delapan

1334 Kata
"Mas Romeo nanti masuk dan langsung peluk Mbak Bunga ya. Jadi, di segmen empat nanti, bakalan ada pertanyaan seputar perjuangan kalian berdua dulu buat dapat restu orangtua. Biasanya kan cewek kalau ditanya soal itu bakalan nangis. Jadi, pas banget Mas masuk dan peluk dari belakang. Gimana?" "Iya, iya paham. Tapi, kalau Bunganya ini nggak bisa ngontrol diri, maaf ya. Dia kalau udah disinggung masalah itu kacau soalnya." Aku nyengir. "Semuanya udah diatur. Itu kami yang tangani. Udah baca beberapa pertanyaannya, Mas?" "Udah." "Oke. Saya ke studio dulu, tunggu instruksi ya, Mas." "Siap!" Melakukan briefing pada bintang tamu yang jelas terlihat memiliki intelektual akademi dan mental itu selain memudahkan juga menyenangkan. Tak memerlukan banyak waktu, ia akan dengan cepat paham dan menguasai. Apalagi Romeo ini terkenal sebagai salah satu penyanyi berbakat, ramah dan cerdas. Lengkap sudah. Selain itu, alasan kami mengundangnya malam ini bersama Bunga---sang istri---karena adanya berita heboh mengenai perkelahian antara ibunda Romeo dengan Bunga di dalam sebuah video. Dan, bukan menjadi rahasia umum lagi kalau memang pernikahan mereka itu nggak mendapat restu dari pihak keluarga lelaki. Aku dengar, itu karena status Bunga yang sudah pernah menikah, meskipun belum memiliki keturunan. Dan, percayalah, selain menyenangkan, kalau kamu senang menjalani pekerjaanmu hari itu, semuanya tampak berjalan lebih cepat dan mengesankan. Kakiku melangkah di lorong menuju lift sambil merogoh ransel, berusaha mencari kunci motor. Tiba-tiba, tanganku terasa dipeluk seseorang. Nayla. "Gimana? Date sama Al waktu itu? Lancar?" Bola mataku berputar. Gara-gara dia yang sudah membocorkan alamat rumahku. "Lo ember sih orangnya. Pake jadi informan segala." "Ya abisan, Kay, siapa sih yang bakalan nolak dikasih tiket nonton gratis selama seminggu." "Sinting! Lo disogok?" Dia tertawa. Pintu lift terbuka dan kami masuk bersamaan dengan beberapa orang lain. "Tapi lumayan kali, Kay. Ditaksir artis gitu, kapan lagi coba." "Iya. Nanti abis gue dibikin pede, besoknya gue ditinggal. Gitu?" "Dih, ya enggaklah. Amit-amit. Jangan pesimis dulu dong, Kay. Semangat! Hidup di Jakarta nggak boleh jomlo, tuntutan mahal." Kini, giliran aku yang tertawa. "Lo inget nggak dulu, jamannya program joget terkenal itu?" Melihat Nayla mengangguk, aku melanjutkan, "Kan gosipnya Raffi Ahmad demen sama salah satu FD (floor director) program itu, tapi apa ujungnya? Ya cuma angin lalu." "Bedalah, Kay!" Nayla terdiam sesaat, ketika beberapa orang dari mereka menoleh ke belakang. Aku sudah menahan tawa saat perempuan di sampingku ini, kemudian mencondongkan kepalanya dan berbisik, "Itu kan emang Raffi yang playboy tingkat nirwana. Lah, kalau Al? Emang pernah dia gandeng cewek? Malah gosipnya doi doyan batangan kan?" "Justru itu makin ngeri, Nay...." Dahinya berkerut lucu. Seriously, dia melakukan segencar ini demi tiket gratis selama seminggu? "Maksudnya?" "Bisa aja gue dijadiin kambing hitam doang, biar dia nggak dianggap gay lagi. Iyakan?" Nayla bergeming. Aku semakin yakin asumsiku benar. Bukan pesismis, aku hanya mencoba berpikir realistis agar diriku nggak merasa sakit ke depannya. Dari dulu, selalu kutekankan, bahwa lelaki tampan, hanya memiliki selera untuk perempuan cantik. Bahwa mereka yang pandai, tak sudi mau menghabiskan waktu bersama yang bodoh. Bahwa para taipan, tak akan rela menyumbangkan harta untuk menghidupi orang-orang biasa seumur hidup. Walaupun, aku tahu definisi dari semua kategori itu akan berbeda pada setiap nyawa. Well, mungkin Al salah satunya. Namun, tetap saja rasanya aneh kalau dia sungguh tertarik padaku. Bukannya aku nggak tahu. Perhatikan, aku bukan anak SMA yang terus meminta kejelasan secara verbal padahal sudah jelas bahwa sang lelaki menyukainya lewat perhatian dan cara memperlakukan. Aku ini perempuan berumur 26 tahun. Jadi, masalah mengartikan lelaki itu tertarik atau tidak adalah perkara mudah. Semudah sakit hati nantinya. "Tapi, Kay." Nayla masih belum seselai rupanya. "Kalau emang elo cuma dijadikan kambing hitam, harusnya kedekatan lo diekspos dong? Biar masyarakat tahu. Buktinya enggak kan?" "Ya itu kan karena dia nggak punya akun medsos." "Tapi kan ada Alofficial di IG. Dia sering kok bikin video dan di upload di sana. Udah temenan kali sama adminnya." "Tuh, udah lantai satu. Buruan turun." Aku mendorong tubuh Nayla. "Jangan gosip mulu kerjaannya." "Ahelah, padahal masih seru. Yaudah deh gue duluan. Inget, Kay, kesempatan kedua emang ada, tapi kadang nggak seberuntung yang pertama. Good luck!" *** Kedatanganku di indekos di sambut pemandangan yang menyenangkan. Tante Vega baru keluar dari rumahnya membawa piring entah berisi apa. Senyumannya lebar, menghampiriku yang sedang di garasi. "Baru pulang, Kay?" "Iya, Tante. Ada apa?" Aku membuka pintu, mempersilakannya masuk dan duduk di lantai beralaskan karpet kecil. Harusnya aku sudah mulai memikirkan untuk menyewa kontrakan bukannya kamar kos begini. "Mau kasih martabak. Tadi Tara sama Ririn beli, banyak banget." "Tara udah pulang?" Menerima uluran piringnya, aku segera menggantinya dengan milikku dan hendak keluar untuk mencucinya di dapur. Namun, urung saat Tante menahanku. "Beneran nggak usah dicuci?" "Iya. Biar Tante aja yang cuci. Anak-anak yang lain kok pintunya masih ditutup ya?" "Lembur mungkin, ada yang ngerjain tugas juga." "Ohya, Kay, kamu udah kenalan sama Ririn?" Aku mengangguk. "Tante pikir, Tara itu beneran nggak mau pacaran lagi. Ternyata alhamdulilah, sama yang ini mau serius. Menurut kamu, Ririn orangnya gimana, Kay?" Sebetulnya, aku sama sekali tak mengenal Ririn selain pertemuan kami untuk permintaan maafku itu. Namun, kalau aku mengatakan demikin pasti Tante Vega curiga, sebab bagaimana pun, aku dan Tara adalah sahabat dekat. Jadi ... "Dia cantik. Wanita karir. Dan, kelihatannya menghargai Tara kok. Dan, yang penting orangnya sopan kan, Tante?" Senyumnya langsung merekah. "Banget, Kay. Orangnya asyik kalau ngobrol nggak nunggu Tante yang harus tanya terus. Pokoknya, Tante sih udah srek sama yang ini." "Alhamdulilah. Kay ikut seneng. Semoga bisa sampai pernikahan." "Aamin! Ohya, Kay. Kata satpam, kamu punya pacar baru?" "Oh? Bukan, Tante. Itu ... anu, temen baru Kay." "Tante tuh mau kamu bisa nemuin laki-laki yang baik, bisa jaga kamu. Jangan salah bergaul ya, Sayang. Orang tua kamu di rumah biar tenang." Entah harus merespons apa, aku hanya mampu menganguk. "Yaudah, Tante pulang. Dimakan, jangan lupa. Nanti kapan-kapan kita makan bareng sama Ririn ya. Mau?" "Iya, Tante. Makasih banyak martabaknya." Selepas kepergian Tante Vega, aku memilih masuk ke kamar mandi. Mengguyur tubuh dengan air, mencoba merelaksasi semua pikiran yang rumit akhir-akhir ini. Kalau Tara saja sudah bisa menemukan titik akhir dalam hidupnya, mengapa aku masih sibuk dengan masalah hubungan pertemanan? Karena sejatinya, yang dibutuhkan manusia pada akhirnya adalah pasangan hidup yang bisa berperan menjadi sahabat, keluarga dan segalanya. Aku membaringkan tubuh di atas kasur, sambil membuka beberapa chat yang masuk. Pilihan pertamaku jatuh pada satu nama. Tara: Jangan lupa dimakan martabaknya. Ririn titip salam buat lo. Me: Makasih ya. Sukses, semoga sampai nikah. Udah tua, jangan gonta-ganti pacar. Tara: Siap, Nyonya. Well, mungkin memang begini semua itu harus berjalan. Aku dan Tara hanya akan berbincang saat kami menemukan topik yang layak untuk dibicarakan. Dia punya hidup sendiri, begitipun diriku. Ponselku kembali berdenting saat aku sudah memejamkan mata. Dalam hati, aku merutuki diri sendiri karena tidak mematikan data seluler. Dengan malas-malasan, aku kembali membuka chat itu. Seketika mataku terbuka sempurna. Ngapain lelaki ini? Al: Gila lo ya, Kay. Gue udah menjauh beberapa hari, biar lo ngerasa kehilangan, eh malah keenakan elonya. Aku tidak bisa menahan tawa. Tuhanku, berapa sesungguhnya usia lelaki ini? Mengapa dia sangat kekanakkan dan sialnya itu menghibur. Me: Emang harusnya gue gimana? Al: Seenggaknya, tunjukin kek kalau lo merasa ada yang hilang karena gue tiba-tiba menghilang. Nanya kek ke Nayla. Ini malah anteng. Me: Basi lo. Al: Ya Allah, sakit gitu ya ditolak cewek yang nggak seberapa. Me: Sinting. Al: Nggak mau tahu, besok ajak gue date tapi jangan ke toko donat lagi. Bosen, Kay. Me: Lo siapa? Al: f**k. Gue, Atha Alfarezi, sang pejuang attention-nya Kay ... duh, siapa nama lengkap lo? Aku memilih mengabaikannya. Tak membalas lagi. Well, semakin ke sini, semakin terlihat kalau dia bukan hanya rude, sombong, aneh, tetapi juga nggak waras. Kasihan sekali para fans telah ditipu oleh muka sok cool di filmnya. Ah, aku jadi tahu sekarang, alasan dia nggak mau punya akun media sosial. Ya, ya, dia jelas takut jati dirinya tebrongkar dan menghilangnya jumlah fans dan berakibat matinya tawaran film. Tuhanku ... dia belum selesai juga dengan chat-nya? Al: Sialan, nggak dibales. Belagu banget lo, Kay. Oke, besok gue ngetem di depan kosan lo. Liat aja.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN