Larissa memutuskan untuk pergi ke rumah sakit setelah bertemu dengan Rion tadi. Ya, begitu urusan kantor selesai, Larissa atur waktu pertemuan dengan Rion, sepulang kerja dia memilih datangi sang paman. Daripada menjadi lumut di rumah, mending dia mengganggu pamannya di RS ibu dan anak.
Di sepanjang koridor, wajah Larissa bersemu, dia malu. Melihat banyak sekali wanita hamil atau anak kecil yang membuatnya ingin ... oh God, lupakan!
Larissa mengambil ponselnya, saat itu dia akan menghubungi Paman Ron dan memberitahu kalau dia ada di rumah sakit. Tapi, tidak terlaksana. Langkah Larissa memelan di kala ponselnya bergetar menunjukkan sebuah panggilan.
Jantung itu berdegup kencang.
Dari pamannya yang membuat Larissa senang bukan kepalang.
"Lagi di mana?"
Larissa masih menikmati waktu-waktu terkejutnya sambil terus melangkah mendekati pintu.
"Larissa, kamu di mana?"
Dua kali, sampai Larissa tiba di sana dan membuka pintunya. Jantung yang berdegup kencang itu mewakili kegugupan sekaligus kesenangan Larissa detik ini.
"Di depanmu."
***
Ron berdeham. Dia mematikan sambungan nirkabelnya dan meletakkan ponsel itu di meja. Dia pun melihat Larissa yang mengantongi kembali telepon genggamnya.
"Tumben sekali Paman berinisiatif menghubungiku lebih dulu," sindir Larissa. Meski seratus persen tanpa diskon dia senang. Kesenangan itu menjadi sebutir harapan, lalu menyublim jadi kegeeran. Ah, biarkan! Larissa nikmati rambatan hangat akibat perasaannya yang kegirangan mendapat telepon masuk dari Paman Ron.
Sementara Ron tidak mengelak ataupun mengiyakan, dia menatap datar wajah Larissa.
"Ah, terserahlah." Larissa mengibas-ngibaskan tangannya. Dia pun duduk di kursi yang tersedia di sana, memandang pamannya dengan seksama, lalu teringat dengan ibu hamil dan anak. Wajah Larissa merona.
Mendadak ingatannya terhubung pada sebuah ciuman yang mana bibir Ron itu ...
"Kamu sudah makan?"
... enak dimakan. Wait! Larissa berdeham, kenapa otaknya dekil sekali?
"Sudah, Paman."
Mereka sama-sama membiarkan hening memeluk ruangan. Ron tampak sedang berpikir, kalau Larissa sibuk mencari kalimat yang pas untuk mengobrol dengan Ron.
"Oh, iya. Paman, apa makanan favoritmu?"
Larissa ingin tahu hal-hal kecil tentang Ron, dimulai dari itu misalnya. Agar selanjutnya dia bisa belajar masak, tentu saja makanan favorit Paman Ron harus dia kuasi.
"Tidak ada." Sambil membuka-buka halaman buku yang mulai dia baca. Tapi itulah jawabannya.
"Mana mungkin! Semua orang pasti memiliki makanan favoritnya."
"Aku tidak."
"Paman." Larissa merengek. Dia menatap nanar wajah datar pamannya yang seperti tidak minat mengobrol dengannya.
Mengembuskan napas pelan, Ron pun menutup bukunya dan berfokus kepada ponakan. "Aku suka telur dadar."
Larissa kontan berdiri, wajahnya memerah. "Paman sedang meledekku, ya?!"
Ron mengeryit samar. Kenapa Larissa marah? Auranya terlihat berapi-api.
"Karena hanya itu yang bisa aku masak. Paman sengaja kan, menyindiriku lewat 'telur dadar' yang Paman jadikan makanan favorit?"
Memang benar apa yang Larissa katakan, tapi jawaban Ron pun tidak dapat disalahkan. Jika jawaban 'tidak ada' tidak bisa diterima, maka 'telur dadar' yang jadi opsi kedua. Memangnya selain telur dadar, apa lagi yang pernah Larissa masakkan untuknya? Dan Ron pikir, tidak ada makanan lain yang jadi favoritnya selain hasil olahan tangan Larissa.
Bagi Ron, saat dia menyukai orangnya, maka dia akan menyukai apa pun yang dibuat orang itu.
Dan Ron makin tidak paham dengan Larissa. Ponakannya itu sudah bukan gadis remaja lagi, tapi usianya memang terbilang dini jika dibandingkan dengannya. Apa seorang gadis dua puluh tahunan selalu sesensitif ini? Melupakan fakta bahwa usia 20 tahunan adalah masa-masa transisi yang meresahkan.
"Paman benar-benar meledekku!"
Hanya karena makanan favorit. Ron menggeleng maklum, dia kembali mengambil buku lainnya untuk dibaca.
Otomatis Larissa semakin geram saja, tapi tidak dia ekspresikan. Larissa mengambil napas dalam-dalam, lalu keluarkan secara perlahan. Dia harus pandai-pandai mengendalikan emosi jika di depan pamannya. Ayolah, Larissa ... bertingkahlah seperti orang dewasa. Dewi batinnya berkumandang syahdu.
Baiklah, Larissa mulai tenang. Dia pun duduk kembali.
"Kalau begitu, bagaimana dengan tempat favorit Paman?"
Ron memerhatikan gambar dalam bukunya dengan seksama, tapi dia juga tidak menulikan rungunya. Sepanjang usia dia tidak pernah merepotkan diri dengan menjawab pertanyaan-pertanyaan kecil semacam itu, dan Ron lebih suka diberi pertanyaan seputar ilmu kedokteran atau tentang bagaimana sel telur bisa jatuh cinta kepada ubur-uburnya pria. Akan dengan senang hati dan tanpa banyak berpikir dia menjawabnya.
Namun, yang Larissa tanyakan justru sesuatu yang harus Ron pikirkan dua kali, segala hal yang menjadi favorit. Seperempat hidupnya dihabiskan di rumah sakit, dia juga jarang berlibur, Ron tidak suka membuang-buang waktu. Jadi, di manakah tempat favoritnya?
"Paman?"
Ron menghentikan bacaannya, dia menutup kembali bukunya. Lalu, ditatapnya Larissa lamat-lamat.
Maka jantung Larissa tidak bisa untuk tidak biasa saja, wajahnya pun sampai merona. Mendapatkan tatapan seintens itu dari pamannya, para cacing di perut pun memberontak ingin hadirkan kupu-kupu agar sayapnya menggelitik rongga itu, lalu membuat Larissa repot akan sensasi di tubuhnya.
"Tempat tidur."
"Eh?" Larissa mengerjap.
"Tempat favoritku di kasur."
Oh, God! Apa pamannya mengajak dia bermain di kasur? Memang permainan apa yang biasa orang dewasa lakukan di tempat tidur?
"Sudah masuk jam kerja, kamu mau pulang atau duduk diam di sini?" Sambil melihat jam di tangan. Ron kembali menatap Larissa.
"A ... aku ..." Dia gugup, otaknya yang sedang konslet makin tak beres saja. "Mau pulang saja, Paman."
Tidak bisa menahan detakkan jantungnya yang berlomba-lomba paduan suara. Larissa cepat-cepat lengser dari sana bahkan sebelum Ron mengucapkan kalimatnya.
***
Pamannya itu dokter kandungan, pasti sudah tidak aneh lagi kalau membahas soal hal vulgar. Tapi, Larissa malu.
Terlalu vulgar baginya untuk mendengar kasur sebagai tempat favorit. Karena pengalaman di tempat tidur saat pagi tadi merupakan hal yang mature.
Oh, jika diingat-ingat, kira-kira ciuman pertamanya itu merupakan ciuman yang keberapa bagi pamannya?
Larissa membekap mulut, mendadak mood baiknya menguap. Apa pamannya pernah melakukan itu dengan Alora?
Larissa mendesah lesu, sampai tak terasa dia sudah tiba di rumah.
"Bibi Enjum?"
Tak ada yang menyahut.
"Bi?" Larissa mengambil langkah mendekati dapur.
Kosong.
"Ke mana perginya," bergumam sambil mencari eksistensi Bibi Enjum di rumah yang tidak terlalu besar itu.
Tapi nihil. Dia malah mendapati suara pintu yang diketuk. Padahal baru saja Larissa tiba di rumah, atau mungkin itu Bibi Enjum?
"Paman?"
Oh, bukan. Bukan Ron, bukan juga Bibi Enjum. Melainkan sosok tampan yang lebih tua dari Paman Ron-nya.
Agaknya Larissa terkejut, dia tidak begitu dekat dengan kakak pertama dari pamannya. Terlebih lagi, Paman Danuerza Fahlevi itu sangat jarang berkunjung.
Ya, namanya Danuerza Fahlevi. Tampangnya sebelas dua belas dengan aktor kenamaan di TV.
"Ada apa, Paman? Silakan masuk!" Lalu dengan sangat sopan Larissa mempersilakannya duduk.
Danu belum buka suara, bahkan untuk menjelaskan eksistensinya kemari yang membawa serta seorang bayi pun belum ada argumen. Larissa sendiri tidak akan bertanya lebih dulu. Dia menyuguhkan segelas teh hangat kepada pamannya yang aneh itu.
Dibilang aneh, karena Danu yang notabenenya lebih tua dua tahun dari Ron masih betah melajang, tapi sudah menggendong bayi.
"Paman?" Larissa jengah juga.
Pria itu berdeham, dia mengulum bibirnya, kemudian berucap, "Larissa ... jaga anak ini, bisa?"
What the ...
"Sementara saja. Bisa, kan?"
... fucek?
"Anak siapa itu, Paman?"
Danu malah mengambil minuman yang Larissa suguhkan. Dia meneguknya dalam sekali tegukan.
"Anakku."
O-em-ji hello my baby?! Batin cildish Larissa heboh berlebihan.
"Paman ..." Dia sampai tak sanggup berkata-kata, matanya memandang Danu dan bayi itu bergantian. Mereka mirip. Tidak diragukan.
"Siapa ibunya?" Larissa merapatkan bibir, dia mendapatkan tatapan peringatan tanda jangan bertanya dari pamannya.
"Jika ada yang bertanya, bilang saja dia anak kalian."
"Maksud Paman?"
Danu menyerahkan bayinya kepada gendongan Larissa. Agak kerepotan, Larissa belum berpengalaman. Dia gugup dan takut melukai tulang bayinya.
"Pokoknya, jangan bilang kalau ini anakku. Siapa saja asal jangan aku, kamu bisa mengarang bayi ini anakmu dengan Ron atau sepandai-pandainya kamu berbohong saja."
Larissa ingin protes, tapi nyalinya ciut. Saat seorang bayi sudah ada dalam gendongannya, dia urung untuk berkata kasar. Tapi, Larissa gemas.
"Paman--"
"Dan jangan bertanya!"
Gugur sudah kalimat yang sudah Larissa rangkai baik-baik, Paman Danu memangkasnya sambil berlalu tanpa pamit.
Larissa mendesah. Dia bahkan tidak bisa menyusul Paman Danu karena kaku menggendong bayi.
Bagaimana ini?
Bibi Enjum sedang tak ada, Paman Ron juga belum pulang, Larissa kesulitan. Meskipun sebelumnya dia memang bercita-cita menjadi istri Ron dan juga ingin memiliki bayi, tapi sekarang ini ...
"Hei, jangan menangis!"
Larissa panik. Bayi kecil itu terbangun, lalu tangisannya berkumandang.
"Baby ... sssttt, tenanglah. Aku bukan orang jahat."
Ya Tuhan, bagaimana cara menenangkan bayi? Larissa mengerang. Dia jadi ingin ikut menangis, kenapa tangisan bayinya terdengar memilukan?
Untuk itu Larissa sesenggukan, dia menangis sungguhan. Sampai pahanya dirasa hangat, Larissa tersadar, bayinya ngompol.
"Baby, kenapa malah menangis kalau cuma buang air?" Sambil terisak. Larissa pun langsung mengambil ponselnya dan masih sambil duduk serta mencoba menenangkan bayi kecil milik Paman Danu.
"Sstttt ... sebentar, Baby. Kakak mau telepon Paman Ron dulu." Tapi bayi itu malah semakin kuat menangis. Larissa panik kembali, dia pun ikut meneteskan air matanya lagi.
"Paman!" Tanpa basa basi Larissa langsung berkata, "Cepat pulang!"
***
Saat telepon itu Ron angkat, dia menjauhkan ponselnya dari telinga, Larissa berucap melampaui batas pendengarannya. Satu hal yang membuat kening Ron mengeryit. Ada tangisan bayi yang bercampur isak tangis Larissa.
"Apa yang terjadi?" Berusaha untuk tetap tenang. Dia masih ada jam kerja sebentar lagi.
"Bayinya menangis."
Ron memperdalam kernyitan di alisnya. "Bayi siapa?"
"Paman, ayo pulang!"
"Dok--"
Ron menaikkan tangan kanannya tanda 'sebentar' kepada suster yang datang.
"Iya, aku akan pulang tepat waktu."
"Tidak, Paman. Bayinya--"
Ron matikan. Dia pun memasukkan ponselnya ke laci. Lalu beratensi kepada suster yang berkata, "Kopinya saya taruh di meja."
Ah, Ron lupa, dia meminta kopi tadi. Berhubung jam kerjanya sudah selesai, dia ingin bersantai di ruangannya sejenak sebelum pulang, Ron malas beranjak, masih belum mau singgah di rumah sebab dia masih memperhitungkan hal-hal terkait Larissa.
"Terima kasih."
Suster melenggang, ponsel Ron berdering lagi. Itu Larissa, dan Ron tidak bisa mengabaikan panggilannya.
"Larissa, aku bil--"
"CEPAT PULANG, ATAU KITA TIDAK BERTEMU LAGI!"
Dan sambungan diputus dari sana. Ron mengerjap. Ancaman macam apa itu barusan?
Ron pun bangkit dan melepaskan jas dokternya, dia menggantinya dengan jaket. Melupakan kopi panasnya, Ron pun bergegas memrapikan apa yang perlu dia urus begitu akan hengkang. Lalu, dia menghubungi Larissa lagi.
"Aku sedang di jalan." Ron tidak bertele-tele.
Di seberang sana juga tidak ada suara tangisan bayi lagi, hanya saja vokal Larissa terdengar serak.
"Mampir ke supermarket dan belikan popok bayi ukuran S, lalu s**u formula."
Ron tidak tahu kapan Larissa pernah hamil, dia juga tidak merasa pernah melakukan sesuatu yang tidak senonoh kepada Larissa selain mengendap-endap ke kamarnya di malam hari untuk menikmati wajah Larissa.
"Ada lagi?"
"Itu saja, Paman. Oh, iya ... susunya untuk usia mendasar."
Apa Larissa sudah melahirkan? Hell, kapan isinya?
Ron menggeleng. Dia mulai fokus mengemudi. Sesuai keinginan Larissa, s**u dan popok bayi.
Dia akan menginterogasi ponakannya nanti.
***