"Ini serius tidak apa-apa?"
Pertama kali Larissa menemukan lelaki baik selain pamannya. Orion Debora yang mau turun tangan membantunya, dan dalam hal ini Rion patut diacungi jempol.
"Terima kasih, Kak." Larissa pun menutup pertemuan mereka dengan senyuman dan kalimat, "Hati-hati di jalan!"
Hanya seperti itu obrolan mereka di depan rumah Larissa yang merupakan rumah pamannya. Larissa pun berjalan riang menuju pintu utama yang sayangnya perasaan riang itu meluruh digantikan kegelisahan.
Apakah pamannya sudah tidur? Ini sudah pukul sembilan malam. Pasti belum, tapi yang jadi inti pertanyaan: Apakah pamannya sedang menunggu?
Mustahil ... kalau saja Larissa tidak melihat bayangan hitam yang duduk di sofa ruang tamu dalam keadaan gulita, tapi kulit putih pamannya tampak bercahaya. Percayalah.
"Paman sedang apa?" Seolah tak bedosa.
Ron membuka kelopak matanya saat mendengar derap langkah mendekat serta alunan merdu Larissa yang rungunya tangkap. Menyebabkan dua lensa sewarna tanah pekat itu bersinggungan dalam gelap.
"Jangan lupa kunci pintu kamarmu sebelum tidur." Barangkali Ron larut dalam emosi dan membakar nafsunya hingga menjadikan Larissa pincang di esok hari. Itu tidak boleh terjadi. Ron pun bangkit sambil berlalu.
Larissa kecewa. Dia pikir akan ada kata-kata kecemasan di balik kalimat Paman Ron atau sekadar gerak-gerik kekhawatiran. Nyatanya, nihil. Selalu demikian, hal yang amat menyebalkan bagi Larissa yang punya segudang perasaan untuk sang paman.
Punggung lebar Ron pun semakin menjauh, Larissa tidak bisa membiarkan itu terjadi. Dia ingin meraihnya, ingin sekali melebur dalam bahu lebar pamannya. Khayalan Larissa terlalu tinggi, harapan cintanya kepada pria tiga puluh lima tahunan itu terlampau penuh halusinasi. Dan jika jatuh, Larissa yakin berpotensi merusak kewarasannya hingga ke bagian inti.
"Paman!" Oleh sebab itu, Larissa cegah kepergian Ron yang hendak tertelan daun pintu.
Ron hanya berdiri di depan kamarnya sendiri, menanti kelanjutan ucapan Larissa.
Dengan tangan terkepal, malam-malam seperti ini Larissa berteriak, "AKU AKAN MENIKAH!"
Sejak kenal dengan Ron, jantung Larissa terbiasa berdetak gila-gilaan. Napasnya memburu sekarang, entah mengapa dia ingin menangis tepat di respons Ron yang tanpa berbalik dan malah berucap, "Terserah."
Hati Larissa mencelos karenanya. Dia menatap nanar punggung lelaki 35 tahunan itu.
"Aku serius, Paman. Aku akan menikah."
Nahas. Sekalipun mendengar, Ron tetap tenang dan memasuki kamarnya tanpa menoleh.
***
Malam semakin larut, semakin sulit untuk terpejam. Larissa menatap langit-langit kamarnya, dia jadi ingin bernostalgia.
Jika memang harus memupuskan rasa cintanya kepada Ron, apa itu harus sekarang?
Larissa ingin bertahan sedikit lebih lama, tapi tingkah Ron seolah tidak mengizinkannya.
Dulu itu ...
"Di mana orang tuamu?"
Larissa kecil menangis di dekat pagar rumah orang.
"Kamu kehilangan mereka?"
Masih menangis. Saat usianya baru menginjak angka 9, dan perkiraan orang yang mengajaknya mengobrol itu adalah usia 24 tahunan.
"Siapa namamu?"
Sambil tergugu gadis kecil itu menjawab, "Larissa ... Larissa Andromeda."
Lelaki tersebut bungkam sejenak, sampai di detik dia berjongkok menyejajarkan tinggi tubuhnya dengan bocah cilik itu.
"Di mana rumahmu?"
Yang ada Larissa menangis lagi. Seseorang mengirimnya ke depan pagar rumah ini, tidak tahu apa maksud dan tujuannya. Larissa sama sekali tidak paham. Yang dia mengerti adalah tentang dongeng seorang putri yang bertemu dengan pangeran berkuda putih, mereka saling jatuh cinta kalau tidak salah.
"Larissa?"
Mengerjap, dia tersentak karena ternyata sejak tadi melamun.
"Untuk sementara waktu kamu boleh tinggal denganku, dan panggil aku Paman."
Lalu sekarang ....
Nyatanya sampai saat ini Larissa masih tinggal dengan malaikat berkuda putih yang Tuhan kirimkan. Jika di dongeng yang memiliki kuda putih adalah pangeran, maka di kehidupan Larissa itu adalah Ron, sebagai malaikatnya.
Bernostalgia sampai terlelap, dia bahkan tidak acuh pada petuah pamannya yang menganjurkan untuk mengunci pintu kamar.
Sampai pada kejadian pintu itu terbuka, Larissa sudah terbenam ke dalam mimpinya.
***
Detak jantung Ron bertalu-talu. Dia memegang kenop pintu, yang membuatnya dilanda gugup adalah si pemilik ruang dan yang ada di balik daun pintu yang kenopnya sedang dia pegang.
Ron membukanya, sangat pelan hingga tak meninggalkan suara selain detak jantungnya sendiri.
Melangkah memasuki. Ron biarkan pintunya terbuka sementara dia berjalan mendekati Larissa. Di jarak yang dekat, Ron perhatikan lekuk wajah gadis kecilnya.
Ron, sudah tiga puluh lima tahun. Separuh usiamu ... kamu gunakan untuk menunggu. Dalam batinnya ada untaian kata seperti itu, Ron mendesah.
Dan di tiga puluh lima tahun, Ron tidak tahu apa tujuannya dalam menunggu.
Lamat-lamat Ron tatap seluruh tubuh Larissa, tanpa ada yang terlewat. Dia gunakan kesempatan itu sebaik-baiknya, seakan sedang membuat rekaan film untuk dia putar di kemudian hari jika Larissa benar-benar akan menikah, bukan dengannya.
Otomatis Ron mengeryit. Tunggu dulu! Apa yang sedang dia lakukan sekarang?
Ron tersentak oleh tindakannya sendiri yang lancang memerhatikan anak gadis orang tertidur. Dia menutup separuh wajahnya, malu. Buru-buru Ron mengambil langkah untuk keluar dari kamar itu dan menutup kembali pintunya.
"Harusnya ... dia mengunci pintu." Ron memegang dadanya yang bergemuruh. Dia bersandar di dinding tepat di samping kamar tidur Larissa. Lalu melirik pintu bercat putih itu sejenak dan berdecak, "Gadis ceroboh."
***
Ayam jago berkokok tidak mau kalah eksis oleh burung yang bersiul.
Pagi-pagi sekali Bibi Enjum menyiapkan sarapan untuk tuan dan nona mudanya. Berlembar-lembar roti bakar selai cokelat dia siapkan di meja makan, tidak lupa ada s**u putih untuk nona muda dan kopi hitam untuk tuan muda.
Tepat dengan beresnya pekerjaan, Bibi Enjum melihat Larissa keluar dari kamar masih dengan piyama dan rambut bagai singa.
"Nona, sarapan sudah siap."
Larissa mengerucutkan bibirnya. "Sudah kubilang, panggil Larissa saja, Bi. Jangan seformal itu denganku."
Bibi Enjum tersenyum lebih lebar lagi. "Terima kasih, Nona."
Tapi tetap teguh dengan embel-embel Nona Muda. Sebab Bibi Enjum tahu lebih banyak daripada Larissa tentang seberapa tinggi kekuasaan keluarga Fahlevi, manusia-manusia yang paling disegani di Negara ini.
"Paman mana, Bi?"
"Belum keluar dari kamarnya, Nona."
Baiklah, Larissa berinisiatif untuk mengganggu pagi hari sang paman. Dia pun meluncur tanpa pamit pada Bibi Enjum. Seakan-akan dia lupa pada ucapannya semalam: Akan menikah.
Pintunya tidak dikunci, membuat Larissa lebih licin lagi dalam melancarkan aksinya. Dia tersenyum sebelah bibir.
Membayangkan kalau cara tidur pamannya berantakan, ileran, dan hal-hal memalukan lainnya, setelah itu bisa dia curi ekspresi tidur Paman Ron lewat kamera ponsel yang sayangnya ... gagal sudah.
Larissa menelan gumpalan salivanya dengan mata melotot dan jantung bertalu-talu.
Pamannya tidak pakai baju!
Tidurnya seperti pangeran di negeri dongeng.
Wajahnya terkena biasan cahaya hingga mempertajam pesona Paman Ron saat sedang tidur sekali pun.
Lalu, punggung lebar yang terekspos itu sangat mulus, cocok untuk dijadikan tempat pendaratan terjun payung dengan cara yang paling estetik sepanjang sejarah makna erotis dicetuskan.
Oh, Tuhan!
Tidak ada iler!
Yang ada Larissa sendiri yang ngiler. Ya ampun, cobaan macam apa ini?
Larissa tergerak sampai ujung jari telunjuknya menyentuh kulit bahu sang paman ... putih, mulus. Larissa menggigit bibirnya, wajah yang merona padam. Bagus, Larissa! Ayo sentuh seluruhnya! Ugh. Batin jalangnya memerintah tidak sopan.
Larissa langsung menarik uluran tangannya. Namun, tidak sempurna.
"Akh--" Selanjutnya seperti dendangan awal Nisa Sabyan yang viral di daratan Indonesia. Pengetahuan Larissa tentang itu minin sekali dan--lupakan!
Bibir mereka dipertemukan.
Kejadiannya begitu cepat. Larissa yang menarik sentuhannya di kulit sang paman membangunkan sosok itu hingga refleks mencegah tangan Larissa dan malah menariknya, Ron berniat untuk menangkap basah Larissa. Tapi bukan si ceroboh Larissa Andromeda namanya kalau tidak ada kejadian lebih daripada seharusnya.
Larissa oleng di saat Ron memutar badannya agar terlentang, saat itu Larissa terjun payung dan mendarat di atas permukaan benda yang kelembabannya fantastis selayak bibir Paman Ron.
Maka ada empat bola mata yang mebulat sempurna. Mereka bersama-sama terkejut seolah baru saja bumi terbelah menelan gunung dan mengeringkan lautan.
Saat sadar bibirnya menempel begitu lama di atas bibir Ron, Larissa mendorong bahu sang paman dan langsung berdiri tegak. Dia mengerjap, linglung, perutnya berkolaborasi dengan hati, mereka berpesta pora. Gejolaknya hebat laksana mulas yang tak berkesudahan, bedanya ... ini menyenangkan.
"A-aku ..."
"Tadi itu--"
"Tidak sengaja!" Larissa yang ngegas. Dia menelan saliva bagai meloloskan batu bata. Wajahnya merah merona menjadi saingan kepiting rebus di panci Bibi Enjum. "Ci ... ciuman pertamaku, Paman."
Dan kabur begitu saja. Larissa langsung menutup rapat pintunya tanpa membiarkan Ron memberi pendapat atau sesuatu yang bermanfaat.
Sementara di dalam sana, Ron duduk bersila di kasurnya. Rambut yang masih berantakan, lalu wajahnya memanas dadakan, Ron menutupi bibirnya dengan tangan seolah malu ketika ada dinding yang menjadi saksi bisu hilangnya sebuah ciuman.
Tiga puluh lima tahun, dan di usia tiga puluh lima tahunnya itu Ron baru kehilangan ciuman pertama.
Oh ... dia menutupi separuh wajahnya, malu.
"Jadi, seperti itu rasanya?"
***