Larissa kesulitan bergerak, itu karena dia takut salah langkah. Khawatir kalau bergerak sedikit saja bisa ada tulang bayi yang patah. Tapi Larissa kasihan, bayinya terus-terusan menangis. Sesekali tenang, tak lama menangis lagi. Ya ampun, bayi itu masih merah seperti baru keluar dari ibunya.
Bayi yang kuat. Larissa mengulum senyuman. Jika dilihat-lihat, bayi itu mirip Ron. Yeah, karena Danu memang sebagiannya salinan Ron.
"Pasti tidak nyaman memakai celana yang basah," gumam Larissa.
Wait! Dia lupa, tidak ada celana bayi di sini. Lalu selain popok, harus pakai celana siapa bayi kecilnya ini?
Larissa cepat-cepat menghubungi Ron lagi. Tapi sayang, panggilan pertama tidak diangkat. Lagi dan lagi, tetap tak ada sahutan. Larissa berdecak jengkel, pamannya sulit sekali dihubungi. Namun, tepat saat itu Larissa melihat pintu terbuka. Ron dengan segala jinjingannya dia lihat di sana.
"Sengaja tidak diangkat, aku sudah dekat denganmu."
Itu kalimat pertama dari Ron yang tidak perlu Larissa ucapkan kata tanyanya.
Dan saat tersadar ada bayi yang sedang Larissa pangku, pasangan lensa pekat itu saling bersinggungan. Larissa bergerak canggung, sedangkan Ron masih mematung.
Yang memecah keheningan adalah tangisan bayi. Larissa tersentak, dia panik lagi.
"Hei ..." Larissa melirih. Lalu dia menatap mata elang sang paman, tersirat permohonan. "Bayinya menangis, Paman."
Ron mengerjap sesaat. Ada bayi di rumahnya, tidak tahu milik siapa, dan bayi itu kenapa bisa mirip dengannya? Apa Ron melupakan bagian penting dalam hidupnya? Apa serius dia pernah meniduri Larissa dan lupa setelahnya, lalu dengan tidak masuk akal Larissa melahirkan sepulang dari rumah sakit barusan? Tapi, kapan hamilnya?!
"Paman!"
Tersentak. Ron tanpa kata langsung meletakkan barang belanjanya dan mengambil s**u bubuk di sana.
"Aduh, Baby ... jangan menangis." Mata Larissa ikutan berkaca. Dia sedih.
Ron pun datang dan duduk di sisi Larissa sambil mengangsurkan sebotol s**u kepada mulut kecil sang bayi. Mereka duduk berdekatan, atau terlalu dekat hingga Larissa bisa menghirup aroma tubuh Ron yang wangi sekalipun bercampur keringat.
"Dia lapar." Vokal Ron rendah dan berat.
Di telinga Larissa lebih terdengar seksi hingga membuat bulu kuduknya berdiri. Larissa semakin kaku saja. Dalam diam dia melirik barang belanjaan Ron yang terbilang banyak sekali.
Larissa tersenyum. Tanpa diminta, Ron sudah membeli perlengkapan bayi, seperti popok, s**u, botol dot, pakaian, kosmetik baby, ada bantal kecil, bahkan perlengkapan makan. Wah ... Larissa percaya, selain dokter kandungan, Ron memang ayah yang baik untuk anak-anaknya nanti. Oke fix, di mata Larissa, Ron sama dengan lelaki potensial. Larissa terkikik dalam hati.
"Larissa, celananya basah." Mata Ron tepat ada di depan wajah Larissa yang jaraknya dua jengkal. Tangannya berada di bagian p****t bayi yang terimpit oleh paha Larissa.
Hal itu sukses membuat wajah Larissa jadi semerah tomat masak.
"Ah, iya ... dia ngompol tadi."
Kenapa juga tangan paman ada di sana kalau niatnya hanya untuk mengecek celana si baby?
"Kamu pegang dulu susunya, biar aku yang gantikan celananya."
Larissa patuh tanpa banyak bicara, dia sedang gugup maksimal. Apalagi Bibi Enjum sedang tak ada. Larissa jadi merasa sedang bermain rumah tangga – rumah tanggaan. Ini nyaris seperti sungguhan.
Melihat Ron yang sedang menggulung kemeja bagian tangannya, lalu membuka plastik belanja, mengeluarkan isinya, mengambil yang dia butuhkan, mendekatinya, duduk di sisinya dengan atensi sang paman yang fokus kepada bayi. Larissa memerhatikan semua itu, bahkan sesekali tatapannya mencuri pandang pada lengan berotot Ron.
Lelaki 35 tahun, Larissa jatuh cinta kepada pria yang 15 tahun di atas usianya. Apakah itu wajar? Apakah terdengar normal?
"Sudah. Sini, gantian aku yang gendong dan kamu ganti celanamu."
Hanya itu, tapi efeknya bagai menghirup aroma bunga poppy, memabukkan. Larissa bergegas menuju kamarnya, dia menutup rapat pintunya dan bersandar di sana sambil memegangi dadanya.
Copotlah jantung bila saja dia bertahan lebih lama di sana.
Pamannya benar-benar sesuatu.
***
Mungkin karena dia adalah dokter kandungan, atau mungkin karena usianya memang sudah kebapak-bapakan, bayi itu tidak rewel bila Ron yang gendong meski dengan satu tangannya saja. Sementara tangan yang lain Ron gunakan untuk merapikan barang-barang yang dia beli.
Larissa belum berani memunculkan diri setelah ganti celana, dia masih gugup.
"Larissa."
Oh, tapi eksistensinya ditemukan. Larissa menunjukkan jajaran giginya yang rapi, dia pun berjalan mendekati Ron.
"Bayi siapa ini?"
Selalu langsung pada inti. Larissa meringis, apa Ron tak bisa basa-basi?
"A ... aku tidak tahu," katanya gugup, menunduk. Larissa bahkan sampai memainkan jarinya sendiri demi melampiaskan kegugupan.
"Bukan bayimu?"
Larissa menggeleng. Dia seperti sedang disidang sambil berdiri.
"Baiklah." Ron membuang napas kasar. "Kamu bisa ngurus bayi?"
Larissa mendongak. Dia ragu, tapi dia juga calon ibu. "Iya, aku bisa."
Ron menaikkan sebelah alisnya samar, dia meragukan kemampuan Larissa. Kalau memang bisa, kenapa saat bayi itu menangis Larissa juga ikut menangis? Dan kenapa terkesan kaku sekali. Ron menanyakan itu kepada Larissa dalam hati. Dia takut melukai harga diri Larissa sebagai wanita.
"Lagi pula kamu tidak sendiri, kita bisa merawatnya bersama."
Catat itu. Larissa jadi ingin terbang ke nirwana, lalu keliling angkasa dan terjun payung mendarat di d**a pamannya.
Wajah Larissa bersemu tanpa diminta.
Karena Larissa diam saja, Ron jadi bingung harus bilang apa selain, "Anggap saja kamu sedang belajar menjadi ibu."
Dan Paman sebagai ayahnya. Balasan dari Dewi batinnya Larissa Andromeda untuk Paman Ron-nya.
Sejenak mengabaikan keberadaan bayi, tak terasa s**u dalam botol pun telah habis. Ron menaruh botolnya di meja, lalu dia mendekati Larissa yang semakin membuat Larissa gugup saja.
"Aku mau mandi."
Larissa tahu Ron tidak mengajaknya, tapi kulit putih wajahnya tak bisa berhenti untuk tidak memerah.
"Iya, Paman." Mengerti, Larissa mengulurkan tangannya untuk menerima sodoran bayi dari Ron.
"Bukan seperti itu!"
"Huh? Salah, ya? Bagaimana, Paman?"
Ron pun menerangkan posisi tangan Larissa saat hendak menerima bayi untuk diambil alih.
"Sebentar, Paman, jangan dilepas dulu!" Larissa panik ketika bayi sudah ada dalam gendongannya, tapi kaku saat tangan Ron hendak melepaskan bayi itu. "Paman ..."
"Iya, tidak dilepas."
Larissa sibuk membetulkan diri, hal yang membuat mereka kontak fisik dan berada dalam jarak terdekat.
"S ... sudah."
Akhirnya Ron bisa meloloskan tangannya dari impitan tubuh Larissa dan si baby. Ron pun berbalik dan mulai melangkah menuju kamar mandi.
Larissa membuang napas banyak-banyak, menghirupnya tak kalah banyak. Berapa lama dia menahan napas tadi?
"Ah, Baby ... lihat, kan? Memang serepot itu jatuh cinta."
***
Ron selesai dengan mandinya, dia memakai jubah handuknya, lalu mengeringkan rambutnya sejenak. Tidak mengambil banyak waktu, Ron langsung menghampiri Larissa yang rupanya kini sedang membongkar belanjaan.
"Bayinya mana?"
Larissa menoleh sekilas. "Sedang tidur di kamar."
Ron diam-diam mengangguk. "Kamu belajar menjadi ibu dengan baik."
Oh, please ... jangan siksa Larissa dengan kalimat itu! Jantungnya berdetak maraton lagi. Terlebih, pamannya masih murni berpakaian sehabis mandi. Lemah Larissa. Dia pun memilih sibuk dengan barang-barang yang Ron beli.
"Kamu tidak mandi?"
"Sebentar lagi," kata Larissa sambil berdiri dan membawa belanjaan yang seharusnya dia simpan di dapur. Lalu balik lagi mengambil barang yang harusnya ditaruh di kamar.
Ron berjalan membuntuti.
"Paman."
"Ya?"
"Aku mau ke kamar."
Refleks kaki Ron mengeluarkan remnya. Dia membiarkan Larissa memasuki kamarnya sendiri, lalu berbalik dan berinisiatif untuk berpakaian dengan benar terlebih dahulu.
Sementara Ron masuk kamar, Larissa keluar. Dia masih sibuk merapikan barang-barang sang bayi. Lalu saat tiba di ruang tamu, tepat saat itu ada ponsel berdering. Larissa mengambilnya, milik Ron, dan ada panggilan dari Alora.
Mood yang semula baik, kini kandas kembali. Segala sesuatu yang berhubungan dengan pamannya selalu sukses menjungkirbalikkan perasaannya.
Larissa membiarkan sambungan nirkabel itu terputus dari sana. Dia tidak berminat mengobrol dengan Alora. Sampai di mana notifikasi pesan masuk Larissa dapatkan.
Alora.
Dibukanya oleh Larissa. Yang berisi: Ada waktu? Bisa mampir ke rumahku? Ibuku menanyakanmu.
Kuat-kuat Larissa menggenggam ponsel pamannya. Jadi, sudah sedekat itu hubungan mereka?
"Larissa, apa kau--" Tak langsung dirampungkan, Ron melihat aura permusuhan dari ponakannya. "Melihat Bibi Enjum?" Tapi tetap dia lanjutkan.
Bukannya menjawab, Larissa malah membuang ponsel Ron ke sofa. Dia melalui tubuh sang paman dengan kemarahannya.
Tatapan Ron pun mengikuti jejak perginya Larissa. Sampai dia mendapatkan debuman pintu yang dibanting, pintu kamar Larissa, lalu suara tangisan bayi.
Ron mengerjap. Aneh, kenapa dia jadi merasa seperti suami yang ketahuan belangnya?
***
"Maaf, maaf ... Kakak tidak sengaja," bisik Larissa sambil mengusapi d**a bayinya. Dia sudah mengejutkan bayi kecil yang sedang pulas terlelap. Rasa bersalahnya teramat sangat.
Kini bayi itu menangis hebat. Larissa panik, dia pun mengambil sang baby ke dalam gendongannya. Masih kaku, tapi Larissa mencoba berani dan meyakinkan diri kalau tulang bayi itu tak akan rontok dalam kukungannya.
"Maaf," lirih Larissa menenangkan. Dia bersalah, harusnya tidak bersikap sekekanakan itu. Tanpa berpikir dua kali, dia malah membanting pintu gara-gara kekesalannya pada si paman.
"Bayinya rewel lagi?" Rendah dan datar.
Larissa terlonjak. Dia berbalik dan menemukan pamannya di sana. Untung hidungnya tidak bertubrukan dengan hidung Paman Ron.
"Sejak kapan ada di sini?"
Ron tidak menggubrisnya, dia justru membungkuk dan menggoda bayi dalam gendongan Larissa.
"Paman--"
"Sssttt!" Ron mendongak, wajah yang berada tepat di bawah dagu Larissa, sambil satu jari telunjuknya menekan bibir sendiri. "Bayinya mulai tenang."
Baiklah, siap-siap, Larissa akan meledak. Gawat! Jantungnya berulah lagi, debaran di hati pun semakin hebat. Bagaimana bisa tidak? Saat wajah orang yang kau sukai berada dalam jarak dekat, lalu saat kepala orang itu mencium pipi bayi dalam gendonganmu tapi kepalanya menyundul sesuatu yang meningkatkan frekuensi pemompa darah.
Paman Ron-nya itu benar-benar bagian dari narkotika, bahaya yang memabukkan.
"Oh, ya ... kita tidak tahu kapan bayinya akan rewel. Haruskah kita tidur bersama, Larissa?"
***