"Bodoh!"
Seseorang memukul kaki orang lain dengan tongkatnya.
"Sudah sebelas tahun dan kau masih belum menemukannya?!"
Orang yang kena pukul itu menunduk, dia mengharap belas kasihan dari hati nurani tuannya.
"Sa ... saya kehilangan jejak, Nona Marry seperti ditelan bumi."
Si pemukul bertolak pinggang. Wajah tuanya menonjolkan raut yang keras.
"Sial, bocah kecil itu." Dia menggumam. "Jika kutemukan, akan kupatahkan kakinya."
Siang hari di sebuah mansion tak berpenghuni, alias tempat singgasananya yang rapat tersembunyi bak kastil di tengah hutan belantara tanpa ada yang berani menjamah ke sana.
Holmes Fahlevi membuang tongkatnya. Dia pun sekali lagi menendang tubuh anak buahnya yang sudah lebam. "Cepat pergi! Dan jangan kembali kalau belum bisa membawa jantung anak haram itu ke hadapanku!"
Maka yang menjadi samsak tinju Tuan Holmes pun mengangguk, bergegas lengser penuh takut. Dia sedang berurusan dengan titisan psikopat.
Tuan Holmes membuang napas tajam. Sebelas tahun dia kehilangan anak gadisnya, dan selama itu pula belum ditemukan sekalipun niatannya adalah untuk merampas kehidupan.
Ponsel pun berdering, Tuan Holmes memeriksanya. Dia berdeham sebelum mengangkat panggilan. Raut yang berubah drastis, semula keras penuh emosi kini ramah dan tersenyum manis.
"Ahaha, iya ... baiklah, aku ke sana sekarang."
Adalah salah seorang pemilik wewenang di Negara ini yang sangat berpengaruh dan disegani sepanjang sejarah kejayaannya. Holmes Fahlevi memasukkan kembali ponselnya. Dia pun meluncur meninggalkan tempat yang penuh hening itu.
***
Ron terlahir dari keluarga kaya raya. Ibunya merupakan wanita karier yang luar biasa, sejahtera dari segi pendapatannya. Ron juga punya dua orang kakak yang sayang padanya, mereka adalah satu wanita dan satu pria. Khusus ayahnya, Ron ingin berbangga diri sebab beliau merupakan orang terkemuka di Indonesia.
Lalu ... sepintas memperkenalkan soal keluaraga, Ron juga punya Larissa. Gadis kecil yang dia angkat sebagai ponakannya, setidaknya sampai Ron menemukan orang tua Larissa. Tapi sampai sepuluh tahun lebih lamanya, seolah hilang diculik alien, orang tua Larissa tak tinggal jejak di bumi.
Ron mencarinya diam-diam. Ron pun menganalisa soal kehidupan Larissa sebelumnya secara sembunyi-sembunyi. Dia melakukan itu untuk sesuatu yang mungkin sudah lama dia nantikan.
Menemukan orang tua Larissa, salah satu alasan dia enggan menikah. Karena setidaknya, dia berusaha sambil menunggu Larissa dewasa agar kelak dia bisa menikahi gadis itu dan melamarnya di depan orang tua. Ah, Ron jadi membayangkan hal manis gara-gara ciuman pagi yang legit.
Mengingatnya wajah Ron merona kembali. Dia menepuk-nepuk pipinya sambil bercermin, mendekatkan wajahnya pada pantulan makhluk Tuhan yang paling tampan itu.
"Aku belum keriput," gumamnya. Dia pun ganti posisi saat bercermin. "Punggungku juga masih kokoh."
Ron mengangguk. "Sebentar lagi, Larissa ... sebentar lagi."
Begitu yakin bahwa kata 'sebentar lagi' itu akan terwujud. Ron beralih menyentuh bibirnya, dia tersenyum. Lain kali, dia akan coba lagi. Barangkali mencium Larissa adalah kegiatan favoritnya saat ini.
***
"Bagus sekali! Kamu terlambat tujuh menit dua puluh detik, Larissa!"
Dengan napas memburu Larissa bertumpu pada kakinya sendiri, dia pun mengangkat satu tangannya tanda 'sebentar', napasnya belum teratur gara-gara berlari.
"Cepat masuk! Bagaimana bisa kamu terlambat di hari senin!" omelnya sepanjang embusan napas Larissa yang mulai terkendali.
"Aku terjebak macet, karena tidak terlalu jauh jadi aku berlari." Ah, Larissa benci hari senin. Jika bisa, dia ingin request kepada pemerintah untuk membuat hari senin sebagai hari libur nasional sepanjang waktu di kalender.
"Terserah." Lucia membimbing Larissa menuju ruang rapat. Untung hanya telat tujuh menitan. "Kalau tidak, habis sudah gajimu di bulan sekarang."
Pimpinan mereka memang sadis.
Berlainan dengan Larissa, Ron sampai di rumah sakit dengan wajah berseri, memang tidak bebas dari kemacetan, tapi nutrisi hari ini begitu mumpuni hingga mempertebal energi dan meninggikan stok sabar emosi. Ya, dia pun punya sejarah sendiri di pagi ini.
"Dokter Ron!"
Karena bahagia, Ron tersenyum. Nyaris saja seluruh ibu hamil di sana melahirkan bayi mereka.
"Lihat, dokter itu terlalu tampan!"
"Wajahnya adalah cerminan wajah anakku jika lahir nanti. Ayo, bantu aminkan!"
"Ah, semoga dia awet muda agar kelak bisa aku nikahkan dengan anakku yang masih di dalam kandungan."
Serempak seluruhnya mengusap perut buncit mereka. Terlalu mengagumi pahatan indah karya Sang Pencipta, Tuhan benar-benar sedang tersenyum saat mengukir wajah pria bername-tag Auberon Fahlevi itu.
"Kamar Melati 2, pasien kritis!"
Ron bergegas menuju ruangan itu tanpa mengindahkan lingkungan sekitar, yakni para ibu hamil yang boleh jadi meleleh bagai es krim diterpa terik mentari.
Jika ditengok lebih dalam, hari ini adalah hari yang genting bagi mereka yang sudah lepas segel di bibir.
***
Orion Debora, si pengacara muda yang digadang-gadangkan suka berkencan dengan pria. Banyak sekali netizen yang mengusik ketenangan pria berwajah unik itu hanya karena tampilan fisiknya yang condong ke imut. Tapi bagaimanapun Rion tidak menggubrisnya.
"Larissa, di sini!"
Ya. Mereka janjian.
Larissa berikan senyuman. Rion yang melambaikan tangan membuat seluruh mata memandang, sebab tempat yang mereka jadikan pertemuan adalah kawasan di mana Rion tertuding gay.
"Maaf lama, aku ada rapat tadi."
"Tidak apa-apa, silakan pesan sesuatu yang bisa dimakan."
Rion sangat ramah, Larissa tersanjung. Detik berlalu, Larissa pun memesan apa yang dia inginkan, lalu berfokus kepada Rion.
"Apa bantuanku semalam berjalan lancar?"
Larissa melemaskan bahunya, tapi tiba-tiba dia ingat dengan ciuman. Wajahnya bersemu malu-malu. "Tidak tahu."
"Dia menunggumu pulang?"
Larissa mencoba mengingatnya. "Tapi dia hanya bilang, jangan lupa kunci pintu kamarmu. Apa itu bisa diartikan menungguku?"
"Eiy, Pamanmu pasti beringas."
"Benarkah?!" Mata Larissa berbinar antusias.
Rion terkekeh. Entah mengapa bisa secepat ini mereka dekat, atau mungkin karena keduanya merupakan manusia yang easy going.
"Kita dulu pernah satu sekolah, lho."
"Iya, aku ingat. Kamu yang menolongku saat ada orang jahat, kan?"
Rion menjentikkan jari. Dia mendekatkan diri kepada Larissa dan volume suaranya dipelankan. "Apa orang itu masih mengintaimu?"
Larissa bertopang dagu, ingatannya menerawang ke belakang. "Sampai saat ini tidak, aku bersyukur untuk itu. Padahal, dia tampan."
***
Lagi-lagi Ron harus didatangi oleh Rigel. Entah apa maunya lelaki yang berstatus sebagai kakak iparnya itu.
"Sekarang apa lagi?" tanya Ron datar. Dia baru saja keluar dari ruang ICU. Lalu menemukan Rigel di dalam ruangannya.
Sekarang lelaki asal Ibu Kota itu bertumpang kaki.
"Kapan menikah?"
Gundul sudah kepala Ron kalau terus-terusan berurusan dengan Rigel, sebab tiap pertemuannya dimeriahkan oleh kata keramat itu. Sesuatu yang jadi pikiran, meski kelihatannya seperti tidak pernah dipikirkan.
"Kalau sudah ada yang cocok aku pasti menikah."
"Kapan?"
Ron mendengkus. "Apa segencar ini Ibu menyuruhmu menanyakannya padaku?"
"Ya, dan dia menangis karena di usia tuanya belum juga punya cucu sementara anaknya ada tiga."
Ron meluruskan pandangannya kepada Rigel. Seketika adegan ciuman di kamar itu terekam ulang, berputar-putar memenuhi otaknya.
"Kalau begitu sampaikan kepada Ibu, kelak saat aku menikah ... aku akan langsung memberinya cucu, tapi tidak sekarang."
Rigel mendesah. "Gundulmu!"
Dia pun menghentakkan kakinya di marmer yang berikutnya melongos pergi. Setelahnya, pintu tertutup lagi dan menyisakan Ron sendiri. Dia menghempaskan punggungnya ke kursi.
Di usia tiga puluh lima tahunnya ini, selalu saja diteror oleh kalimat tanya: Kapan menikah?
Dan entah ada setan dari mana, Ron mengambil ponselnya, dia menghubungi Larissa.
"Lagi di mana?" Selalu langsung pada inti.
Di keheningan yang cukup lama itu, Ron bertanya kembali. Mungkin, Larissa masih jetlag saat mendapat panggilan darinya, karena ini yang pertama dari selama Larissa menjadi ponakannya.
"Larissa, kamu di mana?"
Terdengar sesuatu yang di buka, saat itu vokal Larissa mengalun merdu.
"Di depanmu."
***