"Acara keluarga?" tanya Ron dengan raut intimidasi, mata setajam elangnya seakan siap menerkam Rion.
Pria dengan segala keunikan wajahnya itu menjawab tergagap setelah dia yakin kalau Ron itu manusia. "A ... Ah, ya ... seperti itu."
Ron yang sudah memangkas jarak antara dia dengan Larissa plus Rion, dia membetulkan gendongan bayinya seolah menunjukkan kepada Rion tentang eksistensi Baby Ar di sana.
"Apa Larissa setuju dengan itu?"
Giliran Larissa yang tergagap, tapi tak ada patah kata yang keluar dari lisannya. Dia seperti habis menelan biji durian.
"Kami sudah sepakat." Rion yang jawab. Dia tersenyum kaku sambil menggaruk tengkuknya, kenapa jadi gugup seperti ini?
Ron berdeham. Mereka mengabaikan keberadaan Bibi Enjum yang sibuk mencerna situasi sekarang.
"Larissa."
Keringat dingin bercucuran, anggaplah dia berlebihan tapi memang begitu adanya. Mimik sang paman boleh jadi dikatakan seram.
"Jangan pulang malam-malam," rampung Ron.
Membuat Larissa dan Rion tak percaya. Benarkah mereka diizinkan? Tapi sayang, jawabannya terlalu ambigu sebab Ron berbalik dan tiba-tiba saja sudah memasuki kamar dengan pintu ditutup sempurna.
"Rion--"
"Kamu punya anak?"
Larissa belum mempersiapkan jawaban yang tepat, tapi Rion sudah menggelincirkan lidahnya dengan kalimat, "Bayi itu sangat mirip dengan Pamanmu, mengingat kalian tinggal bersama--"
"Ha ha ha!" Larissa tertawa garing memangkas ucapan kawannya. "Bukan berarti dia anakku, oke? Lagi pula perutku belum terlihat buncit kan, selama ini?"
Rion setuju. "Artinya Pamanmu melakukannya dengan wanita lain?" Dia berbisik, menatap Larissa dengan kasihan.
Yang ada Larissa berdecak. "Paman terlalu lurus untuk menghamili anak orang sebelum menikah, aku bersanksi ... Paman itu nyaris tidak punya nafsu!"
Semangat Larissa berapi-api saat membahas tentang pamannya, dia yakin seratus persen tanpa diskon, dilihat dari gelagat sang paman saat mereka berduaan ... pamannya memang tidak menunjukkan tanda-tanda emosi terhadap sesuatu yang intim antara pria dan wanita.
"Bagus. Sekarang cepat ganti baju, kita tak punya banyak waktu. Keluargaku sudah menunggu."
Baik. Larissa menyimpulkan, mereka diizinkan asal tidak pulang malam, meskipun keberangkatan mereka bisa dikata nyaris melewati petang.
Dress merah jambu dengan rambut terurai indah. Larissa memang sudah cantik dari dulu, dipastikan bisa memiliki pacar lebih dari satu kalau saja dia mau. Tapi si cantik Larissa sejak dulu hanya pamannya saja yang bisa membuat dia rindu, sampai bisa jatuh cinta kepada pria lain saja dia ragu.
Rion menunggu Larissa di ruang tamu, Bibi Enjum memberinya teh hangat sebagai teman menunggu. Tak lama, Larissa tiba dengan wajah lugu.
"Bibi, aku pergi dulu, ya! Sampaikan kepada Paman, jangan lupa memberi s**u!"
***
Ron tidak berhenti mendengkus sejak tadi. Keresahan hatinya yang tak bisa diprediksi membuat dia gemas sendiri. Kenapa tiba-tiba jadi berat dalam menghadapi Larissa?
Selama tiga puluh lima tahun Ron bernapas, baru kali ini dia merasa sesak. Ron pikir akhir-akhir ini kesehatannya memburuk. Dimulai dari serangan jantung mendadak, darah berdesir hebat, hati yang kadangkala tiba-tiba merasa sakit, lalu sekarang napasnya yang sesak. Dia curiga terserang asma. Berhubung besok dia masuk kerja, Ron akan periksa.
"Archer," panggilnya kepada bayi laki-laki yang sedang anteng sendiri di atas kasur. "Ibumu pergi, kenapa kamu tidak menangis?"
Raut tampan itu menunjukkan ekspresi berbeda dengan jenis kalimatnya. Ron adalah Ron, pria limit ekspresi dan intonasi. Ngomong-ngomong, dia sedang mengajak ngobrol bayi.
"Jangan bercanda, Ar. Papa tidak secengeng itu untuk menggantikanmu menangis karena ditinggal Ibu." Seakan-akan sebelumnya bayi itu berkata: Kenapa tidak Papa saja yang menangis?
Ron semakin mengembangkan imajinasinya. "Nanti saat ibumu pulang, jangan lupa menangis, ya!" Pesan Ron kepada Archer dan dia merasa lucu.
Eiy, dia sedang bermain rumah tangga - rumah tanggaan dengan Larissa, kan? Anggap saja begitu. Ron mengakuinya.
Lalu, dia mendesah dan berbaring terlentang di samping Archer. Usianya terlalu matang, dia tidak bisa terus-terusan menghalu. Tapi terlalu sulit bagi Ron untuk merealisasikan fantasinya kepada Larissa, sementara dia ingin menemukan dulu orang tua ponakannya.
Detrktif dan orang suruhan lain yang dia sewa belum juga memberi kabar. Hadirnya Larissa menjadi misteri dalam diri Ron. Beratnya, semakin hari dia semakin tak sabar. Meski seperti itu, Ron tak henti memikirkan cara agar rencana masa depannya cepat tersusun hingga selesai.
"Archer," gumamnya sambil berbaring menyamping. "Selama ini Papa ..." Ron membasahi bibirnya karena merasa tergelitik saat mencoba menyebut diri sendiri sebagai 'Papa', lucu.
Oh, lupakan!
Ron mengusap wajahnya dan memilih diam.
***
"Cantik sekali."
Larissa disambut dengan baik oleh keluarga Rion, tapi sudut kecil hati Larissa merasa tak nyaman sebab kedatangannya kemari membawa kebohongan.
"Jadi ini kekasihmu, Rion?"
"Tentu, alasan kenapa aku tidak mau dijodohkan. Sekarang kalian paham, kan?"
Larissa meringis dalam hati, jawaban Rion sungguh berani. Ayah dan ibunya tertawa.
"Kita terlalu negatif. Maafkan kami, awalnya kami mengira kalau jagoan kami ini penyuka sesama."
Celetukkan Tante Lian tertuju untuk Larissa dan hanya dia tanggapi dengan seulas senyum manis. Maklum, Rion cukup cantik untuk ukuran lelaki. Dan sialnya, pria itu masih betah melajang ... asal jangan sampai bablas seperti pamannya saja yang nyaris bulukan. Uh!
Oh ya, tadi saat datang ... pihak keluarga Rion sudah berkenalan dengan Larissa. Mereka adalah Tante Lian dan Paman Zain Debora.
Ngomong-ngomong soal Paman ... kira-kira sedang apa, ya, pamannya?
Sekilas Larissa melirik jam dinding, pukul sembilan tepat dan dia masih ditahan di rumah Rion. Bagus, siap-siap saja nanti diamuk.
Mereka membicarakan banyak hal, rupanya keluarga Rion termasuk ekstrovert yang sampai bercerita kepada Larissa tentang adik Rion yang dulu sempat diculik. Kejadiannya sudah berlalu, tapi masih terkenang.
Larissa hanya berharap, semoga mereka dipertemukan bila saja yang hilang itu masih hidup.
"Paman, Tante ... Larissa pamit ya, sudah terlalu malam."
"Eh, tidak menginap saja?"
Larissa menggeleng, menolak secara sopan. Akhirnya di pukul sembilan malam lebih lima belas menit itu Larissa dipulangkan.
"Terima kasih, La. Berkatmu, aku bebas dari serangan perjodohan," ungkap Rion setibanya mereka di depan gerbang rumah Larissa.
"Kamu keterlaluan," decak Larissa. Yang ada Rion terkekeh.
"Asal Pamanmu tidak tahu, semua aman."
"Yeah, lagi pula siapa peduli? Mustahil bagi Paman untuk cemburu sekalipun dia tahu, buktinya aku diizinkan." Larissa mendesah pada kenyataan.
Rion terbahak, tawanya membuat Larissa kesal dan cepat-cepat turun dari mobil. Semakin memperjelas kalau perasaannya pada sang paman selucu itu. Larissa mendesah lagi, dia menutup pintu bertepatan dengan hengkang-nya lamborghini Rion.
Rumah sudah sepi. Bibi Enjum pasti sudah tidur, apalagi bayi dan pamannya. Setidaknya Larissa mengembuskan napas lega, episode amukan dari pamannya akan ditunda sampai besok.
Atau mungkin ... tidak. Dia terkejut melihat pamannya tidur di sofa. Pulas, sampai Larissa tak tega membangunkannya. Namun, dia berjalan mendekat, berjongkok di samping Paman Ron. Lalu, di mana bayinya?
"Paman." Larissa menoel-noel pipi Ron dengan ujung jari telunjuknya. Mau tak mau dia membangunkannya.
"Paman, bangun!" bisik Larissa menyeru. Niat dan tindakan bertolak belakang, Larissa terlalu gemulai dalam konteks membangunkan kerbau tidur.
Maka Larissa mengikis jarak, frekuensi bicaranya pun ditingkatkan beberapa oktaf. "Bangun!"
Tetap tidak bergerak. Ron justru mendengkur.
Tangan yang sudah Larissa tarik dari wajah Ron, kini dia ulurkan lagi, perlahan menyentuh ujung rambut pamannya yang jatuh di kening, dia menyingkirkannya. Alih-alih membangunkan, Larissa justru keasyikan memandang pria yang menyaingi kegantengan Mas Kulin di komik online bacaannya.
"Semakin tua, semakin mempesona," bisik Larissa terkekeh sendiri. Dia jadi malu. Wajah Larissa merona tanpa diminta.
Apakah dia setidak waras ini sampai jatuh hati kepada pria yang kelewat dewasa? Kadang, Larissa menyayangkan usianya sendiri. Kenapa dia tidak lahir lebih cepat? Atau kenapa dia lahir terlalu lambat?
Larissa mengerucutkan bibirnya, tangannya sejak tadi tidak bosan memainkan helai rambut Paman Ron. Sesekali dia juga menyentuh kulit wajah Ron. Di hidungnya, Larissa tersenyum. Beralih menyentuh kening paman, Larissa bersemu makin parah. Lalu, beranjak ke pipi ... wajah Larissa setara dengan wine secara hiperbola. Sampai lancang telunjuk itu jatuh di bibir pamannya.
Lemah.
Larissa teringat dengan ciuman pertamanya yang hilang.
Sayang, Ron tidak terlalu mempermasalahkan hal itu. Bahkan mungkin, pamannya sudah lupa. Larissa mendesah setelah melamun cukup lama.
"Astaga!" Larissa terkejut dan jatuh terduduk, pamannya tidak menutup mata ... sejak kapan?
"A ... anu, Paman ... tadi aku ... anu." Gagap, Larissa bicara tak jelas. Dia berkeringat dan malu sekali kepergok sedang menikmati keindahan Sang Pencipta.
Ron bangkit dan duduk di sofa sambil menatap datar sosok Larissa yang kelimpungan mencari kosa kata.
"Aku tadi tidak sengaja melihat Paman tidur di sini, rencananya aku ingin membangunkan Paman. Tapi tadi aku salah fokus dan jadi aku ... tidak sengaja sedikit menyentuh Paman," kata Larissa kalang kabut dalam menjelaskan.
Padahal Ron tidak menuntut hal itu. Dia mengangguk ringan dan bertanya, "Jam berapa sekarang?"
"Hm?" Refleks Larissa mencari jam dinding, menemukannya dan mengerjap. "Nyaris setengah sepuluh malam, Paman."
Ron pun berdiri sambil bilang, "Lain kali aku belikan jam dinding dan pasangkan di tanganmu."
Tanpa melihat Larissa lagi dia pun memasuki wilayah kekuasaannya. Di kamar, Ron berdecak. Mungkin, dia akan merajuk.
Yang pasti Ron akan merepotkan Larissa, lihat saja nanti.
***