Hai, gue Kay." Kuulurkan tangan, dan senyumku makin lebar saat perempuan itu membalas. "Ririn." "Siapanya Tara?" "Maaf?" "Gue pacarnya." Aku melirik Tara di sampingku, dia tidak membantah. Hanya diam, tetapi aku tahu kok kalau lelaki di sampingku ini sedang menahan kesal. Auranya saja sudah terasa panas di sekitaran. Sementara di depanku, Ririn meringis. "Oh, pacarnya. Aku ... Mmm, gue pikir. Yaudah deh. Gue balik ya. Tadi, sebenernya cuma mau balikin flashdisk Tara." Mengambil benda itu, aku mengangguk cepat. Mempersilakan Ririn lewat gerakan tanganku. Tara menyusul Ririn yang sudah berjalan sampai di gerbang. Aku nggak terlalu bisa menangkap apa yang mereka katakan. Hanya saja, yang bisa kulihat adalah Ririn menarik tangannya saat Tata akan menyentuh. Dan kalimat, "Enggak perlu. Aku bisa pulang sendiri. Makasih lho buat kebohongannya. Buat bikin aku malu. Kamu berhasil, Tara." Tanganku melambai tinggi, saat aku melihat Ririn mengalihkan tatapannya padaku. Dia senyum tipis, kemudian benar-benar menghilang. Begitulah caranya, Girl. Namun, kamu harus berani menerima risiko. Iya, betul sekali. Risikonya adalah ... sekarang aku tahu semua akan berakhir ke mana. Tara berjalan, mendekat, dengan tatapan seperti siap mengeplak kepalaku menggunakan helm itu. Langkah pelan, tenang, tetapi cepat sekali sampai di depan mata. Aku menelan ludah. Memberanikan diri, mendengakkan kepala, menatapnya. "Elo kelewatan." Dua kata. Hanya dua kata yang dia keluarkan, sebelum pergi meninggalkanku, masuk ke rumahnya. Aku masih memandangi punggungnya yang sedang membuka pintu, lalu menghilang begitu sjaa. Hei, apa ada yang salah dari tindakanku tadi? Aku hanya mencoba menyelamatkan diri. Tara sudah mengerjaiku dengan memaksa pulang dan mengatakan kalau dia tidak akan date, nyatanya dia berbohong. Ada perempuan yang menunggunya di rumah. Iya, aku hanya membalas apa yang dia lakukan. Itu saja. Dan, kuyakin seratus persen, hukum tidak akan menyalahkanku untuk itu. Dia saja yang berlebihan.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN